Part 8 - New Chapter

Davin memasuki kamar dengan berhati-hati, setelah dia mengetuk pintu dan mendapatkan ijin dari penghuninya. Dia mengawasi sahabatnya, si pemilik kamar, yang sedang terduduk di lantai di sisi ranjang dengan wajah menunduk.

Davin menempatkan dirinya dengan duduk di sebelah kanan lelaki itu sambil menunggu.

Davin mengkhawatirkannya. Dia sudah mendengar ceritanya dari Andrea, istrinya, sore tadi sepulang kerja. Dan dia merasa perlu mampir ke rumah sahabatnya itu malam ini juga. Mengenal watak sahabatnya itu, Nathan tidak akan menunggu sampai besok untuk memberitahu keluarganya tentang berita ini.

Dan dugaannya tidak salah ketika dia datang ke rumah ini dan merasakan kemurungan kedua orang tua sahabatnya sebelum masuk ke kamar ini.

"Lo udah denger dari Andrea?" Kata Nathan duluan akhirnya memecah keheningan sambil sedikit menegakkan kepalanya.

Davin mengangguk.

"Bokap nyokap udah tahu?" Tebak Davin.

Nathan menunjukkan pipi kirinya yang sebelumnya masih belum terlihat oleh Davin. Sebuah bekas lebam dekat dengan bibir sebelah kirinya masih berwarna merah kebiruan.

"Gue udah dikasih kenang-kenangan ama bokap gue. Dia emosi waktu denger beritanya. Nyokap gue nangis nggak berhenti dari tadi."

"Pas gue dateng dia udah mulai tenang kok," kata Davin menenangkan.

"Bagus deh," jawab Nathan.

Dia memang memilih mengurung diri di kamarnya setelah menyampaikan berita bahwa dia menghamili perempuan, dibandingkan harus dihakimi oleh Papanya dan mendengar tangisan tidak berhenti Mamanya.

"Tapi lo akan tanggung jawab kan?" Tanya Davin memastikan.

"Pastilah, Vin," jawab Nathan mantap, walau dia kemudian mengakhiri dengan keraguan, "Tapi Thania.."

"Kenapa dia?"

"Dia bilang gue nggak perlu tanggung jawab. Dia nolak gue nikahin." Nathan kembali menunduk dan menopang kepala dengan kedua lengannya.

"Kenapa? Alasannya?" Davin merasa kata-katanya tidak masuk akal.

"Dia bilang dia akan besarin anak itu sendiri, dan dia nggak butuh gue. Gue bingung musti ngapain."

"Tapi kan lo bapaknya. Dia nggak bisa halangin lo kan?"

"Gue udah bilang gitu sama dia. Dan untuk sementara dia nggak bisa nolak karena gue bilang gue berhak juga atas anak itu. Tapi dia nggak mau nikah sama gue." Kata Nathan depresi, "Apa menurut dia gue nggak layak jadi suami dia?"

Davin menepuk pundak sahabatnya, berusaha menghiburnya, "Gue nggak tahu alesannya apa. Tapi gue yakin bukan karena lo nggak layak jadi suami dia, Nath. Lo tahu kan dulu Andrea punya pemikiran aneh nggak mau nikah sama gue, mungkin Thania juga sama. Yang penting lo tetep meyakinkan dia dan ada buat dia, biar dia bisa merubah pikirannya."

"Gue harap juga gitu, Vin." Nathan menjawab dengan lesu, walau dia tetap berusaha positif.

***

Nathan benar-benar sudah tiba di depan kost-an Thania pagi harinya.

Wanita itu tidak tahu sejak jam berapa Nathan sudah sampai, namun begitu dia keluar dari rumah kost-an untuk siap berangkat ke kantor, Nathan sudah menunggu di sana.

Thania merenggutkan wajahnya dengan kesal walau dia tetap berjalan masuk ke kursi penumpang mobil lelaki itu.

"Pagi," sapa Nathan sambil memperhatikan wanita itu masuk ke dalam mobilnya, "Udah sarapan?"

"Gue sarapan di kantor biasanya," jawab Thania sambil menutup pintu mobil.

Kemudian Thania menyadari ada bekas lebam di pipi sebelah kiri lelaki itu.

"Kenapa pipi lo?" Tanya Thania sambil memperhatikan wajah lelaki itu dengan heran.

"Nggak apa-apa," jawab Nathan sambil mengambil bungkusan dari bagian belakang mobilnya. "Gue beliin roti sama susu buat lo."

Thania melihat isi bungkusan yang diberikan Nathan berisi dua buah roti, satu rasa cokelat dan satu rasa keju, serta susu prenagen kotak. Nathan sudah mulai melajukan mobilnya.

"Gue nggak tahu lo suka cokelat atau keju, jadi gue beliin dua-duanya." Kata Nathan lagi.

Thania kembali memandang lelaki di sampingnya sambil mengungkapkan pikirannya, "Gue kan udah bilang nggak perlu repot-repot kayak gini. Lo masih sangat boleh berubah pikiran kok."

Nathan terdiam, membuat Thania mengira lelaki itu mulai akan menghentikan usahanya, sebelum kemudian dia kembali berbicara, "Bokap nyokap gue udah tahu."

Thania membelalakkan matanya sambil mengawasi mimik wajah lelaki itu, menerka-nerka apakah lelaki itu hanya sedang membohonginya atau tidak.

"Ini penyebab kenapa pipi gue jadi begini kalo lo masih nggak percaya." Jelas Nathan.

"Lo gila! Buat apa lo kasih tahu bokap nyokap lo?" Kata Thania menggeleng-gelengkan kepalanya heran.

"Karena mereka harus tahu, Tha." Jelasnya singkat, seolah pertanyaan perempuan itu terlalu retorikal dan tidak membutuhkan jawaban.

Mereka kembali berdiaman. Karena Thania tidak habis pikir dan Nathan tidak berniat menjelaskan lebih lanjut.

"Jadi, mereka nggak setuju?" Tanya Thania lagi sambil menunjuk pipi lebam lelaki itu, "makanya lo dapet hadiah hajaran itu."

"Mereka bukan setuju atau nggak setuju. Ini layak gue dapetin karena gue emang salah. Gue bersalah sama mereka, gue bersalah sama lo." Jelas Nathan sambil mengawasi jalanan.

"Lo nggak bersalah sama gue kok."

"Dan kalo lo nggak biarin gue tanggung jawab, lo akan menambah list orang yang menderita karena gue." Nathan menengok sejenak ke arahnya, lebih tepatnya ke arah perut wanita itu.

Thania kembali terdiam.

"Bokap nyokap lo? Mereka tinggal dimana?" Tanya Nathan lagi karena kebungkaman wanita itu.

"Kenapa memangnya?"

"Gue perlu ngomong sama mereka juga, secepatnya," tambah Nathan.

"Nggak perlu, Nat." Thania buru-buru menambahkan sebelum lelaki itu protes padanya, "Gue udah lama nggak pulang ke rumah. Mereka udah nggak peduli sama gue lagi kok. Jadi lo nggak perlu susah-susah ngomong sama mereka."

"Nggak ada orang tua yang nggak peduli sama anaknya kok, Tha," hibur Nathan, "tapi kalo lo nggak mau gue ngomong sama mereka ya udah. Nggak apa-apa. Terserah lo aja. Tapi nanti kalo lo ada rencana ngomong sama mereka, lo bilang gue aja."

"Makan, Tha," kata Nathan lagi karena melihat perempuan itu malah sibuk merenung.

Thania mengambil roti berisi cokelat dan menggigitnya sesuai perintah Nathan, sementara lelaki itu mengawasinya dengan puas sambil tersenyum.

"Lo nggak makan?" Tanya Thania menyodorkan roti berisi keju kepada lelaki di sampingnya.

Nathan menggeleng, "Nggak usah. Gue nggak makan pagi kok. Biasanya ngopi aja di kantor."

Thania mengembalikan tangan dan rotinya ke pangkuannya sendiri. Sekali lagi dia menggigit roti di tangannya dan mengunyahnya dalam diam. Dia memang lapar semenjak baru bangun tadi sementara tidak ada stok makanan di kost-annya.

***

"Nanti pulang tunggu ya, gue kabarin kalo nanti gue udah sampe," Nathan berbicara agak terburu-buru dari dalam mobil sebelum Thania menutup pintu mobilnya dari luar, memastikan wanita itu mendengarnya.

Thania berjalan menjauhi mobil menuju lobi sambil menenangkan hatinya yang semenjak tadi berdetak menyebalkan tanpa mau diajak bekerja sama. Karena jantungnya tidak mau diatur setiap kali dia sedang bersama Nathan, si cowok biasa saja itu.

Mobil yang dipunggunginya sudah menjauh dan Thania sudah bisa bernapas dengan lega, walau dia baru menyadari bahwa ada dua pasang mata yang sedang memandanginya dengan senyum jahil menunggunya di lobi kantornya.

Andrea dan Riyo sedang menikmati rokoknya saat tiba-tiba disajikan pemandangan drama pagi oleh sahabatnya sendiri yang nampak begitu menarik. Thania keluar dari mobil lelaki yang mengantarkan perempuan itu pulang sehari sebelumnya. Beraneka macam pemikiran dan terkaan melayang-layang dalam imajinasi mereka sebelum mereka melemparkan pertanyaan-pertanyaannya.

"Semalem diserang lagi jadinya?" Tanya Riyo sambil tersenyum-senyum genit, "dia nggak takut lonya nanti kecapean lagi?"

"Dijaga dong ritmenya kali ini, kan sekarang udah tahu kalo ada baby-nya," jawab Andrea tersenyum menggoda sambil sekali lagi menghirup rokok yang dijepit di antara kedua jarinya.

Thania memutar bola matanya kesal.

"Main dimana? Kost-an lo? Rumah dia? Atau jangan-jangan di mobilnya?" Riyo pura-pura berekspresi kaget berlebihan.

"Bisa jadi sih," tambah Andrea sambil tertawa puas, "Secara nggak mungkin di kost-annya si Onta dan nggak mungkin di rumah Nathan, kan dia tinggal sama bokap nyokapnya, nanti si Onta digerebek lagi."

"Lo udah nggak ngambek lagi, Nyet?" Sindir Thania, "kemarin masih marah-marahin gue hari ini udah ledekin gue lagi."

"Gue udah cerita ke Davin, dan dia nggak marah ama gue. Ya jadi lo nggak gue marahin juga lah," kata Andrea cuek.

"Gue kira abis merit lo bakalan jadi macannya, nggak taunya malah jadi istri takut suami," ejek Thania bertambah kesal, karena ternyata dia menjadi objek pelampiasan kekesalan sahabatnya itu kemarin hanya karena Andrea takut dimarahi oleh suaminya saja.

"Ya kan gue takut aja nanti Davin marah karena nganggep lo main-main sama temennya. Tapi ternyata dia biasa aja tuh, ya udah makanya gue juga biasa aja."

Thania menggerutu sambil berjalan menjauhi kedua sahabatnya dan masuk ke dalam kantor. Berada di antara kepulan asap dan kata-kata kasar kedua sahabatnya tidak baik untuk kesehatan bayinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top