[2] Ne Raca

"Rain never hates when it falls, but why do you hate me when I'm about to reach you."

***

Nesya berdecak pinggang menatap sangar ke arah Raca. Raca yang tengah berselonjoran kaki di pinggir lapangan sedikit mengadahkan kepalanya ke atas menatap Nesya dan tak lupa membenarkan posisi kacamatanya yang melorot.

"Capek Ne, duduk," ujar Raca membuat Nesya menghela napas.

"Makannya bolos terus," sindirnya meninggalkan Raca sedikit mengentakkan kaki.

"Perasaan salah mulu deh gue," gerutu Raca ikut bangkit.

Siswa dan siswi yang berada di sekitar lapangan menatap heran dan kagum ke arah Raca. Merasa diperhatikan Raca bergegas pergi dari sana dari pada menjadi bahan tontonan teman-teman sekolahnya.

"Jadi orang cakep susah amat ya," gumam Raca memilih kembali masuk ke dalam kelasnya.

Ternyata penderitaan Raca belum berakhir sampai di sini. Saat jam kelima yaitu Bahasa Inggris, dia tidak membawa buku tugasnya. Alhasil dua jam mata pelajaran dia berdiri bagaikan patung di depan kelas.

"Lima belas menit lagi," gumamnya melirik jam yang tergantung di atas dinding pojok belakang kelasnya.

Penglihatannya menyapu ke seluruh sudut kelas. Hingga tak sengaja tatapannya beradu dengan Nesya. Nesya menatap Raca sendu, pasti pria tersebut sudah capek, lantaran hukuman yang dia terima di jam pertama sampai istirahat dan sekarang hukumannya ditambah lagi karena lupa membawa buku tugasnya.

"Are you going to repeat again, Raca?" tanya Mrs. Rini.

"Not, Mrs," saut Raca menggeleng.

Mrs. Rini mengangguk sekilas, berhubung jam pembelajaran sudah berakhir dia bergegas ke luar dari kelas tersebut.

"Alhamdulillah," gumam Raca berucap sambil mengelus dadanya.

"Lo hauskan? Nih, minum," ujar Anita kebetulan duduk di bangku paling depan.

Raca menatap sekilas botol aqua tersebut. "Makasi ya," ujarnya mengambilnya.

Anita tersenyum senang, "Sama-sama," sautnya dengan senyum mengembang.

Raca menghela napas, lantas menatap Nesya yang juga menantapnya. Terlihat sebotol aqua yang masih utuh di atas meja dan juga beberapa cemilan di atas meja mereka.

"Apa gue salah menerimanya?" gumam Raca masih berdiri di depan sambil menatap sebotol air mineral yang ada digenggamannya.

Raca mengedikan bahunya acuh lantas segera balik ke bangkunya. "Ini buat gue, kan?" tanyanya menaikkan sebelah alisnya menatap Nesya.

Nesya mengedikan bahunya lantas membereskan alat tulisnya dan memasukan ke dalam tas.

"Segera ganti baju kamu, nanti dihukum lagi," ujar Nesya mengingatkan Raca. Raca mengerjabkan matanya beberapa kali menatap Nesya.

"Makasi, ya," gumamnya tersenyum manis. Senyum yang jarang diperlihatkan ke siapapun, kecuali kepada Nesya.

Nesya mengangguk kecil, dia memilih ke luar kelas terlebih dahulu.

"Beruntung ya si Nesya," celetuk seseorang dari belakang.

Raca tersenyum. "Ya, dia beruntung," gumamnya menyusul teman-temannya yang sudah ke luar dahulu.

Terik cahaya matahari kembali menyapa kulit Raca. Sudah cukup menderita dia seharian ini, paginya harus berjemur dan sianganya juga akan dijemur. "Capek, gue Ne," dengkus Raca merebahkan kepalanya ke bahu Nesya.

"Kasian amat," gumam Nesya melepas kacamata Raca. "Ganteng," lirihnya pelan.

Stevani yang duduk di samping Nesya cemberut menatap pemandangan yang membuat matanya sakit. Cemburu? Pasti. Bukan hal baru mereka menatap pemandangan seperti itu, sudah dua tahun lebih melihat kemestraan dua sejoli tersebut yang entah hubungan apa yang terjalin di antara mereka.

Stevani menyikut lengan Nesya membuat gadis bersurai hitam itu menoleh. "Kenapa, Stev?" tanya Nesya bingung.

"Dilihatin guru tuh," gumamnya melirik ke arah koridor. Kebetulan saat ini mereka menghadap ke depan gedung sekolah.

Nesya melirik Raca yang masih menyandarkan kepalanya. Ada rasa tidak tega untuk membangunkan Raca walau pria tersebut hanya sekedar memejamkan mata saja.

"Gak usah didengarin, Ne. Bu Wulan baik kok," gumam Raca dengan pososi yang masih sama.

Nesya tak menyaut perkataan Raca. Dia tetap membiarkan Raca tertidur di bahunya. Nesya memilih menonton  teman-temannya yang tengah bermain basket dari pinggir lapangan.

Dengkuran halus ke luar dari mulut Raca. Nesya yang mendengar itu tersenyum tipis. Dia mengusap rambut Raca pela. "Capek banget ya, bandel sih," gumamnya kembali memakaikan kacamata ke wajah Raca.

***

"Stop!" ujar Raca bangkit berdiri.

Dia menatap tajam ke arah Rasyad dan Diki. "Masalah apa lagi sih yang belum selesai di antara kalian?" tanyanya.

"You are not a child anymore."

"Kalian sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus diperhatikan karena tidak kebagian permen," saut Raca menasehati mereka berdua.

"Maaf," saut mereka bersamaan.

Raca berdecih, "Simpan maaf kalian, jika kesalahan itu tak bisa terelakkan," desisnya mengambil jaket dan kembali memakai kacamatanya.

"Lo mau ke mana?" tanya Diki bingung.

"Selesain dulu masalah kalian," saut Raca tanpa mempedulikan pertanyaan Diki.

Rasyad menghela napas, dia menjatuhkan bobotnya kembali. Lantas dia melirik Diki yang masih diam berdiri.

"Gue minta maaf," ujar Rasyad menghela napas.

Diki tersenyum miring. Di antara mereka memang selalu ada saja masalah yang terjadi. "Seharusnya gue yang minta maaf," ujarnya mengulurkan tangan ke hadapan Rasyad.

"Lo udah cukup sabar ngehadapin gue, kali ini gue ngalah dan  seterusnya," ujarnya tersenyum.

"Dan masalah Natasya, gue juga bingung," ujar Diki kembali menarik tangannya yang masih melayang di udara.

"Belum cukup dewasa," ujar Rasyad menatap Diki yang masih berdiri.

"Dia cuman mau dimengerti," lanjutnya meneguk minuman kaleng yang memang sudah dia pagang sadari tadi.

Diki mengangguk setuju, perkara cinta memang membuat semuanya runyem. Jika ditanya, dia menyesal. Ya, sangat menyesal karena sudah mengenal cinta untuk saat ini.

"Berani berbuat, berani bertanggung jawab," saut seseorang membuat keduanya menoleh.

Terlihat Raca bersandar ke dinding dengan berpangku tangan di depan dada. Ternyata dia belum benar-benar pergi.

"Lo nggak jadi pergi?" tanya Diki menatap Raca.

Raca menggeleng, lantas melirik ke atas meja. "Kunci motor gue ketinggalan," sautnya berjalan mendekat.

"Lalu mau ke mana lo?" Kini giliran Rasyad yang bertanya.

"Pulang gue malas, eum palingan ngapel ke rumah Nesya," sautnya dengan kedua alis tertaut.

Diki dan Rasyad saling pandang. Sudah cukup tahu mereka dengan kebiasaan Raca, setiap hari pasti dia akan ngapel ke rumah Nesya. Padahal hubungan mereka sampai sekarang belum tahu titik jelasnya.

"Lo yakin?" tanya Diki.

"Emang tampang gue nggak meyakinkan, apa?" tanya Raca balik.

"Lo jangan terlalu banyak kasih harapan ke anak orang," celetuk Rasyad.

Raca sentok tertawa. "Lalu kalian pada gimana, ngasih nasi kotak gitu?" ledek Raca tersenyum sinis.

"Kita terlahir sama-sama menjadi pria brensek, tapi ingat satu hal. Sebrensek-brenseknya gue, gue nggak pernah mainin cewek apalagi nyakitin hati Nesya," ujar Raca.

"Itu tidak akan pernah," lanjutnya pergi setelah mengambil kunci motornya yang sempat tertinggal.

"Ya, memang itu kelebihan lo," ujar Rasyad tersenyum kecut. Diki menatap punggung Raca hilang dari balik pintu cuman bisa menghela napas.

***

Xixix, ngaur ya.
Otak authornya juga ngaur soalnya.

Happy reading!
Doain lancar-lancarr

Asikkk

Raca makin reseee

Aku aja bingung sama sikapnya.

Jangan lupa tinggalin jejak ya. Maapin bahasa inggris authornya sedikit ancur. Mohon koreksinya ya.







































Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top