Kid's Play 3
Dari semua film yang ayah beri, aku paling suka saat di mana boneka bisa berbicara dan mengejar pemiliknya dengan riang. Meski terjebak di kursi roda dan diharuskan bermain kejar-kejaran dengan satu-satunya tangga agar tidak kena giliran jaga, aku akan menontonnya diam-diam.
Hari Minggu ayah dan ibu biasa pergi berdua, meninggalkanku di rumah yang sepi tanpa penjagaan. Sehingga terkadang tontonan yang kucuri lihat dari lemari penyimpanan ayah tidak sanggup mengusir rasa jenuhku---untuk pertama kalinya. Kantuk yang menepikan bagaimana keseruan saat kuas biru itu melayang di udara dan mengenai sasaran tepat di mata. Aku mengerjap lambat, kelopak mataku mulai memberat.
Suara bel rumah berbunyi.
Badanku menegak. Tidak butuh waktu berlalu dua menit lebih maju untuk daun pintu itu mendapati tanganku menariknya ke dalam. "Robert!" seruku dalam hingar-bingar. Segera kurangkul bahunya untuk mengajak masuk ke dalam, tetapi Robert bergeming. "Kenapa?"
Kupandangi dua anak yang berdiri di ambang pintu. Satu menyunggingkan senyuman culas, satu terlihat penasaran akan apa yang baru saja dikeluarkan temannya. Sebuah benda berwarna hitam, batu koral atau semacamnya yang biasa diletakkan di setiap bagian bawah rel kereta.
Terkadang, aku bingung mengapa Maut menyuruhku mengawasi seseorang. Target yang ia perintahkan tak pernah berstatus paralel. Misalnya saja sekarang, dengan mataku yang tertancap pada dua anak berumur sepuluh tahun berwajah kegirangan hanya karena sebuah batu balas berwarna hitam. Mereka bahkan belum memiliki benang kelabu yang mengikat di setiap inci badan. Aku takkan pernah mengerti dengan cara berpikir makhluk bersabit itu.
Tidak lama kemudian, anak bernama Jon---pemilik rumah ini, sekaligus yang tadi menonton penyiksaan boneka jelek terhadap pemiliknya---bergegas mengambil mantelnya, lalu merogoh sesuatu dari balik benda serupa tabung. Ia menarik kunci keluar dari sana dan menutup akses pandangku dengan mengunci pintu rumahnya dari luar.
Segera, kususul mereka. Dinding sama sekali bukan penghambat buatku.
Anak bernama Robert menuju ke pinggiran rumah dan mengambil sebuah batu-bata sementara Jon memastikan pintu rumahnya tidak bisa dibuka. Kuamati bagaimana mereka berbincang mengenai betapa serunya jika batu bata itu menghantam sebuah benda lunak, seperti kepala anak kecil. Sedikit-banyaknya aku keheranan karena diriku tidak melakukan apa pun dan anak-anak itu sudah berpikir seperti setan.
Sepatu tinggi menapaki jalanan yang cerah. Perkiraan cuaca 24 derajat selsius terlalu tidak cocok dengan muka-muka kelabu kedua anak di depanku. Mereka berhenti di sebuah pusat perbelanjaan, diam di depan sebuah toko mainan anak. Bukannya bertingkah seperti anak pada umumnya, Jon dan Robert mengedarkan mata mereka pada anak-anak yang lebih kecil. Tajam dan penuh pengamatan. Ketika tahu kalau yang mereka perhatikan lekat dipegangi pengasuhnya, kedua anak itu mengalihkan pandangannya dan mencari lagi.
Sampai senyuman Robert mengembang tatkala mendapati seorang anak lelaki dengan sweter, menilik beberapa mainan tanpa diawasi ibunya yang sedang sibuk menunggu giliran untuk bayar. Jon sempat meragu dan menarik lengan Robert saat temannya melangkah maju.
"Ibunya ada di sana," cemas Jon.
"Aku tahu." Robert mengambil asal sebuah mainan dari gantungan toko. "Kita pura-pura ajak main saja, biar dia ikut kita keluar supermarket dulu."
"Tunggu." Jon menunjuk mainan yang baru saja Robert ambil. "Kau mencurinya?"
"Enak saja. Aku bawa dari rumah." Robert kembali mengantongi mainan itu. Bahunya mengendik ke arah anak yang kini mengitari papan gantung, memberi sinyal agar mereka segera bertindak.
Kalau diamati lebih jeli, anak yang menjadi target Jon dan Robert memiliki benang tipis hitam mengikat di setiap inci tubuhnya---seolah mau memotong bagian-bagian itu dengan sangat jeli. Aku tidak dapat merasakan simpati dan menjatuhkan patung pakaian pada dua anak nakal itu kapan saja aku mau. Jadi, kusaksikan mereka melibatkan anak berbaju sweter itu dalam percakapan kecil sehingga luluhlah ia untuk diajak jalan---menjauh dari sekitaran ibunya yang kini maju menempati posisi orang di depan dalam antrian, masih tidak menyadari anaknya hilang.
Di mata orang biasa (bodoh), Jon dan Robert hanya mengajak si Kecil Sweter pergi bermain ke sebuah kanal dan menganggap ketiga anak itu adalah saudara yang tengah bermain-main. Kusaksikan bagaimana dekapan benang hitam mengkilap yang tadinya tipis perlahan menggelap di tubuh si Kecil Sweter.
Begitu pula ketika Jon dan Robert menghantamkan kepala anak itu ke kanal dan tertawa, sekitar 38 orang yang menyaksikan si Kecil Sweter menangis kencang karena luka di wajahnya tidak melakukan apa pun selain memasang mata bulat-bulat. Tak sampai dua menit berlalu, dua pria dewasa menghampiri Jon dan Robert. Yang paling waras di antara manusia sekitar.
"Hei, kenapa kau melakukan itu?" Pria dengan tubuh kecil bertanya. Alisnya menukik garang, membuat Jon mengerjap gugup.
"Kau tahu yang kau lakukan itu salah, kan?" imbuh pria di sampingnya dengan badan lebih berisi.
Sama gugupnya dengan Jon, Robert tidak punya pilihan lain selain berbohong, "Dia adik kami, kok." Cekatan, lengannya mengambil tubuh kecil anak bersweter dan mengelus-elus kepalanya---yang mana hal tersebut justru membuat si Korban tambah ketakutan. "Bibi tidak tahu ke mana. Jadi, kami mau mengantarnya ke kantor polisi."
Beruntunglah Jon dan Robert karena anak berusia dua tahun itu tidak bisa melakukan pembelaan apa atau pengaduan apa pun selain terpaksa diam dalam bekapan. Melihat tindakan demikian, kedua orang dewasa yang mengkonfrontasi Jon dan Robert pun saling berpandangan sebelum berpesan untuk menjaga adik mereka dengan benar lalu pergi. Padahal, sudah jelas beberapa saat lalu kedua anak itu tertawa di atas tangisan.
Aku tak dapat menahan seringaiku yang melebar. Rupanya, mereka juga sama bodohnya dengan 36 orang lain. Makin menggelaplah lilitan benang di sekujur tubuh anak bersweter.
Aku terus menguntit ketiga anak itu. Sampai di titik di mana Jon dan Robert mengajak si balita ke toko hewan sebagai bentuk 'menghibur'. Namun, niatan baik mereka gagal saat penjaga toko tak segan mengusir anak-anak itu. Sebuah ketukan di otak bagi Jon untuk sedikit menepati perkataannya tentang kantor polisi beberapa saat lalu.
Namun, setibanya di depan kantor polisi, Jon dan Robert tentu hanya memandanginya dari kejauhan. Mereka berbelok rute ke kawasan rel kereta yang tak jauh dari sana.
Dikarenakan lokasi yang sepi, dan tendangan kerikil dari Robert yang meluncur lurus ke depan dengan sebelah tangannya yang setengah menyeret si Sweter, Jon jadi teringat satu hal. Tentang bagaimana melesatnya kuas biru ke mata si Pemilik Boneka di film yang ia tonton tadi pagi.
Jon mencoba merogoh sakunya. Sebuah kuas biru sama persis yang telah diutilnya dari toko mainan di market sentral. Jon menghentikan langkahnya, dan otomatis membuat Robert juga berhenti karena gemerisik kerikil yang terlalu mendadak. Dengan sebelah mata yang terpejam dan tangan maju mundur secara perlahan, Jon berkata, "Robert, minggir sebentar."
Masih kebingungan, Robert bertanya, "Kenapa? Apa yang mau kaulakukan dengan itu?"
Jon berhenti dan menatap Robert malas, ia menghela napas. "Aku melihat boneka itu membidikkan kuas biru ke mata pemiliknya. Aku mau coba hal yang sama."
Robert tertawa, aku terkekeh. Anak sepuluh tahun dengan kemerahan di sekitar tulang pipinya itu kemudian menyingkir dari samping si Kecil Sweter. Robert berjalan ke arah Jon, ingin melihat dari posisi si Pembidik. Ditinggal begitu, naluri kecilnya bekerja sehingga si Sweter nampak ingin beranjak dari posisinya. Namun, Robert melakukan trik memancing.
"Hei, sini, sini. Lihat sini, kita foto dulu. Senyum yang lebar!" Robert memperagakannya dengan senyuman yang membuat si Sweter ketakutan. "Ayo, kita hitung. Satu ... dua ... tiga!"
Stab! Kuas itu mengenai mata kiri si balita. Ia menangis kesakitan, begitu keras. Namun tidak ada yang datang menyelamatkan. Jon dan Robert yang melihat permainan mereka lantas menghampiri balita itu bukan untuk meminta maaf, tetapi mendiamkannya dengan cara menendangnya, menghentakkan badannya ke atas kerikil, tak lupa melemparinya memakai kerikil yang ada. Semua itu hanya untuk membuat si Kecil Sweter berhenti menangis.
Dari kursi yang berjajar di bawah kanopi, kupandangi lamat-lamat bagaimana kedua anak berumur sepuluh tahun menghibur tangisan. Suara kretek dari tulang-tulang kecil itu bahkan terdengar sampai posisiku. Aku tak dapat menyalahkan bagaimana tangisan itu memelan dengan sendirinya karena rasa sakit yang didapat cukup besar untuk membungkam si balita.
Kutengadahkan kepalaku ke langit yang diselimuti kelabu dalam sekejap. Gemuruh riuh mencampuri keributan di pinggir rel kereta. Sebuah petanda besar akan sambutan dari penyiksaan yang bahkan entitas tak berperasaan sepertiku saja tidak sanggup melihat. Entah apa yang dilakukan Jon dan Robert sehingga lengking teriakan anak itu semakin kuat dan kesakitan.
Di cuaca yang menyenangkan ini, sekali lagi aku menemukan ganti dari nyawaku sendiri yang tertangguh di tangan Maut. Kalau saja makhluk itu memberiku pekerjaan lain selain mengambil bulir kesadaran terakhir manusia sebelum diserap oleh alam, aku pasti akan melakukannya.
Namun di sinilah aku, bangkit dari tempat duduk yang begitu nyaman untuk menyaksikan dari dekat karya kedua anak nakal itu. Si Kecil Sweter ditindih puing yang membuatnya berada tepat di landasan roda kereta. Sebuah skenario yang amat picik. Setan sungguh tidak bermain-main atas siapa saja yang ia kendalikan.
Si Kecil Sweter tidak bisa menahan rasa sakit di tubuhnya yang melemah. Sandal dan celananya entah ke mana, mungkin telah dilempar oleh salah satu dari dua anak yang kini terlihat lega dengan menghela napas, saling berpandangan, mengangguk, kemudian meninggalkan lokasi. Betapa mirisnya nasib yang dialami anak kecil ini.
Aku berjongkok tepat di samping kepala si Sweter yang masuk ke batas dalam jalur roda kereta. Balita itu mulai memejamkan matanya dengan napas yang kian memelan. Dan tidak ada lagi pergerakan dari tubuhnya, sehingga tanganku masuk ke dalam dada kecil itu untuk mengambil bulir kesadaran terakhir sebelum tangan dari awan gelap menyambarnya.
Betapa lezatnya.
Dari kejauhan, terdenggar gemuruh kereta yang mendekat. Kuamati sekilas wajah yang memucat sebelum mundur dan menyaksikan bagaimana kereta membelah tubuhnya jadi dua lantas beberapa bagian yang tertabrak tercerai-berai.
Baiklah, tugasku sudah selesai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top