Part 22 - All is Enough

Anw, ak mau info kalau mungkin setelah ini hanya tinggal bbrp part lagi sebelum end. Jd get ready yaa!!!!😄😄😄😄
Selamat berpuasa bagi yang merayakan 😇



"Apa-apaan sih kamu?" Tanya Thania segera setelah mereka masuk mobil. Tangannya mengusap perut buncitnya berusaha menenangkan dirinya setelah menyaksikan kejadian barusan.

Nathan menjalankan mobilnya. Dia masih bungkam dan enggan menyampaikan apapun.

"Ngomong apa si Jerry itu?" Tanya Thania lagi.

Dan ketika Nathan masih terdiam, Thania kembali menambahkan dugaannya.

"Dia ngomong apa tentang aku? Palingan dia bilang aku cewek nggak bener kan?"

Nathan menengok dengan sedikit terkejut ke arah Thania sebelum mengembalikan pandangannya ke jalanan. Wanita itu nampak santai mengucapkannya padahal dia sendiri sangat gerah mendengarnya keluar dari mulut lelaki lain itu. Karena artinya demikian pandangan orang luar tentang Thania.

"Dia ngomong sama kamu juga?" Tanya Nathan perlahan.

Thania mengangguk acuh, "Hari ini di kantor udah tersebar gosip. Kayaknya gara-gara anak HRD ada yang buka data aku. Mereka baru tahu aku belum nikah. Jadi ya gitu deh, rame kantor hari ini."

"Dan kamu biasa aja denger orang ngomongin kamu kayak gitu?" Nathan mengerutkan keningnya heran.

"Ya emang mau gimana? Kita kan nggak bisa ngatur orang mikir kita gimana. Biarin aja mereka mau mikir apa," jelas Thania.

Nathan terdiam. Dia memang tahu apa yang dikatakan Thania benar, bahwa mereka tidak bisa mengatur apa yang orang lain pikirkan tentang mereka. Namun sebenarnya mereka punya pilihan sekarang. Ada opsi yang bisa mereka pilih supaya membuat orang-orang tersebut berhenti membicarakan hal buruk tentang Thania.

"Ayo kita nikah, Tha." Kata Nathan tiba-tiba membuat Thania spontan memandangnya. "Biar mereka berhenti ngomong jelek tentang kamu. Toh aku udah bersedia tanggung jawab selama ini."

Thania mendengus. Sejenak dia berdebar mendengar kalimat pertama Nathan, walau alasan lelaki itu membuatnya kehilangan rasa.

"Nggak usah mulai, Nath." Kata Thania memperingati sambil membuang pandangannya ke arah jalanan. Dia malas meladeni Nathan.

"Aku serius, Tha. Kita nikah. Aku nggak mau orang-orang menganggap hubungan kita nggak jelas, atau kamu nggak bener, atau kamu hamil tanpa ada yang mau tanggung jawab."

"Kan aku udah pernah bilang, kalau kamu malu sama tanggapan orang, kamu boleh nggak dekat-dekat sama aku. Daripada kamu kena fitnah juga," jawab Thania dengan ketus.

"Bukan itu maksud aku. Tapi selama ini kita juga udah tinggal bareng. Aku udah berusaha jadi ayah yang baik buat bayi kita. Kenapa kita nggak nikah aja? Buat status kita dan status bayi kita jadi sah secara hukum. Semuanya akan jadi lebih baik. Nggak ada orang yang akan menggunjingkan kita lagi."

"Aku nggak mau nikah sama kamu." Thania mengeja setiap katanya perlahan dan tegas. Dia tidak suka dengan satu pun alasan yang diutarakan oleh Nathan. Tidak satu pun. "Puas?"

Nathan menutup mulutnya. Harga dirinya sebagai laki-laki terluka. Thania sudah menolak lamarannya lebih dari satu kali. Padahal seharusnya wanita itu yang lebih membutuhkan pengakuannya sebagai ayah dari bayi dalam kandungannya. Dan Nathan tidak pernah habis pikir apa yang membuat wanita itu tidak menerimanya, sementara dirinya sudah selalu dengan tangan terbuka bersedia menikahinya. Tiba-tiba Nathan merasa kesal. Mungkin Thania merasa dirinya tidak cukup baik untuk menjadi suaminya dan ayah bayinya.

"Mungkin benar apa yang Jerry bilang," kata Nathan sambil mengeratkan pegangannya pada kemudi, "kalau yang ada di kandungan kamu itu bukan bayi aku."

Thania berusaha tidak menanggapi, walau perasaannya benar-benar terluka karena kalimat Nathan barusan.

"Atau kamu berharap bukan aku ayah bayi kamu." Katanya melanjutkan, "kamu masih berharap lelaki lain yang lebih baik yang bertanggung jawab dan bukan aku."

"Terserah kamu mau ngomong apa." Kata Thania mendesah panjang. Dia merasa sesak mendengar kata-kata Nathan yang berusaha melecehkannya. Dia tidak peduli saat orang lain mengatakannya, namun mendengarnya keluar dari mulut lelaki itu membuat perasaannya buruk.

Mereka saling berdiaman selama sisa perjalanan. Nathan berhenti berbicara karena wanita itu enggan menanggapi. Walau sebenarnya rasa penasaran bercampur rasa bersalah masih memenuhinya. Dia tahu kata-katanya tadi terlalu kasar, namun di saat yang bersamaan kebungkaman wanita itu membuatnya semakin depresi.

Thania baru mulai membuka mulutnya kembali ketika mereka sudah memasuki kompleks apartemennya.

"Kamu nggak usah masuk. Turunin aku di lobi. Dan setelah ini kamu nggak perlu datang ke sini lagi," kata Thania berusaha membuat suaranya sedingin mungkin walau jelas terdengar getaran dalam suaranya.

Nathan yang mengira pembicaraan mereka tidak akan berlanjut malam ini ternyata salah. Nathan menghentikan mobilnya di parkiran apartemen yang sudah sepi karena memang hari sudah cukup malam.

"Tha.."

Thania melanjutkan kata-katanya sebelum Nathan sempat menyela, "Aku balikin kunci apartemen ke kamu setelah aku pindahin semua barang aku dan aku pergi dari sana."

"Tha, aku salah ngomong gitu ke kamu. Maaf. Jangan bilang kamu mau pindah dari apartemen." kata Nathan perlahan. Dia tidak peduli siapa yang salah di antara mereka berdua. Yang dia tahu bahwa dia harus mengalah daripada kehilangan Thania.

"Salah aku dari awal nggak kasih kejelasan buat kamu." kata Thania, "Anggap aja apa yang semua kamu bilang tadi itu benar. Anggap anak ini bukan anak kamu. Dan aku masih mengharapkan lelaki lain yang jadi ayah bayi aku, dan itu bukan kamu." Thania menekankan kata-kata terakhirnya dengan sengaja untuk membuat lelaki itu terluka.

Dan nampaknya keinginannya tercapai karena wajah Nathan terlihat sangat terluka walau ternyata semuanya tidak membuat Thania lebih baik. Sepertinya bayi dalam perutnya ikut menendang kuat karena kecewa atas kata-katanya kepada sang Papa.

Thania mengalihkan pandangannya menuju pintu penumpang sambil mengaitkan tali tas ke pundaknya sendiri, "Aku nggak akan ganggu kamu lagi setelah ini. Aku akan beresin barang aku dan kosongin apartemen secepatnya. Aku akan balikin kuncinya ke kamu segera," ulang Thania sambil menegaskan kekeraskepalaan dan tekadnya kali ini.

Nathan menghela napas. Jujur dia lelah dengan semua kekeraskepalaan Thania.

"Kamu nggak perlu pergi dari apartemen, Tha. Tetap tinggal disana." Kata Nathan perlahan.

"Aku mau tinggal sendiri di kost-an aku. Aku bisa.."

Nathan memotong kata-kata Thania sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya. Nada suaranya meninggi menandakan seberapa kesal dan lelahnya dia, "Aku nggak akan datang lagi ke sini. Jadi kamu nggak perlu pergi dari apartemen ini, Thania."

Thania terlonjak kaget mendengar suara Nathan yang meninggi dan penuh emosi. Dia belum pernah mendengar Nathan seemosi ini saat berbicara dengannya.

Nathan terdiam sejenak dan berusaha membuat suaranya terdengar datar dan tanpa amarah saat dia kembali berbicara, "Aku janji nggak akan datang ganggu kamu lagi. Anggap apartemen ini bentuk tanggung jawab aku buat bayi aku. Selain dari itu, aku jamin aku nggak akan muncul di depan kamu lagi."

Thania membuka pintu mobil dan keluar dari sana tanpa sekalipun menoleh untuk melihat Nathan. Air matanya menggenang dan Thania tidak rela memperlihatkannya kepada lelaki itu.

Thania merasa hatinya teriris berkali-kali mendengar kata-kata Nathan. Lagi-lagi semua tentang tanggung jawab. Bagi lelaki itu, Thania dan bayi dalam kandungannya tidak pernah lebih dari sebuah tanggung jawab. Thania tidak pernah berarti lebih bagi lelaki itu. Bahkan dengan mudahnya Nathan mengatakan tidak akan menemuinya lagi hanya karena dia memintanya.

***

"Bego! Sumpah lo bego banget!"

"Tolol banget sih Ta!"

"Bego banget! Otak lo pasti nggak lo pake!"

Thania cuma bisa menggeram pelan mendengar makian kedua sahabatnya yang dengan sangat berbaik hati mengunjunginya ke apartemen keesokan harinya setelah Thania menelepon Andrea di malam yang sama dia memutuskan hubungan dengan Nathan.

Thania tidak bisa tidur. Dia menangis semalaman sampai matanya bengkak dan dia butuh seseorang untuk berbagi cerita dengannya.

Dia mengira Andrea akan menjadi teman curhat terbaik yang bisa menyimpan rahasianya dan sebagai tambahan bisa menghiburnya atau bahkan memberikan dukungan untuk melanjutkan hidupnya ke depan.

Walau ternyata yang dilakukan Andrea malah menceritakan kisah tragisnya kepada Riyo dan kini keduanya bekerja sama untuk mengatainya tolol, bodoh dan bego, tanpa memberikan solusi atau hiburan sama sekali.

Thania benar-benar menyesal memilih Andrea menjadi tempat curahannya, karena kini dia malah merasa semakin buruk. Meskipun pada saat yang bersamaan, dia bersyukur kedua sahabatnya muncul di apartemennya di hari libur seperti ini untuk menemaninya, karena sendirian di apartemen yang sudah terbiasa dihuninya dengan lelaki itu akan membuat harinya menjadi sangat buruk.

"Minta maaf lah, Ta sama Nathan. Bilang lo nyesel ngomong gitu ke dia kemarin." kata Andrea membangkitkannya dari lamunan.

Thania menggeleng, "Nathan nggak berusaha hentiin gue kemarin. Artinya dia juga merasa ini semua yang terbaik buat gue dan dia."

"Dia nggak hentiin lo karena lo pasti keras kepala, Ta. Gue tahu kok gimana sayangnya Nathan sama lo. Mana mungkin dia ninggalin lo kalo bukan karena lo nya yang maksa dia untuk pergi." kata Andrea lagi.

Thania mengusap perutnya, berusaha untuk tidak terpengaruh kata-kata Andrea yang sebenarnya selalu menjadi harapannya.

"Satu-satunya yang bikin Nathan tetap bertahan di samping gue itu karena dia merasa bertanggung jawab sama gue dan bayinya, gue tahu itu." Kata Thania berusaha terdengar santai walau kata-kata itu sangat menyakiti baginya, "Jadi, daripada gue menyiksa Nathan untuk memaksakan diri bertanggung jawab atas gue, mendingan gue biarkan dia membebaskan diri dari gue."

"Gue nggak ngerti apa yang bikin otak lo konslet, Ta," kata Riyo menambahkan setelah sedari tadi yang dilakukannya hanya memaki Thania, "Tapi bukannya lo memang selalu nyari lelaki yang mau bertanggung jawab sama lo buat membiayai hidup lo ya? Kenapa tiba-tiba lo jadi orang suci yang nggak mau merepotkan Nathan?"

Thania baru sempat mendelik kesal tanpa berkata apapun dan Andrea sudah kembali menambahkan.

"Itu artinya Thania sayang sama Nathan dan dia merasa dirinya ngebebanin Nathan, Nci," kata Andrea kepada Riyo sebelum berbalik kepada Thania, "Dan itu artinya lo harus bilang Nathan perasaan lo yang sebenarnya, minta maaf untuk kata-kata kasar lo semalem, dan minta dia balik sama lo lagi."

Thania memejamkan mata dan menahan sesak di dadanya, "Gue nggak akan ngomong sama Nathan lagi, sama sekali." katanya dengan suara bergetar. Thania merasa perutnya menegang dan tertusuk-tusuk bersamaan karena tekanan perasaan yang dialaminya, "Gue nggak minta kalian berdua datang ke sini untuk merayu gue balik sama Nathan. Gue cuma butuh kalian di sini supaya gue nggak merasa sendirian. Dan kalau kalian nggak berniat bantu gue, mending kalian berdua tinggalin gue sendiri di sini."

Thania terduduk lemas di sofanya. Wajahnya memucat sementara tangannya mengusap perutnya yang terasa menegang sementara napasnya terasa sesak dan tidak beraturan.

Andrea dan Riyo saling berpandangan dengan khawatir sebelum duduk menghampiri Thania dan mengusap pundaknya.

"Lo kenapa? Jangan bikin gue takut, Ta," kata Andrea mengusap perut dan lengan Thania dengan kedua tangannya.

"Kita ke rumah sakit sekarang ya?" kata Riyo yang duduk di sisi berlawanan dari Andrea.

Thania menggeleng pelan sambil berusaha mengatur napasnya.

"Ini belum masuk waktu persalinan kan?" tanya Riyo khawatir.

Thania kembali menggeleng, "Gue nggak apa-apa. Waktu bersalin gue masih tiga minggu lagi."

Riyo dan Andrea sama-sama menghela napas lega. Pasalnya tidak ada satupun dari mereka yang memiliki pengalaman sama sekali. Thania adalah teman pertama mereka yang akan menjadi seorang ibu.

"Gue nggak mau kalian ngomongin Nathan lagi. Gua nggak mau dengar tentang dia lagi." kata Thania masih dengan wajah pucatnya.

Andrea dan Riyo kembali saling memberikan pandangan pasrah. Sepertinya tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki hubungan sahabat mereka dengan ayah bayi dalam kandungannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top