16. Naskah Terakhir
Pak Firman ditemukan meninggal dalam keadaan mengerikan, itulah kata mereka. Walaupun aku tak mendengar bagaimana kondisinya, tetapi aku bisa membayangkan dengan tepat seperti apa mayat itu ditemukan. Kulit meleleh, rahang yang putus, keadaan yang pasti tidak pernah dibayangkan oleh manusia manapun, persis seperti apa yang kutuliskan sebelumnya.
Sekali lagi, polisi meminta keteranganku, apalagi dengan pengakuan beberapa orang, mengatakan bahwa sebelumnya aku sempat bertemu dengan Pak Firman—memang benar, sih. Aku tidak tahu apakah mereka telah sangat mencurigaiku—didasari tulisan-tulisan yang kutulis dengan tepat. Namun, pada akhirnya mereka selalu melepaskanku.
Di ruangan yang sama ketika Pak Firman ditemukan, Yuli juga ada di sana. Dia hidup, tidak mati, tapi berdasarkan cerita yang beredar, jiwanya terganggu. Tak dapat berkomunikasi dengan siapapun, linglung, kehilangan arah, persis seperti seseorang yang mengalami trauma berat. Namun, kurasa dokter yang menanganinya hanya tahu sampai sejauh itu, tidak pernah tahu hal apa yang Yuli lihat sebenarnya.
Satu kali kucoba untuk mengunjunginya, memasuki rumah sakit jiwa, tempat yang tak pernah menjadi tujuan dari destinasi wisata yang kususun, menyusuri lorong yang bisa membuatku tersesat seandainya aku berjalan sendirian, bertemu dengan Yuli dalam keadaan berantakan.
Dia berteriak saat melihatku, berlari, berusaha menghindariku, bahkan sampai melemparkan berbagai macam barang yang ada di sana.
Sejak saat itu, aku tak pernah memiliki niat untuk mengunjunginya lagi. Jelas, aku semakin yakin akan alasan di balik kegilaannya itu.
Sama sepertiku, dia melihat ruang luas kosong mengerikan itu, sendirian, dan jelas melihat Pak Firman yang berjalan mengejarku. Aku tidak tahu setelahnya, apa yang terjadi padanya. Namun, jika aku ada dalam kondisi yang sama—tak mengetahui apa-apa, mungkin aku juga akan menjadi gila seperti dirinya.
Atau sebenarnya aku sudah benar-benar gila?
Tiga hari berikutnya kulalui tanpa ketenangan, padahal tak terjadi apapun. Bahkan aku tak yakin berapa jam aku tidur setiap harinya, tampaknya hidupku terus berjalan dua puluh empat jam tanpa istirahat.
Aku hanya bisa mengakhiri semuanya dengan kematianku?
Pagi ini aku masih berbaring di atas sofa, berguling ke kanan dan ke kiri, lepas dalam pikiran, sama seperti ketiga hari sebellumnya. Kuusap keningku. Keringat menjalar masuk melalui pori-pori tangan.
Sungguh, tidaklah lucu.
Aku duduk, melepaskan rasa penat akibat tidak melakukan apapun sepanjang hari kemarin, kemudian berdiri, meregangkan tubuh, berniat untuk mengambil segelas air mineral dan menghilangkan dahaga yang mulai menjalar masuk ke dalam kerongkongan.
Aku semakin kehilangan arah.
Jika aku berhenti menulis, maka Sura akan mengambil alih. Tak ada yang tahu, cerita brengsek macam apa yang akan ia buat. Lebih buruk, mungkin aku tak bisa mengambil andil, menyisipi sedikit tulisanku agar membuatnya tak begitu mengerikan. Namun, jika aku tak berhenti menulis, maka aku akan melihat dengan mata kepalaku sendiri: bagaimana ia mengubah beberapa bagian tulisanku, sesuai dengan keinginannya.
Tak ada pilihan yang menguntungkan. Buah simalakama.
Sekali lagi aku bertanya: apakah satu-satunya cara untuk menghentikan ini memang benar ... kematianku?
Kuambil segelas air, meneguknya, berusaha untuk menjernihkan pikiranku. Beberapa tetes jatuh dan mengalir, membasahi kaus yang entah sudah berapa hari tak kuganti. Selesai menghabiskannya, kusimpan gelas kotor itu di dalam wastafel tanpa mencucinya.
Aku sedang tak ingin melakukannya.
Tak adakah cara agar aku bisa tetap hidup?
Aku kebingungan, setengah mati. Tiga hari berlalu dan belum kudapatkan jawabannya. Belum tentu aku sendiri akan mendapatkannya di hari-hari berikutnya. Bagaimanapun juga aku tak memiliki pilihan, kan?
Aku kembali, menuju dunia terang benderang. Ruang depan rumahku, tempatku menghabiskan waktu. Kembali duduk, dan baru kusadari bahwa secarik kertas kembali hadir di atas meja. Ini kali kedua semenjak aku kembali dari dimensi aneh sialan yang tak dapat kujelaskan dengan nalar manusia itu.
Isinya? Tentu bisa ditebak. Kematian seseorang.
Aku menyobeknya, meneriakkan sumpah serapah sembari meremasnya sekecil mungkin, kemudian melemparkannya entah ke mana. Aku tak perlu tahu isinya secara keseluruhan, karena dalam sesaat, beritanya pasti sudah tersebar ke mana-mana. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana mungkin Sura mereplikasi semua kejadian hingga orang-orang sadar, atau setidaknya menganggap, bahwa seluruh skenario yang dibuatnya pantas untuk dijadikan besar. Yang jelas aku tidak menyukainya.
Oh, sialan.
Aku baru tidak menulis selama tiga hari, dan dua kejadian sialan, yang kuketahui lebih dulu sebelum orang-orang ketahui, muncul di hadapanku. Bisa saja aku bersikap masa bodoh, tetapi ... untuk berapa lama lagi?
Aku bisa mati besok, setahun lagi, sepuluh tahun lagi, atau malah lebih lama dari itu. Berapa banyak skenario kematian manusia yang akan kuketahui? Berapa banyak skenario bencana yang akan kuketahui? Dan sialannya, ia menggunakan kedua tanganku untuk membuatnya.
Dugaanku, berdasarkan pernyataan Dilan, Sura memang menggunakan tubuhku, membuat cerita, sengaja membuatku tak sadarkan diri.
Sampai kapan?
Mengetahui bahwa bukan akulah penyebab kematian mereka—kecuali beberapa orang yang memang kutuliskan dengan sadar, memang berhasil membuatku sedikit tenang, tak begitu merasa bersalah. Namun, itulah yang kutakutkan.
Bagaimana jika aku terlena karenanya?
Tidak menulis untuk menghindari tanggung jawab atas kematian seseorang, membiarkan Sura mengambil alih dan menuliskan cerita sesukanya, hingga membuatku lepas tangan begitu saja, menganggap bahwa aku tak campur tangan atas urusan itu, bukankah itu yang Dilan maksudkan? Itu yang Dilan maksud dengan kata terlena, kan?
Benar. Skenarionya bisa seburuk itu. Bahkan, orang-orang dulu, yang Dilan katakan juga pernah mengalami hal yang sama, mungkin juga melakukan hal yang sama—membiarkan Sura mengambil alih tubuh mereka.
Tidak boleh terjadi padaku.
Kukeluarkan bungkus racun dari dalam kantung plastik. Bubuk itu sudah kubeli sebelumnya, beberapa jam tepat setelah aku bangun, kembali ke dunia ini. Namun, ketika itu aku benar-benar belum siap.
Aku tidak tahu apakah tindakanku ini adalah tindakan terbaik yang bisa kulakukan.
Aku ingin menghentikan semuanya, menghentikan niat jahatnya. Bagaimanapun, jika aku mati, dia pasti bisa memilih orang lain untuk kembali menghancurkan hidupnya. Namun, bagaimana caranya?
Aku tidak dapat memikirkan satu pun cara.
Kumainkan bungkus racun itu, melemparkannya ke atas, menangkapnya kembali, melihat serbuk-serbuk yang ada di dalamnya berputar, sesuai dengan arah gravitasi bumi.
Tak ada yang bisa kulakukan selain ... mengakhiri hidupku sendiri, atau aku akan membiarkannya bermain-main dengan jiwaku.
Sepertinya ini adalah akhir dari semuanya.
Aku menggertakkan gigi.
Benar, ini akhir dari semuanya. Dan seperti yang kubilang, bagaimanapun caranya, dia pasti akan mencari orang lain untuk bermain di dunia ini. Aku, yang bukan siapa-siapa, tahu apa tentang makhluk gila dengan kekuatan yang tak dapat manusia mengerti itu?
Aku kembali beranjak, kembali menuju dapur, mengambil gelas yang sebelumnya telah kuletakkan.
Aku sudah memutuskan.
Kularutkan racun itu dalam air, kemudian mengaduknya dengan telunjukku, terus-terusan, walaupun tidak semuanya larut begitu saja.
Telunjukku mulai gatal, dan aku yakin itu reaksi yang wajar terjadi. Setidaknya, aku jadi tahu bahwa racun yang akan kukonsumsi ini memang benarlah racun, bukan barang tipuan yang orang-orang jual untuk membuat orang depresi semakin terpuruk.
Ini bukan pilihanku, tapi aku tidak memiliki pilihan lagi.
Begitu selesai mengaduk, kutarik jari telunjukku. Rasa gatalnya semakin menjadi, tapi aku tak memikirkannya lagi. Sebagian serbuk yang belum larut masih memutari gelas, tetapi aku yakin, dengan meminumnya, sanggup membuatku tak sadarkan diri untuk selamanya.
Selamanya itu bukan waktu yang sebentar.
Aku mencium aromanya. Tak terasa apapun. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba sekali lagi, tetapi tak kurasakan apapun.
Sudah terlalu terlambat untuk mengurungkan niat, apalagi, jika pada akhirnya ternyata kuputuskan kembali untuk mempersingkat waktu hidupku, artinya aku harus membeli racun yang sama. Terlalu membuang-buang waktu.
Kujepit hidung dengan telunjuk dan jari tengahku yang lain, berusaha untuk tak merasakan apapun seandainya larutan ini sampai ke dalam mulutku.
Tubuhku bergetar hebat.
Tidak, ternyata aku belum siap.
Aku kembali bersikeras. Sekarang atau tidak sama sekali.
Ini waktunya.
Kudekatkan gelas itu ke dalam mulut, mencoba meneguknya sekaligus, seluruhnya, tak menyisakan apapun, berharap sensasi terbakarnya tenggorokanku hanya akan berlangsung beberapa detik.
Kuangkat gelas, berusaha meneguk seluruhnya, atau setidaknya seperti itulah yang kupikirkan.
Setelahnya? Aku tidak merasakan apa-apa.
Apakah tidak merasakan apa-apa itu adalah bentuk akibat dari kematian?
Tidak tahu, tidak pasti. Aku tak pernah memikirkan dunia setelah kematian. Apakah ada? Seperti apa? Apakah aku akan ke sana sekarang? Apakah aku akan terlahir kembali dalam wujud manusia?
Begitu banyak pertanyaan.
Bagaimana rasanya kematian itu? Apakah menyakitkan? Apakah kosong tak tahu ke mana? Apakah aku akan menyesal karena telah mengetahuinya?
Begitu banyak pertanyaan.
Benar. Begitu. Banyak. Pertanyaan.
Kenapa aku masih bisa melantunkan pertanyaan?
Aku bangun, kembali, membuka kelopak mata yang menutupi bola mataku. Sadar sepenuhnya. Sekali lagi kulihat langit-langit kamarku.
Kugerakkan seluruh bagian tubuhku.
Berhasil.
Tunggu. Apa?
Aku bangkit, duduk di atas kasur, memutar balikkan kedua tanganku. Keduanya nyata.
Kupindai seluruh ruangan dengan kedua mataku. Semuanya nyata.
Aku berlari keluar kamar, semuanya persis sama seperti sebelumnya. Kuraih plastik yang sebelumnya membungkus racun.
Kosong, tak ada di sana.
Aku segera berlari ke dapur, tidak peduli dengan napasku yang mulai berantakan.
Gelas berisi air itu masih ada di sana.
Aku menggenggamnya. Kuperhatikan. Penuh, belum diminum sama sekali.
Tidak, ini tidak mungkin terjadi, kan?
Perhatianku kini tertuju pada komputer. Kamera pengawas belum kumatikan. Jika sebelumnya aku memang menuangkan racun ke dalam air mineral ini, seharusnya kamera-kamera itu merekamnya, kan?
Jadi, tanpa menunggu waktu lagi, aku kembali berlari. Kini, tujuanku adalah rekaman itu. Di hari yang sama, belum berlangsung lama.
Aku memutarnya, melihatnya, memperhatikannya. Dan, ya, aku menuangkan racun ke dalam gelas. Semuanya terekam dengan jelas tanpa terkecuali.
Masalah muncul ketika aku akan menenggaknya.
Kamera kembali rusak, seperti biasanya. Menghitam, tak menampilkan apapun. Aku tak terkejut lagi. Aku tak tahu apakah itu semua terjadi akibat Sura yang campur tangan, berhasil merusak, secara sementara, kamera-kamera pengawasku, atau memang ia memanipulasinya. Yang jelas, kamera menunjukkan bahwa setelahnya, aku berbaring di atas tempat tidur.
Kemudian bangun.
Persis, sama, tanpa kecuali.
Aku menyentak, "Bajingan kotor."
Kematian adalah satu-satunya jalan untukku mengakhiri semua ini, dan Sura tak meninginkannya.
Apakah dia benar-benar sudah menguasai tubuhku, mampu menggerakkannya sesuka hati, termasuk membuatku menuliskan cerita-cerita gila, sesuai keinginannya, tanpa sepengetahuanku? Benarkah seperti itu? Walaupun tidak, bagaimana caraku menjelaskan kegagalan bunuh diriku?
Aku berteriak kencang dalam hati.
Jangan-jangan masalah Bastian itu juga adalah manipulasinya? Jangan-jangan ia sengaja membuatku berpikir bahwa semuanya baik-baik saja, dan di saat yang bersamaan, dia sengaja mencelakakan Sari agar aku ... mencelakakan Pak Firman.
Itu bisa saja.
Aku jatuh tersungkur.
Apa yang harus kulakukan sekarang?
Kepalaku mengadah ke atas.
Satu-satunya orang yang tahu masalah ini hanyalah Dilan, dan sekarang ia tak dapat membantuku. Aku tak tahu cara yang dapat kulakukan untuk bertemu dengannya.
Oh, sialan.
Air mataku mulai keluar.
Si sialan itu tidak ingin aku mati sekarang.
Apa yang harus kulakukan?
***
Aku tak dapat lagi membedakan siang dan malam. Semuanya sama. Hari-hari kuhabiskan dengan berdiam diri, bertekuk lutut, diam di ujung ruangan, dan berharap untuk tidur. Benar, berharap untuk tidur. Aku tidak mengendalikan rasa kantukku lagi, melainkan membiarkan tubuhku kelelahan dan ambruk dengan sendirinya.
Aku tidak tahu sudah berapa hari kulalui. Seminggu? Dua minggu? Mungkin sebulan? Atau bahkan mungkin setahun? Tak adanya kerabat membuatku hilang begitu saja dari peradaban. Pihak penerbit pun tampaknya tidak terlalu peduli. Kontrak kami memang masih ada, tetapi aku yakin kasus Pak Firman membuat mereka takut menghubungiku.
Biasanya aku hanya diam, sengaja membuat perutku sangat kelaparan. Namun, tepat ketika napasku memberat, kupikir aku akan mati karena kekurangan gizi, hal yang sama selalu terjadi: aku bangun kembali, segar dan bugar, ditemani oleh perut yang kenyang. Alasannya? Tentu karena secara tak sadar aku makan begitu saja.
Sura benar-benar tak ingin aku mati.
Sekarang di sinilah aku. Tidak hidup, tidak mati. Diam begitu saja, sendirian. Aku tidak tahu apakah orang-orang di luar sana masih membicarakanku atau tidak, yang jelas jendela rumahku, semuanya, kututup rapat-rapat. Seluruh pintu kukunci. Tak ada yang bisa masuk. Mungkin mereka menganggapku pergi entah ke mana dan tak peduli.
Namun, aku masih di sini.
Kapan semua ini akan berakhir? Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus bersemayam di dalam otakku. Masih sama, tak berubah. Jawabannya? Tentu, masih sama—aku tidak tahu.
Seolah-olah aku memang dikutuk untuk jadi seperti ini.
Di luar sana ada puluhan, mungkin ratusan skenario yang sudah menumpuk. Buatannya, bukan buatanku. Aku tak pernah membacanya lagi, tak pernah mencari tahu isinya lagi. Semuanya dapat kutebak. Isinya mirip, tidak pernah berubah. Kertas misterius yang datang tiba-tiba itu menjadi tak begitu misterius lagi untukku, tetapi bukan berarti aku senang menerimanya.
Di luar sana puluhan, mungkin ratusan hingga ribuan jiwa melayang. Kecelakaan, kesengsaraan, bencana, aku tahu itu semua akan terjadi. Beberapa kali aku berusaha mencegahnya, tetapi selalu gagal, seolah-olah Sura sudah memperhitungkan langkahku.
Atau dia yang membuat langkahku seperti itu. Aku tidak tahu.
Bahkan, di kasus terakhir, ketika aku tahu seseorang akan menjadi korban tabrak lari, aku berusaha mencegahnya. Menuju tempat yang sama, beradu dengan waktu yang terus berjalan, sampai akhirnya aku tahu penyebab dari kecelakaan itu adalah diriku sendiri. Diriku yang berkendara terlalu cepat, berusaha menolong seseorang yang aku tahu akan celaka, tetapi tidak tahu bahwa akulah penyebab kecelakaan itu.
Seolah-olah ... Sura sengaja mendesainnya seperti itu.
Aku tidak ingin ikut campur lagi. Semuanya, sekeras apapun aku berusaha, aku tak pernah berhasil mengalahkannya.
Dia memang bukan manusia.
Aku tak menyangka jika pertemuan singkat itu akan menjadi malapetaka. Aku mulai berandai-andai, apa yang terjadi seandainya aku tak tersesat? Apa yang terjadi seandainya aku tak mendatangi penginapan itu? Apa yang terjadi seandainya aku tak bermalam di sana?
Pertanyaan-pertanyaan itu berhasil membuatku semakin meringkuk.
Aku hanya menuangkan ide-ide ke atas kertas, membuatnya, dan si sialan itu ikut campur, merusak semuanya, membuat seluruh tulisanku menjadi realita. Cita-citaku, tapi jika aku tahu akhirnya akan begini, tentu akan kubuang harapan itu.
Sekarang semuanya sudah terlambat.
Kenapa harus aku? Apakah karena ia tahu karena aku selalu berharap tulisanku bisa menjadi kenyataan? Kenapa harus cerita-cerita sialan semacam itu yang ia jadikan kenyataan? Apakah karena ia tahu, selama ini, aku selalu ingin membuat cerita yang sama?
Aku menggelengkan kepala.
Apa yang terjadi seandainya aku tak pernah membuat cerita kriminal?
Apa yang terjadi seandainya aku tak pernah jadi penulis?
Kenapa aku tak meneruskan usaha orang tuaku saja? Kenapa juga aku memilih pekerjaan seperti ini? Apa yang terjadi seandainya aku tak pernah menulis?
Banyak sekali pertanyaan.
Aku telah menuliskan banyak buku, membuat tokoh-tokoh dalam ceritaku sengsara, walaupun terkadang diakhiri dengan kebahagiaan.S elama dalam proses itu, aku selalu merasakan hal yang sama. Sensasinya. Ketika mereka sedih, aku turut sedih. Ketika mereka gembira, bahkan terkadang aku bisa ikut jingkrak kegirangan.
Apakah rasanya sama seperti sekarang ini? Jika seluruh karakter yang kubuat itu memiliki nyawa, apakah seperti ini rasanya?
Apakah ... seperti ini rasanya, hidup dikendalikan seseorang—sesuatu, tanpa bisa kau atur? Apakah ... aku adalah tokoh utama dalam sebuah cerita?
Tunggu dulu.
Kekuatan Sura tidak main-main. Dia mengambil alih tubuhku, membuat tulisan yang kubuat menjadi kenyataan. Dia bisa mengundangku ke dimensinya, dimensi lain yang sebelumnya tak pernah kupikirkan eksistensinya, dan dia bisa mengirimku kembali ke dunia ini.
Bahkan, Dilan sendiri menyatakan bahwa ia tak bisa keluar dari perangkap yang Sura buat hanya karena Sura tak menginginkannya. Sebelas dua belas dengan keadaanku saat ini: ia tak ingin aku langsung mati dengan segera.
Aku pikir ia hanya ingin menyiksaku, membuatku semakin gila, tak dapat berpikir rasional, dan berubah menjadi manusia yang paling tak diinginkan di bumi ini. Kalau dia ingin aku mati, dia bisa membuatku mati. Lantas, apa untungnya, baginya, untuk membiarkanku hidup?
Melihatku tersiksa? Aku hanya diam tak berkutik sekarang. Apa serunya?
Aku berpikir ulang, kembali menyusun kronologi yang ada di dalam pikiranku, dari awal hingga akhir, dari awal aku bertemu dengannya hingga saat ini. Dari awal Sari memberitahukan kesamaan cerita dalam naskah yang kubuat dengan berita pembunuh gila yang memenggal kepala manusia untuk dijadikan sesembahan.
Saat aku kesal terhadap seorang wanita, membuat cerita brengsek yang akhirnya kuhapus, tetapi malah kulanjutkan hingga kematian seorang satpam tak terelakan. Bagaimana selanjutnya aku menceritakan seluruh kisah yang terjadi pada Sari. Bagaimana Sari tak menginginkannya.
Bastian yang tak pernah ada, kemunculan Dilan, hingga kematian Pak Firman. Semuanya, kukumpulkan menjadi satu, runut, sistematis, dan seolah-olah memori dalam otakku berhasil memindainya dari atas hingga bawah.
Aku menemukan kejanggalan.
Kematian Sari membuatku terpukul. Itu adalah salah satu titik terberat dalam hidupku, apalagi ketika aku tahu bahwa kematiannya tertulis di dalam buku buatanku. Pertanyaannya, kenapa ia malah mempertemukanku dengan Dilan?
Dilan tahu semuanya. Masalahku, keanehanku, bahkan hingga membantuku mencari jalan keluar. Kalau memang Sura benar-benar ingin aku menderita, seharusnya ia tak pernah mempertemukanku dengan Dilan. Itu adalah kesalahan fatal.
Apakah dia melakukan kesalahan?
Aku mengerjapkan mata.
Tidak, Sura tidak melakukan kesalahan. Jika dia ingin aku bertemu dengan Dilan, maka dia memang sengaja membuatku bertemu dengan Dilan. Itu bukan kebetulan maupun kesalahan. Itu memang disengaja.
Kenapa?
Kekuatan Sura luar biasa, dia bisa memanipulasi otakku, berpikir bahwa Bastian ada sementara ia menempatkanku dalam metrik waktu yang lain, berbeda dengan manusia-manusia yang hidup di bumi ini, membuatku melintasi waktu yang tak setara dengan mereka.
Ia bisa melakukannya. Jika ia ingin melakukannya lagi, seharusnya ia bisa melakukannya kembali. Namun, Sura tak melakukannya?
Kenapa?
Kenapa hanya di titik itu dia sengaja memanipulasi otakku, hidup dalam dunia yang berbeda, sementara di saat yang lain, dia hanya membiarkankku tak sadarkan diri dan bangun setelahnya, tak menyimpan memori yang seharusnya tak kujalani.
Aku berpikir keras, hingga akhirnya menyimpulkan sesuatu.
Semenjak tulisan pertamaku hampir diterbitkan dan sadar bahwa tulisan-tulisanku akan menjadi kenyataan, aku pikir akulah sang penulis, pengarang, yang mampu mengubah hidup seseorang. Namun, akhirnya aku menyadari sesuatu.
Ada cerita lain di luar sana, dan aku bukanlah sang penulis. Akulah tokoh utamanya.
Sura menjadikanku sebagai tokoh utama dalam ceritanya. Aku tidak tahu kenapa ia masih membuatku sadar, membiarkanku memegang kendali atas diriku, tetapi aku yakin dia menjadikanku sebagai tokoh utama dalam ceritanya.
Dia bilang dia mengetahui potensiku. Namun, potensi apa? Potensi menulis? Potensi ketakutan saat melihat hal-hal aneh? Atau .... potensi untuk ... menyakiti seseorang hanya karena marah?
Aku kembali risau.
Kematian Sari adalah konflik utamanya, pertemuanku dengan Dilan adalah jalan menuju penyelesaiannya. Kematian Pak Firman adalah akhir dari segalanya.
Benar, harusnya seperti itu. Ia menyusun kerangka selayaknya anak kelas lima SD yang diminta untuk membuat karangan oleh gurunya. Tepat.
Kalau begitu, kenapa semuanya tidak berhenti tepat di sana?
Kalau kematian Pak Firman adalah akhir dari ceritaku, kenapa dia tak membiarkanku mati? Kenapa dia sengaja memanipulasi pikiranku, merasuki diriku, dan membuatku bugar kembali, bernapas, menarik oksigen masuk ke dalam paru-paru dan menukarkannya dengan karbondioksida?
Apakah ceritanya belum berakhir?
Cerita seperti apa yang sebenarnya ia inginkan?
Kenapa ia tak membuatnya sendiri saja? Kenapa ia masih membiarkanku sadar? Kenapa, tak seperti yang Dilan katakan, tak ia ambil alih saja tubuhku, meminjam ragaku, kemudian menuliskan seluruh cerita dan membuatnya menjadi kenyataan?
Atau jangan-jangan ceritanya belum berakhir?
Bagaimana jika sebenarnya, mengubah tulisanku menjadi kenyataan itu sebenarnya bukan tujuannya? Bagaimana jika itu merupakan salah satu elemen yang ia inginkan dari ceritanya?
Bagaimana jika sebenarnya ... ini adalah konflik terbesar dalam ceritanya?
Aku bertemu dengan Dilan di dimensi sana, dan kurasa tidak mungkin Sura tak mengetahuinya, tetapi dia membiarkannya begitu saja. Tak menginterupsi, tak memisahkanku dengan Dilan—paling tidak hingga Dilan benar-benar berusaha menceritakan padaku bagaimana menghentikan semua ini. Bukankah itu aneh?
Apakah Sura sengaja, ingin aku tahu bagaimana cara mengakhiri semuanya? Atau ... apakah ia ingin tahu, bagaimana caraku mengakhiri ... kisahnya?
Tunggu, seluruh cerita harus memiliki akhir, kan? Aku tahu, di luar sana orang-orang lebih menyukai cerita murahan, ringan ditempa oleh otak, dan hanya dikonsumsi oleh orang-orang yang ingin memenuhi seluruh hasrat dalam halusinasinya. Namun, Sura tidak seperti itu.
Membiarkan gila sampai mati akan membuatnya antklimaks. Untuk seukuran Sura yang menyukai cerita aneh dan gila, aku rasa dia tak menginginkan hal itu. Aku yakin.
Aku berpikir, berusaha sekeras mungkin.
Dilan bilang hanya kematian yang akan mengakhiri semuanya. Aku sudah berusaha mengakhiri hidupku, tetapi Sura selalu menangkisnya.
Aku adalah cerita dalam tokoh utamanya. Jika kutuliskan kisahku sendiri, akhir seperti apa yang akan kutuliskan setelah semua kejadian yang menimpaku ini?
Sekarang aku mengerti.
Dia tidak memilihku, melainkan tak sengaja memilihku. Dia tahu apa yang pernah kutulis, sedang kutulis, dan akan kutulis. Dia tahu semuanya, tentangku, seperti yang dikatakannya sendiri. Dan jika ia menjadikanku sebagai tokoh utama, tetapi tetap membiarkanku memiliki kendali atas diriku sendiri, itu artinya ada sesuatu dari dalam diriku, yang menurutnya bisa membuat cerita ini menarik.
Cerita mengenai diriku.
Kalau Sura ingin menuliskan ceritanya sendiri, dia bisa melakukannya, tetapi tak ia lakukan. Karena ... ia ingin aku yang menuliskannya sendiri.
Sekarang semuanya menjadi masuk akal. Alasan kenapa aku masih berdiri di sini, alasan kenapa aku tak gila, alasan kenapa ia tak ingin aku mati.
Aku harus mengakhiri ceritanya. Cerita mengenai diriku, dan bukan dengan antiklimaks kematian yang biasa. Lebih dari itu.
Ia pasti menginginkan sesuatu yang luar biasa. Seperti ... hidupku.
Dia tak mengambil jiwaku ketika pertama kali bertemu. Kenapa?
Aku berpikir keras. Sekali lagi.
Mengerti.
Benar, sekarang aku mengerti, termasuk penginapan itu. Kenapa dia ada di sana, dan apa yang ia lakukan di sana. Aku tidak tahu apa yang membuatnya tertarik padaku. Namun, ya ... si sialan itu sudah menang sedari awal.
Aku bisa menuliskannya.
Aku beranjak, berdiri, menyiapkan kesepuluh jariku untuk kembali meniti keyboard, mengetikkan huruf demi huruf, memadukannya menjadi kalimat utuh.
Sebuah cerita.
Naskah terakhirku. Cerita terakhirku. Cerita mengenai ... diriku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top