Part 10 - Bizarre Relationship

Keseharian Nathan beberapa minggu belakangan ini sudah membentuk suatu rutinitas berulang. Semenjak dia mendapatkan fakta bahwa dia akan menjadi seorang ayah dan dia sedang mengusahakan yang terbaik untuk calon bayinya.

Pagi-pagi sekali Nathan sudah terbangun dan langsung berangkat menuju ke apartemen yang disewanya untuk Thania. Biasanya dia menyempatkan diri untuk membawakan sarapan yang dibuatkan Mamanya kalau wanita paruh baya itu sempat, atau membelikan nasi uduk atau bubur di warung yang dilewatinya sepanjang perjalanan sebagai alternatifnya.

Kemudian dia menunggu Thania turun ke lobi apartemen dan masuk mobilnya untuk berangkat bersama-sama menuju kantor Thania sebelum dia sendiri berangkat ke kantor.

Siang hari, di jam makan siang, Nathan juga berusaha menyempatkan diri menelepon wanita itu, sekedar menanyakan apa yang dimakannya siang itu, untuk memastikan Thania tetap memperhatikan asupan gizinya dan bayi mereka.

Dan setelah pulang kantor Nathan akan langsung meluncur ke kantor Thania. Kalau dia sampai ke sana sebelum matahari terbenam, Nathan akan menunggunya sambil nongkrong di coffee shop kantor tersebut, biasanya bersama Davin yang juga sama-sama menunggui Andrea untuk pulang bersama. Dan kalau dia lebih telat tiba di sana, dia akan langsung menjemput Thania di lobi sebelum mereka pergi makan malam berdua.

Nathan kini sudah terbiasa menyapa Andrea dan Riyo ketika mereka berpapasan saat dia menjemput Thania di kantornya. Apalagi Nathan merasa akan banyak membutuhkan bantuan Andrea ke depannya untuk bisa menjaga Thania yang memang dengan sengaja disewakan apartemen dekat dengan sahabatnya tersebut.

Lelaki itu juga sudah bercerita kepada kedua orang tuanya, tentang penolakanThania untuk dinikahinya, dan bahwa dia akan tetap berusaha merubah pikiran wanita itu untuk mau dinikahinya, karena dia harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya.

"Kenapa dia nggak mau kamu tanggung jawab, Nath?"

Kedua orang tuanya sudah mempertanyakan pertanyaan yang sama berulang kali seperti kaset rusak. Dan Nathan tidak pernah bisa memberikan jawaban yang memuaskan bagi kedua orang tuanya, karena dia sendiripun tidak tahu apa alasannya. Atau mungkin dia hanya tidak berani mengakui, walau dia tahu jelas, bahwa tentu saja menikah dengan dirinya tidak pernah akan menjadi opsi dalam hidup wanita itu. Nathan yakin Thania bisa mendapatkan lelaki yang puluhan kali lebih baik dari dirinya.  Jadi dia sudah harus cukup bersyukur karena Thania tetap mengijinkannya menjadi ayah bayinya.

***

Thania menekan logo hijau di layar ponselnya yang berkedip-kedip sebelum menempelkannya ke daun telinga.

"Ya," jawab Thania singkat.

"..."

"Udah, gue lagi makan sekarang."

"..."

"Sama Andrea."

"..."

"Makan di kantin kok."

"..."

"Nanti malem gue lembur. Kayaknya bakal balik malem. Nanti gue balik bareng Andrea aja."

"..."

"Ya udah, terserah." Thania menjawab sambil menghela napas. Dia tidak menyadari bahwa tangannya sendiri sudah bertengger di atas perutnya yang sudah mulai membuncit, sedang sibuk mengusap-usap.

Thania kini sudah tidak menggunakan pakaian-pakaian yang mengikuti bentuk tubuhnya lagi. Semenjak perutnya sudah sedikit membuncit, dia membeli beberapa pakaian yang longgar dan memudahkan geraknya. Thania belum kelihatan hamil kecuali saat dia sedang mengusapnya seperti sekarang ini.

Thania mematikan sambungan teleponnya dan kembali mengambil sendok untuk melanjutkan makan siangnya.

Sementara Andrea memperhatikan sahabatnya itu dengan pandangan asing.

"Jadi hubungan kalian tuh sebenernya gimana sih?" Tanya Andrea penasaran.

"Hubungan apa sih?" Thania balik bertanya dengan acuh.

"Ya, pacaran? Atau akan nikah? Atau partner?" Andrea memberikan opsi-opsi yang terpikirkan.

"Kita temen kok."

"Temen?" Andrea mengerutkan keningnya ragu, "Temen macam apa yang punya anak bareng, Ta?"

Thania memandang Andrea dengan kesal, "Kenapa belakangan lo jadi kepo banget sih? Dulu-dulu lo nggak serempong ini urusin gue."

"Ya dulu tujuan hidup lo jelas." Kata Andrea sebal. Dia ikut terpancing. "Sekarang, lo nikah nggak mau tapi mau gedein anak itu sendirian. Gue itu khawatir sama lo, tau nggak Ta? Lo kira gampang ngurus anak sendirian."

Thania menghela napas panjang sebelum menjawab, "Gue nggak sendirian kok. Nathan bakal bantu gue urus anak ini."

"Itu yang gue bilang nggak jelas dari hidup lo, Ta. Kalian cuma temen, tapi lo sama Nathan bakal urus anak kalian sama-sama?"

"Dia bilang dia mau tanggung jawab, dan gue ijinin dia jadi ayah bayi gue." Jelas Thania.

"Tanpa nikah sama lo." Tambah Andrea.

"Dia tetap berhak jadi ayah bayi gue tanpa nikah sama gue." Ulang Thania.

Andrea menggeleng-gelengkan kepalanya habis akal, "Sinting emang lo! Gue nggak ngerti kenapa lo nggak mau nikah sama Nathan padahal dia udah mau tanggung jawab buat bayi lo."

Thania menundukkan kepalanya merenung. Dia bergumam sangat pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri, "gue nggak mau dia nikahin gue cuma karena merasa bertanggung jawab."

"Lo bilang apa?" Tanya Andrea.

Thania menggeleng. Menolak mengulang apa yang dikatakannya walaupun sahabatnya itu tidak mendengar.

Andrea memutuskan untuk tidak melanjutkan argumentasinya, dan menanyakan hal yang baru saja diingatnya, "Nanti malem lo bakalan ikut gue lembur?" Tanyanya atas hasilnya menguping pembicaraan Thania di telepon tadi.

"Iya, masih banyak yang belum kelar kan buat acara dua minggu lagi," Thania mengangguk sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri.

"Lo nggak perlu balik malem sih. Gue bisa kelarin sendiri kok. Cuma tinggal ngurusin list undangan doang."

"Nggak apa-apa, gue bantu kan makin cepet kelarnya daripada sendirian."

Andrea memandang sangsi ke arah perut sahabatnya tersebut, membuat Thania sekali lagi mengusap perut buncitnya sambil berdecak.

"Gue nggak kenapa-kenapa, Nyet. Cuma lembur pulang malem beberapa hari nggak akan bikin gue kenapa-kenapa."

"Tapi lo harus bilang kalo lo nggak kuat atau merasa nggak enak," kata Andrea memberi syarat.

"Iya," kata Thania kesal, "Nggak usah jadi keduanya Nathan deh."

"Mana mungkin laki kayak Nathan yang udah diusir tetep mau tanggung jawab bisa ada lagi di dunia ini. Cuma ada dia satu kali," sindir Andrea.

Dan Thania memutuskan pura-pura tuli.

***

"Lo mau makan apa, Tha?"

Thania masih memejamkan matanya tidak peduli bahkan setelah mendengar pertanyaan Nathan atas kebungkamannya sepanjang perjalanan mereka pulang. Dua malam berturut-turut kembali dari kantor jam sepuluh malam ternyata sangat menguras tenaganya.

Padahal pekerjaannya sebelum ini,yang menuntutnya berdiri dengan high heels lebih dari dua belas jam berhari-hari dan menghabiskan weekend dengan minum-minum dan berdansa gila-gilaan, tidak pernah benar-benar membuatnya merasakan lelah. Dan semua karena bayinya. Karena bayi dari lelaki di sebelahnya. Mengingat hal itu saja sudah membuat kekesalannya meningkat berkali-kali lipat.

Dia lapar. Tapi membayangkan sedikit lebih lama berada dalam satu ruangan dengan lelaki itu saja berhasil membuatnya semakin kesal. Kini dia lelah, lapar dan kesal.

"Nggak usah. Gue mau pulang." jawabnya ketus. Thania masih membuang wajahnya ke arah jalanan sambil menyandarkan kening ke jendela. Matanya masih terpejam erat.

"Lo terakhir makan jam berapa? Meskipun lo nggak mau makan, bayinya pasti lapar, Tha." kata Nathan perlahan, "Atau kita mampir beli makanan dulu ya? Jadi lo bisa makan di apartemen setelah balik nanti."

Thania menggeram kesal.

"Gue udah bilang gue nggak mau! Damn! Kenapa musti paksa gue terus sih?! Gue mau pulang, Nathan!" Thania memaki dengan nada tinggi dan suara separuh berteriak sambil memutar pandangannya kepada lelaki yang duduk di sampingnya.

Dan Thania menyesal melakukannya. Bukan menyesal karena meninggikan suara dan membentak lelaki itu, tapi dia menyesal karena harus menengok dan menyaksikan wajah terluka ayah bayinya. Dan kini perutnya terasa tertusuk-tusuk oleh rasa bersalah karena bahkan Nathan tidak membalas perkataannya, apalagi balik membentaknya.

Lelaki itu mengembalikan pandangannya ke arah jalanan dan melanjutkan mengendarai mobilnya, seolah tidak terjadi pembicaraan apapun di antara mereka sebelumnya, kecuali atas kebungkamannya yang Thania yakin sebagai ungkapan sakit hatinya.

Thania ikut mengembalikan pandangannya ke arah kirinya, menghindari agar pandangannya tidak kembali bertemu dengan Nathan lagi.

Segera setelah Nathan menghentikan kendaraan di depan lobi apartemennya, Thania melepaskan sabuk pengaman, membawa tasnya dan keluar dari mobil tanpa berbicara sepatah katapun kepada lelaki itu.

Perasaannya bercampur aduk saat ini. Antara rasa kesalnya yang masih belum hilang dan rasa bersalahnya setiap kali terbayang wajah lelaki itu.

Thania meyakinkan dirinya bahwa tidak sepenuhnya kejadian tadi merupakan kesalahannya. Dia tidak pernah menyuruh lelaki itu masuk dalam hidupnya. Dia tidak pernah meminta lelaki itu mengantar jemputnya setiap hari hanya karena ada bayi dalam perutnya yang muncul karena keteledoran mereka berdua. Thania juga tidak memaksa lelaki itu bertanggung jawab atasnya.

Mungkin setelah ini Nathan tidak akan datang menjemputnya lagi, setelah perlakuannya kepada lelaki itu. Mungkin bahkan Nathan akan meminta Thania pergi dari apartemen yang setengahnya merupakan hak lelaki itu yang kini ditinggalinya.

Thania tidak peduli. Dia memang sudah menduga ini akan terjadi cepat atau lambat. Thania hanya tinggal kembali ke kost-an lamanya. Dia juga belum membongkar semua barang miliknya. Dia hanya tinggal kembali kepada rencana awalnya untuk membesarkan bayinya sendirian.

Well, lelaki mana yang harga dirinya tidak akan terluka diperlakukan seperti itu. Thania tahu jelas itu. Mungkin di lubuk hatinya yang paling dalam, dia sengaja melakukannya, membuat lelaki itu menghentikan segala usahanya untuk bertanggung jawab.

Dan yang perlu dilakukannya saat ini hanya meyakinkan dirinya. Bahwa tindakannya tidak salah. Nathan pasti akan berterima kasih kepadanya suatu saat karena sudah membebaskannya dari kata tanggung jawab yang harus diembannya.

Bel pintu apartemennya berbunyi saat Thania baru saja keluar dari kamar mandi. Thania berdecak kesal entah kepada siapa yang mengganggunya malam-malam seperti ini.

Dia membuka pintu tanpa membuka rantai pengaitnya, hanya untuk mengintip. Namun tidak ada siapa-siapa di sana. Thania hampir menutup kembali daun pintunya ketika menemukan sebuah kantong plastik tergantung di kenop bagian luar.

Thania menutup pintu untuk melepaskan rantai pengait sebelum membukanya kembali. Dia mengambil kantong plastik yang ternyata berisi sebuah boks karton. Dari harumnya saja dia tahu itu makanan.

Thania menarik sebuah kertas yang terselotip di atas boks karton tersebut. Coretan tangan yang sangat bisa dikenalinya walau sang penulis tidak menyebutkan namanya sama sekali.

Thania merasa perutnya sekali lagi tertusuk-tusuk. Kali ini lebih menyakitkan dari sebelumnya. Mungkin kali ini bayinya ikut memukulnya sekuat tenaga karena sudah menyakiti papanya sedemikian rupa.

Makan, Tha. Bayi gue butuh makan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top