Potongan Puzzle (Part 1)

.

.

Ethan bersama Jeckyl dan empat rekan Patronnya bergegas keluar dari hutan mengerikan itu secepat yang mereka bisa untuk menghindari Necromancer menyusul mereka.

"Apa keempat anak itu baik-baik saja?" pimpinan Divisi Necromancer Bevory bersuara setelah sedari tadi tak ada suara dari para pimpinan Divisi Necromancer.

"Fisik mereka baik-baik saja, tapi mereka sangat ketakutan," jawab Jeckyl sambil melihat gadis dalam rengkuhannya itu memejamkan kedua matanya erat-erat tak mau melihat kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Sementara jari-jarinya mencengkeram erat bajunya. Tidak hanya gadis itu yang takut, ketiga anak lainnya yang dibawa rekan-rekannya juga tak jauh berbeda. Berpegang erat dan tidak ingin melihat situasi yang mecekam itu.

"Segeralah ke markas," perintah Carl yang disetujui oleh Jeckyl dan yang lain. Anak-anak itu harus segera dijauhkan dari hutan dan penyihir gila itu.

"Tenanglah, kalian akan aman setelah ini," ucap Ethan menenangkan anak-anak yang kini mulai mengintip saking takutnya akan ditangkap lagi oleh Necromancer itu. Sudah cukup dengan dikendalikan dan berjalan menyusuri hutan tanpa ada orang yang bisa melihat mereka, jangan sampai mereka bertemu dengan Necromancer itu lagi.

DUARRR

Belum sempat Ethan dan yang lain melangkahkan kakinya lagi, suara ledakan disertasi suara dedaunan yang terbakar terdengar dari belakang mereka. Sontak saja itu membuat mereka berhenti dan menoleh sebentar.

"Evelyn, kau membakar hutan?" tanya Ethan takut-takut kalau wanita Sorcerer itu mengamuk hingga membumi hanguskan hutan terlarang itu. Sebenarnya bagus juga jika hutan ini dihilangkan saja karena keberadaannya justru membuat orang-orang tak bertanggung jawab—sebut saja Necromancer—memanfaatkan tempat itu untuk hal buruk, namun tidak dengan cara demikian untuk menghilangkan hutan ini.

"Nenek sihir itu yang melakukannya! Ah, sial panas sekali!" sanggah Evelyn yang menyiratkan jika keadaan di sekitar mereka tidak bagus.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Jeckyl mulai khawatir. Tidak ada Sorcerer air yang bersama mereka untuk menghentikan kobaran api itu.

"Kalian segeralah pergi sebelum nenek sihir itu mengejar!" seru Max yang secara tidak langsung menyuruh mereka untuk tidak mengkhawatirkan keadaan di belakang sana dan terus saja menuju markas. Ethan dan Jeckyl pun saling berpandangan dan mengangguk lalu segera melanjutkan perjalanan keluar dari hutan terlarang yang mulai terbakar itu.

Tepat sebelum mereka menginjakkan kaki keluar hutan, wanita itu –Necromancer gila—yang mereka hindari tiba-tiba saja sudah menghadang di sana dan mengibaskan angin kencang yang membuat mereka terpental ke belakang bersama keempat anak yang mereka dekap.

"Tidak akan kubiarkan tentu saja!" desisnya dengan tawa mengerikan lalu entah bagaimana keempat anak itu seakan ditarik oleh benang tak terlihat menuju jangkauan Necromancer gila itu.

"Kakak, tolong!" seru salah satu anak itu sambil menangis kencang, ketakutan. Ketiga lainnya meronta-ronta ingin lepas dari benang tak terlihat yang menarik mereka.

BLARR

Bola-bola api bergerak cepat dengan bantuan angin yang sudah jelas siapa yang mengeluarkannya tepat mengenai jubah Necromancer itu dan membakar kain tebalnya. Tarikan pada keempat anak itu lepas seketika dan dengan cepat Ethan, Jeckyl dan dua orang lain menangkap anak-anak itu kembali ke dalam dekapan mereka. Anak-anak itu menangis meraung-raung. Benar-benar kejadian yang tidak seharusnya dialami anak-anak yang tidak berdosa.

"Menjauhlah bajingan!!" pekik Max dengan terengah-engah sambil menghempaskan angin kencang sekali lagi sementara Evelyn di belakangnya bersama Ethan dan yang lain. Danio dan Hide segera melesat cepat menuju Necromancer yang sibuk membuang jubahnya itu. Untung saja Evelyn melakukan teleportasi tepat waktu sebelum anak-anak tadi dibawa kembali oleh Necromancer.

Necromancer itu benar-benar geram sekarang. Mengembalikan serangan api tadi tidak berhasil melukai mereka karena adanya dua Sorcerer merepotkan yang mengganggunya. Ia menyerang Danio dan Hide membabi buta di pinggir hutan jauh dari sungai. Tidak ada sumber air yang bisa ia gunakan sementara Necromancer itu mulai kelelahan untuk sekedar mengeluarkan sihir air. Sehingga ia hanya menyerang dengan tembakan cahaya ungu dari lingkaran sihirnya yang polanya mulai terbaca oleh Danio dan Hide.

Mereka berhasil memojokkan Necromancer itu dan membuatnya terus mundur. Max dan Evelyn yang juga mulai kelelahan menyerahkan sisanya pada Danio dan Hide. Dua Sorcerer itu memilih mengawal anak-anak itu untuk ke markas demi keselamatan mereka.

Keempat anak itu berhasil diselamatkan.


*****


Sekitar pukul 11 siang Scarlea melangkahkan kakinya keluar dari rumah dan mengunci pintu tak lupa sudah merubah warna rambutnya menjadi coklat. Ia berencana ke perpustakaan lagi setelah kemarin absen karena hal aneh yang ia alami. Bicara tentang hal aneh kemarin—ketika Scarlea tiba-tiba berada di hutan—gadis itu ingin bertanya pada Martin Gideon. Pasalnya ia tidak bisa terima ketika ayahnya membuka pintu gudang dan tidak terjadi apa-apa. Sementara ia tahu jelas-jelas—bahkan lampu minyak—semuanya nyata adanya, begitu pula luka di kakinya itu sudah menjadi bukti yang sangat kuat. Ia jadi merasa dianggap hanya berhalusinasi oleh ayahnya. Seharusnya ia menunjukkan luka di kakinya dan lampu minyak itu namun ia urungkan karena takut kalau-kalau ayahnya kembali marah.

Scarlea berbelok menuju penjual roti yang sedari tadi aromanya menggoda penciumannya hingga ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbelok. Ia tersenyum riang sambil menunjuk beberapa roti yang ingin ia beli dan sedikit selai. Karena sering berbagi makanan, sekarang seakan seperti menjadi kebiasaan jika Scarlea membawa makanan untuk dimakan bersama. Makan bersama teman-temannya sudah menjadi hobi barunya sekarang meskipun ia harus ekstra menjaga kebersihan agar tidak mengotori meja perpustakaan. Setelah menerima roti dan membayarnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju perpustakaan.

Tak butuh waktu lama ia pun sudah berada di seberang perpustakaan dan mulai berjalan melewati jembatan besar di atas Sungai Flumine yang jernih. Sesekali ia melihat sungai yang cukup besar itu dan melihat pantulan dirinya dan tersenyum riang meskipun merasa sedikit miris karena ia lebh menyukai tampilannya sekarang ketimbang dengan rambut merahnya. Gadis itu masih belum bisa menyukai rambutnya, entah mau sampai kapan. Tapi untuk sementara biarlah begitu adanya.

Scarlea membuka pintu kayu perpustakaan dan tidak melihat Terry yang biasanya sudah berada di mejanya. Ia mengernyitkan dahinya lalu melenggang menuju tempat mereka biasa berbincang, meja di bagian paling belakang. Gadis itu pun melangkahkan kakinya menuju bagian paling belakang sambil celingukan guna menemukan keberadaan sosok yang dicarinya, Martin Gideon, pria 70 tahun berambut putih panjang dan berjenggot panjang.

Scarlea sudah berada di meja paling belakang tempatnya biasa mengobrol, namun ia tidak menemukan siapapun di sana. Bahkan ia tidak menangkap kehadiran pemuda berkacamata yang biasa menanyainya dengan datar. Tidak mungkin jam segini tidak ada siapapun pikirnya.

"Pintu perpustakaan jelas-jelas tidak terkunci," cicitnya sambil memiringkan kepalanya. Ia tidak berniat membaca buku kali ini, ia hanya ingin bicara dengan Tuan Martin Gideon perkara apa yang ia alami kemarin, namun di sinilah ia tidak menemukan kehadiran siapapun.

"Scarlea?"

Scarlea yang mendengar sebuah suara memanggilnya punya terlonjak kaget dan secara otomatis berbalik dan mendapati Terry menatapnya datar.

"Demi ayam goreng madu! Kau mengagetkanku!" protes gadis itu seraya menyentuh dadanya yang jantungnya sudah berdegup dengan sangat tak karuan sekarang.

"Maafkan aku. Kau mencari siapa?" tanyanya lagi, masih dengan nada datar.

"Apa Tuan Gideon ada?" tanya Scarlea lalu mengangkat kantong berisi roti agak tinggi lalu berujar lagi, "Aku membawa roti hehe. Apa kau sudah sarapan?"

Terry yang melihat Scarlea mengangkat kantong rotinya tersenyum tipis, gadis itu sering sekali membawa cemilan dan berbagi makanan. Manis dan baik sekali.

"Tuan Gideon ada di atap. Aku akan memanggil—"

"Atap?"

Terry mengangguk. "Biar aku saja! Aku penasaran bagaimana di atap perpustakaan ini. Sepertinya pemandangannya bagus dari atas sana!" serunya dengan semangat. Entah sejak kapan gadis itu mulai berubah menjadi riang dan penasarannya semakin membuncah begini.

"Baiklah. Tangganya ada di sebelah sana," tunjuk Terry pada sebuah tangga batu melingkar di sudut perpustakaan. Scarlea sedikit terkejut melihat tangga itu cukup tinggi karena bangunan perpustakaan memang tinggi dan tida ada lantai dua.

"Tinggi, ya?" seakan seperti bisa menebak pikiran Scarlea, Terry sedikit terkekeh.

"Akan kutaruh rotinya di sini," tutur Scarlea meletakkan kantong berisi roti di atas meja lalu meninggalkan Terry menuju atap.

Benar dugaan Scarlea, naik tangga menuju atap cukup menguras tenaga. Salahkan dirinya yang jarang berolahraga karena memang ia jarang keluar rumah. Tangga batu melingkar itu berhasil membuat keringat Scarlea keluar. Setelah bergelut dan merutuki tingginya tangga itu, ia pun berhasil sampai di depan pintu kayu dengan pegangan besi dan langsung membukanya tanpa menarik napas. Setelah pintu itu terbuka ia dapat melihat langit yang terbentang dan angin yang berhembus mengeringkan keringatnya begitu saja serta membelai rambut coklatnya.

Ditambah lagi, atap perpustakaan sungguh luas. Ia pun melangkahkan kedua kakinya melewati pintu dan mengedarkan pandangannya. Tak henti-hentinya ia kagum dengan pemandangan dari atas sana. Sungai Flumine yang mengalir melewati pemukiman yang terlihat kecil. Kedai-kedai yang tak jauh dari perpustakaan dan hutan terlihat dari sana.

"Aku berani bertaruh jika malam hari di sini akan sangat indah," gumamnya sambil tersenyum lebar.

"Kau benar. Apalagi jika melihat pesta kembang api saat tahun baru dari sini," sahut seseorang yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Tuan Gideon!" sapa Scarlea. Martin Gideon tersenyum kecil, "Kau boleh memanggilku kakek saja."

"Eum ... Kakek Martin. Begitu?" tanya Scarlea meminta persetujuan kalau-kalau Martin Gideon merasa tidak nyaman. Jujur saja hati kecil gadis itu merasa senang karena merasa Martin Gideon menganggapnya sebagai cucu. Ia bahkan tak pernah melihat kakek dan neneknya sendiri.

Martin Gideon mengangguk, "Begitu lebih baik. Apa Terry yang memberitahumu aku di sini?" tanya pria tua itu. Scarlea mengangguk, "Ahh aku jadi ingin tetap di sini, tapi ada hal yang ingin kubicarakan dengan kakek."

Martin Gideon mengangkat kedua alisnya. "Begitu? Kebetulan aku juga ada hal penting yang ingin kutanyakan. Kenapa kita tidak bicara di sini saja?" tawar Martin sambil menunjuk tempat duduk yang berada di sudut atap. Terdapat sebuah kursi kayu panjang dengan sandaran di sana.

"Aku membawa roti tadi, sebenarnya berniat mengobrol sambil makan roti bersama sih, Kek ...." cicit Scarlea. Martin Gideon tertawa ringan. Gadis itu benar-benar senang sekali berbagi makanan.

"Baiklah kita turun saja. Lagipula sudah mulai terik juga ... ayo!" lalu Martin pun mendahului berjalan menuju tangga diikuti dengan Scarlea di belakangnya. Keduanya pun menuruni tangga dengan tenang sementara di bawah sana Terry sudah menunggu mereka, duduk menghadap sebuah meja yang sudah tersdia beberapa roti di piring lengkap dengan selai dan teh lemon. Martin terkekeh karena merasa sudah seperti jamuan kecil-kecilan saja. Benar-benar ...

"Wah kau membuat minuman juga, Terry?" seru Scarlea yang melihat sebuah teko yang terbuat dari gelas bening di dalamnya terisi teh lemon dengan potongan lemon di dalamnya. Scarlea dan Martin pun segera duduk saling berhadap-hadapan.

"Tentu saja," jawab Terry singkat. Karena perpustakaan lebih sepi dari biasanya tanpa kehadiran Rey dan Danio, jadi mereka memutuskan untuk bersantai di tempat paling belakang.

"Haruskah kita menutup perpustakaan?" usul Terry tiba-tiba. "Boleh juga sesekali, kan?" lanjutnya terdengar seperti mendesak agar Martin mengiyakannya. Pria tua itu pun mengangguk sambil menahan tawa. Tidak ada salahnya juga, anggap saja libur satu hari. Takkan berpengaruh pada apapun juga lagipula. Seraya menunggu Terry yang berjalan menuju pintu untuk menguncinya, Scarlea menuangkan teh lemon ke gelas Martin Gideon.

"Terima kasih. Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya penasaran. Mungkin ini hanya soal Sorcerer dan semacamnya yang memang membuat Scarlea penasaran.

"Aku kemarin mengalami hal yang aneh, Kek ..." Scarlea seperti agak ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Namun Martin memandangnya dengan lembut.

"Hal aneh apa?"

Scarlea menunduk ragu lalu mendongak dan mendapati Terry sudah kembali, ia pun membuka mulutnya lagi. "Kemarin aku merasakan hal aneh di rumah dan perasaan aneh itu berasal dari gudang, lalu aku membuka gudang rumahku."

Gadis itu menarik napas dalam-dalam lalu melanjutkan, "Ketika aku masuk ke dalamnya, gudang yang seharusnya berisi barang-barang itu berubah. Tiba-tiba saja ketika aku masuk ke sana, aku berada di hutan yang tidak aku ketahui."

Martin mendengarkan dengan seksama, begitu juga dengan Terry yang tangannya terulur untuk mengambil sebuah roti. Martin memandangi Scarlea yang tak kunjung melanjutkan ceritanya. Matanya menuntut gadis itu untuk melanjutkan.

Scarlea terkesiap karena dipandang dengan pandangan seperti mengintmidasi, "La-lalu ada yang aneh juga dengan hutan itu. Aku tahu betul sebelum aku masuk gudang waktu masih siang, sungguh! Tapi ketika di dalam hutan itu, di sana sudah malam. Apa itu mungkin kek? Dan juga aku menemukan goa di sana. Ada sebuah goa yang sangat bagus—maksudku goa itu strukturnya sangat rapi dan di dalamnya ada tempat untuk penerangan. Goa itu sangat besar ... dan aku melihat seseorang. Aku dikejar seseorang!"

Tiba-tiba saja suara Scarlea meninggi dengan raut wajah mendalami apa yang ia ceritakan. Sungguh rasa takutnya kemarin tidak dibuat-buat, wajahnya menunjukkan seperti ia sedang mengalami kejadian itu sekarang. Ia ingat benar bagaimana rasa takutnya berada di tempat gelap yang tidak ia kenali ditambah lagi dikejar seseorang.

"Lalu, bagaimana setelah itu?" kini Terry menjadi penasaran dengan apa yang diceritakan Scarlea karena ia merasa ini memang aneh. Terlalu aneh malah.

.

To be continue

Ehh, double update lagi nih! Selamat membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top