Part 9 - Protect Own Heart

Nathan menganga kagum memandangi layar berwarna hitam putih itu. Wajah penasarannya bergantian melihat ke arah perut Thania yang mulai membuncit dan layar seperti anak kecil yang sedang menonton kartun favoritnya.

"Sudah mulai kelihatan ya organ-organnya. Ini mata, hidung dan mulutnya. Jari-jarinya juga kelihatan tuh," kata sang dokter menunjukkan organ-organ mungil yang muncul di layar menggunakan jarinya yang bebas.

Thania yang sebelumnya juga fokus memperhatikan perkembangan bayi dalam janinnya menjadi sedikit teralihkan karena melihat reaksi Nathan yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan. Kenapa lelaki itu tidak bisa menyembunyikan sedikit saja ketertarikannya terhadap bayi mereka.

"Ibu ada keluhan nggak?" Tanya dokter lagi mengagetkan Thania dari lamunannya, karena kini Nathan juga melihatnya dengan sedikit rasa ingin tahu.

Thania menggeleng cepat, "Nggak ada sih, cuma kadang gampang capek aja."

"Iya, itu normal sih. Kalo berasa nggak kuat harus bilang ya bu. Jangan dipaksain. Kalian udah pernah berhubungan lagi setelah waktu itu?"

Nathan dan Thania sama-sama berpandangan sedikit canggung. Waktu itu maksudnya adalah saat Thania mengalami pendarahan kecil setelah berhubungan dengannya, sebelum Nathan tahu perempuan itu sedang mengandung bayinya.

Nathan menggeleng mewakili, karena Thania kelihatan tidak berniat menjawab.

"Belum, dok."

"Ya, sebenarnya kalau mau dicoba lagi juga nggak apa-apa sih." Jelas sang dokter, "rasanya ibu juga sudah mulai kuat. Yang penting jangan dipaksa aja. Toh kalian nggak mungkin puasa sampai Ibu melahirkan, kasian Bapaknya nanti." Ibu dokter memberikan penjelasan sambil memberikan senyumnya.

Lagi-lagi Nathan dan Thania kembali berdiaman kikuk. Tidak tahu bagaimana harus menanggapi.

Kalau begini caranya, Thania lebih rela Andrea yang menemaninya ke dokter, bukan lelaki ini. Kalau bukan karena Nathan yang mengotot mau mengantarkannya ke dokter untuk memeriksakan kehamilannya. Dan kini dokternya malah membicarakan tentang hubungan seksualnya dengan lelaki itu secara gamblang di depan mereka berdua.

Nathan kembali sibuk memandangi perut Thania yang masih belum ditutupi. Perut yang biasanya rata itu kini sudah mulai sedikit membuncit, dan tidak lama lagi semua orang akan mengetahui kalau perempuan itu sedang hamil.

Mereka berpamitan setelah mendapatkan beberapa tambahan wejangan dari dokter dan menyampaikan terima kasih mereka.

"Kita harus menikah secepatnya, Tha," kata Nathan tiba-tiba setelah semenjak tadi tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Mereka sudah masuk kembali ke dalam mobil dan siap pergi dari sana.

Thania memandang lelaki itu dengan sedikit heran sambil menaikkan alisnya.

"Sebelum bayi di perut lo tambah besar lagi," jelas Nathan menambahkan.

"Kenapa? Lo malu ketahuan ngehamilin perempuan sebelum nikah?" Kata Thania dengan ketus dan kesal.

"Bukan gitu, Tha. Semakin cepat semakin baik kan."

"Gue nggak bercanda waktu gue bilang gue nggak mau nikah sama lo." Kata Thania melipat kedua lengan di depan dadanya.

"Tha, lo nggak kasihan sama bayi lo kalo dia nggak punya ayah?"

"Kan lo bilang lo mau ngakuin dia, artinya dia punya ayah." Kata Thania sebelum kemudian menambahkan, "Ya kecuali lo berubah pikiran lagi."

"Gue pasti mengakui dia, Tha. Tapi apa kata orang kalo kita nggak nikah? Itu artinya gue nggak bisa jadi ayah yang sah buat dia. Dan gue nggak mau lo dicap nggak bener karena punya anak diluar nikah."

Thania memutar bola matanya dengan kesal, "Gue kasih tahu, gue nggak peduli sama sekali apa yang mau orang omongin tentang gue. Dan kalo lo sangat peduli dengan apa yang diomongin orang lain, berarti lo mengambil keputusan yang sangat salah untuk berhubungan sama gue."

Thania mengambil tasnya yang tergeletak dekat kakinya sambil melepaskan sabuk pengamannya.

"Lo mau kemana?" Kata Nathan buru-buru.

"Gue pulang sendiri," kata Thania hendak membuka pintu.

Nathan menahan lengan perempuan itu, "gue anterin pulang, Tha."

"Nggak usah! Buat apa anterin gue pulang kalo lo malu jalan bareng gue." Thania berusaha menepis tangan Nathan yang masih mencengkram lengannya kuat.

"Thania, please," panggil Nathan menghentikan wanita itu, "gue nggak bahas masalah ini lagi, tapi pulang sama gue. Gue nggak mungkin biarin lo pulang dari sini sendiri."

Thania menghentikan usahanya untuk keluar dari mobil lelaki itu walau wajahnya masih menampakan kekesalan.

Nathan membantunya memasangkan kembali sabuk pengaman yang tadi dilepaskan Thania untuk memastikan wanita itu tidak berusaha pergi lagi sebelum menjalankan mobilnya.

***

"Maksudnya apa nih?" Thania menaikkan satu alisnya heran. Raut wajahnya menunjukkan seberapa tidak sukanya dia dengan kejutan yang diberikan Nathan.

Thania mengira lelaki itu akan mengajaknya ke apartemen Andrea dan Davin di hari minggu berikutnya setelah Nathan menemaninya memeriksa kandungan. Walau nyatanya Nathan menghentikan langkah mereka dua pintu sebelum tiba di apartemen milik sahabat mereka.

Nathan yang ternyata memiliki kunci kamar apartemen tersebut mengajak Thania masuk dan mengatakan Thania bisa pindah ke tempat ini karena Nathan sudah menyewa apartemen itu untuknya.

Apartemen dua kamar itu nampak lengang karena belum terisi apa-apa kecuali kitchen set, sebuah sofa kecil, meja, serta ranjang dan lemari di salah satu kamarnya.

"Lo bisa tinggal di sini per hari ini, kita bisa pindahin barang-barang dari kost-an lo nyicil sedikit-sedikit mulai hari ini, Tha, jadi bulan depan lo udah bisa pindah dari kost-an lo itu." Jelas Nathan tidak menjawab apa yang ditanyakan oleh perempuan itu.

"Gue nggak merasa perlu pindah dari kost-an gue. Kenapa harus tiba-tiba gue pindah ke sini?" Tanya Thania dengan nada ketus tidak terima.

"Lingkungan tempat lo ngekost kurang aman, Tha. Apalagi kalo lo pulang kerja dan udah malem. Bahaya di daerah sana." Jelasnya lagi.

Thania melipat tangan di depan dadanya, dia jelas memperlihatkan ketidaksukaannya dengan kata-kata Nathan barusan, "Maksud lo kost-an gue nggak bagus dan nggak layak buat ditinggalin?"

"Gue nggak bilang nggak bagus," kata Nathan mengoreksi, "cuma gue khawatir kalo lo tinggal di sana sendirian. Gue sengaja cari apartemen yang dekat sama Andrea, biar kalian bisa pulang dan pergi sama-sama ke kantor kalo gue lagi nggak bisa jemput lo. Dan kalau tiba-tiba ada sesuatu dan lo butuh bantuan, lo bisa langsung cari Andrea."

Thania memutar bola matanya jengah sambil beranjak pergi dari sana, "Gue nggak butuh apartemen dari lo. Gue masih sanggup bayar tempat buat gue tinggal sendiri."

"Thania, bukan gitu maksud gue," kata Nathan cepat-cepat sambil menahan lengan wanita itu, "Gue khawatir karena lo tinggal sendiri, karena lo nggak mau nikah sama gue."

Thania masih menekuk wajahnya kesal tanpa memandang lelaki itu.

"Lo udah menolak gue nikahin dan gue udah berusaha menerima, tapi sedikitnya biarin gue melakukan sesuatu buat kalian, Tha," kata Nathan memelas.

Mendengar kata 'kalian' mau tidak mau membuat Thania sedikit terenyuh. Fakta bahwa Nathan menghawatirkan dia dan bayinya membuat Thania tersipu. Dan Thania harus berusaha menurunkan egonya karena kini dia hidup bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri lagi. Ada jiwa lain yang harus dipikirkannya. Dan pemilik lain dari jiwa itu sedang berusaha melaksanakan kewajibannya kini, yang tidak layak untuk ditolaknya hanya karena ego pribadi. Karena Nathan memang berhak atas anak di kandungannya juga.

"Tapi gue ada syarat," kata Thania akhirnya, "gue juga akan bantu bayar apartemen ini."

"Terserah lo aja," kata Nathan pasrah.

"Dan gue nggak mau lo nginep di sini sekalipun. Karena walaupun ini apartemen lo, tapi gue punya andil di sini dan gue tetap butuh privasi dalam hidup gue."

Nathan terdiam sejenak. Dia kelihatan berpikir sebelum mengangguk setuju, "gue nggak masalah, tapi gue mau syarat lo itu berlaku untuk semua orang. Siapapun nggak boleh nginep di sini."

"Terserah!" Jawab Thania mengembalikan nada ketusnya sambil menghempaskan tangan lelaki itu yang semenjak tadi masih mencengkram lengannya.

Thania tahu, lelaki itu pasti menganggapnya masih sering berhubungan bebas dengan lelaki lain seperti sebelumnya. Walau lelaki itu mengatakan akan menikahinya dan bertanggung jawab, ternyata dimatanya, Thania tetap tidak lebih dari pelacur yang menjajakan dirinya kepada banyak lelaki. Dan Thania berusaha untuk tidak sakit hati karenanya.

Walau pada kenyataannya, satu-satunya alasan kenapa dia memberikan syarat Nathan tidak boleh tinggal di sana adalah karena dia takut. Dia takut kehadiran lelaki itu membuatnya semakin manja. Dia takut kelembutan Nathan membuatnya tidak bisa melepaskan lelaki itu. Dan pada akhirnya, dia yang akan kehilangan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top