13 ~ Want You Here With Me

Alma masih tidak menyangka jika apa yang baru saja dilihatnya benar-benar menanggung mood-nya. Sangat berpengaruh membuat wajahnya mengkerut kesal dengan bibir cemberut. Seharusnya ini tidak perlu terjadi, lalu salah siapa? Hatinya? Memangnya kenapa dengan hatinya? Alma dibuat pusing dengan perasaannya sendiri. Ia sadar ini tidak benar, dan tidak seharusnya terjadi.

Namun, apa yang tengah membara di hatinya seakan dibuat semakin menggebu ketika tiba-tiba Sili dan Mili menghadang langkahnya. Memberi tatapan sinis seakan mengolok dirinya. Menatap penuh selidik dari puncak kepala sampai ujung kaki.

“Ck, ck, ck. Heran gue, kenapa Galan sampe mau sama lo,” ucap Mili penuh nada ejekan, sementara Sili tertawa. “Tapi, untungnya mata Galan segera terbuka.”

Kerutan itu muncul di kening Alma. Masih belum mengerti apa masud dua orang gadis tersebut.

“Kasian gue sama lo,” timpal Sili yang tanpa ragu mendorong pelan pundak Alma dengan satu jemarinya—seolah menjijikan. “Dijadiin pacar cuma jadi pelampiasan. Haha. Kocak.”

Tidak penting rasanya mendengarkan ocehan mereka, Alma bermaksud untuk kembali melangkah dan meninggalkan mereka. Akan tetapi, tidak semudah itu karena Mili dan Sili langsung menahan tangannya. Menyentakkan tubuhnya hingga berdiri tepat di depan mereka lagi.

“Kita belum selesai ngomong, ya. Jadi jangan coba-coba buat kabur dari kita,” tukas Mili. Sekarang mereka mulai jadi pusat perhatian murid yang lalu-lalang sebelum bel masuk dibunyikan. Alma merasa tidak nyaman.

“Please, aku nggak punya urusan sama kalian, jadi tolong—”

“Haha, akhirnya lo ngomong juga,” sambung Sili memotong perkataan Alma. “Gue pikir lo gagu!”

Astaghfirullah. Alma rasanya ingin marah-marah meluapkan emosi yang menekan hati dan kesabarannya.

“Kan, kita udah bilang buat lo ngaca diri. Darin seujung kuku pun, lo itu nggak pantes buat Galan. Untung aja Galan cepet sadar. Sekarang dia udah kembali, tuh, sama Kaila.”

Deg. Jantung Alma berdenyut cepat dan terasa agak sakit. Tanpa perlu mereka jelaskan dan memanasi pun Alma sudah sadar diri. Dan lagian kenapa ia harus peduli?

Masa bodoh. Ia pun mengabaikan ucapan Mili dan Sili dan kali ini memilih berlari untuk menghindari mereka. Mereka berdua seakan puas karena sudah mengucilkan perasaan Alma, dan tertawa mengiringi kepergian gadis itu.

“Emang enak!”

Dongkol di hatinya masih terasa sampai Alma tiba di kelas. Di kursinya ia segera duduk dan menaruh tas di atas meja. Segera ia merogoh ponsel di dalam tas dan mencari nama Asta. Tanpa ragu gadis itu langsung mengirimkannya pesan.

Aku kesel.
Marah.
Kenapa orang suka seenaknya seperti itu?
Seakan aku ini nggak punya hati.
Padahal aku ini rapuh.
Kenapa mereka kayak gitu.

Alma menggerutu di chat room-nya dengan Asta. Ia tidak tahu harus meluapkannya pada siapa lagi, selain pada pemuda itu. Sekitar matanya jadi memanas. Ia rasanya ingin menangis, kalau saja tidak malu pada teman satu kelasnya.

Gadis itu agak menyesal. Harusnya ia pergi ke toilet atau perpustakaan lagi yang lebih aman, agar ia bisa mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Ditahan seperti itu rasanya membuat tambah sakit.

Namun, tidak lama, Asta membalas pesannya.

Lho, Al. Kamu kenapa?
Kamu ada masalah?
Ada yang nyakitin kamu?
Siapa, kasih tau aku?
Biar aku marahin dia.

Menyadari kondisinya sekarang, rasanya itu mustahil, hingga Alma merasa kata-kata Asta sangat percuma.

Gimana bisa?
Kalau aku kasih tau apa kamu bisa langsung marahin mereka?
Nggak, kan?

Ya, emang nggak bisa langsung.
Ya, terus kamu itu kenapa?
Datang langsung marah-marah.

Aku kesel sama keadaan.
Kenapa, sih, kamu nggak ada di sini?
Dukung aku, ada di deket aku.
Coba kalau ada kamu, mungkin aku nggak akan merasa sesedih ini.

:(
Aku beneran nyesel, Al.
Maaf.

Membaca Asta meminta maaf, Alma merasa bersalah. Ini masalahnya dan Asta tidak punya salah apapun. Semesta saja yang masih belum mendukung.

Nggak. Ini bukan salah kamu.

Kalau kamu mau tau,
aku juga pengen ada di sana.
Di deket kamu saat kamu butuh bantuan, dukungan.
Tapi, gimana lagi.
Aku nggak bisa kayak gitu.
Aku emang bukan pacar yang sempurna, yang nggak selalu ada saat kamu butuhkan.
Inilah resikonya pacaran jarah jauh.
Makanya, aku bebasin kamu.
Kalau kamu deket sama cowok lain, dan dia bisa ngasih apa yang nggak bisa aku berikan, aku iklasin kamu sama dia.
Asal kamu bahagia.

Asta.
Kok, kamu ngomong gitu?
Kamu nggak mau perjuangin aku?

Bukan gitu, Sayang.
Aku sedih karena di saat kamu butuh aku nggak bisa peluk dan ngasih kamu semangat.

Maaf, ya.
Aku malah buat kamu kepikiran.

Nggak, Al.
Malah aku seneng kamu mau terbuka sama aku.
Sekarang udah, ya, jangan sedih lagi.
Biar aja orang yang nyakitin kamu.
Jangan dipikirin.
Mereka itu iri, kamu lebih baik.

Membaca semua kata-kata penyemangat Asta dalam bentuk ketikan itu, setidaknya sudah membuat perasaan Alma sedikit membaik. Asta benar, tidak seharusnya ia terpuruk terlalu berlebihan. Mereka tidak penting.

Makasih, ya.
Kamu udah bikin aku nggak terlalu sedih lagi.

Iya, dong.
Jangan sedih.
Nanti cantiknya ilang.

Alma tersenyum. Bisa-bisanya Asta membuat suasana hatinya jadi lebih baik dengan hanya sebuah ketikan yang jujur saja, memang lebih menyenangkan.

Apaan, sih?
Nggak lucu tau.

Duh, aku jadi ngebayangin aku senyum malu-malu.
Gemes pasti.
Jadi nggak sabar buat ketemuan.

Ya, udah. Ketemu, dong.

Boleh.
Kapan?
Malam minggu ini?

“Hah?” refleks Alma menganga. Padahal ia hanya bercanda, tapi Asta ternyata menanggapinya serius. Mana bisa begitu, ia jadi cemas dan sedikit gugup.

Secepat itu?

Ya, terus?
Kan, kamu sendiri yang mau aku di deket kamu.
Sekarang pengen aku samperin, kok kamunya gitu?
Kayak nggak serius.

Ih, bukan gitu.
Aku serius, kok.
Cuma, ya aku takut aja.

Takut?
Takut apa? Aku nggak gigit, kok.
Aku orang baik, suer.
Aku nggak akan macemin kamu.
Kalau kamu masih ragu, kirim, deh alamat rumahnya.
Biar sekalian aku samperin ke rumah dan ketemu orang tua kamu.

Ya ampun, Asta.
Sampe segitunya?

Ya gimana, dong?
Setiap aku jalin hubungan, aku nggak pernah main-main.
Termasuk sama kamu.

Entah Alma harus merasa cemas atau justru senang, karena ternyata sampai saat ini ia tidak salah memilih dan bertindak. Walaupun kadar kejujurannya belum seratus persen bisa dipercaya, tapi ketikannya saja sudah mampu membuat Alma terpana. Gadis itu yakin, jika Asta tidak sedang bermain-main.

Hanya saja untuk sekarang, kepercayaan dirinya masih di bawah rata-rata. Alma masih belum yakin, ia takut. Bagaimana jika setelah mereka bertemu, bertatap muka secara langsung, Asta malah ilfeel dan enggan mengenalnya lagi?

Enggak. Aku nggak mau itu terjadi.

nuraiqlla
13 Juli 2021
15:01

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top