16 ~ Next Level

“Jadi putri Mama yang hobinya diem di kamar seharian ini sekarang udah punya pacar?” tukas Ayana dengan nada menggoda ketika Alma baru saja turun untuk makan malam. “Wah-wah, gawat. Aku kesalip dong?”

Alma mengembuskan napas kuat-kuat. Memutar bola matanya merasa kesal. Menghentakkan kaki sampai tiba di kursinya. Sepertinya sekarang tidak akan ada kata tenang di kamus Alma.

Memang benar dugaan mereka, tapi bukan Galan orangnya. Lagipula Alma belum berkeinginan untuk mengatakan hubungannya dengan Asta pada keluarga. Sementara Galan terus saja mengacaukan kehidupannya yang tenang dan damai.

Mau marah, tapi juga kasihan.
Mau diam sana, tapi cowok itu benar-benar keterlaluan.

“Lho, kok, nggak dikenalin sama Papa?” sahut Septian yang tidak mau kalah, ingin tahu, atau sekedar menggoda putrinya.

“Mama udah suruh dia untuk mampir, kok, lain kali. Ganteng, lho, Pa.” Desi berkata seperti memprovokasi yang membuat kakak dan juga papanya semakin penasaran. “Alhamdulillah, bibit unggul.”

“Gimana ini? Masa kakak kalah sama adek?”

Eits, tenang aja, Pa. Aku juga lagi mempersiapkan orang terbaik untuk dikenalin sama kalian.” Ayana segera menanggapi tidak mau kalah saing.

“Apa, sih, Mama, Papa, sama Kakak, ini. Dia bukan pacar aku, cuma temen.” Alma mulai bersuara bermaksud membela diri, walau sebenarnya agak percuma. Meraih gelas berisi air mineral dan menegurnya, karena tiba-tiba kerongkongannya terasa kering.

“Ah, jangan-jangan dia cowok yang sama yang aku temuin di depan gang kompleks itu?” Alma langsung batuk-batuk setelah mendengarnya. Melirik Ayana sekilas merasa jengkel. Sementara mamanya menyodorkan tisu untuk mengelap air yang tumpah ke kaos kuningnya. “Tuh, kan, panik. Pasti bener.”

“Udah, nggak usah tebak-tebakan. Yang paling bener, nanti kamu ajak Galan mampir ke rumah, ya?” sambung papa mereka.

“Ih, apaan? Nggak, ah! Orangnya rese, aku nggak suka!” Mereka malah tertawa cekikikan karena lucu melihat ekspresi Alma.

***

Karena terus dijadikan bahan ejekan, terutama oleh kakaknya itu, setelah selesai makan Alma memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya. Tidak membantu merapikan, sapu-sapu, apalagi mencuci piring. Intinya gadis itu sedang dalam mode ngambek.

Di kamar, tepat duduk di kursi meja belajarnya Alma segera membuka buku—bermaksud mengerjakan tugas Biologi. Namun, baru setengah nomor—dari sepuluh soal yang diberikan—selesai dikerjakan, ponselnya sudah berbunyi.

Buru-buru perhatian Alma teralihkan. Mencabut kabel charge, sehingga handphone itu berada di genggaman tangan kanannya.

“Asta video call?” ucapnya bernada agak pelan.

Buru-buru gadis itu menuju meja riasnya. Merapikan rambut, memberi sedikit bedak agar tidak terlihat terlalu pucat dan lipstik berwarna merah muda yang terkesan lebih alami. Setelah lama menunggu, akhirnya Alma kembali ke meja belajarnya dan siap-siap—dengan gemuruh dada yang mulai tak karuan—menerima panggilan video dari Asta.

Layar bergambar itu kemudian menampilkan wajah Asta dalam jarak yang dekat, sampai Alma lumayan tersentak lebih-lebih terpaku melihat ketampanannya. Memakai kaos berwana hijau army dengan rambut belakang yang berpotongan pendek. Sementara bagian atasnya dibelah dua.

Dengan tidak sopannya, membuat hati Alma melebur tak karuan, tiba-tiba saja Asta mengedipkan mata seraya memanggil namanya. Sontak saja gadis itu tersentak dengan mulut terbuka.

Gimana, Al. Aku lucu, kan?” tanyanya, tapi Alma masih belum bisa merespons dengan sangat baik. Bagaimana tidak? Diserang bertubi-tubi begitu dengan pesona. “Apa ganteng?” lanjutnya lagi sambil berlaku sok imut. Benar-benar tidak bisa kalem dan sangat petakilan. “Kamu suka yang kayak gimana?” Lagi pemuda itu bertanya. “Yang lucu, ganteng, atau seksi?” Sambil bergaya sesuai dengan kata yang ia ucapkan, lalu tertawa setelah selesai menggoda Alma, hingga menjadikan gadis itu terdiam seperti baru saja tersambar petir.

Haha, maaf-maaf, Al. Aku random banget, ya?

“Hm?” Akhirnya Alma menyunggingkan kedua sudut bibirnya, meskipun agak susah payah. Kaget saja dengan tingkah Asta, yang ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Cowok cool, kalem, dan sangat jaga image. Kalau memang begitu aslinya, hampir dipastikan Asta sebelas dua belas dengan Galan.

Kamu suka cowok ganteng, lucu, atau seksi?

“Aku—” Diam lagi untuk berpikir. Sementara Asta di seberang sana menunggu jawabannya, meskipun pertanyaannya itu tidak terlalu penting untuk dibahas. “Aku suka kamu.”

Asta membeliak. Terdiam sejenak, sampai kemudian tertawa dengan sikap salah tingkah. “Kamu nggak salah, Al. Aku emang punya ketiganya.”

Kali ini Alma yang tertawa merasa konyol sekali. “Kamu selain random anaknya, ternyata narsis juga, ya.”

Haha. Ya beginilah, aku. Nyesel, nggak?

Tanpa ragu Alma menggeleng. “Aku suka, kamu lucu, seru.”

Syukurlah, karena aku juga suka sama kamu yang tenang begini.

Wajah Alma langsung panas. Pipinya memerah. Ia sangat malu, dan Asta di sana malah memperhatikannya sambil tersenyum-senyum menggemaskan.

Kamu lucu, aku suka.” Alma tidak menjawab. Hanya menunduk tersenyum malu-malu. “Oh iya, Al. Gimana kalau kita tukas akun instagram?”

“Hm? Buat apa?”

Bukan nggak percaya, tapi biasa orang pacaran melakukan hal itu, kan?

“Benarkah?” Asta mengangguk mengiyakan.

Biasa orang pacaran ngelakuin hal itu, kamu bisa gunain akun aku kapan aja, kok. Itu juga supaya kita bisa jauh lebih kenal. Kalau kamu nggak setuju, nggak apa-apa, kok.

“Oh, aku mau, kok.” Semenjak malam itulah, mereka memberikan email dan password akun instagram masing-masing.

***

Sekarang hubungan Alma dan Asta menjadi lebih serius. Tidak ada sedikit saja waktu tanpa saling memberi kabar. Intensitas interaksi yang sering itu membuat mereka jauh saling mengenal.

Asta banyak bercerita tentang keluarganya. Papanya yang seorang Arsitek. Mamanya seorang perawat di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Ia juga memiliki seorang adik perempuan bernama Natalie yang baru duduk di kelas dua SMP. Pun, Asta menunjukkan foto keluarganya. Jadi pantas saja Asta terlahir tampan, karena orang tuanya pun merupakan bibit unggul.

Sebanding dengan Asta, Alma pun menceritakan tentang keluarga dan kehidupannya. Meskipun agak kurang percaya diri, karena ia hanya berasal dari keluarga sederhana. Tidak miskin, tapi tidak berlimpah harta juga.

Masih terlalu jauh memang, tapi dari sekarang Alma sudah berkeinginan jika hubungannya dengan Asta harus sampai ke pelaminan.

Ketika sedang asik mengobrol dengan Asta via whatsapp di perpustakaan, perhatian Alma teralihkan saat Galan datang bersama Kaila. Lagi-lagi pemuda itu membuatnya bertanya-tanya. Sepertinya mereka memang sudah berbaikan. Tapi, buat apa mereka ke sini?

Belum sempat Alma menemukan jawabannya, kedua matanya lantas bertemu tatap tanpa sengaja dengan Galan. Padahal Alma ingin menghindar, tapi terlambat. Pemuda itu dan Kaila malah melangkah menghampirinya.

“Benar, kan, dugaan aku. Kamu pasti ada di sini,” kata Galan kemudian setelah mereka dekat, dan mengambil posisi di kursi yang masih kosong. Duduk menghadap meja bundar.

Ujung alis Alma bertaut. Aku, kamu? Alma sadar jika itu pasti bagian dari sandiwara yang Galan lakukan.

Lalu kemudian Kalia berkata, “Sori, ya, Al. Lo jangan salah paham dulu. Gue sama Galan sering keliatan sama-sama akhir-akhir ini soalnya kita dipasangin duet di lomba Pekan Raya Seni nanti.”

Lantas Alma dan Galan saling menatap. Dengan senyum canggung Alma segera menjawab, “I-iya.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top