Uchiha Itachi *Modern*

Setiap orang memiliki ‘monster’ dalam diri mereka. Beberapa orang memiliki monster yang lebih besar, sebagian lainnya lebih dalam, sementara sisanya memiliki monster lebih gelap.

Y/N selalu merasa dirinya kompleks, sulit dipahami. Orang-orang melabelinya dengan kata ‘sombong’ atau ‘antisosial’ padahal ia hanya tidak ingin orang lain mengetahui masalah yang ia hadapi. Pada orang terdekatnya, Y/N dijuluki Si Terapis karena mampu mendengarkan keluh kesah teman-temannya dan memberi saran yang paling objektif pada mereka. Y/N bukannya tidak mempunyai tempat untuk mengeluarkan isi hatinya, tidak, ia hanya merasa tidak bisa mengutarakan apa yang ia rasakan.

Pikirannya selalu berkata bahwa ia adalah gadis yang kuat. Ia mampu menyelesaikan masalahnya seorang diri. Ia mampu tertawa bersama yang lain saat bahunya dibebani oleh perkara yang tak kunjung usai. Ia menjadi sandaran orang terdekatnya kala mereka butuh bantuan. Namun, jauh di dalam hatinya, Y/N merasa tidak ada yang mengerti dirinya
Karena itulah ia enggan mengutarakan pikiran dan isi hati yang sesungguhnya.

Iya, Y/N merasa ia cukup kuat menghadapi segalanya sendiri. Ia percaya bahwa seseorang mengukir jalan mereka dan membawanya ke takdir yang mereka inginkan. Hanya sesekali ia berbagi cerita, itupun saat yang lain menanyakan pendapat pribadinya. Bukan, bukannya Y/N tidak percaya dengan orang-orang terdekatnya, hanya saja ia takut.

Y/N takut ketika ia menceritakan semuanya, tidak ada lagi yang tersisa. Ia takut ketika ia membuka diri, ia akan terluka. Ia takut saat orang lain mengetahui bagaimana ia berpikir dan seberapa buruk dirinya, mereka akan meninggalkannya.

Tidak mudah menjalaninya. Dalam beberapa kesempatan, ia merasa sendiri di tengah keramaian. Di momen lain, tidak peduli seberapa keras ia berteriak, tidak ada yang mendengarkan. Hingga akhirnya, Y/N belajar untuk tidak mengatakan hal yang berada di dalam benaknya. Untuk apa? Toh pada akhirnya, yang bisa ia andalkan hanyalah dirinya sendiri.

Pada akhirnya, yang benar-benar menyayangi dirinya, hanyalah dirinya sendiri. Sampai pria itu datang.

Uchiha Itachi, namanya. Pria berperawakan jangkung dengan rambut hitam panjang. Netranya yang sekelam malam seolah menusuk ke dalam dirinya, menyingkap segala kata yang tidak mampu ia ucap. Bibirnya yang mengulas senyum lembut seakan berkata seburuk apapun dirinya, ia tidak akan menghakiminya. Pria yang terkenal dengan kelembutannya, namun memiliki dinding yang tidak kalah kokoh untuk melindungi perasaannya.

Pria itu datang dengan senyum kecil tampak di wajahnya. Ia yang saat itu mampir ke universitas hanya untuk menengok pameran adiknya, tanpa sengaja datang membawa ikatan persahabatan padanya. Itachi berkata bahwa impresi pertamanya pada sosok Y/N adalah terpukau.

“Saat ini aku hanya ingin berteman,” aku Itachi. “Tapi sesuatu dalam dirimu mengingatkanku pada diriku yang dulu.”

“Apa maksudmu?” tanya Y/N tidak mengerti.

“Setelah beberapa jam mengobrol denganmu, aku takjub dengan karismamu,” Itachi mengusak puncak kepala Y/N akrab, menyisir rambut gadis itu dengan jemarinya. “Kau gadis kuat, tapi tidak perlu memendam semuanya sendiri. Berbagilah sedikit pada orang terdekatmu, kupastikan bahumu akan lebih ringan nanti.”

“Hah?”

“Aku harus pergi, Y/N. Sampai jumpa,” Itachi bangkit dari posisinya dan mengusak kepala Y/N sekali lagi. “Lain kali, aku akan memaksamu untuk berbagi bebanmu denganku.”

Y/N melongo. Tidak tahu harus menyahut seperti apa. Ia kehilangan kata-kata. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menatap punggung Itachi yang perlahan menjauh, menghilang dibalik dinding putih gedung fakultasnya. Y/N terlalu tercengang untuk merespon. Bagaimana seseorang yang baru ia kenal beberapa jam lalu mampu membaca kepribadiannya dengan begitu mudah?

Siapa sangka ucapan Itachi benar-benar menjadi nyata?
Butuh beberapa bulan bagi Y/N untuk akhirnya membuka diri pada Itachi. Iya, pada akhirnya ia terjerat dalam pesona si Sulung Uchiha. Bagaimana tidak? Terlepas dari sebagian besar waktunya yang tersita untuk mengerjakan urusan kantor, pria itu masih sempat menemuinya untuk sekedar makan malam bersama atau untuk mengantarnya pulang. Tidak banyak pembicaraan lewat telepon atau video, tapi Itachi dengan konstan mengiriminya pesan.

Ada satu momen dimana Itachi menenangkannya hingga membuatnya luluh. Momen ini terjadi ketika pria itu menyaksikan Y/N dalam mode depresi—ia sering menyebutnya dengan ‘episode’. Episodenya datang tak menentu, biasanya terjadi ketika ia terlalu lelah atau dihantam bertubi-tubi oleh masalah. Dan untuk pertama kalinya, Y/N tidak melalui episode itu sendirian.

“Aku di sini Y/N,” bisik Itachi. Bibirnya menyapu jejak air mata Y/N, tangannya bergerak naik turun di punggung gadisnya dengan gestur menenangkan. “Keluarkan semuanya. Aku tidak akan menghakimimu. Aku tidak akan pergi darimu. Aku menyayangimu, bahkan pada sisi dirimu yang kaubenci.”

“Aku tidak melarangmu menangis, juga tidak memintamu untuk bercerita,” lanjut Itachi. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Y/N yang gemetar.“Tapi kumohon, saat kau merasa seperti ini, jangan menangis sendirian. Kau bisa mengandalkanku. Kau bisa menangis dalam pelukanku.”

Sejak saat itu, Y/N menghabiskan episodenya dengan Itachi. Sia-sia saja ia berusaha menyembunyikannya karena pria itu memiliki seribu satu cara untuk mengetahui isi kepalanya. Singkat kata, bagi Itachi dirinya mirip seperti buku yang terbuka. Mudah terbaca. Karena itu, ketika Y/N merasa episodenya mulai datang secara tiba-tiba, ia langsung menelpon Itachi.

Dan itulah yang ia lakukan sekarang.
Y/N sudah merasakannya sejak kakinya melangkah keluar kelas. Momen kesendirian dimana ia terjebak dengan pikirannya hingga tidak mengindahkan keberadaan teman-temannya yang lain. Ia kesal dengan mereka yang mengeluh untuk mendapatkan simpati dari orang sekitar, sedangkan ia tidak bisa berbuat demikian. Kekesalan itu berujung pada sesi mengasihani diri sendiri hingga pada akhirnya Y/N mengulang satu kalimat bagai mantra.

“Aku jauh lebih kuat daripada masalahku. Di hadapan masalahku, aku akan menang.”

Namun mantra itu tidak lagi berfungsi saat dirinya terduduk di kamar, tersembunyi di balik dinding apartemennya tanpa seorangpun mampu menghakiminya. Dalam kesendirian, tangis Y/N tumpah. Untuk berapa lama ia menangis—Y/N tidak tahu, tapi dinding pertahanannya seketika roboh saat lengan kekar membawanya mendekat pada tubuh yang hangat.

“Maaf aku datang terlambat,” bisik Itachi. Pria itu memejamkan mata, membelai puncak kepala dan kening Y/N dengan bibirnya. Hatinya seolah diremas mendengar isakan Y/N. “Kau tidak perlu berpura-pura kuat di hadapanku Y/N. Percayalah, aku tidak akan meninggalkanmu sendiri. Tidak akan pernah.”

“Kenapa Itachi?” gumam Y/N tertahan. “Aku bukanlah sosok karismatik yang kau temui di pameran saat itu. Aku dengan segala kekuranganku hanya akan membebanimu. Aku tidak ingin merepotkan orang yang kusayangi.”

“Bukankah sudah kubilang, kau adalah gadis yang kuat,” Y/N mendengus kecil dengan pernyataan Itachi.

“Tidak ada gadis kuat yang menangis sesenggukan seperti ini Itachi.”

“Kenapa tidak?” sebelah alis Itachi terangkat. Ia menangkup wajah Y/N dengan hati-hati, menyapukan ibu jari pada pipi gadisnya yang memerah akibat menangis. “Bahkan gadis yang kuat pun bisa terluka dan menangis.”

Y/N terdiam.

“Tidak ada salahnya sesekali menangis untuk meringankan bebanmu,” ujar Itachi. Ia mengadukan dahinya dengan dahi Y/N, memaksa gadisnya untuk beradu tatap. “Dan kau, Gadisku yang Kuat, saat ini kau terluka dan aku tidak menyalahkanmu karena menangis. Kau tahu kenapa?”

Kali ini Y/N menggeleng. Iris jelaga Itachi memancarkan kehangatan dan kasih sayang yang amat dalam, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum geli.

“Karena setelah ini, aku yakin kau akan bangkit dengan mudah. Kau akan menunjukkan pada dunia, terlepas dari masalahmu dan beban yang kautanggung, kau akan baik-baik saja. Aku mengagumimu karena itu,” ujar Itachi dengan nada lembut dan sabar.

Y/N sudah tidak terisak, tangis sudah hilang. Pandangannya memang masih mengabur, namun sirat sedih kini terganti dengan binar penuh keteguhan hati. Itachi benar, seperti mantra yang selalu ia ucapkan.

Ia akan menang dari masalahnya. Ia akan lebih kuat daripada dirinya yang kemarin. Masalahnya memang tidak akan hilang dan selesai dengan sendirinya, tetapi dengan perubahan dirinya, Y/N tahu bahwa ia mampu menyelesaikan masalah yang dunia lemparkan padanya.

“Nah, sekarang gadisku sudah berhenti menangis,” Itachi mencubit pipi Y/N seraya menyunggingkan senyum kecil. “Tidak ingin tersenyum untukku?”

Y/N terkekeh pelan, geli pada Itachi yang berbicara layaknya seorang ayah pada bayinya yang menolak untuk makan sayuran. Samar tapi pasti, senyum Itachi turut mengembang seiring dengan kian cerahnya ekspresi Y/N.

“Terima kasih Itachi,” gumam Y/N. “Terima kasih karena tetap di sisiku yang penuh dengan cacat dan kekurangan ini.”

Ia menyusupkan wajahnya di dada kekasihnya, menyembunyikan wajahnya yang perlahan menghangat, setengah senang dan setengah malu karena baru saja memperlihatkan sisinya yang memalukan pada pria paling menakjubkan yang ia temui.

“Tidak, Y/N. Terima kasih karena sudah menjadi gadis yang kuat. Terima kasih atas usahamu yang berusaha menyelesaikan masalahmu sendiri karena kau tidak ingin merepotkan orang-orang di sekitarmu. Terima kasih karena kau sudah berjuang sekeras ini. Kau adalah gadis yang luar biasa.”

Y/N memukul punggung Itachi setengah serius. Ucapan pria itu lagi-lagi menghangatkan jiwanya hingga tanpa bisa ditahan, air matanya kembali jatuh.

“Karenamu, aku jadi menangis lagi, bodoh.”

“Tidak masalah,” sela Itachi sambil terkekeh gemas. “Dirimu yang menangis juga menggemaskan.”

Tidak masalah kau menangis lagi jika aku ada di sampingmu untuk menghapus air matamu. Aku tidak peduli dengan kekuranganmu, Y/N, karena bunga yang paling indah pun memiliki duri yang paling tajam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top