Part 24 - Part of My Life

Thania sudah mempersiapkan segalanya. Setelah mengetahui tanggal perkiraan lahirannya, Thania sudah mempersiapkan mulai dari pakaian yang akan digunakannya selama berada di rumah sakit sampai proses lahiran hingga kartu medical dan keperluan administratif lainnya yang nantinya akan dibutuhkan. Dan seharusnya sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkannya.

Namun melihat air ketubannya yang pecah nyatanya tetap saja membuatnya tertegun sejenak. Walau tidak bersuara, namun Thania sangat panik saat ini. Kepanikan yang membuatnya terdiam kaku.

Thania mengambil tas berisi pakaian serta barang-barang penting lainnya sebelum beranjak meninggalkan apartemennya. Sambil menunggu taksi di lobi apartemennya, dia berusaha menghubungi Andrea maupun Riyo walaupun hasilnya nihil. Sepertinya keduanya sedang sibuk dengan pekerjaan mereka di kantor karena saat ini masih jam kerja. Setelah taksinya tiba, Thania bergegas menuju rumah sakit sambil meninggalkan pesan untuk kedua sahabatnya agar menyusulnya ke sana setelah mereka pulang dari kantor.

Thania masuk melalui UGD untuk dapat ditangani lebih cepat. Berdasarkan infomasi dari dokter kandungannya yang sudah menanti di sana karena Thania telah menghubunginya saat dalam perjalanan, dia baru masuk pembukaan awal. Thania juga baru merasakan kontraksi kecil satu kali di saat perjalanannya menuju ke rumah sakit.

Dokter meninggalkannya di kamar rawat inap dan mengatakan akan kembali setelah jam makan siang untuk kembali mengecek keadaannya. Thania kini hanya sendirian. Dia mengambil remote televisi dan menyalakannya untuk membuat suasana sedikit lebih ramai dan mengurangi ketegangannya.

Thania tegang dan panik. Walau dia berusaha untuk tidak menunjukkannya, saat ini dia sedang benar-benar ketakutan. Ini adalah pengalaman persalinan pertamanya. Seumur hidup dia belum pernah memiliki teman ataupun saudara yang bisa memberikannya saran tentang proses persalinan yang harus dihadapinya. Dan dalam beberapa jam ke depan, dia harus mengalaminya sendiri.

Thania berdiri dari ranjangnya. Dia mulai berjalan perlahan mengelilingi ruangan seperti perintah yang diberikan dokternya tadi untuk mempercepat pembukaan awalnya. Dia kembali menghubungi Andrea dan lagi-lagi wanita itu mengacuhkan ponselnya.

Thania berdecak kesal. Andrea selalu mengingatkannya untuk mengabarinya kalau ada apa-apa dan terlihat khawatir dengan keadaannya selama ini. Namun saat dibutuhkan seperti sekarang, wanita itu malah hilang tanpa kabar sama sekali.

Thania menyernyit ketika merasakan kembali kontraksi di perutnya. Dia mengusap perutnya takut. Persalinan nanti pasti rasa sakitnya berkali-kali lipat dari yang dirasakannya saat ini. Dia ragu apakah dia bisa bertahan dengan rasa sakitnya nanti.

Seketika dia merindukan Nathan. Lelaki itu selalu tahu bagaimana cara membuatnya tenang.

Dokter kembali mengunjunginya setelah jam makan siang. Thania merasakan perutnya semakin mulas dan kontraksinya sudah semakin sering. Dia bahkan sudah terbaring di ranjang dan tidak bisa banyak bergerak lagi.

Dokter menyuruhnya untuk makan siang terlebih dahulu. Makan siang yang sebelumnya dilewatkannya karena terlalu tegang. Menurut dokter, proses persalinannya masih akan memakan waktu beberapa jam lagi dan mungkin hingga malam karena Thania baru masuk pembukaan lima, yang membuat dia sangat frustasi.

Ponselnya berdering dan Andrea baru menghubunginya setelah hari sudah menjelang sore.

"Ta, sorry, gue baru sempat lihat handphone. Lo udah di rumah sakit?" Kata Andrea terdengar panik.

"Lo kemana aja sih?" Balas Thania kesal, "Perut gue udah mules banget. Tapi dokter bilang masih lama prosesnya. Gue bisa gila sendirian di sini."

"Oke, oke, gue ke sana sekarang juga, Ta. Lo mau gue bawain apa nggak?"

"Nggak, Nyet! Gue nggak mau apa-apa! Cepetan ke sini!" Katanya gemas sambil menahan sakit karena barusan kontraksi di perutnya terjadi lagi.

Thania mematikan sambungan ponselnya setelah Andrea mengiyakan dengan panik.

Thania menantikan kedatangan sahabatnya itu dengan kegelisahan. Setidaknya dia ingin sahabatnya itu menemaninya di ruang persalinan nantinya. Dia takut dan gelisah membayangkan dirinya harus melewati proses ini sendirian.

Dia kembali menunggu dalam penderitaan entah berapa lama sampai Andrea tiba di sana bersama Riyo dan Davin. Matahari sudah hampir terbenam saat mereka tiba di sana.

Ketiganya terdiam karena terkejut melihat keadaan Thania yang sudah nampak menderita kesakitan. Riyo bahkan tidak berani banyak berbicara dan mengejek sahabatnya itu seperti yang selama ini dilakukannya tanpa kenal waktu.

"Lo gimana, Ta? Sakit banget ya?" Tanya Andrea khawatir sambil mengusap rambut Thania yang basah karena keringat dingin menahan sakit.

Thania mengangguk, "Dokter bilang masih harus nunggu karena baru pembukaan tujuh. Padahal perut gue udah sakit banget."

"Yang kuat, Ta." Kata Riyo ikut menghampirinya. "Makan dulu ya? Kita bawain lo makanan nih."

Thania menggeleng, "Gue nggak mau. Gue mau cepet-cepet kelar aja."

"Kalo lo mau nanti lancar, harus makan dulu, Ta. Biar lo ada tenaga." Sambung Andrea sambil membuka nasi kotak yang tadi dibelikannya dalam perjalanan.

Thania dengan terpaksa menyuapkan beberapa sendok nasi ke dalam mulutnya dan mengunyah perlahan ditengah ringisan nyerinya. Harus diakuinya, bahkan sebelum masuk masa persalinan, tenaganya sudah terkuras banyak karena menahan sakit.

"Nyet, panggilin dokter dong," kata Thania kesakitan, "Perut gue mules banget."

Andrea segera memanggil perawat jaga, sementara tangan Riyo menjadi korban pelampiasan Thania untuk menahan sakitnya. Perawat mengatakan Thania akan segera dipindahkan ke ruang persalinan untuk bersiap-siap.

"Nyet, temenin gue ya," pinta Thania dengan panik sambil mengeratkan pegangannya kepada Andrea.

Wanita itu nampak bingung, namun dia mengangguk.

"Nanti gue nyusul ya masuknya." Kata Andrea, "Gue ganti baju dan siap-siap dulu."

Thania mengangguk patuh dan melepaskan pegangannya sementara dia mulai dipindahkan dan dibawa ke ruang persalinan.

***

Thania kembali menunggu dengan tersiksa karena rasa sakit sementara kedua kakinya sudah direntangkan terbuka. Andrea tidak muncul juga dan dia curiga sahabatnya itu kabur karena ketakutan.

Namun tidak lama kemudian sosok pendamping yang ditunggunya muncul. Walau ternyata bukan sosok Andrea yang ada, melainkan sosok lelaki jangkung yang sedari tadi berputar-putar dibenaknya karena terlalu dirindukannya. Lelaki yang menitipkan benih di rahimnya, menghilang selama dua minggu terakhir dan diduga Thania sudah muak dan menyerah dengan sikapnya yang egois dan keras kepala.

"Nath.." panggil Thania lemah.

Dia hanya bersyukur lelaki itu ada di sini dan demi apapun dia tidak peduli apa alasan lelaki itu bisa ada di sana selama Nathan ada di sampingnya saat ini.

"Sorry aku telat, Tha." Kata Nathan sambil menghela napas panjang seolah dia baru saja berlari marathon sejak tadi tanpa henti, "Informan aku terlambat kasih tahu kalau kamu udah di rumah sakit dari pagi. Aku baru dikabarin tadi sore dan aku langsung kesini. Padahal aku lagi meeting luar kantor di daerah karawang, makanya aku terlambat sampainya."

Nathan berjalan mendekat. Wajahnya iba melihat ibu dari calon bayinya begitu pucat dan nampak kesakitan. Dia menggenggam tangan Thania untuk memberinya kekuatan.

"Informan?" Tanya Thania perlahan dengan bingung.

"Iya, informan yang aku tempatin di samping kamu belakangan ini. Yang beliin kamu makanan dan temenin kamu di apartemen. Walau sebagai gantinya aku disuruh nemenin suaminya yang sendirian di apartemen juga." Jelas Nathan sambil tersenyum tipis. Tangannya mengusap pelipis Thania yang berkeringat dingin.

"Aku merasa kamu nggak nyaman dekat-dekat aku belakangan ini. Padahal aku khawatir ninggalin kamu sendirian. Jadi aku minta tolong Andrea temenin kamu terus. Sakit banget ya?" Tanya Nathan teralih karena melihat Thania yang menyernyit tiba-tiba, "Sabar ya, Tha. Maaf bayi aku nyusahin kamu."

Air mata wanita itu jatuh ke pipinya. Thania sudah kesakitan semenjak tadi siang dan rasa sakitnya tidak membuatnya meneteskan air mata sama sekali. Namun kini hatinya sakit mengingat kebodohannya sendiri selama ini dan dia menangis.

"Sakit, Tha?" Tanya Nathan lagi dengan khawatir melihat wanita itu menangis.

"Maaf, Nath. Maafin aku." Kata Thania sambil terisak pelan, "Aku egois suruh kamu pergi waktu itu. Aku butuh kamu, Nath. Kamu jangan pergi tinggalin aku."

Nathan mengusap rambutnya dan mengecup pelipisnya untuk menenangkan wanita itu, "Jangan nangis, Tha. Kamu nggak boleh begini. Sebentar lagi kamu mau melahirkan. Kamu harus fokus."

"Aku ketakutan selama kamu nggak ada. Aku menyesal minta kamu pergi dari aku, Nath. Selama kamu nggak ada di samping aku, aku baru sadar. Aku butuh kamu. Bayi aku butuh kamu."

Nathan mengecupnya lagi berkali-kali, "Memang aku bisa pergi kemana, Thania? Bayi aku di rahim kamu dan cuma kamu yang menuhin hati dan pikiran aku. Kamu hidup aku, Tha."

Thania tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia mau mendengar penjelasan lebih, walau yang baru saja dilakukannya malahan menjerit kesakitan.

"Jangan mengejan dulu ya, Bu." Kata dokter memperingati saat melihat Thania sangat kesakitan, "Ditunggu sebentar lagi sampai pembukaan sepuluh baru mulai mengejan."

Nathan panik, namun dia tahu bahwa dia yang harus menenangkan wanita itu.

"Sakit.." kata Thania merintih, "Aku takut, Nath."

Nathan ikut meringis melihat kondisi Thania yang mengenaskan, "Sabar ya, Tha. Maaf ya bayi aku nyusahin kamu." Katanya ngilu. Dia tidak tahu apalagi yang bisa dilakukannya selain mengulang kata maaf karena membuat wanita itu menderita dan juga memberikan lengannya untuk dicengkram Thania sekuat tenaga.

Nathan membimbing Thania mengatur pernapasan, seperti yang sudah mereka pelajari bersama-sama sebelumnya berkali-kali di apartemen mereka. Thania sudah mulai tenang ketika sakit yang semakin kuat kembali menyerangnya dan membuatnya menjerit kesakitan lagi.

"Ayo Bu, mulai didorong ya. Kepalanya sudah mulai kelihatan." Perintah dokter yang segera dituruti Thania.

Dia sudah frustasi semenjak tadi karena perutnya mulas dan sakit sementara dia tidak bisa melakukan apa-apa.

Nathan merasa tangannya mati rasa karena Thania tidak melepaskan cengkramannya sama sekali, walau dia tidak berani berbuat apapun. Wanita itu sedang berjuang untuknya dan dia hanya bisa meringis berbagi kesakitan yang dirasakan wanita itu.

Nathan sama frustasi dan paniknya dengan wanita yang kelihatan sangat kelelahan itu. Thania mengejan berkali-kali dan bayinya belum ada tanda-tanda akan keluar. Lelaki itu berusaha menutupi rasa paniknya walau pikiran di kepalanya sudah mulai tidak dapat dikendalikan. Dia takut wanita itu sudah tidak sanggup lagi. Thania sudah kelihatan sangat kepayahan dengan perjuangannya sepanjang hari sementara tidak ada yang dapat dilakukan Nathan untuk meringankan beban wanita itu.

Di tengah keputusasaannya, suara bayi menangis terdengar nyaring, dan Thania terkulai lemas.

Nathan berusaha melihat ke arah dokter dan perawat berkumpul di balik tubuh Thania seperti sedang memeriksa sesuatu.

"Selamat, Pak, Bu, bayi laki-laki, lengkap dan sehat," kata dokter membuat Nathan menghela napas panjang dan lega.

Pandangan Nathan beralih ke Thania yang kini tersenyum lemah membalas tatapannya. Nathan mencium kening Thania penuh syukur, dia membisikkan ucapan terima kasih di telinga wanita itu.

"Makasih, Tha. Makasih." Bisiknya berkali-kali penuh haru.

Seorang perawat kemudian berjalan membawa bayi berwarna merah ke dalam gendongan Thania untuk disusui.

Thania menyunggingkan senyum di wajahnya yang lelah saat memperhatikan bayi yang telah dikandungnya selama sembilan bulan itu menyusu di pelukannya. Thania mengalihkan pandangan kepada lelaki di sampingnya yang juga sedang memperhatikan bayi mereka dengan air mata yang hampir menggenang di pelupuk matanya.

Sekali lagi Nathan mengecupnya pipi wanita itu, "Terima kasih udah berjuang buat bayi aku. Terima kasih udah kasih aku bayi yang sehat dan tampan."

"Terima kasih juga udah berjuang sama aku, Nath." Balas Thania sambil menyunggingkan senyum di wajahnya yang lelah.

"Aku akan selalu ada buat kamu, Tha. Aku mau jadi bagian dari hidup kamu dan bayi kita. Aku sayang sama kamu, Thania." Kata Nathan bersungguh-sungguh, "Nikah sama aku."

Tubuh wanita itu sama sekali tidak bertenaga, namun kini yang dapat dirasakannya hanyalah bahagia. Thania tersenyum, dan dia mengangguk.

***

ENDDDDDD!!!!

Tapi nanti akan ada epilog yaa habis ini 😁😄😄😁😄😁😄
Terima kasih yang sudah menunggu dan membaca sampai akhir. Semoga endingnya nggak mengecewakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top