3 ~ Reminder List
Akhir-akhir ini Alma punya hobi baru. Menulis keluh kesah, berupa curahan hati dalam bentuk kata-kata indah di media sosial. Membuat akun dengan nama samaran, dan benar-benar menyembunyikan identitasnya. Alma hanya menjadikan Instagram sebagai media bagi dirinya menyuarakan hobinya dalam menulis. Bukan yang puitis, apalagi bermakna, hanya coretan-coretan sederhana. Baginya semua itu seperti healing.
Malam itu, mendadak Alma seperti seorang stalker. Melihat-lihat setiap akun siswa-siswi yang ada di sekolahnya—sampai larut dan terbawa suasana. Terutama mereka-mereka yang suka mengumbar kebersamaan dengan pacar di media sosial. Kata-kata manis, penyemangat, dan penuh cinta terdengar sangat menyenangkan. Alma rasa otaknya sudah teracuni. Walaupun sadar diri, ia tetap penasaran dengan yang namanya pacaran.
“Apa aku terima aja, ya, tawaran Galan?” refleks ia bicara seperti itu dan kemudian cepat menggeleng sambil memukul pelan kepalanya sendiri. “Duh, Alma. Apaan coba?”
Walau bagaimanapun, Galan itu hanya berpura-pura. Lagian, mana mungkin dia serius dan suka padanya? Itu tidak mungkin. Tipe Galan bukan seperti dirinya. Jika melihat Kaila—mantannya itu—jelas saja jauh berbeda. Kecantikan, kepintaran, dan kepopuleran Kaila itulah, yang pasti membuat Galan—sampai sekarang—belum bisa move on.
“Jangan bodon!” makinya lagi pada diri sendiri. Lantas Alma berpikir untuk membuat sebuah postingan.
Rasanya punya orang spesial itu pasti menyenangkan, kan?
Tapi, siapa yang akan suka pada itik buruk rupa?
Saat sedang asik berselancar di Instagram, tiba-tiba saja kontak bernama Galan meneleponnya. Gadis itu sempat bertanya-tanya, kenapa pemuda tersebut menghubunginya malam-malam seperti ini?
Ah, iya, lupa.
Bagi Galan, Alma itu reminder list. Di mana ia butuhkan, tentang apa pun mengenai pelajaran atau sekolahnya, tanpa ragu, pemuda berlesung pipi tersebut akan menghubunginya. Menanyakan segalanya, dari jadwal harian sampai pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.
Sebenarnya entah pelet apa, sampai-sampai Alma harus menuruti kemauan Galan. Memang, Alma berhutang budi pada cowok itu. Siapa lagi, orang yang mau bicara—apalagi duduk sebangku dengannya—selain Galan?
Padahal, jika dipikir-pikir Galan tidak bersikap terlalu baik padanya, bahkan sering merepotkan—diluar pengertian, tentang apa arti pertemanan sebenarnya. Wajar saja, Alma belum pernah punya teman dekat. Ia tidak tahu, apa posisinya dengan Galan saat ini bisa disebut bersahabat, atau cuma saling memanfaatkan.
Sementara getar ponselnya akibat Galan terus menelepon, tidak berhenti juga. Semakin diabaikan, semakin menggila saja. Pemuda itu benar-benar tidak bisa diremehkan. Sehingga mau tidak mau, Alma menerima juga sambungan telepon tersebut.
“Ya, ha—”
Belum juga selesai menjawab, di seberang sana Galan langsung menyahut, “Lo lagi apa? Lama banget.”
Berusaha untuk tetap sabar, Alma lantas menjawab, “Besok nggak ada pr, cuma ada ulangan Bahasa Indonesia.”
Mendengar penjelas itu, Galan malah tertawa sampai membuat Alma refleks menjauhkan handphone dari telinganya karena terkejut. “Gue bukan mau nanyain pr atau apa pun itu tentang sekolah, tapi makasih juga infonya.”
“Lalu?”
“Besok gue jemput lo ke sekolah, ya?”
“Hah?!” Alma langsung panik. “Nggak-nggak, jangan!”
“Kenapa, hey? Orang-orang taunya kita, kan, pacaran. Masa mau berangkat masing-masing.”
Mendadak Alma hilang alasan, saking gelisah sampai tidak bisa berpikir panjang. Yang ada dalam pikiran Alma saat ini hanya rasa malu. Apa yang akan dipikirkan keluarganya kalau tahu ada cowok yang menjemputnya ke rumah?
“Pokoknya nggak usah, nggak perlu.”
“Lo malu?” Alma terdiam. “Kalau malu, ya udah kita janjian di gang rumah lo aja.”
“Harus banget apa, ya?”
“Biar lebih meyakinkan, Alma.”
“Repot banget, sih.”
“Pokoknya besok jam setengah tujuh, nggak boleh telat dan nggak boleh berangkat duluan. Oke?”
Tidak sampai menunggu persetujuan Alma, Galan langsung mengakhiri sambungan teleponnya. Keinginannya itu menambah beban pikiran Alma saja.
Namun, kemudian perhatian dan pikiran Alma teralihkan pada bunyi notifikasi di akun instagram-nya. Penasaran, Alma buru-buru mengecek dan melihatnya. Ternyata, ia mendapat pesan pribadi dari sebuah akun bernama Asta Sevan.
AstaSevan
Hey. Jangan pernah pesimis.
Semua orang terlahir sama, istimewa.
Lo juga.
Lo berhak bahagia.
Semangat.
Tiba-tiba jantung Alma berdenyut agak cepat. Kaget, canggung juga. Baru pertama kali, dan tidak menyangka saja ada orang yang sengaja mengirimkan pesan penyemangat kepadanya secara pribadi. Sehingga dengan keberanian, Alma segera membalasnya.
Hai.
Terima kasih banyak.
Tapi merubah sesuatu itu,
tidak semudah membalikkan
telapak tangan.
Tidak butuh waktu lama, karena sedang online juga. Akun itu langsung mengetik memberikan balasan.
Iya, bener juga.
Sama seperti hati. Tidak mudah
berpaling meskipun udah disakiti.
Duh, jadi berasa curhat begini.
Awalnya Alma sedikit bingung dengan balasannya, tapi setelah dibaca ulang barulah ia mengerti.
Perlu proses, dan itu
tidak mudah. Iya, kan?
Hahaha.
Ngomong-ngomong, gue suka
baca curhatan lo di feed dan story.
Berasa ngefeel aja sama gue.
Sontak Alma tersenyum malu.
Kalau itu bermanfaat
dan bisa menghibur orang lain,
aku bersyukur.
Nama lo siapa, ya?
KumbangSenja?
Gadis itu jadi salah tingkah, ketika dia menyebutkan nama pena akun instagram-nya. Agar ragu sebenarnya memberitahu nama aslinya, tapi Alma tetap memberitahunya atas dasar keinginan hati.
Alma.
Oh, nama yang bagus.
Gue Asta.
Salam kenal, ya.
Entah kenapa, kedua sudut bibir Alma langsung terbuka lebar. Benar-benar langka, dan masih seperti mimpi.
Iya, salam kenal juga.
Lo tinggal di mana?
Gue Jakarta Utara.
Oh, jauh, ya.
Aku di Bogor.
Uh, kota hujan.
Aku pernah ke sana sekali.
Nanti ke sana lagi, deh.
Nemuin kamu.
Hehe.
Sontak saja Alma tersentak. Cowok itu benar-benar meresponsnya dengan sangat baik.
Oh iya, kamu masih sekolah?
SMP, SMA, atau udah kuliah
jangan-jangan.
Em, nggak, kok.
Aku masih SMA.
Kelas 2.
Lho, kok, sama.
Haha. Kebetulan banget.
:)
Setelah itu, cowok bernama Asta itu berhenti online dan tidak menjawab pesannya lagi. Karena masih tidak percaya dan percakapan itu terasa mengalir dan asik juga, Alma lantas membacanya lagi dari atas. Membuka akun instagram Asta dan melihat-lihat postingannya.
Ternyata aku itu seperti baru dan tidak pernah terjamah sesering mungkin. Followers dan yang dia follow juga masih sedikit. Sepuluh kali lipat followers-nya Galan. Feed-nya penuh dengan profil pemandangan alam dan sebuah motor besar berwarna hijau. Itu pun tidak banyak, hanya ada tiga. Berbeda sekali dengan Galan yang selalu eksis. Asta pasti bukan tipe orang yang suka mengumbar keseharian dan kehidupan privasinya di media sosial. Secara tidak langsung, Alma suka tipe cowok seperti itu. Yang tidak lebay dan menanggapi semuanya secara berlebihan.
“Apa gini, ya, rasanya chat-an sama cowok?” ucapnya seraya tersenyum simpul. “Gugup, sampe bikin tangan keringetan. Padahal, kan, aku nggak tau siapa dia.”
nuraiqlla
3 Juli 2021
15:00
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top