6. Fallen Inn

Kali pertama aku menulis buku, satu-satunya hal yang kupikirkan adalah bagaimana caraku menarik perhatian orang-orang, dan satu-satunya jalan yang kutempuh saat itu adalah memanipulasi pikiran orang-orang, mengambil tema cerita yang sebenarnya sangat tak kusukai—romantis. Hingga di luar dugaan, aku berhasil menyelesaikannya.

Buku pertamaku berjudul Kisah Dua Insan. Tampak klise dan memang seperti itu. Hanya berisi imajinasi tinggi yang selalu perempuan-perempuan remaja ingin alami. Karya yang menurutku sangat masterpiece pada masanya itu tidak terlalu dikenal, tetapi berhasil menjebak orang-orang. Mereka berpikir bahwa penulisnya adalah perempuan hebat yang berhasil menuliskan impian mereka di atas kertas.

Buku-buku selanjutnya pun tak jauh lebih. Jika orang-orang mengunjungi toko, maka mereka akan menemukan nama A. Tora di bagian buku-buku romantis, dan hal itu berlangsung terus selama belasan tahun. Namun, seolah aku sudah mendapatkan popularitas yang cukup—menurutku, aku langsung menyatakan diri, memberitahukan pada orang lain, bahwa pengembaraanku di dunia romantis akan berakhir dan meminta semua orang bersiap-siap melihat sisi manusiaku yang lain.

Aku rasa sebagian besar orang—kebanyakan remaja menuju dewasa muda—yang menyukai bukuku langsung kecewa. Namun, ya, aku sendiri tidak mempermasalahkannya, sih. Toh kekecewaan yang sama juga sering mereka keluarkan secara blak-blakan ketika mengetahui sosok diriku yang sebenarnya—bukan perempuan muda yang cantik yang biasanya menjadi idaman para pria, maupun seorang lelaki muda tampan dengan wajah bening.

Pernyataan itu pertama kali kuberikan ketika mengisi acara kecil-kecilan, di mana sebuah komunitas pecinta buku memintaku membagikan pengalaman dalam menulis buku.

Di tengah lingkaran besar orang-orang yang aku sendiri berada di antaranya, aku mengatakan, "Sebenarnya aku ingin menulis fiksi kriminal atau misteri. Apapun yang berkaitan dengan tragedi," Namun, entah karena tak menyimak atau apa, mereka hanya melongo tanpa memberikan reaksi. Setelahnya, barulah muncul timbul pertanyaan, "Kenapa?"

Kenapa? Ya, karena aku memang ingin menuliskannya saja.

Akhir dari acara itu bisa dibilang tidak begitu sukses untukku, tetapi juga tidak hancur sepenuhnya. Aku hanya menjalani keinginan mereka—orang-orang yang mengundangku—untuk datang menjadi narasumber. Mereka tidak memberikan gambaran apa saja yang harus kukatakan selama menjadi pembicara. Jadi, tak ada salahnya jika aku mengungkapkan keinginanku, kan?

Setelahnya, aku pulang ketika matahari telah terbenam. Jalanan yang tak kukenal membuatku terpaksa melajukan mobil secara perlahan. Tak ada pilihan lain yang bisa kulakukan selain mengikuti peta yang ditunjukkan pada ponselku. Namun, satu kejadian aneh menimpaku.

Aku tersesat, memutari jalan yang tak kukenal, mengikuti gerakan peta yang malah membawaku ke jalan sempit, kemudian menembus jalan utama yang memotong hutan. Rasanya aneh masih bisa melihat hutan belantara di sisi kiri dan kanan jalan di pulau Jawa, di seberang kota, lagi, tetapi memang begitulah adanya.

Tak adanya penerangan membuatku semakin berhat-hati. Kecepatannya tak kubuat lebih dari dua puluh kilometer perjam, dan aku yakin akan memakan waktu yang sangat lama.

Antara ingin cepat pulang dan ingin menunggu terlebih dahulu sampai matahari terbit, aku berhasil melihat penginapan ketika lampu mobilku menyorotinya. Tidak besar dan mewah, tetapi kurasa cukup nyaman untuk dijadikan tempat singgah. Pikiranku saat itu, sang pemilik sengaja membuat penginapan di antah berantah untuk orang-orang sepertiku—tersesat.

Semakin kudekati, semakin itu terlihat semakin besar. Dengan pepohonan yang mengitarinya, bentuk balok bangunan seolah menjadi daya tarik tersendiri. Tak ada pagar, tak ada penjagaan, dan tak kulihat orang-orang yang berkeliaran di luar penginapan. Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di parkiran penginapan.

Setelah kuparkirkan mobil sewaan yang telah kukendarai sedari tadi, aku keluar, merasakan hawa dingin langsung menyerang tubuhku. Angin kencang juga turut berpartisipasi, berusaha membuatku mati kedinginan. Aku sempat bimbang untuk kembali melanjutkan perjalanan atau tetap mengikuti rencanaku sebelumnya—menginap. Namun, kuputuskan untuk tetap menginap. Ya, setidaknya aku tidak terlihat seperti orang brengsek pemberi harapan palsu yang hanya menanyakan "Permisi, ini di mana, ya?" kemudian pergi, kan?

Penginapan ini memiliki dua bangunan. Salah satunya hanya berisi kamar dengan pintu-pintu yang berjejer memanjang, sedangkan satunya lagi—tampaknya—memiliki lobi utama untuk menerima tamu. Lampu terangnya seolah mengundangku untuk segera masuk.

Bangunannya terbuat dari kayu dan berhasil menyita perhatianku sesaat. Bangunan seperti ini biasanya kutemui di daerah pedesaan, itu pun bangunan-bangunan lama. Mungkin rumah-rumah yang dibangun sebelum Indonesia merdeka? Walaupun tak menutup kemungkinan juga bangunan penginapan ini dibuat dari kayu untuk menarik perhatian pengunjung.

Sepertiku.

Pintu utamanya reyot. Sedikit saja kukeluarkan tenaga lebih, sudah pasti aku harus mengganti biaya penggantian pintu. Engselnya pun tampaknya sudah koyak, mungkin juga berkarat—tak dapat kulihat dengan jelas. Keempat jendela yang dipasang pada pintu sebenarnya berhasil menampilkan pemandangan eksterior ruangan utama, tetapi aku tak menaruh perhatian untuk mengintip-intip terlebih dahulu.

Seorang lelaki tua berkumis lebat dengan rambut putih di mana-mana langsung melihat ke arahku. Kaus flanel kotak-kotaknya terlihat usang, tetapi terlihat nyaman untuk dipakai di tengah malam. Pensil kayu yang dipakainya langsung dimain-mainkan, mengetuk meja hingga menimbulkan suara tuk yang cukup menyebalkan.

Aku yang tak ingin menunggu waktu lebih lama lagi langsung mendekatinya.

"Ada kamar kosong, Pak?"

Orang tua itu tak langsung menjawab, membuat pemikiranku lari ke sana dan ke sini, bingung karena tengah berada di daerah yang tak kukenali.

Namun, pada akhirnya aku bisa mendengarnya berbicara.

"Ada."

"Kalau begitu saya book satu kamar, Pak."

"Kenapa kau ingin tidur di sini?"

Aku tidak tahu apakah si orang tua itu sudah merasa terlalu kaya sehingga pertanyaannya seolah tak menunjukkan bahwa ia membutuhkan seorang pelanggan, atau aku yang terlalu kelelahan sehingga menyimpulkan bahwa orang tua itu sudah terlalu kaya sehingga ia tak membutuhkan seorang pelanggan.

Namun, kenapa aku ingin tidur di sini? Ya tentu saja karena aku ingin istirahat, kan?

"Saya tersesat," kataku, pada akhirnya.

"Banyak orang yang tersesat di area ini."

"Benarkah?"

"Ya." Orang tua itu masih asik memainkan pensilnya. Namun, suaranya sedikit teredam karena percakapan yang kami lakukan. "Mereka mengikuti peta dan diarahkan ke sini."

"Ya, saya juga begitu."

"Kenapa tidak melanjutkan perjalanan saja?"

Baiklah, dari seluruh penginapan yang pernah kusinggahi, mungkin orang tua ini satu-satunya penerima tamu tak ramah yang pernah kutemui.

"Saya ingin istirahat sebentar, kebetulan melewati penginapan ini," kataku.

"Baiklah kalau begitu." Orang tua itu langsung berputar membelakangiku, kemudian mengambil salah satu kunci yang digantung di belakangnya. Di saat yang bersamaan, aku memutar, memindai, melihat seluruh pojok yang ada di dalam ruangan utama ini.

Kursi dan meja kayu disediakan sebagai tempat menunggu, tetapi hanya itu. Tak ada ornamen tambahan, tak ada hiasan-hiasan yang sengaja dibuat agar tempat ini menjadi lebih menarik. Bahkan, karpet pun tidak ada. Lebih mirip seperti kabin sederhana yang sengaja dibuat untuk ditempati selama beberapa hari sebelum akhirnya ditinggalkan.

"Sudah berapa lama penginapan ini dibangun?" Aku bertanya, mencoba berbasa-basi. Tentu, sebagai penulis, aku harus bisa menggali banyak informasi, kan?

Ya, sebenarnya tidak hanya basa-basi juga, sih, toh sebenarnya tak ada yang kuinginkan darinya selain kunci kamar, kan?

Orang tua itu memberikan kuncinya padaku. "Sangat lama," katanya. Kemudian orang tua itu kembali duduk, menuliskan sesuatu pada sehelai kertas yang ada di atas meja. "Lebih lama dari yang kau bayangkan."

"Anda bilang orang-orang sering datang ke sini karena tersesat. Bukan begitu, Pak?" Aku kembali bertanya, dan orang tua itu mengangguk mengiyakan pertanyaanku. "Seberapa sering?"

"Cukup sering."

"Termasuk hari ini?"

"Tidak, hari ini hanya kau."

Aku menaikkan sebelah alis. "Ada lumayan banyak mobil yang diparkir di luar sana."

"Oh, maksudku hanya kau yang datang hari ini. Mereka sudah menginap jauh-jauh hari sebelumnya."

Namun, jawabannya itu tak berhasil memuaskan rasa penasaranku.

"Aku pikir mereka hanya akan menginap selama satu malam. Bukankah Anda bilang mereka orang-orang yang tersesat?"

"Orang-orang suka berubah pikiran," jawab orang tua itu. "Bagaimana denganmu? Berapa lama kau akan menginap?"

"Satu malam saja cukup." Aku mengacungkan jari telunjuk, berusaha menekankan bahwa aku tak ingin menginap lebih lama lagi di tempat ini. Orang tua itu kembali bertanya, tetapi aku tetap teguh pada pendirianku, hingga akhirnya orang tua itu mengatakan, "Kita lihat saja nanti."

Sebenarnya, meskipun dengan segala kekurangan yang ada, tempat ini patut untuk disukai banyak orang—aku sendiri mengakuinya. Kekurangan itu bisa dianggap sebagai kesederhanaan, dan kau bisa mendengar berbagai macam bunyi binatang di luar sana yang mungkin sudah tak akan pernah kau dengarkan di perkotaan.

Penginapan ini bisa menjadi tempat yang paling nyaman ketika kau memiliki hari terburuk sepanjang sejarah.

Orang tua itu kembali menarikan pensilnya di atas kertas. Segera setelah selesai, ia menyodorkan kertasnya padaku. "Sila tanda tangan di sini," katanya, sembari menyodorkan secarik kertas—benar-benar kertas tanpa dijadikan buku—dan pensil yang sebelumnya ia gunakan.

Nama Sastora ada di sana.

Aku membelalakkan mata. Tulisan itu hampir tenggelam tak terlihat karena guratan grafit yang cukup bersatu dengan kertas, tetapi aku yakin tak salah lihat. Bahkan, kugosok kedua mataku berulang kali, memastikan bahwa nama yang ada di sana adalah namaku, dan sodoran pensil dari orang tua itu memang sengaja diletakkannya di pinggir namaku.

"Memangnya saya sudah memberitahukan nama saya?"

Si orang tua itu tertawa.

"Saat kau masuk, aku sudah tahu berhadapan dengan siapa," katanya. "Kau adalah penulis buku."

"Saya tak menyangka jika Anda akan mengenal saya."

"Kau pikir karena aku tinggal di antah berantah, aku tidak akan mengenalmu?"

"Bahkan orang-orang yang tidak tinggal di antah berantah saja belum tentu mengenal saya." Aku mengangkat pensil yang selama beberapa detik tadi menganggur, membubuhkan tanda tangan di samping namaku, juga mengintip nama-nama yang sudah lebih dulu membubuhkan tanda tangan sebelum diriku.

Seperti apa yang orang tua itu bilang, orang-orang memang menyewa kamar beberapa hari sebelum hari ini, dan aku adalah satu-satunya orang yang datang di hari ini.

Aku kembali bertanya, "Apa Anda suka membaca buku?"

"Membaca buku adalah satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan."

"Bukannya saya tidak ingin berterima kasih pada Anda, Pak," balasku, "Tetapi rasanya buku yang saya tulis bukan jenis buku yang orang seperti Anda baca."

"Memangnya menurut pendapatmu, buku seperti apa yang kubaca?" Tangan orang tua itu dilipatnya, kemudian membusungkan dada seolah-olah dia masih muda—lebih muda dari diriku. Dia tersenyum sumringah, kemudian tertawa kecil di antaranya.

Aku tahu jelas bahwa bukuku sangat cocok untuk perempuan-perempuan remaja haus cinta. Namun, bukan berarti secara otomatis aku bisa mengetahui jenis buku bacaan yang biasanya orang tua baca.

Mungkin buku nonfiksi?

"Saya rasa buku tentang perang atau kehidupan di masa tua. Atau motivasi diri, mungkin? Yang jelas bukan novel."

"Salah," balasnya, padat dan jelas.

"Lalu?"

"Aku membaca semua jenis tulisan, termasuk tulisanmu, dan aku menyukainya."

"Saya tersanjung."

"Seperti yang kubilang, aku tak memiliki kegiatan lain selain membaca buku."

Aku mengembalikan kertas—yang kuduga ia jadikan sebagai daftar tamu—pada orang tua itu. Tentu, sekaligus dengan pensilnya. Kemudian, aku kembali bertanya, "Apakah Anda pemilik penginapan ini?"

"Ya. Tak hanya penginapan ini, sebenarnya. Tapi tanah di tempat ini juga."

"Benarkah?"

"Tentu."

"Jadi hutan ini adalah milik Anda?"

"Benar."

"Aku tidak mengerti. Maksudnya Anda pemilik tanah ini? Seluruh hutan? Betapa kaya rayanya Anda jika begitu, tetapi memangnya bisa?"

Si orang tua tersenyum kecil. "Berbeda dengan jaman sekarang, kau tidak perlu surat segala macam untuk mengklaim tanah, bahkan hutan belantara seperti ini juga bisa menjadi milikmu. Atau kau juga bisa membeli tanah yang luas dan membiarkan pepohonan besar tumbuh untuk membuat hutan buatan. Intinya, aku adalah pemilik tanah di mana hutan ini ada."

"Anda tinggal di tempat ini sendirian?"

Orang tua itu menggeleng. "Tidak, aku tidak sendirian."

Sayangnya, kurasa pertanyaan-pertanyaan itu sudah terlalu menyangkut masalah personal. Sebenarnya masih ada banyak pertanyaan seperti ke mana keluarganya pergi, kenapa dia masih menjaga tempat ini seorang diri di tengah malam, dan lainnya yang menurutku patut kupertanyakan. Namun, tentu tak etis juga untuk mencari tahu sedalam itu, kan?

Jadi, aku berkata, "Syukurlah kalau begitu." Kemudian, aku berterima kasih dan langsung meminta petunjuk kamar mana yang akan kutempati malam itu.

Orang tua itu sempat menawarkan diri untuk mengantarku, tetapi aku menolaknya. Arahan sederhana, itulah yang kuperlukan. Lagipula gantungan kunci yang menempel juga memberitahukan nomor kamar yang harus kutempati.

Untuk ukuran penginapan di antah berantah yang dijaga seorang diri, orang tua setua dia, keteraturan yang dilakukannya luar biasa rapi. Selain itu, tampaknya kurasa harus kutarik bahwa orang tua itu merupakan salah satu penerima tamu terburuk yang pernah kutemui.

Kurasa dia hanya bingung, kenapa orang seperti diriku ingin menginap di tempatnya. Semuanya masuk akal ketika aku tahu bahwa ia mengenalku. Maksudku, berapa besar sih peluang aku datang ke tempat ini? Kalaupun peluang itu kuambil, alasan apa—selain karena tersesat—yang sengaja kupilih untuk menginap di tempat ini? Lagipula aku tak melihatnya menulis ketika aku masuk ke dalam lobi.

Kamarku ada di gedung kedua. Jadi, aku keluar dari pintu utama, berjalan melewati parkiran di antara mobil-mobil yang diparkir untuk sampai ke sana. Aku sempat berpesan pada orang tua itu. "Kalau bisa jangan menuliskan daftar tamu hanya dengan pensil." Tentu, tak ada yang tahu manusia jenis apa yang akan menginap di tempat ini. Sekalipun mendekati mustahil, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk seseorang sengaja menghapus namanya dari daftar tamu, menghindari pembayaran. Lebih baik mencegah hal itu terjadi, kan? Apalagi orang tua itu tidak meminta uang muka.

Namun, si orang tua berkata bahwa ia lebih menyukai pensil, yang tentu saja tak dapat kupaksakan. Toh, itu pilihannya, kan? Aku hanya menawarkan ide, bukan memaksanya untuk mengikuti perintahku. Bukan penginapanku ini juga.

Pintu kamar itu sangat sulit dibuka. Berulang kali kuputar kunci, memastikan bahwa suara akan terbukanya kuncian pintu bisa kudengar. Namun, ketika kutarik gagang pintu, mendorongnya, pintu itu masih belum terbuka, membuatku terpaksa bekerja keras beberapa kali, sampai akhirnya berhasil di kali keempat.

Ruangannya sangat gelap, padahal lampu di luar cukup terang.

Aku meraba dinding, mencari saklar lampu, dan sukses menekannya setelah beberapa menit pencarian. Tak kalah sederhananya dengan ruangan utama, kamar ini hanya berisi satu tempat tidur dan sebuah lemari.

Aku pikir hanya dinding bangunan yang masih dibuat dari kayu, ternyata lantai dasarnya pun sama. Aku yang tadinya akan membuka sepatu akhirnya mengurungkan niat. Setidaknya, aku akan menunggu sampai benar-benar berada di atas kasur. Aku tak ingin telapak kakiku kotor karena tak tahu di mana dapat kubasuh telapak kakiku itu seandainya terjadi.

Selain itu, kamar ini hanya memiliki tepat satu buah jendela, mengarah ke tempat parkir di mana bisa kuperhatikan mobilku yang terparkir di sana. Setelahnya benar-benar tak ada apapun. Tak ada hiburan yang dapat kulakukan. Televisi, radio, atau bahkan kursi yang dapat kugunakan untuk bersantai pun tak ada. Selain itu, juga tak ada stop kontak yang dapat kugunakan untuk mengisi baterai ponsel maupun laptop.

Baiklah, tampaknya tempat ini memang hanya bisa digunakan sebagai tempat singgah satu malam. Pertanyaannya, kenapa orang-orang selain diriku betah menginap di tempat ini? Apa yang mereka lakukan di siang hari? Di sini tak ada apa-apa, kan?

Namun, bukannya langsung berhasil menutup mata setelah melepaskan sepatu, melompat ke atas kasur, dan merebahkan diri, pikiranku malah melayang ke mana-mana, mengingat pertanyaan yang masih belum bisa kujawab itu.

Jika mereka benar-benar tersesat dan tak sengaja menginap di tempat ini, seharusnya mereka tak memiliki persiapan, kan? Kurang lebih sepertiku: tak membawa baju ganti, tak membawa alat-alat yang dapat kugunakan untuk menghibur diri seperti senapan berburu atau semacamnya, dan yang jelas sengaja tak menggunakan ponsel untuk menghemat baterai, karena aku tidak tahu di mana bisa kuisi dayanya jika habis.

Apa yang membuat orang-orang memilih untuk berlama-lama di tempat ini? Apakah karena cuaca dingin yang menyejukkan? Apa karena mereka sudah terlalu lama hidup di kota sehingga lupa akan keindahan alam?

Aku rasa tidak mungkin.

Aku berguling, menatap tembok kayu yang terlalu gelap untuk kuperhatikan. Cahaya lampu tertutup oleh tubuhku. Aku harap dengan menatap kegelapan, seluruh pikiranku itu juga akan tenggelam di dalamnya. Ya, walaupun efeknya tak langsung terasa, paling tidak tiga puluh menit setelah itu mataku berhasil terpejam. Pikiranku terlepas begitu saja, seolah membuat tubuhku melayang dan melupakan semuanya.

Setidaknya sampai seseorang mengetuk pintu.

Aku bangun, tersentak, dan berpikir harus bangkit dari tempat tidur untuk membukakan pintu di tengah antara sadar dan tidak kesadaranku. Namun, tak hanya menggeleng-gelengkan kepala, menunggu kesadaranku sepenuhnya muncul, aku juga harus berpikir keras untuk beradaptasi dengan keadaan yang tidak semestinya.

Aku bangun di dalam mobil, lengkap dengan empat pintu dan bagasi di belakang. Sendirian, duduk di bangku pengemudi, dengan mesin dalam keadaan menyala. Matahari tengah menyingsing, tetapi aku tidak tahu sudah berapa lama, sedangkan ketukan itu masih belum berhenti.

Aku menengok ke arah jendela pengemudi, seorang lelaki, mungkin berusia sekitar empat puluh hingga lima puluhan, mengadu engsel jarinya dengan jendela mobil itu. Wajahnya yang terlalu didekatkan pada jendela membuat kumisnya beradu dengan jendela. Ketika aku menurunkan jendela, barulah kepalanya dimundurkan.

"Kunaon, Kang?" Pertanyaan itu langsung dilemparkannya. Secara kasar, dapat kuterjemahkan sebagai kenapa, Kang? Yang malah membuatku semakin kebingungan.

Kenapa apanya? Aku tidur dengan nyenyak dan secara tiba-tiba ia bertanya kenapa. Hingga akhirnya pertanyaan yang serupa kulontarkan dari dalam hati: kenapa aku bangun di atas bangku pengemudi?

"Teu nanaon, A," balasku setelahnya, berusaha meredam rasa bingungku, tak memperlihatkannya sama sekali.

"Badé didérék mobilna, Kang?"

Barulah ketika pertanyaannya itu disampaikan, aku sadar telah keluar jalur, menginjak rerumputan dan berhenti tepat di depan pohon, mungkin hanya berjarak beberapa sentimeter sebelum kutabrak. Atau mungkin sebenarnya telah kutabrak?

Aku mengganti gigi, memundurkan mobil.

Tak ada masalah.

"Teu kedah, A," kataku, memberitahu. Setelah memastikan bahwa aku baik-baik saja, pria itu kemudian berteriak dalam bahasa Sunda. Ia mengangkat kedua tangannya, kemudian menyilang-nyilangkan lengannya ke arah sebuah truk yang ada, tak jauh dari mobil ini. Bedanya, truk itu berada di dalam jalur yang seharusnya.

Setelahnya, pria itu pergi menaiki truk. Ucapan semoga berhasilnya disampaikan padaku, dan aku tak mengambil tindakan apapun sebelum truk itu benar-benar menghilang dari pandanganku.

Bukan, saat itu aku tak sengaja menunggunya untuk pergi, melainkan karena kebingungan dengan apa yang tengah terjadi.

Aku keluar dari mobil, memeriksanya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Yang paling penting, aku tak ingin ada lecet besar yang tampak dengan jelas, tiba-tiba ada di mobil karena perbuatanku. Jika ada, maka aku terpaksa harus mengganti rugi, dan aku tak ingin menggantikan kerugian yang bahkan tak ingat pernah kulakukan atau tidak.

Namun, semuanya tampak baik-baik saja.

Tak ada bekas kecelakaan. Bahkan, keempat lampu—dua di depan dan dua di belakang—masih menyala dengan sempurna, seolah-olah aku lupa mematikannya ketika matahari telah terbit. Kurasa keempat ban juga tak mengalami kerusakan atau secara tiba-tiba gundul begitu saja. Mesin juga bekerja sempurna, terlihat dari bagaimana tadi aku memundurkan mobil.

Jelas tak ada masalah.

Ketika aku masuk kembali ke dalam mobil, memutar kunci dan mematikan mesinnya, barulah aku sadar di saat yang bersamaan bahwa penginapan yang tadi malam kutinggali itu tak dapat kutemukan di manapun.

Aku melihat sekeliling dan hanyalah hutan luas yang dapat kulihat sejauh mata memandang. Pepohonan tinggi menjulur, membuat penglihatanku terbatas. Namun, seharusnya tak sampai menutup sebuah penginapan yang dibangun di sisi jalan, kan?

Aku tak pernah punya pengalaman sleep walking. Walaupun tak menutup kemungkinan bahwa ini adalah kali pertama untukku mengalaminya, tetapi seberapa jauh aku berkendara hingga penginapan itu tak dapat kulihat lagi?

Aku mengambil ponsel, bersyukur bahwa baterainya masih bertahan. Setidaknya, aku masih bisa membuka peta dan melihat lokasi di mana aku berada sekarang.

Yang mengejutkan, aku berada di tempat yang sama ketika membelokkan mobil masuk ke dalam area penginapan.

Penginapan yang hilang.

Aneh, tentu saja. Namun, ketika kurogoh saku, kemudian menepukkan telapak tangan ke segala area, di mana mungkin saja kunci kamar penginapan itu bersembunyi, aku tak menemukan apapun.

Bagian belakang celana berisi dompet. Saku kiri dan kanan celana seluruhnya kosong—sebelum ponsel ini kuambil. Sisanya, kunci itu tak menempel, bersatu dengan tubuhku, yang bisa kukatakan bahwa kunci penginapan itu tak ada di manapun. Ya, tentu saja dengan menutup kemungkinan bahwa kunci itu secara tak sengaja kujatuhkan. Namun, hal itu tak menjelaskan bagaimana aku masih bisa berada di area yang sama dengan penginapan itu ... tanpa bisa melihatnya kembali.

Lagipula, biarpun sinyal ponselku sedang dalam keadaan buruk-buruknya, bisa kulihat jaringannya masih bekerja.

Tak ada tanda-tanda bahwa aku pernah menginap di sebuah penginapan. Tas yang kutinggalkan semalam di dalam mobil masih ada di sini. Sepatu yang sebelumnya—kurasa—kulepaskan sebelum tidur juga masih kukenakan. Lengkap dengan kaus kakinya.

Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan penginapan itu.

Akhirnya kuputuskan untuk kembali memundurkan mobil, mengambil jarak sehingga dapat kukembalikan mobil ini pada jalanan utama. Setidaknya, dengan adanya matahari, aku bisa berkendara secepat mungkin untuk mengembalikan mobil sewaan itu. Ya, walaupun sudah jelas akan dikenakan denda, karena melewati pukul tujuh pagi—yang sebelumnya kulihat dari ponsel—seperti apa yang kujanjikan sebelumnya.

Aku keluar dari area hutan setelah beberapa jam, kembali menuju peradaban manusia yang kuidam-idamkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top