[11] Ne Raca
"Kebohongan demi kebohongan yang membuatku bertahan."
***
"Bu, kenapa Raca dihukum lagi," omelnya sendiri menatap Bu Wulan dengan tatapan kesal.
Bu Wulan mengedikan bahunya cuek, bukan tanpa alasan dia menghukum Raca kali ini. Lantaran anak itu kembali melancarkan niat bolosnya, tapi tidak kesampaian lantaran terlebih dahulu ketahuan.
Karena tidak dapat tanggapan dari guru muda tersebut membuat mulut Raca komat-kamit.
"Setelah bell berbunyi langsung masuk," saut Bu Wulan dari serbang sana sambil senyum mengejek. Raca hanya bisa menghela napas, dia bisa dikatakan beruntung walaupun dihukum, dirinya hanya mendapatkan hukuman ringan dari Bu Wulan yang tak ada embel-embel guru killer itu.
"Lah, ngapain lo di sini?" tanya Bastian menepuk bahu Raca dari belakang membuat pria tersebut tersentak kaget.
Raca mendengkus kesal, dia tetap ke tiang bendera tanpa mengindahkan keberadaan Bastian. "Rac," panggil seseorang dari balik punggung Bastian. Dia memiringkan kepalanya sambil menatap Raca dengan tanpang mengejek.
Raca yang familiar dengan suara itu lantas menoleh. "Udah masuk lo?" celetuknya menatap Diki dengan wajah berbinar.
Diki lantas menyamakan berdirinya dengan Bastian. Dia mengangguk atas pertanyaan Raca yang dilontarkan.
Bastian sontak memicingkan matanya, heran dengan Raca yang kekanak-kanakan. "Kenapa, gue ganteng, ya? Pastilah," ujarnya menyombongkan diri sendiri.
Diki yang mendengar itu hanya tersenyum tipis, berbeda dengan Bastian. Dia mendengkus kesal mendengar si pd tingkat dewa tersebut.
"Kenapa lo bolos lagi?" tanya Diki. Raca tersenyum kecut, dia lantas mengedikan bahunya acuh.
***
Setelah jam pertama berakhir akhirnya Raca kembali masuk ke dalam kelas. Hal itu sontak membuat Nesya maupun Mikael merasa senang.
Raca berjalan melewati bangku Mikael begitu saja, membuat senyum yang sadari melengkung ke atas merosot ke bawah. Nesya yang merasa Raca mendekat mengeluarkan mineral dari dalam laci mejanya. Namun, sama halnya yang di rasakan oleh Mikael, Raca hanya lewat tanpa menyapa ataupun meliriknya sedikitnya.
Melihat hal itu membuat sudut bibir Mikael tertarik ke atas. Seakan impas apa yang dia rasakan juga ikut dirasakan oleh Nesya.
Nesya hanya bisa tersenyum tipis. Dia kembali menarik mineral itu ke dalam lacinya. Untuk saat ini perasaannya tidak karuan, seakan Raca menjaga jarak dengannya, sejak semalam dia hilang kabar.
Bukan tanpa alasan Raca melakukan hal tersebut. Jika saat ini dia menghampiri Nesya pasti akan banyak pertanyaan yang akan dilontarkan gadis itu. Dan juga dia pasti akan khawatir dengan keadaannya sebab masih ada bekas-bekas lebam di wajahnya.
Raca langsung menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan di atas meja. Duduk sendirian di pojok kelas, dengan kipas angin yang menggantung di atas dinding bisa membuatnya sedikit rileks.
"Diki!!" teriak Mikael memicing menatap pria itu.
Diki yang membelakangi Mikael lantas menoleh. "Eh, Mik," sapanya tersenyum.
Mikael mendengkus kesal, apa dia mikrofon hingga dipanggil mik-mik. "Ngapain lo di sini?" tanyanya.
Diki memiringkan kepalanya. "Lo ngapain juga di sini?" tanyanya balik sambil manatap Mikael dengan sebelah alis terangkat.
"Ya, belajar," gumamnya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Nah, tu lo tau ngapain nanya ngapain gue di sini." Diki menyentil kening Mikael membuat gadis itu mengaduh kesakitan.
"Ya ...." Mikael sontak diam menatap lurus ke belakang. Di ujung koridor sana terdapat Raysad yang juga tengah menatapnya.
"Kenapa semakin hari, dia nampak membenci gue," gumamnya dalam hati hingga Rasyad tak lagi kelihatan dan hilang entah ke mana.
Diki ikut memutar badannya ke belakang, menatap apa yang sadari tadi diperhatikan oleh Mikael. Tidak ada siapa-siapa di sana, hal tersebut membut bulu ditengkuknya berdiri.
Mikael hanya bisa menghela napas gusar, kemudian menepuk bahu Diki dan meninggalkannya begitu saja. Diki yang menyadari ada hal yang tak beres diantara mereka hanya bisa menerka-nerka.
Nesya + Raca + Mikael = Rasyad
Itulah yang ada di benak Diki saat ini. Terlalu rumit memang hubungan mereka, tapi dia hanya bisa melihat sampai kapan hal ini akan terjadi. Ah, sudahlah. Ini bukan urusannya kenapa dia harus juga dipusingkan oleh hubungan semu itu.
***
Terkadang berpura-pura baik-baik saja adalah jalan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya, walau cara itu salah satunya dengan berbohong.
Nesya menghempaskan tubuhnya ke atas kasurnya. Manatap langit-langit kamar dengan pandangan yang tak dapat di artikan. Perasaannya sungguhlah gusar, sakit, kecewa, marah, dan khawatir seakan menjadi satu adonan yang siap dipanggang.
Raca? Nama pria itulah yang menari-nari di dalam kepalanya saat ini. Serasa jengkel dengan dirinya, Nesya memukul kepalanya. Ah, kenapa serumit ini tentang perasaan. Dia menyesal mengenal adanya rasa, rasa yang tumbuh akan sebuah kenyamanan. Namun, tak pernah bersatu karena sebuah perbedaan.
Nesya menghela napas panjang. Tangannya berpindah ke dadanya memegang kalung dengan aksesoris salip yang menggantung di sana.
"Tuhan kenapa Kau membuat perbedaan di antara kami," gumamnya memejamkan mata.
"Kau jahat, jahat ...," lirihnya dengan detak jantung yang tidak karuan dan badan yang bergetar karena menahan isak tangis
Nabila menatap nanar ke dalam kamar Nesya. Entah apa yang sedang dipikirkan adiknya itu.
"Sudah berulang kali, kenapa kamu tidak mundur saja?" tanya Nabila membuat tubuh Nesya yang terletang di atas kasur memaksa untuk bangkit.
"Apa semudah membalik telapak tangan?" Nesya balik bertanya dengan suara datar. Dia lelah, lelah terus-terusan berdebat dengan Nabila, kakaknya.
Nabila tersenyum miring melangkah masuk dan duduk di pinggir ranjang. "Kenapa Tuhan sering kali mempermainkam perasaan umat-Nya?" gumam Nesya menerawang. Nabila yang mendengar itu memajamkan matanya. Apa kali ini dia juga harus menyalahkan Tuhannya akan takdir yang tengah dia hadapi.
"Dan kenapa aku yang harus menjadi umat-Nya," gumam Nesya dengan kepala yang hampir pecah karena harus memikirkan kenapa jalan hidupnya tak pernah sejalan dengan apa yang dia rencanakan.
Bisakah sekali saja hidupnya bagai cerita novel yang sering dia baca dengan kehidupan dan cinta yang berending bahagia. Apalah bisa?
Sontak Nesya tertawa hambar membayangkan betapa bahagianya dirinya jika itu benar-benar terjadi. Nabila yang masih di sana menjerit bingung, ada apa dengan adiknya?
"Ne ...," lirihnya. Hati Kakak mana yang tidak hancur melihat kehidupan adiknya yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja.
Nabila langsung mendekap tubuh Nesya. Air matanya tak lagi bisa dibendung. Sakit dan hancur menghampirinya dalam waktu bersamaan.
"Tuhan kenapa Kau terlalu jahat memberikan kami kehidupan seperti ini," jeritnya dalam hati tak kuasa harus memendam perasaan itu selama ini.
Nesya hanya diam dalam dekapan Nabila. Dia tidak menangis hanya saja tatapan kosong yang membuatnya nampak sangat menyedihkan.
"Ternyata membohongi diri sendiri, sama halnya membunuh rasa hingga tak bisa lagi mengenali diri."
***
Happy reading!!
Hehe, udah lama banget ya kita tak bertukar sapa.
Apa kabar?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top