Part 23 - Days Without You

Thania terduduk di sofa ruang tamu sambil mengelus perut buncitnya. Matanya terpatri pada layar televisi yang menayangkan berita malam, walau pada kenyataannya Thania tidak benar-benar memperhatikan apa yang diberitakan tersebut.

Thania membutuhkan sedikit keramaian di apartemennya karena untuk pertama kali setelah sekian lama, dia hanya seorang diri di sana. Dia bahkan sudah lupa kapan terakhir kali dia benar-benar sendirian dan merasakan keheningan seperti ini.

Keheningan yang dulu terasa menyenangkan untuk dinikmati ditengah-tengah hingar bingar hidup yang dipilihnya, kini menyesakkan untuknya. Seolah ada kekosongan di hatinya yang menanti sesuatu yang tidak kunjung datang.

Di saat-saat seperti ini, Thania sebenarnya sangat mengharapkan pekerjaannya di kantor menumpuk sehingga dia memiliki kesempatan untuk lembur. Walaupun sayangnya karena kebaikan hati Andrea yang katanya sangat memperhatikan kesehatan calon keponakannya, dia memberikan Thania ijin untuk mulai mengambil cuti melahirkan semenjak hari ini.

Andrea sialan.

Thania menghela napas panjang untuk mengurangi rasa sesak di dadanya. Entah apa yang harus dilakukannya untuk mengisi waktu tiga minggu ke depan dan membantunya melupakan kekosongan hatinya ini. Kedua teman baiknya akan selalu sibuk bekerja di hari biasa dan sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing di hari weekend. Andrea dengan suaminya dan Riyo dengan kekasih-kekasihnya.

Thania menggelengkan kepalanya sendiri untuk menghapus pikiran gilanya yang merindukan Nathan. Dia berusaha mendoktrin dirinya bahwa dia memang butuh waktu untuk mengembalikan dirinya ke kehidupan sebelum dia bergantung kepada lelaki itu.

Bunyi ketukan pintu terdengar tiba-tiba, membuat Thania menyernyit. Entah siapa yang berkunjung jam sembilan malam seperti ini.

Thania menopang pinggulnya sendiri untuk membantunya berdiri dari duduk. Dia membuka pintu dan menemukan Andrea di sana dengan dua kantung belanjaan di tangan.

"Ngapain?" Tanya Thania heran.

"Nih," kata Andrea menunjukkan kedua kantung di tangannya, "Gue beliin keperluan lo."

Andrea berjalan masuk tanpa menunggu Thania berkomentar maupun mempersilakan masuk. Wanita itu meletakan kedua kantung belanjaan di meja dapurnya.

Thania mengawasi apa saja yang dibelikan oleh Andrea untuknya. Susu ibu hamil, sayuran, telur, daging dan makanan bergizi lainnya.

"Lo pasti susah keluar sendiri buat belanja bahan makanan sebanyak ini, makanya tadi pas lagi belanja sekalian gue beliin buat lo juga. Kalo ada yang kurang baru lo beli sendiri di minimart bawah atau kalo nggak lo titip gue juga bisa." Jelas Andrea menjawab raut penuh kecurigaan di wajah Thania.

"Tumben banget baik sama gue," kata Thania memandang Andrea penuh tanda tanya.

Andrea berdecak kesal, "Elo ya, gue baik salah, gue jahat juga salah."

"Habis, biasanya jangankan berbuat baik sama gue, jam segini kalo gue nelpon lo, pasti lo marah-marah bilang gue ganggu waktu pacaran lo kan," kata Thania yang tidak salah sama sekali.

Andrea menghela napas, "Karena biasanya ada Nathan yang nemenin elo, Ta. Dan karena sekarang lo memutuskan jadi single parent lagi, mana bisa gue biarin lo sendirian."

Thania berusaha terlihat biasa saja. Dia membalik tubuhnya dan kembali berjalan menuju sofa untuk duduk di sana dengan sedikit kesulitan.

Andrea berjalan mengikutinya dan duduk di kursi sofa lain di hadapannya.

"Lo lagi hamil besar dan beberapa minggu lagi lo akan melahirkan, sementara lo tinggal sendirian di apartemen. Kalo ada apa-apa lo harus kabarin gue atau Riyo, ngerti lo?"

"Iyaa, Ibu Andrea," jawab Thania memanjang-manjangkan nadanya dengan malas.

"Gue serius, Ta," kata Andrea lagi kesal, "Gue khawatir lihat keadaan lo. Lo itu udah kesusahan bergerak karena bayi lo sebesar itu dan sekarang lo cuma tinggal sendirian."

"Iya, Nyet," kata Thania lagi, "Gue baik-baik aja kok. Apartemen lo kan cuma di sebelah. Kalo ada apa-apa pasti gue akan kabarin."

Andrea kembali menghela napas, kini dengan perasaan lega.

"Gue cuma bosen karena lo nggak kasih gue kerja lagi tau!" Keluh Thania, "Sepanjang hari cuma di apartemen nonton tv doang."

"Lebih aman begitu. Daripada lo tiba-tiba melahirkan di kantor gara-gara kecapekan kerja dan gue yang dituntut sama dinas ketenagakerjaan." Kekeh Andrea, "Kan lo bisa jalan-jalan di taman bawah. Bukannya lo bilang lo harus banyak jalan?"

"Udah sampe bosen," katanya malas sambil mengusap-usap perut besarnya, "Pagi jalan di taman, siang jalan di taman, sore jalan di taman lagi. Gue rasa security juga curiga lihat gue bolak-balik seharian di taman."

Andrea tertawa, "Kejahatan apa emangnya yang bisa dilakuin perempuan hamil besar kayak lo?" Katanya seraya mengamati penampilan Thania, "Tapi sumpah Ta, gue ngeri lihat perut lo besar gitu. Dokter bilang nggak apa-apa?"

Thania menggeleng, "Bayi gue emang besar, Nyet. Dokter bilang nggak apa-apa, cuma dia harus tetap pantau kalau gue mau lahiran normal. Bahkan Mamanya Nathan juga bilang karena keluarga mereka tinggi jangkung semua, memang udah biasa hamil sebesar ini. Dulu Mamanya juga sebesar ini waktu hamil Nathan."

Andrea mengawasi wajah Thania saat wanita itu membicarakan seseorang yang dikiranya tabu, "Lo beneran nggak apa-apa?"

"Kenapa?"

"Nathan. He's a good guy."

"Ya, kan dari pertama gue udah bilang, ayah bayi gue ini memang lelaki baik," kata Thania sambil tersenyum, "Makanya gue mau punya anak dari dia. Tapi bukan berarti gue harus sama dia. Nathan lelaki baik, bukan berarti dia akan bisa sayang ibu dari bayinya, dan gue nggak akan memaksakan itu."

"Lo nggak ada rencana bicara baik-baik sama dia dulu, Ta?"

"Nggak sekarang, Nyet," kata Thania, "Mungkin nanti setelah gue lahiran. Toh, Nathan juga perlu lihat bayinya. Dia boleh ketemu bayinya kapanpun kok. Cuma kalau sekarang gue lagi nggak jelas banget. Gue sensitif dan cengeng sekarang." Thania mengusap matanya sebelum air matanya hendak mengalir turun. Lagi.

"Dan gue manja kalo dekat-dekat dia. Jadi mending gue nggak ketemu dia dulu." Tambah Thania.

Andrea mengawasi sahabatnya. Wanita itu selalu nampak tegar dan acuh menghadapi kejadian apapun dalam hidupnya. Namun Thania kini terlihat begitu rapuh dan lemah. Entah benar karena hormon kehamilannya atau karena kehadiran Nathan yang memang mengubah hidupnya.

Andrea hanya menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu untuk menghiburnya. Sepertinya apapun yang dikatakannya saat ini tidak akan membantu meringankannya. Mungkin hanya kehadirannya yang kini dibutuhkan sahabatnya tersebut.

"Jangan banyak pikiran, Ta. Lo cuma harus fokus sama bayi lo. Supaya dia bisa lahir dengan sehat. Gue yakin dia akan bisa jadi penyemangat baru buat lo." Kata Andrea berusaha memberikannya semangat.

Thania mengangguk. Yang dikatakan sahabatnya memang tidak salah. Bayi itu satu-satunya penyemangat dan tujuan hidupnya saat ini. Dia harus menjaga kesehatan demi bayinya. Satu-satunya penghubung dirinya dengan Nathan, apapun status hubungan mereka nantinya.

***

"Saya mau normal, dok," kata Thania keras kepala.

"Kita pantau terus ya, Bu." Jawab sang dokter sambil tersenyum sabar menghadapi wanita itu, "perkiraannya kan masih dua minggu lagi. Untuk saat ini kelihatannya masih sulit karena selain bayinya kelihatan aktif, ukuran bayinya juga sedikit di atas normal."

"Tapi kalau normal akan berbahaya kah dok?" Tanya Andrea sedikit nampak khawatir. Dia sebenarnya tidak terlalu paham, namun fakta-fakta yang disebutkan oleh Ibu dokter barusan terdengar tidak terlalu baik.

"Kalau kondisinya nggak jauh berubah dari sekarang, melahirkan secara normal akan bisa membahayakan ibunya. Tapi kita belum tahu kondisi dua minggu lagi seperti apa, siapa tahu bisa berubah. Apalagi ibunya juga mau normal. Makanya kita coba lihat dua minggu ini dulu." Jelasnya, "Yang penting tetap dijaga pola makannya. Sekarang udah jauh lebih baik dibanding bulan lalu, dan semoga dua minggu lagi sudah lebih baik lagi ya."

Thania mengangguk paham dan Andrea yang menemaninya juga ikut mendengarkan dengan hikmad berusaha mencerna.

"Lagi sibuk apa sih, Nyet?" Tanya Thania penasaran karena setelah keluar dari ruang periksa hingga kini mereka berada di sebuah restoran, Andrea masih terlihat sibuk sendiri dengan ponselnya.

Di hadapan mereka berdua juga sudah ada Riyo yang bergabung untuk makan siang. Thania dan Andrea memang sudah membuat janji dengan Riyo untuk makan siang bersama setelah jadwal check up Thania ke dokter kandungan hari ini.

Riyo jadi ikut tertarik memperhatikan apa yang dilakukan Andrea yang biasanya tidak pernah tertarik bermain ponsel sendiri saat bersama teman-temannya, apalagi di weekend seperti ini, karena bagi wanita itu, memegang ponsel hanya untuk pekerjaan.

"Nanti di rumah juga ketemu kali, Nyet," ejek Riyo, "Baru pisah sebentar aja udah kangen banget." Katanya menuduh secara tidak langsung bahwa wanita itu sedang chat dengan suaminya yang tidak ikut bersama mereka hari ini.

Andrea berdecak. Dia menyingkirkan ponsel yang dari tadi menjadi fokus utamanya dan kembali memandang kedua sahabatnya.

"Gue nggak ngerti kenapa lo harus ngotot melahirkan normal sih?" Tanya Andrea tidak habis pikir, mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya serta ejekan Riyo yang dirasanya tidak penting.

Thania menolak menjawab. Dia tidak benar-benar tahu alasan logisnya namun dia memang menginginkannya.

"Lo nggak akan ngerti perasaannya, Nyet," kata Riyo yang malahan mewakili untuk menjawab, "Tapi melahirkan bayi lo sendiri secara normal jelas akan lebih memperkuat ikatan ibu anak. Dan sebagai seorang ibu, lo pasti akan menginginkannya."

"Dan kenapa lo bisa ngerti ya?" Tanya Andrea sinis menjawab Riyo.

Riyo menaikkan dagunya angkuh karena merasa dirinya menang dibandingkan Andrea, "Jelas karena nurani kewanitaan gue lebih besar daripada lo, Nyet. Perasaan gue sebagai wanita lebih halus daripada lo yang menolak hakekat lo untuk memiliki anak."

Andrea melengos malas, "Menolak punya anak nggak membuat sisi kewanitaan gue jadi lebih kecil daripada lo ya." Katanya tidak mau kalah.

"Tapi lo nggak ngerti tuh perasaan si Onta yang mau melahirkan normal." Balas Riyo.

"Dan gue juga yakin lo juga cuma tahu dari orang lain dan yang pasti bukan pengalaman pribadi."

Thania berdecak kesal mendengar perdebatan tidak penting kedua sahabatnya, "Astaga kalian berdua ya. Jangan mencemari bayi gue dengan perdebatan kalian deh. Mustinya bayi gue tuh dengerin suaranya beethoven dan bukan suara cempreng sinis judes lo berdua." Katanya sambil mengusap perutnya. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya belakangan ini. "Kasian nanti dia lahir cuma buat ketemu tante-tantenya yang berisik dan kasar."

Riyo tersenyum sedikit tersanjung karena Thania menyebutnya 'tante' dan bukan 'om'. Dia mengusap-usap perut besar Thania, "Jangan khawatir, Ta. Gue juga mau keponakan gue ini nanti lahir di lingkungan yang baik. Sekarang aja kan kita udah nggak pernah nongkrong di club atau kafe sampai malam gara-gara laki lo berdua.."

Andrea menyenggol lengan Riyo perlahan untuk memperingatinya bahwa dia sudah salah bicara dan Riyo menyadarinya, karena kini dia hanya terdiam salah tingkah.

Thania yang sejenak sudah melupakan lelaki itu kini kembali merenung dan kehilangan senyumnya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari kata-kata Riyo barusan. Mungkin kalau Nathan tidak berusaha masuk dalam kehidupannya dan mengaturnya, saat ini dia dan kedua sahabatnya masih akan berkumpul di tempat remang dan penuh asap rokok yang tidak akan baik untuk kesehatan bayinya. Lelaki itu memang selalu membawa pengaruh baik dalam hidupnya. Dan mengingat bahwa lelaki itu tidak akan ada lagi di sisinya hanya membuat perasaan Thania menjadi lebih buruk.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top