Part 2 - Unusual Saturday
Nathan memandang hampa ke langit-langit kamarnya. Dia tidak berniat bangun dari ranjangnya sama sekali walau matahari sudah hampir berada di titik teratasnya. Hari ini hari sabtu dan Nathan hanya ingin bermalas-malasan di kamarnya.
Sebulan belakangan ini dia lebih menyukai hari kerja daripada weekend seperti sekarang. Dengan bekerja, dia bisa melupakan banyak hal, termasuk bayangan seorang wanita yang menghantuinya beberapa minggu belakangan. Sementara hari libur seperti ini membuat dia tidak hentinya membayangkan kejadian bulan lalu.
Sebenarnya kejadian itu bukanlah sesuatu yang buruk sehingga dia ingin melupakannya. Berkali-kali dia terus berusaha mengingatkan diri bahwa kejadian bulan lalu adalah nyata dan bukan sekedar mimpi indah dalam tidurnya saja.
Kejadian itu terlalu indah sebagai kenyataan, sampai-sampai dirinya tidak tahu apa yang harus diperbuatnya untuk mempertahankannya, karena kini bahkan dia kehilangan jejak untuk meneruskan hubungannya ini.
Nathan memejamkan matanya dan bayangan wanita cantik itu kembali muncul. Wanita yang sama-sama menikmati malam itu seperti dirinya. Setidaknya itu yang dia kira dan harapkan. Karena Nathan tahu dengan jelas bahwa dia bukan yang pertama untuk wanita itu apalagi yang terhebat, walau wanita itu berkali-kali mengatakan dia sangat hebat malam itu.
Nathan tersenyum sendiri dalam imajinasinya karena membayangkan kejadian malam itu. Pikiran lelakinya berkelana dengan wanita itu sebagai objeknya. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, dan kini dia bahkan tidak dapat mengendalikan pikirannya sendiri.
Pintu kamarnya diketuk dan dia terpaksa bangun dari lamunannya.
Nathan melihat ke arah pintu kamarnya dan menemukan Davin di sana.
"Tumben mampir," kata Nathan pada sahabatnya itu, karena Davin sudah tidak pernah mengunjunginya sebulan terakhir sejak dia sudah menikah dengan Andrea kekasihnya.
"Tumben masih tidur," balas Davin tidak mau kalah, karena Nathan sahabatnya biasanya tidak pernah bermalas-malasan hingga siang hari seperti ini di waktu liburnya.
Nathan biasanya memang memanfaatkan waktu liburnya untuk berolahraga, mulai dari berlari keliling kompleks rumahnya atau bermain basket dengan para tetangganya. Tapi kali ini Nathan tidak berniat melakukan satu pun dari olahraga tersebut. Satu-satunya hal yang menyenangkan untuknya saat ini hanyalah membayangkan wanita bulan lalunya.
Davin duduk di lantai di sisi ranjang dan menyalakan tv seolah berada di rumahnya sendiri. Ini memang tempat yang lebih sering dikunjunginya dibandingkan rumahnya sendiri sebelum dia mulai tinggal di rumah Andrea.
"Andrea kemana?" Tanya Nathan mencurigai alasan utama sahabatnya itu mampir ke rumahnya.
"Lagi pergi sama Thania," jawab Davin tidak acuh.
Jantung Nathan berdegup kencang mendengar nama itu. Nama dari orang yang berada dalam imajinasinya beberapa saat yang lalu.
"Oh, kemana?" Tanya Nathan berusaha menghilangkan kegugupan serta rasa penasarannya.
"Nggak tahu tuh, nggak bilang ke gue." Davin menaikkan pundaknya.
"Mereka masih sering ketemuan ya?" Rasa penasaran mendominasi pikirannya.
"Ya iyalah, sama Riyo juga, kan mereka sahabat deket. Apalagi sekarang Thania juga kerja di kantor gue. Dia sekarang jadi personal assistant-nya Andrea di kantor." jelasnya.
Nathan membangkitkan tubuhnya dan menopang dengan kedua sikunya, "Oh ya? Kenapa?"
Davin heran mengamati reaksi Nathan dan rasa ingin tahunya yang berlebihan, yang jarang kali terjadi.
"Kenapa apanya?" tanya Davin bingung.
"Kenapa dia kerja di kantor lo sekarang? Bukannya dia sebelumnya cuma kerja freelance ya?"
"Nggak ada yang aneh sih," jawab Davin masih bingung, "Kalo dapet kerjaan tetap dan bisa settle ya pasti milih yang settle dong daripada freelance . Tapi kok lo bisa tahu dia kerja freelance?"
Nathan berusaha memutar otaknya panik, "Kan pas merit-an lo gue sempet ngobrol sama dia."
Davin mengangguk-angguk paham dan membuat Nathan refleks menarik napas lega.
Nathan kembali tenggelam dalam pikirannya. Wanita itu sekarang bekerja di kantor yang sama dengan sahabatnya. Dia kini tahu di mana wanita itu bekerja.
Perasaannya menggebu-gebu dalam hitungan detik walau kemudian dia merasa bodoh sendiri. Memangnya apa yang bisa dia lakukan setelah tahu dimana wanita itu bekerja. Dia bisa meminta bantuan sahabatnya Davin kalau dia memang sudah berniat menghubungi wanita itu sejak sebulan yang lalu, tapi dia tidak melakukannya.
Nathan mengakui dirinya terlalu pengecut. Dia sudah merasa dirinya akan ditolak sebelum dia melakukan apapun. Walau itu juga bukan hanya perasaannya saja. Wanita itu sudah menegaskan kalau yang mereka lakukan hanya hubungan satu malam sebelum dia mengatakan apapun.
Nathan memang tahu, untuk wanita seperti wanita itu, one night stand bukan sesuatu hal yang asing. Dia yakin wanita itu sudah pernah melakukannya lebih dari sekali dengan lelaki lain. Nathan hanyalah satu dari puluhan malam yang sudah dilaluinya. Bahkan mungkin satu dari malam yang sudah terlupakan oleh wanita itu. Walau itu menyakitkan untuknya, Nathan harus mengakui itu.
"Nyokap bokap lo khawatir ama lo, Nath," kata Davin membuyarkan lamunannya.
"Khawatir kenapa?" Tanya Nathan tidak acuh.
"Belakangan lo ngurung diri di kamar mulu," jelas Davin.
Sebenarnya memang itu tujuannya datang kesini. Orang tua sahabatnya meneleponnya dan mengatakan kekhawatiran mereka tentang putranya. Davin memang cukup akrab dengan kedua orang tua sahabatnya tersebut, karena dia sudah sangat sering menginap di sini sejak mereka bersahabat masa kuliah.
"Nggak kenapa-kenapa kok. Gue cuma lagi males keluar aja," kata Nathan berusaha membuat suaranya sebiasa mungkin.
"Gue harap juga gitu. Jangan bikin khawatir orang tua lo lah." Kata Davin lagi.
Nathan tersenyum, "iya, bawel ah!" Dia menempeleng kepala Davin yang letaknya sangat dekat dengan lututnya.
Davin berdecak kesal dan hendak membalasnya namun ditangkis oleh Nathan.
"Temenin gue main basket yuk." Kata Nathan akhirnya.
Davin memutuskan berdiri untuk mengiyakan ajakan sahabatnya tersebut.
***
"Empat minggu ya perkiraan usianya. Suka mual-mual nggak?"
Thania menggeleng.
"Saya tetap buatin obat buat ngurangin mualnya, dimakan kalo lagi mual aja, kalo nggak, nggak perlu. Sama kalo vitaminnya dimakan setiap hari buat menguatkan kandungannya. Kopi dan minuman kafein lain dikurangin kalo bisa dihindari ya. Jangan capek-capek juga terutama trisemester pertama ini harus dijaga ya."
"Iya, dok." Jawab Thania setelah mendengarkan petuah sang dokter.
Hari ini Andrea mengantarkannya ke dokter kandungan tempat biasanya dia memeriksakan diri.
"Hubungan seks kalo kuat nggak apa-apa. Tapi kalo nggak kuat jangan dipaksa." Tambah dokter lagi tanpa ditanya.
"Makasih infonya, dok. Tau aja temen saya doyannya apa," kata Andrea mengedipkan mata pada sahabatnya sambil terkekeh senang mengejek Thania.
Thania mencibir kesal tanpa bisa membalas.
Dokter wanita itu ikut tertawa, "Ya, biasanya itu yang ditanya kalau pertama kali hamil. Apalagi perempuan-perempuan muda cantik seperti kalian ini. Saya yakin pasangan kalian juga nggak akan kuat puasa lama-lama."
Thania hanya menyunggingkan senyumnya hambar mendengar kata-kata dokter tersebut.
***
Thania memasukkan foto hasil usg bayinya kembali ke dalam kantung kertas setelah puas mengamatinya semenjak tadi. Dia bertekad akan membuat album khusus untuk foto usg perkembangan bayinya sampai lahir nanti. Membayangkannya saja sudah membuat Thania merasa bahagia sekali.
"Lo beneran nggak mau kasih tau gue siapa bapak bayi lo?" Tanya Andrea yang semenjak tadi tidak diacuhkannya padahal mereka sedang duduk berdua di kafe tersebut.
Thania melihatnya dengan malas.
"Gue nggak habis pikir aja, Ta." Kata Andrea lagi, "kalo dia bener cowok baik-baik kayak lo bilang, kenapa lo nggak mau biarin dia tanggung jawab? Biarin dia tau kalo lo hamil anaknya?"
"Gue nggak mau ngerepotin dia, Nyet. Lagian gue rela kok ngurusin anak gue sendiri. Nggak perlu minta bantuan dia juga."
"Maksudnya nggak mau ngerepotin dia? Dia udah merit?" selidik Andrea.
"Dia udah merit ataupun belum, tetap aja akan ngerepotin dia kalau dia tahu gue hamil. Dan gue nggak akan biarin dia tahu."
"Dan gue nggak ngerti definisi laki baik-baik buat lo itu apa, karena bahkan lo nggak pernah bilang ex lo itu lelaki baik-baik. Jadi, apa itu artinya dia beda dari semua lelaki lain yang pernah lo kenal? Lo punya perasaan khusus ke dia?"
Thania tertawa dalam dengusannya, menertawakan pertanyaan Andrea barusan, "Perasaan khusus apa? Kenapa sekarang lo jadi mau tau urusan gue banget sih? Habis merit kelakuan lo langsung ikutan jadi kayak emak-emak tukang gosip."
Andrea berdecak kesal. Dia sadar bahwa entah kenapa dia jadi sangat ingin campur urusan Thania ini. Namun itu semua hanya karena semata-mata Thania adalah sahabat baiknya. Dan dia hanya berusaha agar sahabatnya itu mendapatkan yang terbaik untuk hidupnya, termasuk ayah untuk bayinya.
***
Thania menutup kembali dan mengunci pintu setelah dia sudah masuk ke dalam kamar kost-annya.
Dia melepaskan sepatu dan rok ketatnya, kebiasaan yang selalu Thania lakukan ketika berada di kamar sendirian, karena dia akan merasa bebas saat kain itu lepas dari tubuhnya.
Dia baru saja kembali dari dokter kandungan serta kafe bersama dengan Andrea.
Thania melihat jam baru menunjukkan pukul tujuh malam. Dia menghela napas. Kehidupannya akan berubah sangat drastis setelah ini. Hari sabtu seperti ini biasanya dia tidak mungkin ada di kamarnya seperti hari ini. Namun setelah ini dan seterusnya dia harus memikirkan bayinya dan tidak mungkin bersenang-senang seperti sebelumnya.
Tidak akan ada lagi ladies night dengan Andrea dan Riyo, apalagi berkencan dengan lelaki manapun. Karena selain dia harus berhemat dan menabung sejak saat ini, dia sedang tidak ingin ada lelaki manapun yang masuk ke dalam hubungannya dengan bayinya.
Thania memang sudah tidak pernah berkencan dengan siapa pun semenjak bulan lalu. Dia kehilangan gairahnya untuk berhubungan dengan lelaki manapun sejak saat itu. Semenjak malam dimana dia membiarkan lelaki polos itu memasukinya dan meninggalkan benih di tubuhnya. Di malam setelah hari pernikahan sahabatnya Andrea.
Thania memikirkan pembicaraannya dengan Andrea tadi sore. Sejujurnya walau dia selalu mengatakan lelaki itu lelaki baik-baik, Thania tidak tahu sama sekali tentangnya. Dia bahkan tidak tahu pasti apakah lelaki itu sudah menikah atau belum, seperti apa keluarganya, dan bagaimana kehidupannya sehari-hari.
Semuanya hanya berdasarkan instingnya saja. Insting dan perasaan kewanitaannya yang telah lama dibiarkannya mati.
Tidak pernah ada dalam kamusnya menganggap seorang pria memiliki niat baik kepadanya. Cuma satu tujuan lelaki mendekatinya, yaitu tubuhnya, tidak terkecuali ayah bayinya itu. Dia sendiri tidak paham kenapa dia bisa-bisanya membela dan mengatakan kepada teman baiknya bahwa ayah bayinya ini lelaki baik, hanya karena dia tidak suka orang lain mengatakan hal buruk tentang lelaki itu di hadapannya.
Thania juga tidak memiliki perasaan khusus kepadanya seperti yang dituduhkan Andrea. Tidak dan tidak akan pernah. Dia bahkan tidak merindukan lelaki itu dan sama sekali tidak berniat untuk bertemu dengannya kembali sampai kapanpun.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top