🌸

Perasaan hangat menyelimuti Yuta saat ini. Matanya mengedar dengan berkilat, napasnya ditarik dalam-dalam sebelum diembuskan pelan, lalu ia mengembangkan senyum. Ia kembali ke kota kelahirannya, Osaka, setelah sekian lama meninggalkan kota ini dan negaranya.

Setiap langkah yang ia ambil mengundang kenangan manis, membuat senyum di bibir tak luntur. Taman Kema Sakuranomiya yang tak jauh dari rumahnya, kini terlihat ramai dan dipenuhi bunga sakura, tak sedikit juga orang-orang berpiknik untuk melakukan hanami[1]. Yuta sering melewati taman ini dulu, walaupun terdapat sedikit perubahan, tak bisa dimungkiri, melewati taman ini sama seperti menelusuri masa lalu.

Tak selang berapa lama, Yuta mendapati sebuah gerai mitarashi-dango[2], gerai yang selalu menjadi tempat persinggahannya dulu ketika masih sekolah. Hatinya menghangat kala melihat pasangan suami istri yang menjadi penjual di gerai itu masih sama, walau beberapa bagian di rambut mereka telah berwarna putih.

Yuta mendekat, mendapati beberapa mitarashi-dango setengah jadi dipajang di sana, "Makanan manis itu sangat enak dimakan saat musim dingin," Suara seorang perempuan terngiang di kepalanya, ia bahkan bisa melihat bayangan dirinya dan seseorang di depan gerai itu, "meskipun ini sudah musim semi, tetap saja suhunya masih cukup rendah."

Tanpa sadar Yuta tertawa pelan, ia ingat perempuan dengan rambut pendek di bawah telinga itu hanya mengarang perkataannya karena memang suka makanan manis. Apa lagi mitarashi-dango, ia bisa menghabiskan dua porsi sendirian walaupun matahari menyengat di musim panas, menyebut musim hanya akal-akalannya untuk makan.

Sejenak Yuta tersenyum pada pasangan penjual mitarashi-dango tadi, "Saya pesan dua porsi, dibungkus," katanya ramah. Setelah pesanannya selesai, laki-laki itu membungkuk sopan dan meninggalkan stan, kembali berjalan melintasi masa lalu.

Orang bilang, kampung halaman itu selalu bersangkutan dengan makanan tradisional setelah makanan rumah. Yuta tak mengelak, ia bahkan menyetujuinya. Sepanjang ia melangkah menelusuri taman, hanya ada gerai makanan favorit yang ia lewati.

Kali ini ia melangkah menuju gerai takoyaki[3] favoritnya, ia melihat-lihat menu, bingung memutuskan isi apa saja yang ia inginkan pada takoyaki-nya.

"Bukannya takoyaki harus diisi dengan gurita?" Lagi-lagi suara perempuan itu terdengar, Yuta ingat ia juga pernah bingung memutuskan isi takoyakinya dulu, "kau, tahu, tako[4] ... yaki?"

Tak bisa ditutupi jika Yuta ingin tergelak lagi, tiap hal yang menurutnya biasa entah mengapa selalu terhubung dengan perempuan itu. Bukannya tak suka, hanya saja ia sadar jika perempuan itu berperan banyak dalam setiap memori masa lalunya.

"Saya mau pesan satu porsi, isinya gurita saja," putus Yuta akhirnya, ia membayar setelah pesanannya selesai dan kembali membungkuk sebelum pergi meninggalkan gerai.

Tiap langkah Yuta selalu diiringi dengan guguran bunga sakura, meskipun cantik, tak bisa dimungkiri jika bunga ini memang agak menganggu jika terlalu banyak. Tersangkut di rambut dan baju, atau bahkan lengket di bawah sepatu.

Kemudian Yuta menghentikan langkahnya, lalu menengadah menatap tiap-tiap kelopak sakura yang jatuh dari batangnya, "Kau tahu kalau bunga sakura memiliki dua arti, Yuta?" Perempuan itu bertanya dengan nada menggoda, Yuta ingat perempuan itu juga menyunggingkan senyum jahil, "kalau kau bisa jawab, akan kutraktir takoyaki seumur hidupmu."

Yuta jelas mendesis, ia melihat bunga sakura yang berguguran di sekitarnya, "Mungkin ... harapan dan ketenangan?" Balas Yuta dengan sebelah alis yang naik, "kau tahu, kan, bunga sakura muncul setelah musim dingin dan orang-orang rela menyisakan liburannya dengan melakukan hanami, seperti menenangkan diri dengan melihat sakura."

Perempuan itu terkikik, "Tidak salah, tapi kurang tepat, Tuan Nakamoto," ujarnya.

"Tapi kau tetap mentraktirku, kan?"

"Tentu saja, tapi hanya seminggu ini karena jawabanmu tidak tepat," balasnya, "kau mau tahu arti lainnya?"

Kepala Yuta mengangguk, "Kenapa tidak? aku ingin tahu apa yang membuatku kehilangan kesempatan emasku."

Perempuan itu terkikik sejenak, sebelum akhirnya berhenti dan mengambil sebuah kelopak yang jatuh di atas telapak tangannya, "Kalau dia gugur dari batangnya, bunga sakura berarti perpisahan," lirih perempuan itu sambil memerhatikan kelopak bunga tadi, "karena yang indah itu selalu fana, maka dia harus mengucapkan selamat tinggal. Itu cuma pendapatku sih, tapi artinya benar perpisahan, kok."

Sudut-sudut bibir Yuta terangkat, ia ingat dirinya sempat berpikir jika perempuan itu mengada-ada, nyatanya memang benar jika sakura memiliki dua arti. Ketenangan, juga perpisahan. Ironis sebenarnya, tapi arti itu tidak dapat diganggu gugat.

Tanpa sadar dirinya sudah sampai di jembatan dengan sandaran berwarna merah. Jembatan yang membentang di sepanjang sungai Okawa, sungai yang berdampingan sepanjang taman Kema Sakuranomiya.

Lagi-lagi Yuta mengembangkan senyum, bunga sakura dan cuaca cerah entah mengapa menambah keriangan hati Yuta, seperti hari ini memang ia akan terus dilanda rasa sukacita. Tak lupa ia memandangi air sungai yang dipenuhi kelopak bunga sakura, membuat sukacita dalam dirinya seperti bertambah berkali-kali lipat.

"Kalau bisa, aku ingin berenang di sini," Yuta seperti bisa melihat sosok perempuan itu bersandar pada besi sandaran jembatan, matanya menerawang ke air sungai jernih terhias kelopak bunga, "abaikan saja, kurasa aku sudah gila."

Alis Yuta naik sebelah, ia meletakkan ibu jari dan telunjuknya di dagu, "Tapi, kurasa tidak ada salahnya sih, mencoba," jawab Yuta ikut memandangi sungai, berusaha mencari dasarnya, "tapi kurasa kita memang akan dianggap gila, atau lebih buruk, dikira melakukan percobaan bunuh diri."

Sebuah pukulan mendarat di punggung Yuta, "Sudah, jangan bahas," Perempuan itu melangkah lebih dulu dengan cepat, rambut sebahunya bergoyang ke atas dan ke bawah mengikuti entakan kaki. Namun satu hal pasti, perempuan itu malu tentang niatannya ingin berenang di sungai, tapi Yuta berpikir itu tidak salah, malah mendebarkan.

"Kupikir itu ide yang keren, mungkin kita harus mencobanya nanti," kata Yuta lagi sambil menyamakan langkahnya dengan perempuan itu.

Meskipun tak mendapat balasan, Yuta yakin diam-diam perempuan itu tersenyum.

Kaki Yuta akhirnya sampai ke sisi lain taman Kema Sakuranomiya, tangannya masih menenteng kantong plastik berisi berbagai macam makanan. Matanya mengedar lagi, mencari gerai minuman sebagai pelengkap.

Sebenarnya Yuta bukanlah penggemar minuman seperti itu, ia lebih memilih untuk minum jus sayur buatan sendiri daripada minuman di kedai. Selain lebih sehat, tentunya ia bisa menentukan tingkat rasa dari jusnya.

Namun, ia ingat jika perempuan itu gemar sekali meminum peachy mint iced green tea buatan salah satu kedai dekat sini, perempuan itu bahkan membuat kartu langganan di sana untuk mendapat diskon atau satu cup teh berukuran sedang secara cuma-cuma.

"Sudah teh hijau, kau tambahkan lagi dengan buah persik dan daun mint?" Alis Yuta mengerut mendengar perempuan itu menyebutkan pesanannya pada pekerja di belakang kasir pada suatu waktu, "bukankah rasanya akan aneh?"

Perempuan itu lantas melipat tangan di depan dada, "Kalau tidak pernah coba, jangan dinilai sebelah mata begitu, dong," dengusnya tak terima.

Bola mata Yuta berotasi, "Tapi tetap terdengar aneh," tutur Yuta lagi, "aku teh melati biasa."

"Kalau pesananku datang, kubiarkan kau mencicipinya," celoteh perempuan itu, "tapi sedikit saja, ya."

Seingat Yuta rasa teh pesanan perempuan itu agak aneh, terasa manis dan asam lalu dingin di saat yang sama. Ia tak tahan, ia lebih suka rasa konstan. Kalau manis, manis saja, begitupun dengan rasa lainnya.

"Atas nama Yuta!" Salah seorang pegawai menyebutkan namanya dan Yuta otomatis berdiri dari tempatnya menunggu. Setelah menerima teh pesanannya dari kedai itu, ia langsung keluar dari sana dan berjalan lagi.

Taman Kema Sakuranomiya memang selalu seindah ini menurut Yuta. Suasananya yang sejuk juga damai, orang-orang berbagi kebahagiaan, dan pemandangannya selalu menyegarkan mata. Tak salah ia datang kemari untuk menikmati musim semi.

Yuta mengambil duduk di salah satu bangku taman yang kebetulan kosong, kemudian membuka jajanan tadi. Ia memakannya dengan ayal sambil memandangi orang-orang bersama aktivitasnya masing-masing. Ada yang bersepeda, mengambil gambar, atau sekadar berbincang. Hati Yuta terasa teduh hanya dengan menjadi observator.

Tanpa terasa makanan Yuta habis di saat langit mulai menjingga, padahal seingatnya ia duduk ketika siang baru berkunjung. Mengapa waktu selalu berlalu cepat kita seseorang merasa baik? Entahlah. Akhirnya laki-laki berambut cokelat tersebut memberesi jejak-jejaknya dari bangku taman, bersiap untuk pergi.

Iris hitam Yuta refleks menilik sungai Okawa sesaat setelah ia membuang sampah, netranya memerhatikan air sungai yang beriak merefleksikan warna jingga dari langit. Hatinya mendadak sakit, rasa sukacita mendadak sirna, digantikan oleh pilu.

"Kurasa kita tidak akan bertemu lagi setelah ini," Yuta ingat suara perempuan itu terdengar bergetar, matanya menilik lekat-lekat sungai Okawa yang membentang luas, sama seperti dirinya sekarang.

Saat itu Yuta hanya mampu tertawa, ia bahkan merangkul tubuh perempuan itu, "Aku akan kembali, jangan berkata seolah-olah ini pertemuan terakhir kita," ujarnya dengan nada riang, bermaksud mencairkan suasana.

Perempuan itu ikut tersenyum, tapi senyumannya terlihat begitu dipaksakan, "Kau memang akan kembali ke Osaka setelah debut, tapi aku tidak," tutur perempuan itu, matanya jelas berkaca-kaca, "maafkan aku, Yuta, tapi kurasa ini memang pertemuan terakhir kita."

Yuta menelan salivanya kasar, ia mendadak buncah serta gamang, "Maksudmu apa?" Tanyanya, ia bahkan telah memegangi bahu perempuan itu, "jangan bilang yang tidak-tidak."

Perlahan perempuan itu meraih tangan Yuta di bahunya, setelahnya dipegang dengan lembut. Sebelum berucap, perempuan itu menarik napas dan mengeratkan pegangan tangannya pada Yuta, "Aku akan pergi ke Indonesia, pulang ke kampung halaman orangtuaku," jelasnya sambil menahan air mata, "aku tidak akan pernah kembali ke Osaka, Yuta."

Sejenak Yuta terpaku, mencari kebohongan di netra perempuan itu. Nyatanya ia hanya mendapatkan lara dan entah mengapa mulai ikut menyesakkan dadanya. Perempuan ini tak berbohong, "Jangan," pinta Yuta akhirnya, "tetaplah di sini, tunggu aku kembali."

Angin berembus, membuat kelopak-kelopak bunga sakura siang itu menghambur bagai menyerbu mereka, "Tidak bisa," jawab perempuan itu lagi, "maaf, Yuta."

Hening sejenak, Yuta masih tidak percaya jika perempuan ini akan meninggalkannya. Terasa seperti mimpi buruk dan Yuta ingin terbangun sekarang, ia tak mau merasakan delusi menyakitkan ini.

Waktu berjalan lambat dan jantung Yuta berdenyut sakit tiap detiknya. Jika ini adalah kali terakhir mereka bertemu, setidaknya Yuta ingin pertemuan mereka dipenuhi sukacita, bukan lara. Namun, bagaimana jika mereka sama-sama telanjur memberi kesan duka pada perpisahan ini?

Iris hitam Yuta melirik perempuan itu. Rambut pendeknya diterpa angin dengan pelan dan beberapa bunga sakura menyangkut di bajunya. Apa Yuta tidak akan pernah melihat perempuan ini setelahnya? Ia bahkan belum menyatakan perasaannya dan membayangkan jika perempuan itu tidak ada pun ia tak bisa.

Tangan Yuta spontan menuju pipi perempuan itu, ibu jarinya mengusap pelan, "Aku sudah putuskan," kata Yuta berusaha terdengar melupakan kesenduan tadi, "meskipun kau bilang tak akan kembali, aku akan tetap menunggumu di sini. Aku akan berada di sini setiap hari kelima musim semi, seperti hari ini, tak peduli kau akan datang atau tidak. Aku janji."

Kepala Yuta menengadah setelah melepaskan pipi perempuan itu, "Aku tidak mau musim semi dan sakura ini benar-benar berarti perpisahan."

"Kau bodoh sekali, Yuta."

Perlahan Yuta meletakkan gelas plastik khas kedai tadi pada sisi bangku yang kosong. Lidahnya masih merasakan asamnya buah persik, dinginnya daun mint, serta pahitnya teh hijau dalam satu kali teguk, membiasakan diri meminum teh unik kesukaan perempuan itu. Ia mengehela napas lalu memandang langit yang tertutupi dahan pohon sakura, rasanya waktu sudah berlalu terlalu lama semenjak terakhir ia mengucapkan janjinya.

Lagi-lagi matanya mengedar ke seluruh taman, mencari sosok perempuan yang selama ini ia nanti. Alasan mengapa ia menyempatkan diri untuk pulang ke Osaka tiap musim semi, dalih kenapa ia selalu menggali kenangan indah di sini, dan kilahnya ingin mengunjungi taman Kema Sakuranomiya di hari kelima musim semi. Ia ingin menunggu perempuan itu kembali sesuai janjinya.

Memejamkan matanya sejenak, Yuta masih berharap jika sosok perempuan itu datang kali ini meskipun mustahil. Ia memang senaif itu, tapi tak bisa dimungkiri ia mulai lelah dengan penantiannya sendiri. Namun, bukankah ia sudah berjanji?

"Sepertinya aku memang bodoh, Saika," gumamnya pelan pada udara musim semi, "menunggumu yang jelas-jelas tidak akan kembali."

Pawana berembus lagi dan Yuta kembali menutup matanya. Ia bisa mendengar suara orang-orang di sekitarnya, dahan pohon yang saling bersinggungan, serta suara riak air dari sungai Okawa. Penantiannya berakhir lagi dan Yuta masih belum menemui Haruki Saika di musim semi ini, sepertinya ia masih harus menunggu lama.

Tidak apa, Yuta sudah berjanji dan ia akan terus menunggu walau sudah lelah. Setidaknya dengan menunggu perempuan itu, ia selalu dapat memutar kenangan indah yang bahkan hampir dilupakannya. Jauh lebih baik daripada tidak sama sekali, meskipun artinya penantian Yuta kali ini tidak membuahkan hasil.

Ia masih bisa menunggu di hari kelima musim semi selanjutnya.

×××

[1] hanami: tradisi Jepang dalam menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura.
[2] mitarashi dango: jenis dango yang ditusuk dalam 3-5 buah dan dilapisi dengan saus kedelai manis.
[3] takoyaki: bola-bola kecil dengan diameter 3-5cm yang dibuat dari adonan tepung terigu diisi potongan gurita (sekarang bervariasi) di dalamnya.
[4] tako: gurita dalam bahasa Jepang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top