[1] Ne Raca

"All i want is one, freedom."

***

"Time to play," batin Raca menatap gedung berwarna hijau dengan senyum tipis di bibir tipisnya. 

Kakinya melangkah masuk, kedua tangannya berpegangan kepada kedua tali tas yang berada di punggungnya.

"Hai, Raca!" sapa Nesya menepuk bahu Raca.

Raca lantas menoleh, lagi-lagi sudut bibirnya terangkat ke atas. "Hai, Nesya," sapanya balik.

Nesya mengangguk, dia berjalan beriringan dengan Raca. Kebetulan mereka juga merupakan teman sekelas dan sebangku.

"Are you okey, Ne?" Melihat tampang tak bersahabat dari Nesya membuat Raca memberanikan dirinya bertanya. Gadis cantik itu membuang wajahnya ke samping.

"Not, i'm not good," gumamnya dengan pipi mengembung membuat Raca yang berada di sebelahnya gemas sendiri dengan ekspresi Nesya.

"Kenapa?" tanya Raca menatap gadis setinggi sebahunya dengan alis tertaut. Tidak biasanya gadis periang tersebut mendadak tidak baik.

"Don't ask now, i'm too lazy to talk about it," pintanya.

"Okey, princess," saut Raca memangku bahu Nesya dan langsung menariknya masuk ke dalam kelas.

Nesya semakin bt dibuatnya, tapi dia juga merasa senang dengan sikap Raca yang sulit sekali ditebak.

Nesya bertopang dagu sambil melirik ke arah Raca yang tengah fokus dengan benda pipih di tangannya. Sudah dua tahun dia terjebak bersama pria jakung tersebut. Parasnya bagaikan bak dewa yunani, yang mana pahatan wajahnya hampir dikatakan sempurna dengan alis tebal, hidung mancung, kulit putih nan bersih, rahang yang tegas, dan tak lupa bibir tipis berwarna pink alami membuatnya sungguh menjadi dambahan semua wanita.

Beruntunganya Nesya bertemu dengan pria yang tengah duduk di sebelahnya ini. "Kenapa, gue ganteng ya?" celetuknya membenarkan posisi kacamatanya.

Nesya yang tertangkap basah tengah memerhatikan Raca menggeleng pelan. "Semua cowok itu ganteng, yang cantik baru cewek," saut Nesya malas.

Reca sontak terkekeh. "Ya, benar," ujarnya ikut bertopang dagu. Dan sekarang posisi mereka berhadapan.

"Kenapa sih? Sini coba cerita," ajak Raca menyelipkan anak rambut Nesya ke belakang daun telinganya.

"Kamu tahu kan, keinginan aku cuman satu,  bebas," sautnya menatap manik mata Raca walau terhalang oleh kaca mata yang dia kenakan.

Raca mengangguk. "There I was like an animal, to be locked up in a cage."

"I'm tired, Rac," sautnya sendu.

Raca yang mendengar tuturan Nesya hanya bisa tersenyum kecut. "Apa lo menyesal?" tanya Raca dengan keputusan Nesya.

"Not, menyesal di akhir cerita adalah hal yang bodoh," gumam Nesya.

"Bagus," ujar Raca bangkit dari kursinya membuat Nesya menjerit bingung.

"Mau ke mana?" tanyanya bingung.

"Bebas," ujarnya menaikkan satu alis menatap Nesya.

Nesya yang paham dengan kata yang ke luar dari mulut Raca memutar bola mata malas. "Bolos," dengkusnya.

"Jadi anak enteng dalam sehari bisa nggak sih," gerutunya tak habis pikir sama manusia yang ada di depannya saat ini.

"Nyatanya nggak, kan?" ujar Raca tersenyum mengejek, lantas dia menepuk pelan puncak kepala Nesya.

"Belajar yang rajin, buktikan kepada mereka, lo bisa lebih dari pada dia," ujar Raca sebelum beranjak.

Sudut bibir Nesya terangkat. "Aku akan buktikan," gumamnya.

***

Angin menerpa badan Raca, saat ini dia tengah berdiri di pinggir rooftop berpegangan pada pagar pembatas. Silau cahaya matahari membuatnya menyipitkan matanya menatap ke arah depan.

Tangan Raca meraba ke area wajahnya lantas melepas kacamata dari wajahnya. "Lo nggak capek apa Rac," ujar seseorang dari belakangnya.

Raca menoleh ke belakang, menatap sahabatnya dengan sebelah alis terangkat. "Alasan gue untuk capek apa?" tanyanya balik tersenyum tipis.

"Lalu alasan gue untuk menjawab pertanyaan lo, apa?" tanyanya lagi.

"There is not any," saut Rasyad dingin.

"Bagus," saut Raca tersenyum.

"Gue baik-baik saja, dan akan selalu baik-baik saja," lanjutnya berjalan mendahului Rasyad dan duduk di kursi tua yang ada di sana.

"Gue nggak percaya kalau soal itu," ujar Rasyad ikut menjatuhkan bobotnya di samping Raca.

"Ya terserah lo sih," ujar Raca mengedikan bahunya cuek.

Beberapa permen ke luar dari saku Rasyad. "Thanks," saut Raca mengambil satu biji permen lalu membuka bungkusnya dan langsung memasukan ke dalam mulutnya.

Satu hal yang disukai dalam pertemanan dengan Raca adalah pria tersebut tak pernah merokok dan mabuk-mabukan.

Jika dikatakan kehidupan seorang Raca bisa dikatakan lebih berantakan dan berada dalam lingkungan tonix. Namun, dia tatap menjaga dirinya, karena kehidupan di dunia ini cuman sekali bisa dirasakan.

"Eh, lo kenapa ikutan bolos juga?" tanya Raca baru sadar dengan keberadaan Rasyad.

"Malas gue," gumamnya memejamkan matanya bersadarkan ke sadaran kursi.

Decakan ke luar dari mulut Raca. "Bodoh dipelihara," ujarnya bangkit lantas menarik tangan Rasyad agar mengikuti dirinya.

Dengan terpaksa Rasyad mengikti langkah Raca saat ini turun dari tooftop. "Ke mana?" tanya Rasyad menepis tangan Raca dari tangannya.

"Ke kelas, bodoh," desisnya menatap Rasyad tak suka.

"Lo sendiri?" tanyanya lagi.

"Nggak usah dipikirkan," decak Raca kembali menarik tangan Rasyad agar segera berjalan.

Rasyad tersenyum tipis. "Sebenarnya yang bodoh di sini siapa? Mau nyerahin diri lo buat dihukum?"

Sontak langkah kaki Raca berhenti. Dia membalikkan tubuhnya. Lantas menoleh ke kanan dan ke kiri. "Mampus," gumamnya menatap Bu Wulan dengan penggaris di tangannya.

Bu Wulan terkenal dengan guru paling killer di SMA Satu Bangsa. "Cari mati sih lo," desis Rasyad memilih berjalan mundur dan langsung masuk ke dalam kelasnya. Kebetulan sekali kelasnya sudah beberapa langkah dari tempat dia berdiri saat ini.

"Raca!" panggil Bu Wulan tersenyum manis namun, senyuman tersebut sungguh menyeramkan bagi para siswa di sekolah ini.

"Eh, ada Ibu," sapa Raca tersenyum kikuk.

"Ready to accept punishment, Raca?" tanya Bu Wulan.

"Eh, tadi an-au Bu." Telat alasan yang hendak ke luar dari mulut Raca langsung terbungkam oleh tarikan di telingannya.

"Aaaa sakit telinga Raca, Bu," gaduhnya setiba di tengah-tengah lapangan.

Dengan mulut komat-kamit Raca mengusap-usap daun telingannya. "Bolos aja terus," sindir Bu Wulan menatap Raca sinis.

"Dalam seminggu ini, baru sekali loh Bu," saut Raca tidak membenarkan ucapan Bu Wulan.

Bu Wulan mengedikan bahunya acug  lantas menunjuk ke arah tiang bendera. "Ngapain?" tanya Raca bingung.

"Ya, hukuman buat kamu," saut Bu Wulan.

Alis Raca tertaut mencerna ucapan dari Bu Wulan. Apa dia disuruh untuk mamanjat tiang bendera?

"Yang benar Bu, masa Raca disuruh manjat tiang bendera. Kan bukan zaman penjajahan lagi," ujarnya meminta penjelasan.

Bu Wulan yang mendengar tuturan dari anak muridnya itu hanya bisa tersenyum masam. "Bikin darah tinggi saya naik saja kamu," desisnya.

"Hormat bendera Raca!" perintah Bu Wulan geram.

"Kan sekarang bukan hari Senin Bu, nggak upacaya juga," ujar Raca masih kelihatan bingung.

Bu Wulan dengan kesabaran yang hampir habis hanya bisa tersenyum paksa. "Raca, cepat hormat ke bendera!" perintah Bu Wulan setengah berteriak.

Dengan keadaan masih bingung dan mulut komat-kamit Raca membalikkan badannya ke arah tiang bendera. Dan menaikan tangannya membentuk sudut siku-siku dengan jari telunjut menempel ke alis kanannya.

***

Happy Reading!

Wah, gimana nih kesan pertama membaca Ne Raca?

Hehe, Raca ternyata cerewet juga ya.

Tetap ikuti kisah Ne Raca ya.

See you gaes

And terima kasih udah mampir🤗






























Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top