Second Beat Like BB Gun

Persetan dengan wanita tua yang mengiraku berselingkuh dengan suaminya. Yang benar saja. Kalau mau menuduh setidaknya tuduhlah aku dengan pria yang lebih oke.

Mereka yang berkata bahwa kasih sayang seorang nenek sangat besar pasti hanyalah termakan bualan dongeng. Karena kalau iya wanita tua itu menyayangiku, tidak mungkin aku dan anak ini berpindah dari satu tempat penampungan tunawisma ke penampungan tunawisma lain.

Dengan semua kesialan yang kudapat setelah Zymere lahir, sekarang aku dituduh memakai kokain di rokok yang sering kuhisap. Aku merutuki semuanya. Uang saja jarang kukantongi, mengapa mereka dengan bodohnya berpikir  demikian? Maksudku, harganya mahal sekali! Lebih baik kupakai untuk masuk bar dan meminum beberapa bir.

Namun, di antara semua yang telah terjadi padaku, hanya Zymere anakku yang selalu hadir. Andai saja ayahnya tidak pergi dan melepas tanggung jawab setelah kelahiran anak ini, mungkin semuanya akan lebih baik. Setidaknya sebuah rumah yang tetap.

"Zymere," keluhku seraya mengusap anak yang bahkan tidak mengerti apa itu beban pikiran. "Bisakah kau cari ayahmu dan begal dia, lalu panggil Ibu dan kita rampas rumahnya?" Percuma. Zymere malah bertanya-tanya hal tak perlu.

Kemudian seolah diberi jawaban atas rasa frustrasinya, Geraldine mendapati seorang pria bernama Rysheim yang menanyakan nomor teleponnya hingga mereka berakhir pindah ke sebuah bangunan liar. Tidak ada rasa keayahan dari Rysheim---mungkin bisa kukatakan kalau mereka pasangan yang cocok. Sangat disayangkan bagi Zymere setelahnya karena ia harus menghadapi dua setan berkedokkan orang tua.

Lagi-lagi, Maut menyuruhku mengawasi anak kecil. Namun kali ini tanpa sehelai benang hitam pun di sekujur tubuhnya.

Barangkali sudah dua hari aku menongkrong di palfon rumah mereka, memperhatikan serangkaian perilaku ayah tiri Zymere yang tidak manusiawi. Seharusnya aku senang, tetapi kudapati diriku mulai jenuh akan kebengisan manusia. Tidak jarang sebersit pikiran mengenai mereka yang menulikan diri---saat Zymere berteriak keras sekali karena dipukuli tongkat kayu---menyuarakan bahwa sebagian manusia memang tak tahu bagaimana caranya menggunakan otak mereka.

Lihatlah, anak itu sekarang menggigil ketakutan. Badan kecil yang seharusnya melompat-lompat riang diaping kedua walinya berjalan-jalan malah memperlihatkan beberapa bekas luka. 

Tangannya ragu-ragu terangkat sebelum Zymere memasuki rumah yang bagaikan neraka untuknya. Terbungkus jaket hitam kebesaran di atas baju hitam-putih, Zymere menyurukkan sedikit badannya ke dalam lipatan kain sebelum menutup pintu depan. Di sampingnya, sang ibu Geraldine menunjukkan raut yang benar-benar tidak enak dipandang.

Sepertinya akan ada tontonan seru. Lihat saja, untaian jejaring hitam mengudara, menelusup masuk dari tembok rumah dan terlihat akan melilit salah satu dari ketiga orang yang kini tengah saling melempar suara.

"Apa kata mereka?" tanya Rysheim, mengalihkan tatapannya dari televisi sambil masuk duduk berpangkukan semangkok camilan. Ia tahu Geraldine pergi untuk memenuhi panggilan dari sekolah.

Tas jinjing itu dilemparkan ke sofa ke sebelah pacarnya. Geraldine menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Dia meminta temannya menunjukkan itu." Bola mata Geraldine berputar sebagai isyarat.

Rysheim terlihat sedikit terkejut. "Sungguh?" Lantas seutas senyum terlihat. Pria itu mengenyampingkan camilannya dan bangkit menghampiri Zymere yang masih berdiri kaku. "Benarkah itu, bocah? Wah, kau sungguh merepotkan."

Anak itu semakin ketakutan. Semakin banyak jejaring hitam yang mulai melilitnya di badan. Tubuhnya tersentak saat Rysheim tiba-tiba menarik tangannya, berdalih pada Geraldine bahwa ia akan memberikan sedikit edukasi pada Zymere. Diberi tatapan meminta tolong pun Geraldine tidak melakukan apa-apa tetapi memandangi anaknya tajam.

Tanganku bersedekap. Setelah dipukul dengan ikat pinggang oleh ibunya sendiri yang berlindung di balik penyakit lupus yang dideritanya. Setelah membiarkan Zymere kelaparan, merenggut jatah tidurnya, dan memukuli habis-habisan dengan sebuah stik karena anak berusia enam tahun itu masih inkotensia. Setelah dipaksa dan dipukuli lagi untuk kesekian kalinya agar ia mandi dengan air dingin. Dagu yang patah. Goresan di wajahnya. Gigi yang copot. Dipaksa bertahan dalam posisi push up. Dititah berdiri pada pojokan ruangan sepanjang malam. Terlebih, di usianya yang baru enam tahun ....

Sekarang, apa lagi yang akan setan satu itu perbuat?

Lama-lama, aku jadi muak sendiri melihat manusia. Pertanyaan mengapa Maut memberiku persyaratan seperti ini tidak pernah berhenti berlalu-lalang di dalam kepalaku. Apa sekilas dia menyuruhku untuk membantu mereka? Namun, bagaimana? Bahkan menjadi padat dan memasuki dimensi manusia saja aku tidak bisa.

Suara teriakan itu kembali terdengar. Lebih gaduh, seolah ada pemberontakan. Benda padat dihantamkan pada tubuh anaknya sendiri tidak membuat Geraldine bangkit dan bertingkah selayaknya ibu yang normal. Ia dengan sengaja mengabaikan teriakan kesakitan dari Zymere di ruangan lain.

Dari waktu ke waktu, teriakan itu berubah menjadi tangisan menyayat. Dan kuharap di detik itu juga aku bisa menulikan telinga.

Aku turun dari bertumpang-kaki di plafon rumah, berjalan menuju ruangan sebelah tanpa melewati akses masuk. Ruangan gelap yang pernah kukelilingi sebagai kamar mandi itu kini terlihat terang dan mengerikan. Seorang pria dewasa dengan tangan yang mengangkat sapu tampak berdiri di samping tub mandi. Lalu di depannya ada anak dengan tubuh terkulai lemas, tercekik kuat untaian benang hitam---yang dapat dipastikan terasa sakit hingga ke rohnya.

Kakiku memutuskan untuk berjalan mendekati mereka, berpikir mungkin sebentar lagi tugasku tiba, karena gemuruh sudah terdengar dari atas ubun-ubun Rysheim.

Aku merunduk, melihat Zymere yang anehnya mengarahkan bola matanya padaku. Napasnya sudah terpenggal-penggal ketika kami berdua ditinggalkan di kamar mandi. Rysheim menutup pintunya dari luar. 

Anak itu terlihat seperti mau mengatakan sesuatu dengan telunjuk yang terangkat. Namun, tidak ada yang keluar darinya selain embusan napas terakhir. 

Tanganku bergerak untuk menepuk kepala kecilnya. Masih tidak ada emosi yang bisa kurasakan, meski sesuatu menjerit jauh di kepungan labirin yang menjangkau rasa bingungku. 

Kepingan redup keluar dari balik tubuh Zymere, melayang terpisah hingga akhirnya bersatu menjadi sebuah bola yang kecil. Segera, aku menyambarnya sebelum tangan-tangan hitam menusuk kesadaran terakhir milik Zymere. Aku menyeringai. "Eits, tidak kena. Kau kalah cepat."

Tangan itu kembali menghilang ke balik dinding dengan dentuman dalam, seolah kesal karena ejekanku.

Perhatianku kembali pada Zymere yang kini kaku seutuhnya. "Istirahatlah, Dik. Dunia memang tidak pantas buatmu. Mereka selalu menulikan telinga walau melihat dengan mata kepala yang buta itu, ya?" Kutepuk-tepuk kepalanya, merasa bangga karena mungkin ini yang dinamakan simpati. "Istirahatlah."

Pada akhirnya, pelaku yang mengaku atas kesalahannya mendapat hukuman lebih ringan---mungkin karena mereka tidak menggunakan BB Gun seperti pria itu. Dan sedikit-banyaknya hal tersebut jadi membuatku kepikiran.

Kalau aku mengakui kesalahanku di depan Maut, akankah ia juga meringankan tugasku? Haha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #story