14. Broen

Yuli sedang asik memainkan ponselnya hingga aku, secara tiba-tiba, masuk ke dalam ruangan yang tengah ia tempati.

Tanpa diundang, tanpa adanya perjanjian. Hampir sama seperti saat aku bertemu dengan pimpinan redaksinya, hanya saja kini dengan kejutan yang lebih banyak karena kami tak saling menelepon sebelumnya.

Yuli yang terperanjat hampir menjatuhkan ponselnya. Jika genggamannya tidak kuat, mungkin sekarang ia harus merendam ponselnya di dalam tumpukan beras karena jatuh tercelup ke dalam cangkir teh yang masih berisi. Setelahnya ia mengibaskan lengannya ke arah dada, memperlambat irama detak jantungnya.

"Kau masih mengingat saya, kan?" Aku bertanya tanpa basa-basi, termasuk tak memedulikan napas tersendatku akibat lelah dan amarah yang memuncak.

Yuli mengangguk.

"Apa Mbak Sari membaca naskahku?" Kutodongkan pertanyaanku padanya, seolah siap membesit leher seandainya jawaban yang tak kuinginkan keluar dari tenggorokannya. Sedangkan Yuli, yang sekarang setengah sesak, bingung akan kehadiranku di ruangannya.

"Naskah yang mana, Pak Tora?"

Dengan tegas dan tanpa jeda, langsung kujawab pertanyaannya. "Kau tahu naskah yang mana."

Yuli meletakkan ponselnya, takut sesuatu akan terjadi dan malah membuatnya menjatuhkan ponsel, menimbulkan retak, yang artinya ponsel baru harus dimilikinya. Di sisi lain, aku dengan sabar—tentu dalam standar yang berbeda—menunggu jawabannya.

Di tengah kekosongan, kupindai ruangan ini. Hanya ada dua manusia yang ada di dalam ruangan ini—aku dan dirinya. Ya, tidak aneh juga, sih. Kalaupun ada orang lain, seharusnya aku sudah melilhat penampakannya. Aku yakin orang itu penasaran dengan apa yang sedang terjadi dan menyembulkan kepalanya.

Namun itu tidak terjadi, kan?

Yuli menggigit kedua bibirnya secara bergantian. Gerakan pipinya berhasil membuat distorsi wajah ringan yang dapat kuperhatikan. Namun, aku tetap tak memaksanya untuk menjawab. Setidaknya belum. Untungnya, sampai akhirnya ia mengatakan sesuatu, aku tidak memaksanya.

"Naskah terakhir yang Pak Tora kirimkan padaku?"

"Bukan saya. Sesuatu itu yang mengirimkannya." Aku berdalih, tetapi baru kusadari kebodohan itu. Dia tak tahu ceritanya, dan tentu saja ketika aku mengatakan sesuatu yang kumaksud, aku hanya bisa membicarakannya dengan Dilan yang sekarang menghilang entah ke mana.

Mungkin juga si pimpinan redaksi? Aku sempat menyinggungnya sebentar, kan?

"Dengan kata lain, ya. Naskah terakhir yang saya kirimkan, yang naskahnya masuk ke mejamu" aku memperbaiki jawaban. "Apa Mbak Sari membacanya?"

Yuli sempat menahan jawabannya, tetapi tidak selama pertanyaan pertama yang kulontarkan padanya.

"Iya, kurasa Mbak Sari membacanya."

"Apa reaksinya?"

"Reaksinya?"

"Apakah dia membacanya seorang diri? Apakah dia menceritakan tentang isinya? Apa komentarnya? Apa kau tahu?"

"Aku tidak tahu." Yuli menggelengkan kepalanya. "Mbak Sari meminta naskahnya padaku, jadi aku mengirimkan naskah itu padanya. Aku pikir itu wajar saja, karena aku tahu seharusnya Pak Tora bekerja sama dengan Mbak Sari untuk buku selanjutnya."

"Apa komentarnya?"

"Tidak ada."

"Pokoknya sebutkan apa yang Mbak Sari lakukan setelahnya."

"Aku tidak tahu."

"Apa maksudmu tidak tahu?"

"Karena setelahnya, aku tidak mendengar kabar apapun dari Mbak Sari. Dia menghilang begitu saja."

"Tidak mungkin," sergahku. "Berapa lama jarak antara pengiriman naskahku itu hingga tanggal penerbitan? Apa kalian tak curiga seandainya Mbak Sari menghilang selama itu?"

"Orang-orang menyangka Mbak Sari mengambil cuti."

Aku terhenyak.

"Siapa yang menyebarkan berita itu?"

"Pak Firman."

Petir seolah menyambar kepalaku, apalagi tak lama setelah Yuli menyebutkan nama itu, Pak Firman datang, membuka pintu.

Kami berdua melongok ke arahnya.

"Aku dengar kalian ada di sini," katanya, begitu yakin bahwa di antara kami berdua—aku dan Yuli—tak akan ada yang memulai pembicaraan. Selain itu, kurasa kata kalian itu memang diarahkannya pada kami.

Apakah ia merasa terpanggil karena Yuli menyebut namanya? Apa semua ini hanya kebetulan? Tidak ada yang tahu. Namun, tampaknya pria itu tidak sadar bahwa Yuli tengah membicarakannya—baru mulai sebenarnya. Terlihat dari caranya melanjutkan kalimatnya.

Membuatku semakin naik pitam.

"Pak To ...."

"Anda bilang pada orang-orang jika Mbak Sari cuti sebelum menghilang?"

Aku bisa melihat mata pak Firman yang melotot.

Sekali lagi. Tepat sasaran.

"Apa?" Ia kebingungan, tetapi tak lama setelahnya, pandangannya melompat. Di hadapannya, Yuli terkejut, mundur beberapa sentimeter, seolah berusaha menghindari tatapan tajam pak Firman.

Aku menangkistatapan tajamnya. "Hei," kataku. "Katakan apa itu benar?"

Tak ada jawaban. Kosong. Pertanda bahwa ia tak ingin menjawabnya. Sebuah jalan buntu seandainya aku mengambil kesimpulan secara cuma-cuma. Namun, tidak untukku sekarang ini. Keheningan ini memberikanku banyak jawaban.

Aku menarik kursi, menundukkan kepala, dan sekali lagi memijit pelipis dengan jemariku. Rasa sakit seolah muncul kembali. Timbul, tenggelam, begitu saja terus.

"Mbak Sari membaca naskah itu, benar, kan?" Aku menerka. "Dan ia menghubungi Anda, meminta Anda untuk tak menerbitkan naskahnya."

Tak ada jawaban.

"Tapi Anda menghiraukannya."

Masih tak ada jawaban.

"Sekarang katakan pada saya. Apa yang terjadi setelah ia meminta naskah itu untuk tak diterbitkan. Detail. Tanpa terkecuali."

Tetap tak ada jawaban.

"Anda bisa berbicara, kan?"

Di sisi lain, Yuli, secara bergantian, memperhatikan kami berdua—aku dan Pak Firman.

Aku tak tahu alasan apa yang membuatnya tak segera menyingkir, keluar, dan memilih untuk pergi dari ruangan ini, menghirup udara bebas sementara perseteruan tetap akan kulanjutkan. Aku tak tahu apakah Yuli termasuk ke dalam sebagian orang yang suka memperhatikan pertengkaran orang-orang. Yang jelas, pilihannya itu amat salah.

Apalagi ketika akhirnya Pak Firman menjawab, "Saya tak tahu kalau tulisan Pak Tora akan menjadi kenyataan."

"Ya, pada awalnya juga saya tak menyangkanya, tetapi ...," aku mengadahkan kepala, "Apa yang terjadi padanya selama pertama kali aku mengirimkan naskah sampai buku itu diterbitkan?"

Bukannya melanjutkan perjuangan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku, Pak Firman kembali mengurungkan niatnya untuk berbicara. Sekali lagi, mulutnya terkunci bagaikan kotak rahasia yang tidak boleh dibuka siapapun.

Buku itu mengalami proses sebelum benar-benar diedarkan, dan aku tak pernah mendapatkan informasi apapun dari Sari dalam kurun waktu yang sama. Siapapun, orang sepertiku, bisa menduga ada sesuatu yang tak beres. Maksudku ... jika tulisan-tulisanku itu akan menjadi kenyataan, seharusnya selama proses penyuntingan naskahku, Sari seharusnya tidak apa-apa, kan?

Aku tidak peduli kenapa Pak Firman tak menyetujui keinginan Sari—kalau memang itu yang terjadi. Masalahnya, kenapa aku tak mendengar apa-apa darinya?

Apa yang terjadi pada Sari selama itu?

Rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan susu dari dalam otak. Berantakan, kotor, dan membuatku terpaksa mengelap meja kaca agar kembali bersih.

"Jawab pertanyaan saya," gerutuku, kembali memaksa Pak Firman untuk menjawab pertanyaankuk—kini secara terang-terangan.

Aku berani bersumpah, waktu di sekitarku seolah berhenti, padahal detak jam dinding terus bergema di dalam telinga. Membisu dan membeku. Reaksi di antara kami bertiga bukanlah reaksi manusia sewajarnya. Aku terlalu cepat, Yuli terlalu kebingungan, dan Pak Firman terlalu lambat, seolah-olah kami bertiga berada dalam metrik waktu yang berbeda.

Atau memang seperti itu. Setidaknya hingga akhirnya kudengarkan jawaban dari Pak Firman.

Jawaban yang tak pernah kupikirkan sebelumnya.

"Saya mengurungnya," katanya, lantas membuatku terkejut. Bahkan, kulihat pula Yuli yang terkesiap, tak percaya dengan jawaban pak Firman. Aku yakin jawaban itu tak pernah ada di pikirannya.

"Apa?"

"Naskah Anda itu. Mbak Sari terus memberontak, memaksa saya untuk menolak naskahnya, jadi saya mengurungnya."

"Untuk apa?"

"Saya bilang itu hanya kebetulan. Saya mengurungnya karena ingin membuktikan bahwa tulisan Anda bukanlah ramalan masa depan, jadi saya mengurungnya agar dia tidak bisa ke mana-mana."

"Dengan seluruh tulisan gila yang sudah saya tuliskan dan orang-orang ketahui?" Aku memberontak. "Pembunuhan, gempa bumi, dan tulisan-tulisan pendek yang saya tulis di media sosial itu, dan Anda masih menganggap semuanya kebetulan?!"

Dadaku sesak, rasanya membutuhkan oksigen tambahan. Aku tidak tahu apakah paru-paruku semakin mengecil atau itu semua hanyalah akal busuk pikiranku, menganggap bahwa Pak Firman adalah orang paling brengsek yang pernah kutemui—atau setidaknya kebrengsekannya setara dengan kebrengsekanku.

Aku ingin muntah. Rasanya aroma ruangan ini berubah menjadi aroma tempat sampah.

Aku bertanya, "Di mana?"

"Di rumah saya. Rumah kedua saya. Rumah yang tak istriku tinggali."

"Apa yang kaulakukan padanya selama itu?"

"Tidak ada, hanya mengurungnya. Saya berani bersumpah. Bahkan selama itu saya memberinya makan."

"Anda mengikatnya agar tak ke mana-mana?"

"Ya."

"Selama satu bulan lebih?"

Pak Firman tak menjawab.

"Anda menyekap seorang wanita selama satu bulan lebih karena ia tak ingin kematian datang menjemputnya secepat ini?"

Aku kira aku adalah orang paling gila di dunia ini. Tampaknya, sekarang aku bisa merasakan kemarahan yang sama seperti apa yang Sari rasakan ketika aku menceritakan, seluruhnya, tindakan tololku yang mengubah nasib seseorang.

Kematian seseorang.

Namun, hei. Satpam itu mati karena memang pantas, kan? Kematian teman Sari adalah kecelakan. Aku akui itu adalah kesalahanku, tetapi aku hanya berusaha menyelamatkannya. Sedangkan yang Pak Firman lakukan? Atas dasar apa ia menyekap Sari? Untuk membuktikan bahwa ia benar, katanya, padahal ia tidak tahu sedang berhadapan dengan apa.

"Kenapa polisi tidak menyelidiki kematiannya? Kalau ada bekas ikatan, bukankah seharusnya mereka sadar ketakwajaran itu?" Aku menjilat bibir. "Bukankah seharusnya mereka menangkap Anda?"

Namun, Pak Firman mengangkat kedua bahunya. "Saya tidak tahu," katanya. "Saya pikir saya akan tamat. Saya sudah pasrah, tapi polisi tak pernah sampai ke depan rumah, bahkan sekadar untuk meminta keterangan. Mungkin mereka percaya kalau ia tenggelam, kecelakaan, seperti yang tertulis dalam buku Anda."

Memang, tidak semua hal yang ada di tulisanku benar-benar terjadi di dunia nyata. Seperti yang kuketahui, hanya bagian tragedilah yang berubah menjadi kenyataan. Memang benar, tanpa adanya penjelasan sedemikian rupa, penyebab kematian Sari di dalam novelku itu bisa menimbulkan banyak interpretasi—bagaimana caranya ia meninggal, dan salah satu alasan terbaiknya memang kecelakaan.

Itu jika penyelidikan tak dilakukan sebaik mungkin.

Gila, memang.

Masalahnya, Pak Firman, sekali lagi, seolah-olah berusaha menimpakan kesalahannya padaku. Bukumu, katanya. Si bodoh ini benar-benar tak pernah menyekolahkan mulutnya, ya? Berapa kali aku bercerita, berapa kali pula dia tak memahaminya dengan baik?

Aku mengambil ponsel, membuka media sosial, mengetikkan beberapa kalimat hingga akhirnya berhenti di suatu titik.

"Buku Anda?" Aku bertanya padanya. "Anda ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?"

Kuangkat ponselku, memperlihatkan layarnya pada Pak Firman. Aku tahu dia tak mungkin bisa membacanya dengan jelas. Namun, tak perlu menunggu waktu lama, dia akan segera mengetahuinya.

"Ini yang akan terjadi di bukuku selanjutnya."

Aku menekan tombol kirim. Walaupun tak melihatnya secara langsung, jempolku memang sudah kuposisikan sedemikian rupa sehingga tepat berada di depan tombol kirim.

Tak ada notifikasi. Tak ada suara.

Apakah ceritaku itu terkirim?

Aku tidak tahu.

Sepuluh detik berlalu. Tak ada apa-apa. Aku masih menunggu, takut akan tindakanku tadi terlihat amat bodoh.

Dua puluh detik berlalu. Aku mulai cemas.

Kutarik kembali ponselku, memperhatikan layarnya.

Ceritaku itu sukses terkirim. Lalu ... kenapa? Bahkan, seolah menunggu hal yang sama, Pak Firman bertanya, "Apa?"

Namun, di saat itulah petaka terjadi.

Kurasakan tanah yang bergetar. Langit-langit ruangan yang setuju pun mulai menjatuhkan bubuk-bubuk bahan baku yang jatuh menimpa kepalaku. Tidak, tidak hanya aku, tetapi aku yakin Pak Firman dan Yuli juga merasakan hal yang sama.

Sama sepertiku, mereka melongo kebingungan.

Gempa bumi?

Pikiranku mengarah ke sana. Gempa bumi besar, dahsyat, dan siap menghancurkan gedung. Itu mungkin saja. Apalagi, aku menuliskan di akhir ceritaku, Pak Firman meninggal dengan cara yang tak pernah dapat ia bayangkan sebelumnya.

Bagaimana jika Pak Firman tidak pernah menyangka jika ia akan mati tertimpa reruntuhan bangunan?

Sepuluh detik lainnya berlalu. Aku sudah yakin dengan pasti. Dengan sigap, kutarik ancang-ancang, segera berlari menuju pintu depan, membiarkan Pak Firman dan Yuli masih melongo kebingungan.

Aku tak tahu apakah dalam sekejap pikiran mereka membeku atau bagaimana. Kenapa mereka tidak lari?

Aku melewati Pak Firman yang masih berdiri di dekat pintu ruangan, sedikit mendorongnya, tetapi entah tenagaku yang terlalu besar atau apa, laki-laki itu tersungkur jatuh. Kulirik dirinya yang terjerembap, mengeluh kesakitan. Sesaat kemudian, pandanganku teralihkan pada Yuli yang masih tak merespon suasana dengan baik.

Guncangan semakin dahsyat. Tubuhku bergoyang ke sana dan ke mari, memaksa tumpuan kakiku bekerja lebih berat.

"Gempa! Ayo kita keluar!" Aku berteriak, tak memanggil nama, tetapi berhasil membuat Yuli—dengan seluruh kesadarannya—melongok ke arahku.

Perempuan itu hanya diam.

"Ayo!" Aku berteriak sekali lagi sembari mengayunkan lengan. Sekencang mungkin, tetapi tampaknya gerakanku terganggu akibat guncangan yang semakin lama semakin mengeras ini.

Lama-lama aku mulai berjongkok, menekuk kedua lutut agar tidak terjatuh sementara tangan kananku memegang gagang pintu.

"Mbak Yuli! Ayo kita ke ...."

Kalimatku tak akan terpotong tanpa alasan yang jelas, dan melelehnya gagang pintu adalah alasan yang jelas untukku menghentikan teriakan, ditambah guncangan dahsyat yang sebelumnya hampir berhasil membuat tubuhku jatuh berhenti secara tiba-tiba.

Benda padat itu seketika menghilang, mengalir membanjiri seluruh permukaan telapak tangan kananku. Basah dan tidak lengket, benar-benar cair seperti cairan di dalam tabung gas. Juga tidak cepal, tapi membuatnya terasa seperti berminyak. Itu hanya berdasarkan indera perabaku, belum kuidentifikasi oleh kemampuanku yang lain.

Sontak, kualihkan pandanganku, dan gagang pintu itu benar-benar melebur. Hilang, begitu saja, entah ke mana, tanpa adanya tanda-tanda pernah ada gagang pintu di sana.

Aku terbelalak.

Diselimuti rasa penasaran, aku membalikkan tanganku, memperhatikan telapak tangan yang tidak bermasalah. Ini telapak tanganku. Biasa, tidak berubah menjadi hijau atau menunjukkan gejala-gejala tak wajar lainnya. Kemudian kudekatkan. Namun, sama saja.

Kecuali, ketika kuperhatikan telapak tanganku, di luar frame yang kufokuskan, bisa kulihat asap hitam mengepul, masuk ke dalam, melalui celah pintu. Aku yang terkejut langsung jatuh tersungkur, membiarkan pantatku rubuh terlebih dahulu—untungnya kurasa bukan tulang ekorku.

Asap hitam itu tidak hanya masuk melalui celah pintu, tetapi juga celah-celah lain. Jendela, ventilasi, dan anehnya ... dari sudut-sudut ruangan yang seharusnya tak berlubang.

Apa yang terjadi?

Aku mundur, menekan lantai dengan kedua tanganku dan mendorong kakiku kuat-kuat untuk menjauhkan tubuh dari pintu. Aku mengadahkan kepala, melihat Yuli yang masih berdiri di tempat yang sama, menganga, tak berkata apapun. Kemudian, Pak Firman yang sebelumnya jatuh terjerembap ... hilang.

Tiba-tiba.

Dia tidak ada di samping meja tempatnya terjatuh. Dia tidak ada di sampingku. Sejauh mata memandang—dan dengan posisiku yang lebih rendah ini—seharusnya aku bisa melihat tubuhnya di manapun juga, seberapa besarpun usahanya untuk bersembunyi.

Namun, tidak ada.

Yuli membungkam mulut dengan kedua tangannya. Matanya yang melotot memastikan bahwa sesuatu ada di belakangku, tetapi perhatianku terlanjur teralihkan oleh meja yang sekarang mulai meluruh.

Seperti gagang pintu yang sebelumnya kucengkeram.

Tak ada jejak atau apapun, hanya mencair begitu saja. Tenggelam, tak tampak, menuju ubin yang mulai berwarna kecokelatan. Ruangan yang sebelumnya terang benderang pun, setelah diselimuti oleh asap hitam yang menyeruak dari sisi-sisinya, kini melambung gelap, kemayu, bagaikan dua sifat manusia yang saling bertolak belakang.

Dalam hitungan detik meja itu lenyap.

Dalam hitungan detik lagi setelahnya, aku sadar bahwa seluruh benda yang sebelumnya ada di dalam ruangan ini, semuanya, hilang ditelan bumi—dalam makna sebenarnya. Bahkan, sekarang aku sendiri tak yakin di mana kakiku berpijak. Cahaya remang yang entah berasal dari mana—karena kulihat lampu neon yang sebelumnya terpasang di dalam ruangan pun lenyap—tidak memperlihatkan sedikitpun lantai yang kupijak.

Aku bisa melihat diriku, ragaku, seluruh permukaan tangan yang kubolak-balikkan hanya untuk memastikan bahwa aku tidak buta. Di seberang sana Yuli masih ketakutan, tetapi bukan itu poin pentingnya.

Aku masih bisa melihat wujudnya, manusia seutuhnya.

Sebaliknya, ruangan yang sebelumnya dipenuhi oleh bermacam-macam furnitur, kini berubah menjadi lapangan gelap tak berujung. Aku tak dapat memproses kembali, di dalam otakku, secara detail bagaimana transformasi itu berhasil mengubah suasana secara drastis. Yang jelas, sejauh mata memandang, aku tak melihat apapun lagi selain ... tubuhku dan Yuli.

Namun Yuli masih belum memutuskan rasa takutnya. Lebih buruk, ia sendiri jatuh terperangah sambil mulai menutupi seluruh wajahnya, terutama kedua bola matanya.

Tak ada apapun lagi yang bisa kulihat sejauh mata memandang membuatku penasaran.

Kenapa Yuli amat ketakutan?

Ada apa di belakangku?

Begitu aku memutar leher, bisa kulihat Pak Firman tengah berdiri, membuatku mendongakkan kepala untuk melihat raganya secara keseluruhan.

Mungkin harus kukatakan ... seperti Pak Firman.

Wajahnya berubah pucat, kebiruan, seolah darah tak pernah mengalir di area wajahnya. Kulitnya tidak berkeriput, tetapi lipatan-lipatan tak wajar berhasil mendeformasi wajahnya. Jika bukan karena pakaiannya, mungkin aku tak akan pernah menebak bahwa itu adalah Pak Firman.

Bahunya dilebarkan, tangannya berayun gontai, seolah-olah papan tak kasat mata sengaja dipakukan di kedua bahunya. Langkah kakinya tak jauh berbeda. Diseret, menimbulkan decitan yang tak dapat dimanjakan oleh telinga. Beberapa kali ia hampir terjatuh.

Pak Firman tampak ... berjalan ke arahku.

Pakaiannya compang-camping, dan bisa kulihat darah mulai merembes membasahi bajunya. Deras, bahkan berhasil mengubah warnanya, tetapi aku hanya melihat satu dua tetes darah keluar dari pakaiannya.

Aku tidak tahu, tidak mengerti, dan tidak ingin mengetahui bagaimana mungkin hal tersebut terjadi. Aku memang belum pernah melihat secara langsung luka sobek besar dengan darah yang muncrat ke mana-mana dan mampu membuat seseorang pingsan, tetapi aku yakin setidaknya sumber semacam itulah, jika bukan satu-satunya, yang mampu menyebabkan fenomena itu.

Kalaupun terjadi, bukankah seharusnya Pak Firman sudah mati kehabisan darah?

Semakin lama, dapat kupastikan bahwa ia benar-benar berjalan ke arahku. Matanya terlihat sayup, tetapi bisa kulihat iris matanya menghilang. Putih, bersih, seperti katarak yang membuat orang buta. Mulutnya menganga, mengeluarkan gumaman kosong yang tak dapat kumengerti.

Di saat itulah aku sangat yakin bahwa sesuatu yang tak beres terjadi padanya.

Kakiku mulai gemetar, tak mampu membantuku berdiri. Aliran darah dalam tubuhku semakin terpompa. Keringat—walaupun aku tak yakin bahwa di situasi ini kulitku berhasil menangkap suhu tubuh yang sempurna—membanjiri seluruh permukaan tubuhku. Kujadikan kedua lengan sebagai tumpuan untuk bergerak mundur.

Merangkak terbalik. Itu yang kulakukan. Di saat yang bersamaan, aku terus berusaha menenangkan diri.

Sialannya, seolah Pak Firman tahu bahwa aku berusaha menghindarinya, ia malah meneriakkan kata-kata kosong—yang tak dapat kumengerti—semakin keras.

Bagaikan teriakan mayat hidup.

Bahkan setelah kulewati Yuli yang masih bergidik ngeri, Pak Firman sama sekali tak melepaskanku dari targetnya.

Dia berjalan melewati Yuli, seolah-olah perempuan itu tak pernah ada.

Mengejarku.

Aku tak tahu sudah mundur berapa jauh. Benar-benar jauh, dan aku yakin lebih jauh dari seharusnya. Dinding ruangan tadi benar-benar telah menghilang.

Ruang kosong yang hitam. Aku ada di sini. Pertanyaannya, apa yang terjadi?

Pertanyaan klasik itu tak pernah bisa kujawab, mengarah ke manapun pertanyaannya.

Pelarian panjang ini berhasil membuatku sedikit tenang. Kedua kakiku berhasil kukondisikan dengan baik. Gerakanku semakin cepat, jarak antara tubuhku dan Pak Firman semakin jauh. Aku mengambil ancang-ancang untuk berdiri, menghitung satu sampai tiga, siap untuk berlari mengejar Yuli dan mencari tahu apa yang terjadi.

Namun, tentu saja kejutan datang tanpa kuduga.

Di saat seperti ini, tepat ketika aku pikir semuanya terasa beres, satu atau dua kejadian lain selalu berhasil memutarbalikkan harapanku. Plot twist dalam cerita, satu-satunya sandingan yang bisa kuambil sebagai gambaran kejadiannya.

Gambaran yang tidak menyenangkan.

Pak Firman berlari. Tiba-tiba. Tanpa diduga. Tanpa aba-aba. Ia mengejarku dalam kecepatan tak wajar, seolah-olah kakinya tak pernah lumpuh, seolah-olah bahu vertikalnya tak mengganggu kecepatannya, seolah-olah ... dia bukan manusia lagi.

Tidak, bahkan tidak layak kusebut sebagai berlari. Pak Firman melesat, melompat dengan sangat cepat, bagaikan peluru senjata api yang sedari tadi telah diarahkan padaku.

Ia memasang wajahnya tepat di depan wajahku.

Kini aku bisa melihatnya dengan jelas, bagaimana wajahnya benar-benar rusak, bagaimana mata butanya terlihat berlendir, bagaimana mulutnya terbuka lebar, menemani napasnya yang menderu menyeka wajahku.

Giginya potong satu demi satu, jatuh di atas dadaku.

Aku terkejut bukan main. Wajah mengerikan itu benar-benar ada di hadapanku, tiba-tiba, dan pasti berhasil membuatku mati seandainya riwayat penyakit jantung pernah menemani jejak medisku. Pak Firman masih mengeluarkan geraman tak beraturan, dan aku membeku tak berkutik. Embusan hangat yang keluar dari hidungnya membuatku tak nyaman.

Di saat yang bersamaan, Pak Firman berteriak kencang.

Aneh sekali, bukan? Padahal, dulu aku ketakutan setengah mati ketika melihat pemandangan yang serupa, ketika ponselku secara tiba-tiba menampilkan bayangan tak lazim dan sukses membuatku melemparkannya. Sekarang? Seolah-olah semuanya adalah hal yang biasa. Padahal tentu tidak.

Pak Firman tidak memejamkan mata. Tidak menarik napas terlebih dahulu. Tidak berteriak kencang selayaknya manusia biasa yang sengaja memusatkan seluruh kekuatannya pada pita suara.

Lengkingannya diarahkan padaku, tetapi hanya itu.

Tanpa ekspresi, tanpa pemberitahuan apapun.

Aku mundur dan Pak Firman tak bergerak. Sekali lagi, kejutan berhasil membuatku terperangah.

Pak Firman bertumpu pada kedua lututnya. Kaki bagian bawahnya diangkat tinggi-tinggi. Bahkan, bungkukan tubuhnya berhasil membuat letak kepalanya berada jauh di bawah telapak kakinya, dan dengan tangan yang masih terpasang pada papan tak kasat mata yang ada di belakang bahunya, tak ada titik keseimbangan lain selain kedua lututnya.

Dengan kata lain? Ia berhasil mematahkan ilmu sains. Bagaimanapun, posisi seperti itu tak mungkin dipertahankan lama-lama.

Gigi-gigi Pak Firman terus rontok, satu persatu, hingga benar-benar tak bersisa. Teriakannya masih menggema, cukup lama hingga kembali berhasil kuatur irama detak jantungku, kembali berusaha berdiri.

Jadi, masih dengan mengunci penglihatanku ke arah Pak Firman, aku berdiri.

Rahangnya putus, jatuh, tergeletak begitu saja, tetapi Pak Firman tak terganggu karenanya, seolah-olah rahangnya masih menempel pada wajahnya. Lidahnya terjulurkan mau tak mau. Lengkingan panjangnya masih belum terputus, seolah-olah napasnya tak pernah habis.

Dia bukan manusia.

Aku bersikeras, mulai membulatkan tekad. Kalau ini adalah pengalaman pertamaku melihat kegilaan yang selama ini kualami, mungkin aku telah pingsan.

Aku melongok ke arah yang lebih jauh.

Yuli masih di sana.

Pak Firman masih berteriak.

Aku bisa memilih prioritas, kan?

Kehadiran Pak Firman dalam keadaan ini memang berhasil mengejutkanku, tetapi bagaimanapun juga, aku sudah menduganya.

Aku menuliskan kematiannya. Aku tahu itu akan terjadi. Aku tidak tahu bagaimana, tetapi yang jelas sosok mayat hidup yang terus mengejarku ini menunjukkan bahwa ia telah mati, kan? Mungkin ia mengejarku karena tak terima atas tulisan yang kubuat.

Aku tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi. Apakah hidup di dunia yang sureal rasanya memang seperti ini? Apakah aku sedang bernapas di dalam imajinasi para seniman yang jalan pikirannya tak pernah dapat kuikuti?

Dengan kata lain ... gila?

Aku berjalan perlahan, melewati Pak Firman yang masih berteriak. Rahangnya yang lepas berhasil membuat lidahnya liar ke mana-mana, bergetar, selaras dengan matanya yang terus-terusan tak dilepaskan dariku.

Bahkan ketika aku melintasinya.

Baiklah, pemandangan itu mengerikan, tetapi efek kejut sementaranya tak berlangsung lama. Sekarang aku hanya perlu mencari Yuli dan mengajaknya untuk mencari jalan keluar dari tempat ini.

Memangnya ada jalan keluar?

Aku bisa mencari tahu, berkeliling ke sana ke mari, menuju kegelapan tebal yang tak tahu akan membawaku ke mana. Itu semua bisa terjadi seandainya Pak Firman tak meraih pergelangan kakiku, kemudian menarik tubuhku hingga terjatuh.

Aku berbalik, dan sekali lagi Pak Firman memosisikan wajahnya terpaut beberapa sentimeter dari wajahku.

Berteriak.

Tak bohong, aku terkejut untuk kesekian kalinya. Jantungku kembali berdetak cepat. Namun, bukan karena gurauannya yang tak lucu itu, melainkan sama seperti furnitur yang sebelumnya ada di dalam ruangan, tubuh Pak Firman meleleh.

Kepala, lengan, seluruhnya meluruh, melintasi beberapa bagian tubuhku.

Aku hampir muntah, tetapi kusikapi dengan menahan mulut dengan kedua tanganku, persis seperti apa yang Yuli lakukan sebelumnya.

Atmosfer menakutkan sebelumnya kini berubah jadi menjijikkan.

Aku memejamkan mata, menahan rasa mual yang terus mengocok perut. Satu, dua, hingga tiga detik berikutnya semua masih sama.

Aku tidak merasakan lelehan tubuhnya, tetapi tubuh cairnya tadi jelas jatuh menimpa perutku, yang kemudian entah mengalir ke mana.

Pemandangan yang tidak ingin kulihat.

Teriakannya tak berhenti, setidaknya beberapa detik sebelum aku kembali membelalakkan mata. Itu pun kulakukan karena sadar bahwa lengkingan suaranya tak dapat kudengar lagi.

Apakah ia meluruh secara menyeluruh?

Penasaran, kubuka pejaman mataku.

Pak Firman tidak ada di sana.

Dia hilang.

Namun, bukan itu saja. Dunia gelap yang sebelumnya kupijaki kini berubah. Berwarna, lebih hangat, dan yang jelas berhasil membuatku kembali bertanya-tanya. Sebab, aku tidak kembali berada di ruang kantor penerbit, tempat di mana sebelumnya aku berada.

Aku menggerutu. Sekarang apa lagi?

Aku berdiri, membersihkan baju, berjaga-jaga seandainya lelehan tubuh Pak Firman membekas di luar baju—untungnya tidak. Setelahnya, kulemparkan pandangan ke seluruh sudut ruangan.

Klasik. Ruangan sederhana, tanpa ornamen, hanya ditemani satu sofa kecil dengan meja, menjorok ke dalam, ditemani lampu remang yang menyinari seluruh ruangan.

Aku tahu tempat ini. Sama, persis, tak ada yang berubah, termasuk si orang tua yang sebelumnya pernah menyambutku sebagai tamu.

Ini adalah penginapan di dalam hutan yang sebelumnya pernah kukunjungi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top