Part 4 - We Meet Again

"Thania?" Sapa suara yang membuat jantung Thania tiba-tiba berdegup tidak karuan.

Rasanya sudah sangat lama dia tidak mendengar suara berat tersebut. Terakhir kali dia mendengar suara itu menyebut namanya adalah lebih dari sebulan yang lalu, ketika sedang menyerukan namanya di tengah pergumulan mereka.

"Nathan.." Thania memanggil nama lelaki itu sambil tersenyum, berusaha membuat suaranya senormal dan setenang mungkin.

Lelaki jangkung berkulit agak gelap itu masih sama mempesonanya dengan terakhir kali Thania melihatnya sedang bertelanjang dada. Bedanya kali ini Nathan mengenakan kemeja putih lengan panjang dan rambutnya diwax sehingga berdiri ke atas.

"Apa kabar?" Tanya Nathan membalas senyumannya.

"Baik. Kok ada di sini?" Tanya Thania sedikit bingung menyadari kenapa lelaki itu bisa ada di kantornya di jam makan siang.

"Habis ada meeting di dekat sini. Tadinya mau ajak Davin makan siang bareng, tapi dia lagi keluar kantor kayaknya. Lo sekarang kerja disini?" Tanyanya walau sudah mengetahui fakta tersebut dari Davin sejak beberapa minggu yang lalu.

Thania mengangguk, "Iya, gue butuh kerjaan yang lebih permanen, dan kebetulan Andrea nawarin ada lowongan di kantornya, jadi gue kerja di sini deh sekarang."

Nathan ber-oh paham. Sejenak mereka saling kebingungan memulai kembali pembicaraan, sebelum lelaki itu kembali memberanikan diri.

"Lo udah makan siang? Mau makan bareng nggak?"

Thania hendak buru-buru menolak. Namun sepertinya bayi di perutnya yang tidak setuju dengan rencana kebohongan itu malah bekerja sama dengan cacing-cacing di perutnya untuk berteriak nyaring bersama-sama, karena suara perut Thania cukup nyaring untuk dapat didengar oleh Nathan. Atau mungkin bayi di perutnya masih ingin berlama-lama bertemu dengan Papanya.

Nathan tersenyum menahan tawanya yang membuatnya semakin mempesona, "Yuk makan, tuh perutnya udah minta diisi makanan."

Mau tidak mau Thania mengangguk pasrah.

"Mau makan apa?" Tanya Nathan lagi.

Thania tidak sadar saat dirinya memegangi perutnya sendiri. Pertanyaan Nathan membuat liurnya menetes saat dia membayangkan makanan yang baru saja disebutkannya, "makan padang mau?"

Nathan mengiyakan.

Thania mengajaknya makan di restoran padang tidak jauh dari lingkungan kantornya, tempat dimana karyawan kantor mereka yang ingin menikmati santapan padang biasanya makan, tempat yang dibayangkannya sampai membuat liurnya menetes sejak tadi pagi.

"Nasinya satu bu, lauknya pakai ayam gulai sama paru ya, tambah perkedel sama sayur singkongnya banyakan," pesan Thania tanpa ampun yang membuat Nathan sedikit terkejut.

"Laper banget ya?" Kata Nathan sambil menahan tawanya membuat Thania sedikit malu sebelum ikut memesan, "Aku nasi satu sama rendang ya. Sayur singkongnya nggak usah terlalu banyak, kasih ke temen saya aja."

Mereka duduk berhadapan di salah satu meja yang masih kosong. Mereka saling makan dalam diam. Jujur Thania tidak tahu apa yang harus dibicarakannya dengan lelaki itu. Atau Thania memang tidak pernah tahu apa yang seharusnya dibicarakan dengan lelaki di tempat makan seperti ini.

Thania sering berkencan dengan banyak pria. Tapi lokasinya hanya dua, di club atau di kamar hotel. Dan keduanya tidak membutuhkan terlalu banyak pembicaraan karena bibirnya akan selalu sibuk melakukan hal yang lainnya. Tapi kali ini beda.

"Gimana kerjaannya?" Tanya Nathan kembali membuka pembicaraan mereka.

"Hmm, biasa aja sih." Jawab Thania.

"Lo kerja di bagian apa?"

"Gue jadi personal assistantnya Andrea. Kerjaannya sih enak aja. Walau gue suka nggak enak sama Andrea kalo gue kerjanya nggak bener, gue takut dia sungkan marahin gue aja cuma karena gue temennya."

Nathan kelihatan berpikir sebentar, "Gue rasa Andrea bukan tipe orang yang kayak gitu kok. Kayaknya dia cukup profesional. Jadi kalo lo nggak dimarahin sama dia berarti kerjaan lo udah cukup baguslah." Hiburnya yang membuat Thania tersenyum lega.

"Thank you, Nathan, gue jadi sedikit lega dengernya."

"Sama-sama." Jawabnya, "Yang pasti menurut gue lo udah ambil keputusan yang sangat bagus untuk mengganti pekerjaan lo yang sebelumnya."

"Kenapa memangnya kerjaan gue yang sebelumnya?" Tanya Thania sedikit kehilangan senyumnya, "menurut lo kerjaan gue dulu itu kurang bagus?"

"Bukan gitu. Gue agak khawatir aja sama kerjaan lo yang sebelumnya. Waktunya kan nggak pasti, kadang pulang sampai malam terus. Bahaya aja kalo perempuan pulang terlalu malam kan." Jelas Nathan.

Thania menahan senyumnya yang hendak muncul mendengar perhatian itu.

"Beneran habis ya?" Tanya Nathan lagi dengan nada kagum yang membuat Thania bingung.

Nathan menunjuk piring Thania yang sudah bersih ludes, "Gue pikir lo nggak akan habis pesen segitu banyak, ternyata habis juga."

Thania merenggut malu mendengar kata-kata Nathan yang terdengar seperti mengejeknya. Padahal ini semua gara-gara bayinya juga.

***

Thania mengira pertemuannya tadi siang hanya akan berakhir saat itu saja. Mereka selesai makan siang, berpisah dan selesai.

Tapi ternyata tidak semudah itu mengakhiri segalanya. Karena ternyata Nathan menunggu di depan kantornya selepas jam kantor.

Karena Nathan tidak akan membiarkan kesempatan atas kebetulan yang diperolehnya hilang begitu saja di saat keberaniannya masih muncul dan menggebu-gebu. Apalagi Thania tidak sedingin seperti yang selama ini selalu diduganya. Thania menerimanya, tersenyum kepadanya.

"Lo ngapain? Kok masih ada di sini?" Tanya Thania bingung melihat Nathan yang sedang duduk di lobi kantornya, "nungguin Davin?"

Nathan menggeleng, "Nungguin lo, yuk gue anterin pulang." Katanya sambil beranjak berdiri.

Dia buru-buru berangkat dari kantornya segera setelah jam menunjukkan waktu berakhir jam kerjanya dan menunggu dengan lega setelah bertanya kepada resepsionis bahwa Thania belum keluar dari kantor.

Sebenarnya dia masih punya banyak hari esok untuk menemui wanita itu. Tapi setelah respon yang terlalu positif dari Thania siang tadi dan malam berpekan-pekan yang dilaluinya dengan merana merindukan wanita itu membuatnya tidak ingin melewatkan satu malam pun untuk menunggu.

"Nggak usah, Nath, gue bisa pulang sendiri," kata Thania menolaknya.

"Gue anterin, Ta. Sekalian kita makan dulu, ada yang perlu gue omongin, please?" kata Nathan dengan nada memohon.

Thania tidak tahu apa yang hendak dibicarakan oleh lelaki itu, tapi sepertinya dia bisa menebak. Dan kalau dugaannya benar, itu berarti bukan pertanda yang baik baginya. Tapi dia tidak punya alasan untuk menolak dan mengelak lagi, apalagi dengan nada memelas lelaki itu. Thania mengangguk.

Nathan mengajak Thania naik ke mobilnya.

"Mau makan di mana?" tanya Nathan sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Terserah lo aja." jawab Thania.

Nathan terlihat berpikir sebentar sebelum mengusulkan, "Makan ayam goreng mau?"

"Boleh," jawab Thania lagi.

Nathan melajukan mobilnya tanpa menunggu lama lagi. Dan tidak sampai lima belas menit mereka sudah tiba di restoran yang dimaksud Nathan. Dia memang mencari lokasi yang tidak terlalu jauh karena sedikit banyak dia tahu, Thania tidak merasa nyaman bersamanya. Berbeda dengan keadaan tadi siang. Apalagi setelah Nathan mengatakan ada yang hendak dibicarakannya dengan wanita itu.

"Gue sama Davin suka makan di sini. Tempatnya biasa banget, tapi ayam gorengnya terkenal di sini," jelas Nathan mengakhiri keheningan di antara mereka setelah memesan makanan.

Nathan tidak berbohong, karena selain restoran itu memiliki pengunjung yang tiada hentinya bergulir, Thania tidak bisa berhenti menyantap makanan di piringnya karena rasanya sangat enak.

Nathan lagi-lagi tersenyum melihat nafsu makan Thania yang sedikit tidak normal. Sejauh ingatannya wanita itu tidak makan sebanyak ini di apartemen Andrea dan Davin di hari pernikahan mereka. Pantas saja tubuh Thania terlihat sedikit lebih berisi dibandingkan dua bulan lalu.

Terutama di bagian dadanya. Dan apalagi Thania mengenakan kemeja seketat itu. Atau karena Thania yang mengenakan kemeja biasa saja tetap bisa membuatnya kelihatan seseksi itu. Nathan sudah kembali kehilangan nalarnya. Seketika otaknya panas sendiri membayangkan Thania bekerja menggunakan pakaian seperti ini setiap harinya untuk dinikmati lelaki lain, siapapun itu.

"Jadi, apa yang mau diomongin?" tanya Thania membuyarkan lamunannya. Dia sudah menghabiskan seluruh makanan di piringnya hampir tidak bersisa.

Nathan berdehem, berusaha meluruskan pikirannya yang sudah berbelok-belok sejak tadi sebelum melanjutkan. "Tentang malam itu, gue mau bilang.."

Thania segera tahu bahwa dugaan arah pembicaraannya benar. Dia menghela napas dan memutar bola matanya, "Gue nggak berniat membahas itu sama sekali, Nath."

"Tapi.." kata Nathan lagi berusaha berbicara.

"KIta sama-sama dewasa dan cukup tahu dan sadar apa yang terjadi malam itu. Membahas kejadian malam itu cuma akan bikin segalanya jadi canggung, dan gue nggak mau itu terjadi. Apalagi gue temen Andrea dan lo temennya Davin. Artinya akan ada kesempatan-kesempatan dimana kita akan ketemu di masa yang akan datang. Jadi, bisa nggak lo anggep nggak ada yang terjadi di antara kita?" jelas Thania panjang tanpa berniat untuk dihentikan.

Dan Nathan mendengarkan, walau wajahnya menunjukkan kekecewaan atas apa yang dikatakan wanita itu.

"Kalo lo mau gue melupakan, itu nggak bisa. Karena itu artinya gue berbohong." kata Nathan akhirnya menjawab setelah keheningan yang cukup panjang, "Tapi kalo lo mau gue nggak ngomong ke siapa-siapa tentang itu dan hanya menjadi rahasia kita berdua, mungkin gue bisa."

"Makasih," kata Thania sambil tersenyum kecil.

"Jadi, kita masih temen kan?" kata Nathan lagi, "Gue masih tetap boleh ajak lo makan siang kalo lagi mampir ke kantor lo kan?"

Thania menertawakan pertanyaannya barusan, "Ya iyalah. Kalo lo lagi makan siang sama Davin di kantor, contact gue juga aja, gue pasti akan gabung kok."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top