Part 15 - Pillow Talk

"Tha, susunya nggak dihabisin?"

Thania menggeleng pelan sambil kembali menyembunyikan kepalanya di ketiak lelaki jangkung itu, "kenyang," jawabnya pendek.

Gara-gara bayinya, kini bahkan hidung sialannya itu sangat betah bertengger di himpitan antara lengan dan dada lelaki itu serta menghirupnya panjang.  Thania memang selalu suka aroma tubuh lelaki itu, tapi dia belum pernah seperti orang ketagihan ganja waktu menghirupnya seperti yang dilakukannya saat ini.

Nathan menegakkan tubuhnya dari sandaran sambil mengambil gelas susu yang menjadi topik pembicaraannya barusan.

"Tetep aja kamu musti minum, Tha. Tanggung tinggal sedikit lagi," Nathan menyerahkan gelas itu kepada perempuan yang juga sedang bersandar dalam rangkulannya, sedang nyaman berada dalam himpitan ketiaknya.

Thania berdecak kesal. Bukan karena Nathan memaksanya meminum susu, tapi lebih karena lelaki itu menjauh darinya dan mengganggu kenyamanannya. Thania menghabiskan gelas yang kini berada dalam genggamannya dengan cepat.

Nathan menarik kembali dengan puas gelas yang sudah kosong dan mengembalikannya ke meja di hadapan mereka.

Thania menunggu sebelum menjatuhkan kepalanya lagi dalam rengkuhan lelaki itu.

Dia bersyukur tidak memberitahukan kepada siapapun kekesalannya kepada lelaki itu tadi pagi, termasuk tekadnya untuk tidak membiarkan lelaki itu menguasainya lagi. Karena itu artinya dia sedang menjilat ludahnya sendiri saat ini.

Thania yang menawarkan lelaki itu untuk naik ke apartemennya dua jam yang lalu setelah mengantarkannya pulang dari kantor dengan dalih meminta dibawakan tasnya yang tidak berat sama sekali. Kemudian wanita itu juga yang menawarkan Nathan masuk ke dalam apartemen dan menemaninya nonton dulu karena hari masih belum terlalu larut. Dan Thania pulalah yang melekatkan tubuhnya tanpa keinginan memisahkan diri semenjak mereka duduk di sofa ini.

"Bentar lagi aku balik ya, Tha." Kata Nathan sembari melihat ke arah ponselnya untuk melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Kalo aku nggak bisa tidur gimana?" Tanya Thania terdengar khawatir setelah Nathan mengatakan akan pulang sebentar lagi.

"Aku pulangnya tunggu kamu tidur dulu kok," kata Nathan menenangkan.

"Kalo malem-malem aku kebangun lagi gimana?" Tanyanya lagi belum terdengar puas.

Nathan terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Tidur di sini aja malem ini." Kata Thania yang terdengar sangat seduktif di telinganya.

Tentu saja Nathan tidak ingin menolaknya. Mana mungkin dia melewatkan kesempatan yang diberikan wanita itu secara cuma-cuma.

"Nggak bisa, Tha. Aku mau, tapi aku nggak bisa." Kata Nathan akhirnya sambil menghela napas panjang.

"Aku nggak mau orang berpikir macam-macam tentang kamu kalau aku nginep disini. Padahal kita belum nikah." Nathan menjelaskan bahkan sebelum Thania bertanya apapun, hanya setelah dia menaikkan alisnya menuntut alasan.

"Dan aku kan emang udah hamil. Emang orang akan berpikir apa lagi?" Kata Thania ketus, "Siapa sih yang kamu maksud dengan 'orang' disini?"

Nathan kembali menghela napas sebelum memutuskan jujur, "Papa dan Mamaku Tha. Aku nggak mau mereka mikir aneh-aneh tentang kita."

Nathan memang pernah diam-diam keluar dari rumahnya dan menginap di apartemen Thania, namun tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Karena malam sebelumnya dia memang tidur di kamarnya, dan dia hanya mengatakan kepada orang tuanya dia sudah bangun pagi-pagi sekali untuk pergi ke kantor.

Tapi kali ini dia tidak bisa melakukan hal yang sama, karena Thania tidak kelihatan berminat melonggarkan pelukannya sama sekali dan membiarkannya pulang lebih dulu.

"Memang selama ini kedua orang tua kamu berpikir apa tentang aku?" Tanya Thania lagi sedikit penasaran.

"Sebenernya mereka sering nanya kenapa aku nggak ajak kamu ke rumah, kenapa kita nggak buru-buru nikah. Tapi selama ini aku cuma bilang kamu masih belum siap."

Thania hanya menanggapi dengan dehaman.

"Jadinya mereka selama ini ngira kamu masih trauma.. karena aku hamilin kamu. Jadi mereka juga nggak berani nge-push atau minta aku ajak mereka ketemu kamu." Jelas Nathan menundukkan kepalanya, mempertemukan pandangan mereka karena Thania sedang mendongakkan wajah memperhatikannya juga, "Tapi aku nggak mau mereka berpikir macam-macam tentang kamu kalau aku nginep-nginep di sini terlalu sering."

Thania mengusap janggut-janggut tipis yang tumbuh di sepanjang rahang lelaki itu. Jari-jarinya kemudian beralih ke pipi Nathan dan mengarahkannya supaya bibir mereka bertemu.

Thania melumat bibir itu tidak sabar. Dia sudah ingin melakukannya semenjak tadi. Sejak aroma tubuh lelaki itu menaikkan gairahnya. Thania menaikkan tubuhnya sedikit dengan tidak sabar. Jari-jarinya menyapu rambut lelaki itu dan membenamkannya di antara kulit kepalanya.

Nathan membalasnya dengan sama menuntut. Digigitnya bibir bagian bawah Thania yang merekah dengan gemas. Dia ingin membawa Thania ke kamar, namun mengurungkan niatnya. Nathan melepaskan pergumulan bibir mereka dengan meninggalkan kecupan singkat terakhir, membuat pasangannya kelihatan kecewa dan kembali menyandarkan kepala di pundaknya.

Mereka saling berdiaman. Nathan mengusap perut buncit Thania sementara Thania hanya asik dalam lamunannya.

"Kamu udah pernah pacaran kan, Nath?" Tanya Thania menghentikan keheningan di antara mereka.

"Kok tiba-tiba nanya begitu?" Tanya Nathan dengan heran.

"Yaa," Thania memanjang-manjangkan nada bicaranya, "Memangnya nggak boleh kalau aku mau tahu? Jadi kapan kamu terakhir kali pacaran?" Tanyanya lagi karena Nathan kelihatan tidak akan menjawab pertanyaannya sebelumnya.

"Hmm, tahun lalu." Jawab Nathan akhirnya, "tapi aku udah pacaran sama dia dari waktu kuliah. Tahun lalu kita putusnya."

Thania memutar tubuhnya sedikit, tidak bisa terlalu banyak karena perut buncitnya menghalangi geraknya. Dia menegakkan tubuhnya dan mempertemukan pandangan kembali dengan Nathan dibawahnya.

"Kamu pacaran berapa lama tuh? Lama juga ya?" Tanya Thania dengan penasaran.

"Hmm, ya lumayan, hampir tujuh tahun lah."

"Terus kenapa putus?"

Nathan mengusap perut buncit Thania sambil tersenyum kecil, "Penasaran banget ya?"

Thania mengerucutkan bibirnya kesal. Dia menyesal bernada seantusias barusan hanya karena rasa ingin tahu sialannya saja.

Nathan mengecup bibirnya lagi singkat karena gemas. Jarang-jarang wanita itu menunjukkan wajah merajuk yang menggemaskan seperti ini. Biasanya yang ditunjukkan Thania cuma wajah galak dan ketusnya saja.

"Jadi kenapa kamu putus?" Tanya Thania sekali lagi belum menyerah.

"Kamu beneran mau tahu?" Nathan balik bertanya. Sedikit heran dengan rasa penasaran yang tidak wajar dari Thania, apalagi dengan topik pilihannya yang terlalu random, yaitu mantan pacarnya.

Thania mengangguk.

Nathan menimbang-nimbang sejenak jawaban yang perlu diberikannya sebelum berbicara, "Ya, nggak ada alasan khusus sih. Mungkin karena kita ngejalanin terlalu lama dan terasa kayak jalan ditempat, atau setelah tujuh tahun kita baru sadar kalo rasa sayang kita cuma seperti teman. Entahlah. Yang pasti kita putus baik-baik kok. Dia bilang mau kita udahan dan aku okein juga."

"Dia yang putusin kamu?"

Nathan mengangguk, "Dia yang buka omongan, tapi kita emang sepakat."

"Dan selama tujuh tahun itu, kamu nggak pernah.. sama dia?" Thania sengaja tidak menyelesaikan pertanyaannya, berharap lelaki itu menjawab setelah mengerti sendiri.

"Pernah apa?" Nathan tersenyum.

Thania sebal. Lelaki itu jelas tahu apa yang dimaksudnya namun sengaja ingin Thania memperjelasnya.

"Nggak, Tha. Apapun yang kamu maksud itu, aku nggak pernah melakukannya sama dia." Jawab Nathan setelah puas menggodanya, "Aku nggak pernah sama siapapun kecuali kamu."

Nathan menarik kepala Thania dan menjatuhkannya kembali ke pundaknya. "Dan kamu hamil bayi aku, jadi nggak usah mikir yang aneh-aneh lagi." Nathan mengecup puncak kepalanya sambil mengusapnya sayang.

Thania mengangguk di dadanya, "Nath, tidur disini ya," pintanya lagi dengan nada manja.

Dan Nathan kehilangan pertahanan terakhirnya setelah mendengar suara meminta barusan.

"Aku kabarin orang rumahku dulu ya, Tha."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top