[9] Ne Raca

"Kamu adalah ketidak mungkinan yang aku semogakan."

***

Keringat membajiri wajah Raca, sambil menekuk tangan dan menghadap ke tiang bendera.

Hari ini dia kembali mendapatkan hukuman dari Bu Wulan lantaran membolos setelah jam istirahat tadi.

Sekali-kali Raca melirik guru muda tersebut yang tak jauh berdiri darinya, dengan penggaris kayu yang dia pegang membuat Raca bergigik ngeri merasakan ketika penggaris itu bertemu dengan kulitnya.

Rasyad yang kebetulan lewat tersenyum geli dengan lirikan mata Raca yang selalu melirik ke penggaris. "Psikopat bodoh," gumamnya berjalan tepatnya di koridor depan tiang bendera.

Melihat Rasyad berlalu di depan sana membuat Raca menghela napas. Siap-siaplah dirinya kena ledek saat ngumpul nanti.

"Bu masih lama ya?" tanya Raca melirik ke langit. Sengatan panas matahari serasa membakar kulit putihnya.

"Setengah jam lagi Raca!" saut Bu Wulan tersenyum seolah-olah sedang mengejek Raca.

Lagi dan lagi Raca menghela napas. Sudut matanya melirik ke lantai dua gedung di depannya. Tak sengaja dia menangkap sosok Nesya yang tengah menatap ke arahnya.

Sontak senyum Raca mengembang, dia melambaikan tangannya. Nesya yang berada di atas sana tersenyum tipis lantas bergegas pergi dari sana membuat senyum Raca kembali luntur.

"Kamu suka sama Nesya, Ca?" tanya Bu Wulan ikut melirik ke atas gedung.

"Kelihatannya gimana, Bu?" tanya Raca balik melirik guru muda tersebut.

"Nggak gimana-gimana," sahut Bu Wulan beranjak pergi begitu saja membuat Raca menjerit.

"Eh, Bu saya gimana?" tanya Raca  berteriak. 

"Balik aja kamu ke kelas sana," sahut Bu Wulan, Raca mengangguk semangat dan langsung balik ke kelasnya yang ada di lantai dua.

Untungnya saat dia memasuki kelasnya, tidak ada guru yang mengajar membuat Raca menghela napas lega. Setidaknya dia terhindar hukuman.

"Rac," panggil Nesya menyodorkan mineral.

"Thanks, ya." Raca langsung mengambil dan meminunnya. Jujur untuk saat ini kulitnya serasa terbakar dan tenggorokannya serasa kering.

"Capek bangat ya," gumam Nesya pelan.

***

"Raca!" teriak Tina mengisi kekosongan rumah.

Raca yang mendengar teriakan tersebut hanya bisa tersenyum tipis. Untung saja Kakak dan adiknya saat ini sedang tidak ada di rumah.

"Raca, ke luar kamu!" Mendengar teriakan kedua itu, Raca langsung membuka kacamatanya dan langsung bergegas turun ke bawah.

"Iya, Ma?" tanya Raca mendekat. Tina menatap Raca tajam sepertinya wanita itu mabuk lagi.

"Anak sialan!" bentaknya melempar gelas ke badan Raca. Raca hanya diam, tatapannya tidak lepas dari mamanya.

"Mama kenapa berubah?" gumam Raca tersenyum miring.

Tubuhnya terhayung ke belakang, darah segar mencucur dari pelipisnya akibat lemparan gelas yang tepat mengenai kepala Raca.

"Makasi Mah," gumamnya hingga kesadarannya hilang dan jatuh ke lantai.

Bau obat menguasai indra penciuman Raca. Dia baru saja tersadar, langit-langit putih menyambutnya membuatnya mengerang kesakitan, merasakan nyeri dibagian kepalanya yang bocor.

"Rac," panggil Rasyad baru datang dengan menenteng kresek putih.

"Syukur deh, kalau lo udah sadar," ujarnya menaruh kresek tersebut di atas nakas di samping brankar yang tengah ditempati Raca.

"Lo yang bawa gue ke sini?" tanya Raca pelan. Rasyad mengangguk, semalam dia menemukan Raca tak sadarkan diri di ruang tengah rumahnya.

"Thanks," gumam Raca.

"Kenapa lo nggak ngelawan aja?" tanya Rasyad. Dia paham betul dengan apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya itu, melihat kondisi ruang tengah di rumah Raca, dia dapat menyimpulkan bahwa Tina melampiaskan amarahnya lagi ke Raca.

Raca hanya diam, sudut matanya meneteskan air mata. Menatap Raca yang hanya diam membuat Rasyad menghela napas. "Gue pulang sebentar buat ganti baju, sebentar lagi Bastian datang," ujar Rasyad bangkit.

Saat ini pikirannya melayang. Semakin dia memikirkan, semakin besar tekanan yang menumpuk di dadanya.

"Argggg!" erangnya tertahan.

***

Nesya mondar-mandir di teras rumahnya. Berulang kali dia mengecek arlogi yang melingkar indah di pergelangan tangannya.

"Rac, kamu ke mana sih?" gumamnya gusar. Pasalnya bukannya Raca menjanjikan dirinya untuk mengajak Nesya untuk nonton malam ini. Sudah sejam lebih dia menunggu, tapi Raca tak kunjung datang dan tidak biasanya juga dia telat menjemput Nesya.

Nabila yang berdiri di daun pintu menghela napas menatap sang Adik.
"Apa dia akan datang?" tanya Nabila membuat Nesya tersetak kaget.

"Pasti," jawab Nesya tanpa pikir panjang.

"Lebih baik kamu masuk, Ne," suruh Nabila membuat Nesya harus tidak mau menuturuti perintah kakaknya.

"Kak!" Nesya menatap menegur Nesya.


"Dia itu ketidak mungkinan yang kamu semogakan, seharunya kamu sadar dengan batasan kalian," ujar Nabila menasehati Nesya.

"Aku sadar Kak, tapi—"

"Apa kamu mau bikin Mama dan Papa kecewa, selama ini Kakak membiarkan kamu bertema dengan dia. Kalau melebihi itu mohon maaf, Kakak nggak bisa lagi membiarkan itu," sahut Nabil bangkit. Dia lelah, lelah harus mengatakan hal yang sama kepada Nesya yang pada akhirnya tetap melakukan dan mengharapkan laki-laki itu yang tak seiman dengan keluarga mereka.

"Kakak nggak bakal paham!" bantah Nesya ikut bangkit dan menatap Nabila tajam.

Nabila kaget, untuk pertama kalinya Nesya membantah perkataan dan melawan dirinya. "Iya, Kakak nggak akan pernah paham," ujar Nabila tak kalah tajamnya menatap sang Adik.

"Ne, Kakak juga capek. Namun, semua ini juga untuk kebaikan kita," ujar Nabila kembali duduk. Dia memijit pelipisnya.

"Bukan kamu saja yang tertekan, Kakak juga Ne," ujar Nabila menatap Nesya sekilat dan bangkit lagi meninggalkan Nesya yang masih diam di tempat.

"Bukan kamu saja  yang tertekan, Kakak juga Ne."

"Bukan kamu saja  yang tertekan, Kakak juga Ne."

"Bukan kamu saja  yang tertekan, Kakak juga Ne."

Kata-kata tersebut berputar-putar di pikirnya. Nesya terduduk, air matanya jatuh begitu saja, "Seburukkah itu," gumamnya melirik segela bentuk penghargaan yang berjejer manis mengisi sudut ruangan tersebut.

Sempurna, adalah tuntutan untuk mereka. Mereka harus sempurna dalam segala hal, hal tersebut membuat Nesya terus tertekan. Takut akan tak bisa memenuhi ekpentasi kedua orang tuanya.

Nesya menyeka air matanya. Dia kembali teringat dengan sosok pria yang selama ini mengisi kekosongan hatinya.

"Kamu ke mana?" gumannya melirik ke jam dinding berharap pria itu jadi menjemputnya.

Saat ini Nabila sedang berada di balkon kamarnya. Dia memegang erat  pagar sambil menatap ke langit malam.

Jika dikatakan, kisah cintanya sama dengan adiknya sendiri. Mencintai laki-laki yang tak seiman dengan dirinya. Dan tuntutannya juga sama dengan yang Nesya rasakan.

"Maafin Kakak Ne," ujarnya mengadah ke atas, agar air matanyanya tidak jatuh. Namun, tetap saja air mata itu jatuh dengan rasa sakit yang bertubi di hatinya.

***

Happy reading!

Hehe, btw. Kita kembali bersapa setelah satu bulan menghilang.

Tetap ikuti kisah Ne Raca ya. Sampai jumpa di part berikutnya.

Thanks you💕
























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top