26 ~ Secret Girlfriend

Istirahat kali ini, Galan memaksa Alma untuk pergi ke kantin. Mungkin yang pemuda itu lakukan tidak lain untuk mengalihkan perhatian Alma. Di sana juga ada Kevin, Aryan, dan teman-temannya yang lain. Mereka selalu berbagi keseruan setiap hari. Bercanda, tertawa, saling mengejek, sudah biasa mereka lakukan.

Di sana, Alma hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Ikut tertawa pun rasanya masih canggung, lagian pikirannya tidak bisa fokus. Terkadang bablas melamun, sampai Galan menyadarkan.

Mereka memang baik-baik. Namun, Alma masih belum merasa nyaman di depan banyak orang, terlebih pada orang-orang yang tidak terlalu dekat. Galan pernah bilang, “Gimana mau nyaman, kalau lo aja nggak mau kenal?”

Benar. Terkadang Alma kesal pada dirinya sendiri yang tidak mau dan tidak mudah berbaur dengan orang lain. Padahal hanya tinggal membuka diri. Membuka percakapan, dan bicara apa saja yang ngelantur juga tidak apa-apa. Galan lagi-lagi selalu menasehatinya.

Sejak dulu, sedari mereka kenal. Galan tampak geregetan dengan sikap dan sifat Alma. Mungkin pemuda itu pikir, watak tersebut bisa diubah. Memang bisa, tapi untuk karakter rasanya sulit. Sekalinya introvert, ya tetap saja. Tidak akan berubah menjadi ekstrovert.

Tiba-tiba di tengah keseruan yang sedar terjadi di salah satu meja kantin tersebut, suara panggilan dari ponsel Alma berbunyi. Kompak semua mata yang ada di meja itu menoleh padanya. Begitupun dengan Galan, dengan tatapan penuh selidik.

“Asta?” ucapnya sangat pelan, setelah melihat sekilas nama kontak yang tertera di layar datar tersebut.

“Siapa, Al?” tanya Galan karena penasaran.

“Em, Gal. Aku permisi ke toilet dulu, ya,” ucapnya, lalu pergi dengan langkah terburu-buru. Lebih sedikit berlari.

Sikap Alma yang misterius itu jelas saja mengundang rasa heran dari teman-temannya. “Dia kenapa, sih? Kayak orang lingkung,” tukas Kevin.

“Kalian pacaran, tapi nggak kayak orang pacaran. Nggak ada manis-manisnya,” sambung Aryan. Sementara teman lainnya malah tertawa. Galan acuh saja, karena merasa sudah biasa.

“Lagian, cewek kaku gitu, lo bisa suka?” timpal yang lain, ingin memulai perghibah.

“Gue denger-denger juga Kaila udah mulai deketin lo lagi, kan?” Kevin kembali menyahut. “Ya, udah. Lo balikan lagi aja sama dia.”

Aryan tidak mau kalah memberi pendapat. “Tapi, kalau dipikir-pikir, tipe cewek kayak Alma itu setia. Dia nggak akan berani selingkuh. Sekalinya cinta, bakalan jatuh sedalam-dalamnya.”

Galan terdiam. Merenungkan kata-kata Aryan yang hampir saja benar. Alma bukan tipe yang gampang jatuh cinta. Membuka dirinya begitu mudah pada setiap pria. Namun, dia akan setia pada pasangannya jika sudah benar-benar jatuh cinta.

Kalau saja benar, Alma dalam posisi itu sekarang pada cowok dunia mayanya tersebut. Itu berarti .... Argh! Sial. Galan tidak bisa membayangkan jika benar Alma sudah menutup hatinya untuk laki-laki lain, karena orang itu. Rasa penasaran Galan semakin menggebu terhadap sosoknya. Awas aja kalau dia berani bikin Alma patah hati.

***

Di salah satu toilet putri. Alma sengaja memilih bilik yang paling pojok. Mengunci pintunya dan sedikit membuka keran, agar yang di luar tidak curiga. Setelah di rasa aman, barulah gadis itu menerima panggilan telepon dari Asta.

Halo, Al. Kok, lama banget. Lagi sibuk, ya?”

“Nggak, kok,” jawab Alma seadanya. Dalam hatinya masih menyimpan kemarahan untuk pemuda itu. Bisa-bisanya setelah hampir satu minggu berlalu, dia baru menghubunginya lagi dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa.

Kok, kayak ada suara kresek-kresek air. Kamu lagi di mana emang sekarang?”

“Toilet.” Lagi Alma meresponsnya dengan nada ketus.

Oh, gitu. Terus gimana kabar kamu sekarang?”

Refleks Alma mengembuskan napas lelah. “Kamu masih tanya?”

Sementara di seberang telepon sana, ia malah mendengar Asta tertawa. “Ya iyalah, Al. Kita, kan, udah lama nggak kabar-kabaran. Jadi aku pengen tau.

“Kamu sadar? Terus apa alasannya nggak pernah ngasih kabar? Aku selalu hubungin kamu, lho. Chat kamu juga selalu aktif.”

Nada bicara kamu, kok, gitu, sih? Padahal aku nanya baik-baik, lho?”

“Perasaan kamu aja, kali. Aku juga nanyanya baik-baik aja, tuh.”

Duh. Udah, deh, Al. Aku nelepon kamu bukan mau ngajak ribut.

“Ya udah, ngapain juga kamu telepon aku? Bukannya sekarang kamu udah punya pacar lain?”

Al ... please, deh. Ngapain bahas itu, di saat aku pengen ngobrol tentang kita aja?

“Nggak usah pura-pura bodoh, deh. Aku udah tau semuanya. Kalian itu bukan pacaran bohongan, tapi beneran. Mana ada pacaran bohongan setiap hari balas-balasan posting dan komentar di IG? Bahkan aku aja nggak kamu peduliin.” Alma berkata panjang, seakan mengeluarkan semua unek-unek dalam hati yang menggunung sejak satu minggu lalu. “Tapi kamu tenang aja. Aku sadar diri, kok. Aku itu cuma pacar rahasia kamu aja, kan? Sementara dia pacar kamu yang sebenarnya.”

Astaghfirullah, Alma. Kamu nuduh aku sampai segitunya?”

“Udah, deh, Asta. Aku capek kamu ngelak mulu kayak gitu. Kesannya, jadi seakan-akan aku yang salah!”

Ya, karena memang kata-kata kamu itu nggak bener. Udah aku bilang, kan, Indah cuma butuh bantuan aku, nggak lebih.” Kali ini nada bicara Asta mulai meninggi, sepertinya dia sudah terpancing emosi dengan sikap Alma yang pencemburu dan mudah curigaan. Namun, bagaimana Alma bisa bersikap tenang, jika bukti yang ada saja menunjukkan demikian?

“Udahlah, aku, tuh, capek, kesel, kecewa. Sakit hati lihat kamu foto mesra sama cewek itu, sementara aku di sini cuma bisa nangis mantengin kelakuan kalian. Bahkan kamu nggak ada sedikitpun ngasih aku penjelasan, biar aku bisa tenang. Kamu malah menghilang, seakan-akan aku cuma batu yang nggak punya hati mengihat tingkah kalian.”

Ya udahlah, terserah kamu. Aku juga capek ngehadepin sikap kamu yang kayak gitu. Overthinking terus.

“Kalau gitu matiin aja teleponnya, dan nggak usah hubungin aku lagi!” ancam Alma yang sejujurnya tidak tulus dari hati.

Oke.” Asta, tanpa kata-kata lagi, tanpa bujuk rayu, atau menjelaskan dengan nada tenang agar Alma bisa luluh, langsung saja memutuskan sambungan teleponnya.

“Kamu itu beneran nggak peduli, ya, sama aku?” lirih Alma merasa perih. Bisa-bisanya ia berharap Asta merasa bersalah dan mau memperbaiki segalanya. “Aku pengen benci, tapi nggak bisa!”

Air mata langsung mengalir membasahi pipinya. Alma tidak bisa membendung lagi. Rasa sakit di rongga dadanya sudah lumayan menyiksa. Ia merasa bodoh, sangat bodoh karena sudah mencintai dan mengenal Asta.

Lalu kemudian ada suara notifikasi di akun instagramnya. Selagi air mata masih mengalir, gadis itu segera memeriksanya. Di sana berisi pesar dari Asta.

AstaSevan
Maaf, kayaknya kita nggak perlu tukeran akun lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top