Part 3 - I See You Again

Seseorang mengetuk meja kerja Thania dengan buku-buku jarinya, membuat Thania yang terlalu asik dengan berkas di depannya sedikit terlonjak. Thania menaikkan pandangannya untuk melihat siapa yang membuatnya terkejut tersebut.

"Hai," sapa lelaki asing itu sambil memamerkan giginya, "Andreanya ada?"

"Andrea lagi meeting keluar kantor. Habis makan siang baru balik." Jelas Thania, "Anda siapa?"

"Oh iya, maaf jadi lupa ngenalin diri. Gue Jerry dari bagian Redaksi. Ada yang perlu gue bahas sama Andrea. Nggak apa-apa, nanti gue telepon dia aja."

Thania mengangguk paham.

"Kalo lo?" tanya Jerry karena Thania hampir saja kembali ke kesibukannya kembali.

"Gue Thania," jawab Thania.

"Lo baru di sini?"

"Iya, baru seminggu."

"Pantes aja, soalnya nggak mungkin gue nggak sadar ada cewek cantik kayak lo kerja di kantor ini." Jerry tersenyum menggoda kepada Thania.

Thania mau tidak mau kembali mengawasi lelaki yang ada di depannya, otot-otot tubuhnya cukup terbentuk di balik kemeja lelaki berwajah tampan itu. Ditambah lagi dengan senyum mempesonanya, lelaki itu sudah akan menjadi list lelaki yang tidak akan dibiarkannya lewat begitu saja.

Dan Thania mengenali mata itu, mata yang tidak pernah lepas dari belahan dadanya hanya karena Thania mengenakan kemeja putih dengan melepaskan dua kancing paling atasnya, mata yang mengawasi tubuhnya seolah ingin menerkamnya. Pandangan yang bisa membuatnya sama bergairahnya dipandangi seperti itu.

Kalau bukan seperti ini keadaannya. Karena saat ini, dia bahkan tidak tertarik meladeni lelaki berotot seksi itu sama sekali.

***

"Tadi ada yang nyariin lo, Nyet," kata Thania melaporkan segera setelah Andrea kembali ke ruangannya, "Namanya Jerry dari bagian Redaksi."

"Oh Jerry, iya tadi dia udah nelepon gue langsung kok." Kata Andrea masih sibuk dengan kertas di tangannya sebelum melanjutkan bertanya, "Did he flirt with you?"

"Matanya sih lumayan nggak sekolah," kata Thania cuek.

Andrea terkekeh, "tadi dia ngomongin kerjaan sama gue, tapi abis itu tiba-tiba nanyain lo."

"Nanya apa?"

"Lo single atau nggak."

"Terus? Lo jawab apa?"

"Gue bilang tanya sama orangnya aja sendiri." Jawab Andrea sambil menaikkan bahunya.

Thania terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi, "lain kali kalo ada yang nanya lagi, bilang aja gue udah married, Nyet."

Untuk pertama kalinya semenjak tiba di ruangan itu, Andrea melepaskan tatapan dari dokumen pekerjaannya, "Lo yakin?" Tanyanya tidak percaya.

"Yakin, daripada pada nanya-nanya mulu, gue males nanggepinnya. Lagian sebentar lagi kan perut gue bakal membesar juga dan mereka akan tahu gue hamil. Jadi akan lebih gampang jelasinnya kalo bilang dari sekarang gue udah nikah."

Andrea menaikkan alisnya masih tidak percaya, "Lo sadar nggak sih ada yang aneh dari lo? Jerry itu tipe lo banget. Nggak mungkin dalam sejarah ada cerita lo nolak cowok kayak Jerry itu. Dan sekarang lo bahkan mau nutup semua akses?"

Thania menghela napas panjang, "Gue bakalan jadi seorang Ibu. Ya masa gue masih main-main sama cowok terus kayak gitu." Jelasnya sambil tanpa disadarinya dia mengelus perutnya yang masih rata, "dan gue juga nggak tahu kenapa, gue tiba-tiba nggak niat lagi melakukan apapun sama cowok kayak gitu. Nafsu gue ilang, Nyet," akunya jujur.

Andrea mencibirkan bibirnya mengejek, "bawaan bayi?"

Thania terkekeh, "iya, bawaan bayi kayaknya. Bawaan bayi dari lelaki baik-baik. Gue dijagain sama bayi gue kayaknya supaya nggak kebanyakan main-main sama lelaki lagi kayaknya."

***

Nathan turun dari mobil sambil sibuk menekan-nekan tombol di ponselnya kemudian melekatkan benda itu ke telinganya. Dia menekan tombol pengunci pintu otomatis mobilnya sambil berjalan menjauhi parkiran, menuju ke arah gedung.

Dia baru saja selesai meeting di daerah dekat kantor Davin dan kini memanfaatkan waktu makan siangnya untuk bertemu dengan sahabatnya tersebut dibandingkan dia harus makan siang sendirian sebelum kembali ke kantor.

Nathan berusaha menghubungi Davin namun sahabatnya tersebut tidak mengangkat ponselnya sama sekali. Mungkin dia masih meeting atau sudah keluar makan siang tanpa melihat ponselnya. Nathan menghentikan usahanya menghubungi Davin walau dia tidak menghentikan langkahnya memasuki gedung perkantoran tersebut. Dia memutuskan tetap makan siang di sana walau tanpa Davin.

Sejujurnya di lubuk hati terdalamnya, Nathan berharap dia bisa melihat seseorang yang diharapkan dapat ditemuinya. Seseorang yang berdasarkan informasi dari Davin, sudah mulai bekerja di kantor ini semenjak beberapa minggu yang lalu.

Walau dia tahu kemungkinan untuk dapat melihat wanita itu akan menjadi kebetulan yang agak mustahil. Perusahaan majalah terbesar di Indonesia dengan jumlah karyawan yang cukup banyak, harapan Nathan cukup muluk untuk bisa bertemu wanita itu di kantor sebesar ini.

Apalagi ini sudah jam makan siang. Mungkin saja perempuan itu sudah pergi makan entah kemana dan tidak ada di lingkungan kantor lagi.

Walau sedetik kemudian, saat Nathan mengedarkan pandangannya di lobi luas itu, dia menemukan sosok yang dikiranya akan sangat sulit ditemukannya itu.

Thania berjalan menuju ke arah resepsionis. Dia bertemu dengan seseorang yang sepertinya mengirimkan paket untuk diterimanya dan berbincang-bincang sejenak dengan orang tersebut.

Nathan memperhatikan mata dari orang yang diajak berbicara oleh wanita itu sedikit tidak fokus, dan Nathan ingin memakinya walau tidak ada yang dapat dilakukannya. Pertama karena Nathan hanya memandang dari kejauhan dan kedua memangnya siapa dia.

Sebenarnya bukan hanya mata pengirim paket itu yang kurang ajar saat melihat Thania. Beberapa orang yang dilewatinya dan berdiri di sana juga menyempatkan diri untuk menengok dan melirik untuk melihat wanita dengan pahatan indah tersebut. Kain yang melekat di seluruh tubuh wanita itu mengikuti bentuk tubuhnya yang terlalu sempurna. Rambutnya yang ikal bergelombang indah menutupi punggungnya dan lipstik merah merekah mendominasi make-up di wajah Thania.

Sebenarnya Nathan juga termasuk salah satu dari lelaki yang memandanginya sedikit tidak normal. Bedanya karena Nathan memang mengenal dan merindukannya, dan di atas semuanya Nathan pernah memilikinya. Dia sudah pernah menjadi lelaki yang menyentuh tubuh sempurna itu dan menikmatinya.

Entah siapa yang akan percaya dengan fakta tersebut. Bahkan kadang Nathan sendiri pun suka mengira semua hanya mimpi indahnya saja.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top