Part 20 - Parent's Advise

"Nih, Pa. Thania bikinin album dari pertama kali bayi aku di USG." kata Nathan memamerkan sebuah album yang berisi tujuh buah gambar USG yang dikumpulkan wanita itu setiap bulannya.

Setelah acara makan yang cukup canggung akibat pertemuan pertama kedua orang tuanya dan ibu dari bayinya, Nathan mengajak mereka duduk-duduk di sofa ruang keluarga rumah mereka.

Nathan bersyukur ada Mamanya yang ramah dan banyak bicara untuk menengahi mereka, karena dia yakin tanpa kehadiran Mamanya, kecanggungan di antara Thania dan Papanya tidak akan pernah berakhir.

Nathan sadar, Papanya adalah tipe lelaki yang kaku. Bukan berarti dia tidak menyetujui hubungannya dengan Thania, namun kemampuannya berkomunikasi dengan orang baru jelas bukan sesuatu yang dapat diandalkan. Padahal Nathan sudah meminta bantuan Mamanya untuk mengarahkan Papanya untuk bersikap lebih luwes.

Dan pada saat yang bersamaan, Thania juga bukan perempuan yang bisa memikat hati orang tua pacarnya. Karena sejujurnya, ini adalah pertama kalinya Thania dihadapkan pada situasi seperti ini. Thania tidak memiliki kemampuan, sama sekali, untuk bermulut manis apalagi memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Bukan bermaksud membandingkan, namun Nathan belum pernah mengalami kecanggungan seperti ini. Sintha, mantan pacarnya selama tujuh tahun, memiliki kemampuan memikat hati calon mertuanya dengan sangat baik. Nathan tidak pernah kesulitan meninggalkan Sintha hanya dengan kedua orang tuanya saja setiap kali dia mengajak perempuan itu berkunjung ke rumahnya.

Namun kini, saat Mamanya maupun dia meninggalkan Thania dan Papanya berdua saja, suasana seketika berubah menjadi seperti kuburan tanpa suara, karena tidak ada satupun dari mereka yang berinisiatif membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Bagus banget, Nath. Dulu Mama nggak pernah kepikiran buatin kamu album kayak gini." kata Mama Nathan.

Papanya sendiri mengamati album foto tersebut dengan penuh antusias dan pandangannya berhenti di foto janin di rahim Thania yang berusia dua puluh delapan minggu.

"Kapan lahirannya?" Tanya Papanya akhirnya dengan penasaran dengan kondisi calon cucunya.

Nathan terdiam dan membiarkan Thania yang menjawabnya.

"Perkiraannya sekitar dua bulanan lagi, Om." Jawab Thania.

"Normal?"

"Maunya sih gitu, Om. Makanya sekarang lagi dijaga makannya sama dokter bilang harus banyak gerak."

"Kenapa memang makannya harus dijaga?" Tanya Papanya lagi dengan bingung.

"Anak kamu tuh, Pa," sambung Mamanya, "Thania dikasih makan terus setiap hari tapi nggak pilih-pilih. Jadi ukuran bayinya sedikit di atas normal."

"Ohya? Bahaya nggak itu?" Tanyanya lagi dengan sedikit khawatir.

"Kalo dijaga dari sekarang harusnya nggak apa-apa sih, Om." Jawab Thania lagi sambil mengusap perut buncitnya, "Masih ada dua bulan ke depan kok buat atur pola makannya."

Papa Nathan berdeham paham, "Dulu Nathan bukannya juga gitu ya Ma?"

"Iya, keturunan kamu, Pa. Tinggi besar gitu hasilnya," kata Mama Nathan mengejeknya.

"Ya bagus dong kalau cucu kita tinggi besar. Artinya dia sehat." Papa tertawa bangga mendengar ejekan istrinya. Dia kemudian kembali bertanya kepada Nathan dan Thania, "kalian udah tahu jenis kelaminnya?"

Nathan menggeleng, "Thania nggak mau dikasih tahu sama dokternya Pa. Biar surprise katanya."

Thania mengangguk sambil tersenyum.

"Iya, yang penting sehat." Tambah Papanya, "Mau cowok atau cewek sama aja kok."

"Kalo Mama sih kalo bisa maunya cewek, Pa." tambah Mamanya, "Bosen urusin dua cowok mulu di rumah."

Thania dan Nathan tertawa mendengar ejekan Mamanya.

"Sebenernya Papa lebih khawatir sama statusnya nanti. Kasihan kalau di aktanya orang tuanya nggak lengkap."

Thania terdiam. Senyum menghilang dari wajahnya.

"Pa," panggil Mama Nathan perlahan mengingatkan.

"Papa tahu ini keputusan kalian berdua, dan Papa nggak akan memaksakan apapun.  Tapi rasanya salah kalau Papa nggak menyampaikan ini ke kalian dan nggak memberikan nasehat untuk jalan yang kalian pilih. Jadi kalau bisa, coba kalian pikirin lagi baik-baik. Papa cuma mau yang terbaik buat cucu Papa nantinya."

Thania masih terdiam tidak menyahut dengan tangannya mengusap perutnya. Sementara Nathan hanya mengawasi dengan khawatir ekspresi wajah wanita di sisinya yang terlalu sulit untuk ditebak.

***

"Maafin Papaku, Tha." Kata Nathan akhirnya membuka pembicaraan karena wanita itu belum kelihatan berniat mengeluarkan suaranya semenjak mereka berpamitan dari rumahnya. Kini mereka sudah dalam perjalanan kembali ke apartemen mereka.

Thania tersadar dari lamunannya dan menengok ke arah Nathan. Dia tersenyum dan senyumannya otomatis membuat Nathan sedikit merasa lega.

"Papaku nggak ada maksud apa-apa sama sekali Tha. Dia cuma ngungkapin keinginannya sebagai seorang kakek aja." Tambah Nathan.

"Iya, aku paham kok."

"Kamu nggak marah kan?" Tanya Nathan berhati-hati.

"Kenapa aku musti marah sih Nath?" Tanya Thania balik sambil tertawa.

Dan senyuman wanita itu membuat Nathan otomatis menghela napas lega.

"Menurut kamu, Papa sama Mama kamu suka sama aku?" Tanya Thania lagi.

Nathan menaikkan alisnya, "kenapa kamu tanya kayak gitu?"

"Mereka kecewa sama aku nggak?" Tanya Thania lagi tanpa menjawab pertanyaan lelaki itu.

"Aku rasa mereka menerima kamu, Tha. Mendengar Papaku yang memberikan nasehatnya ke kita, ke kamu yang baru hari ini ditemuinya bukti bahwa dia udah anggap kamu seperti anak mereka sendiri."

Thania tersenyum simpul. Tangannya kembali bertengger di perut buncitnya lagi.

"Tapi kalo bayi kita bukan perempuan gimana, Nath? Mama kamu pasti kecewa." Kata Thania lagi terdengar khawatir.

Nathan ikut meletakkan tangan kirinya di atas perut Thania.

"Jangan diambil serius kata-kata Mamaku. Dia ngomong gitu cuma buat ledekin aku sama Papaku. Karena dia harus urusin dua laki-laki sepanjang hidupnya. Dia pasti seneng kok mau bayi kita perempuan atau laki-laki."

"Kamu mau kita cek dulu jenis kelaminnya?" Tanya Thania, "Supaya kita bisa kasih tahu mereka. Papa Mama kamu kayaknya penasaran cucu mereka jenis kelaminnya apa."

"Nggak usah, kan kamu mau surprise aja. Biarin Papa Mamaku nebak-nebak aja." Jawab Nathan sambil tersenyum.

"Kamu kok jahat sama Mama Papa kamu sendiri sih?"

"Nggak jahat, Tha. Kan aku sendiri juga nggak tahu. Kamu nggak peduli kalau aku yang penasaran jenis kelamin bayi kita, kenapa kamu nggak tega karena Papa Mamaku yang nanya." Goda lelaki itu.

Thania berdecak, walau senyuman masih menghiasi bibirnya.

Thania tidak menyesal bertemu dengan orang tua Nathan. Keluarga lelaki itu membuatnya merasa nyaman. Kenyamanan keluarga yang selama ini belum pernah dirasakannya. Kenyamanan yang membuatnya ingin menjadi bagian di dalamnya.

Dan mau tidak mau Thania memikirkan kata-kata lelaki paruh baya tadi. Sepertinya selama ini dia cukup egois untuk membiarkan bayinya kehilangan status legal seorang ayah hanya karena dia lebih memikirkan dirinya sendiri.

Dia terlalu sibuk memikirkan perasaannya sendiri bahwa lelaki ini hanya ingin bertanggung jawab tanpa ada perasaan apapun kepadanya. Dan Thania melupakan masa depan seperti apa yang mungkin akan dihadapi bayinya kalau dia dibesarkan tanpa status seorang ayah, dan penyebabnya hanya karena egonya sendiri.

Mungkin dia harus mempertimbangkan untuk menurunkan ego pribadi demi bayinya. Karena Thania jelas menginginkan bayinya bisa hidup di lingkungan keluarga baik seperti yang baru saja disaksikannya.

Thania menggenggam tangan Nathan erat.

Thania sadar dia sudah jatuh cinta kepada lelaki itu. Mungkin semenjak mereka melewati malam panas bersama walau dia belum menyadarinya sama sekali kala itu. Dan seharusnya dia tidak perlu peduli seperti apa perasaan lelaki itu kepadanya ataupun siapa yang ada di hati lelaki itu saat ini.

Kenyataan bahwa Nathan adalah lelaki bertanggung jawab yang menyayangi bayinya, walaupun bayi itu muncul hanya karena hubungan satu malam mereka merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan.

Dan bagi Thania saat ini, bayi dalam kandungannya adalah prioritas utamanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top