14 ~ Thank You, Galan, Asta
Tidak bisa memungkiri. Walaupun hanya tulisan dalam layar berupa virtual, tapi hadirnya Asta sangat berpengaruh untuk Alma. Gadis itu merasa jika Asta sangat mengerti perasaannya. Jadi tidak heran kalau kata-kata pemuda tersebut selalu berhasil membuat Alma lebih baik.
Andai saja, jika boleh meminta. Alma ingin Asta dikirimkan tepat berada di sisinya. Mungkin ia tidak akan terlalu kesepian, tapi jarak di antara mereka benar-benar penghalang yang besar.
Alma kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, ketika bel masuk berbunyi panjang dan nyaring. Murid-murid yang tadinya masih di luar, bergegas masuk ke dalam kelas.
Refleks Alma menoleh ke pintu, dan tanpa sengaja kedua matanya menangkap sosok Galan yang tengah berjalan masuk. Sialnya, pandangan mereka saling bertemu. Menjadi salah tingkah, Alma buru-buru mengalihkan pandangannya. Sulit sekali rasanya untuk bertindak sewajarnya, lebih-lebih setelah apa yang terjadi. Tanpa diminta, jantungnya pun kembali berdetak tak biasa. Ia gugup, sekarang.
Tidak berselang lama, Galan sudah sampai di bangku mereka dan duduk di kursinya. Alma masih berusaha keras untuk tidak terpengaruh dan sibuk sendiri dengan buku-buku yang ia keluarkan dari dalam tas. Pokoknya, Alma sebisa mungkin menghindari percakapan.
Namun, Alma pun sedikit kecewa saat Galan ternyata melakukan hal yang sama. Tiada biasanya, ia diam dan tidak menyapa Alma. Gadis itu berpikir, pasti Galan serius dengan ucapannya semalam. Ya, oke, seharusnya Alma senang bukan? Tapi, entah kenapa serasa ada yang hilang dan sedikit hampa.
Dari kelas berlangsung sampai waktunya istirahat pun mereka hanya saling diam, tidak banyak bicara. Galan benar-benar berbeda hari ini. Apa dia beneran marah? batin Alma yang mendadak merasa tidak enak hati.
Semakin membuatnya kepikiran dan tidak bisa tenang, ketika Galan memilih keluar dari kelas tanpa mengajak dirinya sama sekali. Sontak Alma menoleh, memerhatikan punggung Galan yang berjalan menjauh sampai luput dari pandangan. Kesedihan itu tidak bisa ia sembunyikan dari wajahnya. Seharusnya aku senang, kan?
Tidak selera melakukan apa pun, jadilah Alma memilih untuk tetap berada di kelas. Membuka bekal yang dibuatkan mamanya tadi pagi, dan memakannya sendirian—meskipun nafsu makannya sudah pergi entah ke mana. Yang ada perutnya terasa perih walaupun sudah terisi.
Lantas handphone Alma berbunyi. Nama Asta langsung terpampang jelas di layar yang menyala. Pemuda itu mengiriminya pesan. Alma sedikit lega, karena di tengah kesepiannya berada di kelas seorang diri, ada Asta yang siap menemani.
Hi, Sayang.
Selamat makan siang.
Jangan lupa dihabisin makanannya.
Asta juga menyertakan foto dirinya dan sebuah mangkuk berisikan mie ayam dengan bakso di atasnya. Sepertinya Asta sedang berada di kantin bersama teman-temannya. Pikiran Alma jadi melayang lagi, berkhayal jika andai saja ia ada di sana juga bersama Asta. Pasti sekarang Alma tidak akan merasa kesepian dan ditinggal sendirian.
Kayaknya enak.
Kamu nggak makan nasi?
Enggak sayang.
Lagi pengen mie.
Emang tadi pagi kamu udah sarapan?
Belum nggak sempet.
Jangan gitu.
Isi dulu nasi, nanti kamu sakit.
Iya sayang. Tenang aja.
Aku udah biasa, kok.
Sekarang mungkin imun kamu lagi bagus, tapi nanti kalau lagi drop, bisa bahaya.
Iya-iya.
Kamu itu kayak Mama, ya.
Cerewet banget soal kesehatan.
Ya, kan, demi kebaikan kamu juga.
Iya, sih.
Padahal aku juga punya asam lambung.
Tuh, kan.
Dasar, ih. Bandel banget.
Hehe.
Iya, deh. Aku ganti makanannya.
Yang tadi biar kukasih temen aja.
Nah, gitu.
Yaudah sayang.
Aku makan dulu, ya. Kita lanjutin nanti.
Kamu juga yang banyak makannya.
Membaca itu, raut wajah Alma sendu kembali. Merasa marah, kesal pada keadaan dan diri sendiri. Kenapa ia tidak bisa berbaur dengan orang lain dan masuk dalam lingkup pertemanan? Apa ia memang orang yang tidak bersyukur? Sudah jelas ada Galan yang bersedia menganggapnya teman, tapi malah ia abaikan. Ya Tuhan .... Rasanya Alma ingin menangis saat itu juga.
Ini adalah hari ulang tahun yang membahagiakan sekaligus menyedihkan.
***
“Lho, Gal. Pacar lo mana? Nggak diajak?” tanya Kevin saat melihat Galan datang seorang diri ke kantin.
“Oh, nggak. Dia lagi pengen di kelas katanya,” jawab Galan beralasan.
“Ah, gue tau. Kalian lagi marahan, kan?” sahut Aryan dengan nada menggoda.
“Kayaknya, sih, begitu, Bro!” timpal Kevin lagi yang tidak ingin kalah.
Mimik wajah Galan yang memang sedang kusut, tambah kusut saja mendengar kelakar kedua temannya.
“Udah, deh. Jangan bikin gue hilang napsu makan.”
“Tuh, kan. Haha. Marah, dia.”
“Pasti gara-gara gosip lo yang deket lagi sama Kaila, ya?”
Kening Galan sampai mengernyit mendengar perkataan Aryan. Jujur, ia baru mendengar gosip tersebut. Ya, karena yang Galan tahu, ia sedang marah pada Alma karena gadis itu terus saja menolaknya. Menganggap angin lalu kedekatan mereka selama ini.
“Apa maksud lo?”
“Dih, lo belum tau?” tanya Aryan lagi heran. Galan cuma menggeleng tidak mengerti.
“Gara-gara orang lihat lo ngobrol sama Kaila tadi pagi, mereka langsung buat rumor kalau kalian udah baikan dan bakal baikan.”
“What? Yang bener aja?”
“Emang, netizen suka ngada-ngada.”
Apa Alma juga tau gosip itu, ya? tanya Galan dalam hati, yang tiba-tiba merasa cemas.
“Hoax banget itu. Sialan.”
Selera makannya langsung hilang seketika. Galan yang kesal sekaligus cemas memikirkan Alma, segera pergi lagi tanpa mengacuhkan panggilan kedua temannya yang heran. Dalam benaknya sekarang, ia hanya ingin segera menemui Alma. Entah kenapa Galan merasa perlu menjelaskan gosip yang sedang beredar tersebut.
Sesampainya di kelas, Galan langsung menggebrak pintu. Membuat Alma yang sedang duduk dengan ponsel di tangan tersentak karena terkejut. Mereka saling berpandangan sebentar, sebelum akhirnya Galan kembali melangkah dan menghampiri Alma.
Alma yang mendadak panik dengan ekspresi dan kedatangan Galan yang tiba-tiba itu sontak berdiri kaku. “A-ada apa?”
Galan masih diam, sampai kemudian mereka saling berhadapan. “Maafin gue, Al. Gue nggak bermaksud cuekin lo. Gue cuma kesel sama kata-kata lo. Oke, gue emang suka seenaknya dan bikin lo marah. Gue nggak pernah berpikir buat manfaatin lo doang. Asal lo tau, gue tulus mau bertemen sama lo.”
Alma benar-benar speechless mendengar pengakuan Galan. Sepertinya baru sekarang pemuda itu mengungkapkan tujuannya. Apa itu artinya pertemanan mereka sudah official terakui dan diakui?
“Gue harap lo juga punya perasaan yang sama, tulus sama gue.”
Baru kali ini juga, Alma melihat Galan berkata serius.
“Em, Gal. Sebenarnya aku—” Alma menggantungkan ucapannya. Ia masih merasa ragu dan tidak berani untuk berucap. Setelah meloloskan napas yang membuat rongga dadanya agak sesak, akhirnya ia kembali berucap, “aku juga mau minta maaf sama kata-kata aku semalam. Itu nggak sungguh. Aku nyesel, serius.” Ia sampai menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya. Kelakuan naifnya itu malah membuat Galan tertawa merasa konyol.
“Lain kali jangan bilang gitu lagi, oke?”
Entah refleks atau disengaja, Galan tiba-tiba menaruh telapak tangan kanannya di puncak kepala Alma dan mengelusnya perlahan. Gadis itu sampai terpaku untuk sejenak, dan hanya bisa mendengar detak jantungnya yang memburu. Di matanya saat ini hanya tertuju pada wajah Galan yang begitu manis saat tersenyum. Sangat menghipnotis.
“Ish, Alma,” gumamnya segera setelah tersadar, seraya memejamkan mata dan menggeleng perlahan. Enyahlah. Apa-apan ini? Kamu udah punya pacar, jangan baper.
“Oh, iya. Selamat ulang tahun,” ucapnya lagi yang tanpa menghilangkan senyum menawan di wajahnya itu.
Sepertinya Alma harus meralat ucapannya tadi. Nyatanya ulang tahun kali ini tetap menjadi sweet seventeen yang paling mengesankan. Terima kasih, Galan, Asta.
nuraiqlla
14 Juli 2021
6.36 AM
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top