4. Future Frenzy

Sejak kematian temannya, Sari hanya menghubungiku sekali dua kali, itu pun sekadar dalam pesan instan. Seluruh komunikasi kami lakukan melalui obrolan Whatsapp, tak lebih dari sekadar basa-basi ringan yang kemudian dilanjutkan dengan masalah pekerjaan. Singkat, padat, jelas, tanpa ada embel-embel apapun, seolah-olah aku sedang berbicara dengan orang lain—orang yang tidak pernah kukenal sebelumnya.

Aku tidak tahu apakah Sari merasa jijik untuk mendengar suaraku lagi, atau memang dia tak siap menghubungiku kembali, tetapi terpaksa karena masalah pekerjaan. Yang jelas, aku bisa melihat perbedaan dari dirinya. Caranya berkomunikasi denganku benar-benar seperti orang asing.

Kenapa aku tak dapat menyelamatkan manusia dengan tulisanku?

Aku pikir pengalaman itu akan berakhir bahagia, bagaimana Sari akan berterima kasih padaku, kemudian kuungkapkan rahasia terbesar yang sampai sekarang tak diketahui orang-orang. Aku bisa membayangkan, bagaimana dengan bangga kukatakan, "Aku menyelamatkan hidupnya," sambil meneguk secangkir teh hangat memandangi televisi yang bahkan siarannya tak kupedulikan.

Namun, tidak. Semua itu tidak terjadi. Sebaliknya, aku malah menghilangkan nyawa. Begitu mudah, begitu berbalik dengan apa yang kuharapkan, seolah-olah kedua tanganku ini dikutuk hanya untuk menyengsarakan umat manusia.

Jelas, kekuatanku yang sempat hilang itu bukan karena jarak yang cukup lama semenjak terakhir aku menulis. Namun, aku memang tidak bisa berbuat kebaikan dari tulisan-tulisanku. Pertanyaannya, kenapa?

Apakah semua ini berkaitan dengan ketidakmampuanku menulis cerita basi, klise, penuh kebahagiaan, yang sekarang menghantamku? Namun, sekali lagi. Kenapa?

Tenggang waktu semakin dekat. Pihak penerbit menagih naskah yang kujanjikan. Naskah spektakuler, gila-gilaan, dan harus menjadi obrolan hangat di kalangan orang-orang—baik para pembaca buku maupun bukan. Aku rasa, di titik ini mereka sudah tidak peduli akan kualitas tulisanku. Kurasa mereka percaya-percaya saja aku akan meramal masa depan, yang sudah jelas akan menarik banyak perhatian.

Berapa banyak lagi hidup manusia yang ingin kubuat berantakan?

Setiap hari, layar kosong tanpa makna selalu kutatap, menunggu susunan huruf yang seharusnya kuketikkan. Halaman pertama dari satu-satunya halaman selalu terbuka, tanpa jeda, tetapi pun tak dapat kuisikan.

Aku tak tahu berapa jam yang sudah kuhabiskan hanya untuk duduk, diam, hanya menatap layar laptop tanpa melakukan apapun, bahkan sampai lelah karenanya. Terkadang diselingi dengan menonton televisi, terkadang benar-benar diam sampai berjam-jam.

Aku membuang-buang waktu.

Aku tidak ingin mempermainkan hidup manusia lagi. Aku harus menahan diri, memikirkan cerita lain tanpa adanya rasa suram yang menyelimuti tokoh-tokoh dalam ceritaku. Namun, aku tetap tidak bisa. Semakin berpikir keras, semakin kuat bayangan-bayangan kengerian dalam kepalaku.

Pembunuhan, unsur-unsur aksi dan bencana gila-gilaan, kematian orang-orang yang berdosa, semuanya bercampur aduk, seolah aku ingin menghancurkan dunia dengan kedua tanganku.

Aku merasa hidup dalam dunia itu.

Namun, tunggu dulu. Bagaimana jika aku membuat seluruhnya sefiksi mungkin? Maksudku, selama ini aku selalu mengambil latar kota yang benar-benar ada di dunia nyata. Bagaimana jika aku yakin di luar sana, tak ada kota yang sama dengan kota yang kubuat?

Tak hanya tempat, bagaimana jika aku membuat cerita yang benar-benar tak masuk akal, tak mungkin bisa teraplikasikan di dunia nyata, sehingga cerita itu tak mungkin terjadi di dunia nyata? Ya, walaupun gempa Kalimantan itu juga hampir mustahil terjadi di dunia nyata, tetapi aku masih mengambil sebagian tempat nonfiksi, kan?

Bagaimana jika kubuat cerita gempa di pulau lain, pulau yang tak pernah ada di dunia nyata, pulau yang benar-benar murni berasal dari pemikiranku?

Seharusnya aku bisa memanipulasi kekuatanku itu, kan? Bukankah sebuah pilihan yang cerdas? Aku pun tak perlu memutar otak, berusaha keras membuat cerita tanpa tragedi. Semuanya akan berjalan dengan lancar, dan aku tak perlu bertanggungjawab atas kematian seseorang.

Benar, kan?

Aku menyeringai, kemudian mengeluarkan tawa yang terputus-putus. Deru napasku terdengar seperti banteng yang akan menyerang seorang manusia.

Kenapa tak pernah kupikirkan sebelumnya?

***

Tak memerlukan waktu hingga satu minggu, naskah dengan dua ratus halaman lebih berhasil kurampungkan dengan sempurna. Ya, walaupun tak kubaca ulang untuk kuperiksa secara mendetail, sih. Namun, aku sudah tak peduli lagi. Jadi, segera kukirimkan naskah itu pada Sari dan memintanya mengurus segala hal setelahnya. Bagianku untuk menulis sudah berakhir, yang berarti pekerjaanku ini sudah beres untuk sementara waktu.

Tulisan gilaku itu menceritakan dunia masa depan, tetapi tak mengambil latar bumi, melainkan planet lain yang bahkan aku sendiri lupa kunamai apa. Yang jelas, planet itu tak pernah ada. Setidaknya, tak pernah ada hingga saat ini. Seluruh pencarian kulakukan hanya untuk memastikan hal itu, dan aku bisa yakin karenanya.

Aku membuat dunia baru, dunia yang tak pernah ada. Dunia asing yang tak akan ada seorang manusia pun kenali, kecuali tentu saja diriku—tidak secara nyata, karena aku yang membuatnya. Jadi, sekarang aku bisa benar-benar merelaksasikan diriku dengan tidur sepanjang hari—juga masih jarang mandi karena aku hampir tak pernah keluar rumah.

Beberapa minggu setelahnya, untuk pertama kalinya kembali Sari meneleponku. Aku yang tengah menyantap sarapan langsung menyingkirkan piring menjauh dari hadapanku, kemudian meraih ponsel yang berbunyi di dalam kamar. Aku tak perlu menanyakan keperluannya hingga harus meneleponku, karena jelas semuanya berkaitan dengan naskah terakhir yang kukirim.

Suara Sari muncul di ujung sana, setelah lama tak kudengar.

"Pak Tora?"

"Ya, Mbak Sar."

"Apakah Pak Tora benar-benar melihat masa depan?"

Diam membisu, itulah reaksi pertamaku. Mataku langsung melolong melihat kosongnya tembok. Putih, bersih tanpa apapun, tetapi berhasil membuat pikiranku melayang.

Tampaknya aku harus menarik kembali kata-kataku, berpikir bahwa Sari akan membicarakan masalah pekerjaan denganku.

"Saya tak dapat menjelaskannya sekarang. Ceritanya rumit," tukasku. Sebenarnya maksud rumit yang kubilang itu mengacu pada sulit untuk diterima akal sehat, bukan sulit untuk diceritakan. Namun, mengingat dapat melihat masa depan pun sudah sulit diterima akal sehat, aku tak menjelaskan lebih lanjut.

"Apakah benar bumi akan hancur dalam beberapa tahun mendatang?"

Sekarang aku berbalik kebingungan.

"Apa?"

"Pak Tora menuliskan bumi akan hancur dalam beberapa tahun mendatang."

"Saya tak menuliskan cerita seperti itu."

"Bapak menuliskannya di naskah yang Anda kirim, Pak."

"Saya berani bersumpah kalau saya tak menuliskan cerita seperti itu."

Namun, apakah benar aku tak menuliskannya? Aku ingat pernah membayangkan kehancuran bumi dalam imajinasiku, menjadi latar cerita munculnya kehidupan di luar planet bumi. Kabur, jauh dari dunia yang hancur, tetapi aku yakin telah menyaringnya sehingga tulisan-tulisan kehancuran bumi, bahkan meskipun hanya sedikit yang menandakan hal itu, tak kutuliskan dalam naskah yang kubuat.

Kenapa sekarang aku jadi ragu?

"Tunggu sebentar, Mbak. saya nyalakan laptop dulu," perintahku, dan tanpa berlama-lama lagi, langsung kuayunkan kedua kakiku, meraih laptop yang tersimpan di atas meja, kemudian menyalakannya.

Tak memerlukan waktu lama hingga draft itu berhasil kubuka. Ratusan halaman virtual itu harus kupindai satu persatu. Walaupun aku tak perlu memeriksanya secara ketat, memindai satu persatu halaman yang ada hingga membuat mataku merah, tentu saja semuanya akan memakan banyak waktu.

"Bagian itu ada di halaman berapa, Mbak?" Aku meminta bantuan. Aku tak ingin membuat Sari menunggu, dan perempuan itu langsung bersikap kooperatif.

Seratus sembilan puluh tujuh, katanya. Jadi, aku langsung menggerakkan kursor, mengarahkannya pada scroll dan menariknya sehingga halaman-halaman virtual itu terbang ke atas. Navigasi yang dibuat pada aplikasi membuatku menurunkan kecepatan ketika angka seratus sembilan puluh berhasil kucapai. Setelahnya, aku menggeser kertas dengan tombol page down.

Satu persatu.

Seratus sembilan puluh satu, dua, tiga, empat, lima, hingga enam. Yang terakhir, aku hampir sampai menuju halaman seratus sembilan puluh tujuh, hingga tiba-tiba tampilan laptopku berubah total.

Halaman putih itu hilang, digantikan dengan layar hitam beserta garis-garis hijau yang merentang secara horizontal. Didominasi di bagian kanan, tetapi garis-garis yang sama juga bisa kutemui di bagian kiri.

Apa yang terjadi?

Kuketuk-ketuk layar laptopku, berharap tampilannya kembali sempurna seperti umumnya barang elektronik lama. Namun, tidak berhasil. Aku mengangkat, membolak-balikannya, berpikir akan menemukan penyebab keanehan pada laptopku itu.

Tetap tidak berhasil.

Kembali kudekatkan ponselku ke telinga, berusaha kembali tersambung dengan Sari, berteriak, "Mbak, masih di sana, kan?" sekencang mungkin. Menunggu jawaban, membiarkan detik jam terus berlalu. Namun, aku sadar bahwa komunikasi sudah terputus. Suara napas Sari saja tak dapat kudengar.

Kecewa, ponsel itu kubuat dalam keadaan terkunci. Namun, di saat itulah aku sadar layar ponselku menampilkan hal yang tak wajar.

Bukan, bukan layar ponselku, melainkan pantulan pada layar ponselku.

Seharusnya aku bisa melihat wajah tampanku di sana, tetapi yang kutemukan hanyalah mozaik acak menyerupai manusia. Aku pikir mataku tengah bermain-main, tetapi aku sadar bahwa keanehan itu bukan disebabkan oleh kesalahan dari ponselku, karena di saat yang bersamaan, bayangan menyerupai wajah manusia ada di belakang mozaik yang seharusnya menampilkan wajahku.

Wujud wajah yang ada di belakangku itu benar-benar mirip sepertiku.

Aku langsung melemparkan ponsel, berlari menjauh, keluar dari rumah tanpa persiapan. Bajuku yang kusut pasti menjadi pusat perhatian. Sandal yang entah kusimpan di mana tak sempat kucari hingga aku berlari telanjang kaki. Untungnya, hari ini adalah hari Selasa, di mana orang-orang disibukkan dengan pekerjaan mereka. Anak-anak kecil pun sedang sibuk dengan kegiatan sekolah. Sejauh mata memandang, tak ada yang memlihat gelagat anehku sekarang ini. Jadi, aku tak perlu malu.

Namun, rasa malu itu tentu bukanlah apa-apa dibandingkan rasa takut ketika melihat ... wajahku yang lain. Maksudku, siapa dia? Apakah aku tidak berhalusinasi? Beberapa bulan belakangan ini hal-hal aneh terjadi padaku, dan aku tidak bisa merasionalkan segala bentuk keanehan yang kualami.

Sekarang ini, kehadiran entah apa itu benar-benar nyata bagiku. Imajinasi atau bukan, dia jelas ada di sana bagiku.

Aku memerlukan waktu hingga tiga menit sebelum akhirnya berhasil menenangkan diri. Pacu jantungku kembali normal, deru napasku yang berat semakin meringan. Aku rasa aku sudah siap menghadapi apapun yang ada di dalam rumahku itu. Namun, jangan salah, bukan berarti aku akan menantangnya, menginvestigasi ulang, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Aku hanya mengambil sarapan yang belum kuhabiskan untuk kumakan di luar rumah.

Aku tak peduli jika orang-orang akan menilaiku sebagai seorang pengecut tolol yang terlalu banyak bermimpi. Bagiku, kejadian itu nyata. Tak dapat kujelaskan, memang, tetapi aku tak ingin mengambil resiko dan tenggelam ke dalam apapun itu yang tak dapat kujelaskan, setidaknya sampai tetanggga-tetanggaku kembali pulang dari pekerjaannya, jadi seluruh antisipasi dapat dilakukan.

piring itu dengan cepat, setengah berlari saat mengambilnya. Padahal pintu rumah tak kututup. Selanjutnya aku bersila, melanjutkan sarapanku, berusaha melupakan kejadian tersebut untuk sementara waktu.

Ah, ya ampun. Sekarang orang-orang bisa melihat tubuh dekilku yang sebenarnya. Biar saja lah. Aku juga tak ingin mandi di tengah rasa takut.

***

Aku menunggu hingga sore, benar-benar ketika matahari akan tenggelam, ketika beberapa tetanggaku sudah pulang dari kantornya. Bagaikan anak kecil, aku meminta mereka untuk menemaniku masuk ke dalam rumah sendiri. Untungnya, karena popularitasku sebagai orang aneh yang dapat meramal masa depan sudah dikenal orang-orang, tetangga-tetanggaku itu tak menanyakan lebih jauh selain, "Memangnya ada apa, Pak Tora?" dan semacamnya. Bahkan, meskipun sengaja kuhindari pertanyaan seperti itu, mereka tak terus mendesakku untuk mencaritahu.

Aku meminta mereka untuk menunggu di ruang tamu. Sebenarnya, meminta mereka untuk menemaniku masuk ke dalam rumah sendiri saja sudah memalukan dan memberatkan, sih. Jadi, aku tak ingin membebani mereka lebih jauh dan meminta menemaniku masuk ke dalam kamarku. Menunggu di ruang tamu adalah satu-satunya alternatif yang dapat kupinta, menjamin mereka tak pergi, tetapi juga berusaha membuat mereka tak menemaniku setiap saat.

Aku masuk ke dalam kamar. Matahari yang hampir terbenam berhasil membuat warna oranye mendominasi ruangan. Laptop dan ponselku masih berada di tempat yang sama. Namun, keduanya berada dalam kondisi mati. Walaupun begitu, kedua benda itu tidak rusak, karena ketika aku membawanya ke luar—ke ruang tamu, kemudian mendemonstrasikan bagaimana cara menyalakan benda elektronik, kedua benda itu menyala dengan baik.

Sangat berbeda dengan pengalamanku sebelumnya.

Jadi, aku langsung berterima kasih pada tetangga-tetanggaku, kemudian mempersilakan mereka untuk pulang dan kembali menjalani aktivitas masing-masing. Meninggalkanku seorang diri di dalam rumah yang bahkan belum kuketahui keamanannya.

Lalu, apakah aku akan bermalam di rumah ini? Ya, tentu saja jawbannya tidak!

Di pagi hari saja aku sudah ketakutan setengah mati, mana mungkin aku berani bermalam tanpa mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi. Jadi, setelah menyalakan seluruh lampu rumah, menutup tirai, kemudian menghubungi Sari dan bertanya apakah aku bisa bertemu dengannya malam ini dan iya jawab bisa, aku langsung pergi meninggalkan rumah.

Oh, tak hanya itu, sebenarnya. Aku juga meninggalkan laptop dan ponselku di dalam rumah. Aku tak peduli akan nasib kedua benda itu. Mau ada maling yang menjarah, mau dirasuki dan terbang ke mana-mana, yang jelas aku sedang tak ingin menggunakan kedua alat itu.

Aku membawa banyak perlengkapan untuk menginap, mungkin cukup untuk seminggu lebih. Tak lupa membawa kartu debit karena tak mungkin kugunakan e-wallet untuk sekarang ini. Perjalanan malam, jauh, dan entah akan berapa lama kujalani, kini berada di depan mata.

Aku meminta Sari untuk tak mengubah tempat pertemuan dan datang tepat waktu. Sekalipun aku sangat terlambat, aku memintanya untuk tak segera pergi kecuali sudah melewati batas dua puluh empat jam. Ya, tentu saja karena aku tak dapat berkomunikasi dengannya sepanjang perjalanan.

Alasanku ingin bertemu dengannya? Sebenarnya tidak jelas. Aku rasa aku hanya ingin membicarakan cerita-cerita aneh ini dengan orang lain. Mungkin juga aku ingin meminta maaf akan kematian temannya. Atau mungkin berbagi rasa takutku? Mungkin juga gabungan dari semuanya.

Kurasa aku hanya bisa memastikannya nanti, ketika waktunya tiba.

Aku tidak tahu. Yang jelas, aku benar-benar ingin pergi dari rumah ini dan meninggalkan seluruh kegilaan yang ada. Setidaknya untuk sementara waktu.

Aku tahu, berat rasanya untuk memberitahu Sari bahwa aku bisa menuliskan kisah fiksi yang menjadi kenyataan, apalagi kematian temannya itu menjadi salah satu tanggungjawabku. Namun, aku tak ingin menyembunyikan hal itu lagi, setidaknya padanya. Lagipula Sari sudah mulai curiga bahwa aku bisa melihat masa depan. Meyakinkan fantasi—kekuatan—aneh yang kumiliki padanya tampaknya akan diterimanya dengan mudah.

Sekarang, aku hanya perlu memikirkan bagaimana cara meminta maaf atas segala kisah yang pernah kutulis, bahkan hingga salah satunya berhasil ... membuatnya tak ingin meneleponku selama berbulan-bulan.

Apakah aku akan siap menerima konsekuensinya? Hal buruk apa yang bisa terjadi karenanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top