Nara Shikamaru *Modern*

Aku menatap Shikamaru yang tertidur di pangkuanku. Ia terlihat damai terlepas dari fakta kalau kami membolos jam pelajaran Kakashi-sensei. Shikamaru berkata ia malas mendengarkan pelajaran Kakashi-sensei yang selalu berisi tentang perjalanan sejarah dan yang lainnya di selingi dengan anak-anak yang berkomentar tentang buku yang selalu di bawa guru bermasker itu -biasanya Naruto yang selalu berkomentar.
Lebih baik terus mencoreng absenku dengan kata 'alfa' dan mendapat nilai sempurna saat ujian daripada harus duduk dua jam dengan penuh kebosanan yang merepotkan, itu kata Shikamaru saat pertama kali aku bertanya tentang alasan ia suka bolos. Saking seringnya Shikamaru mengajakku membolos, aku sampai menguasai cara ampuh untuk menghadapi guru piket a.k.a Asuma-sensei. Ditambah lagi Shikamaru adalah anak didik kesayangan Asuma-sensei, kami bisa lepas dari ruang detensi.

Masalahnya sekarang adalah kakiku mulai mati rasa karena ditumpangi oleh kepala yang lebih besar, lagipula jam perlajaran Kakashi-sensei sudah habis dan aku yakin Kurenai-sensei sibuk berpikir kemana kami membolos.
Perlahan aku mengusap dahi Shikamaru, cara ini terbukti lebih efektif daripada cara yang selalu Ino pakai untuk membangunkan si pemalas ini.

"Shikamaru..." panggilku. Sesekali aku meniup wajahnya.

"Diamlah, Y/N, kau merepotkan," gumam Shikamaru. Ia menutup mulutku agar tidak bisa meniup wajahnya lagi. Pada saat yang bersamaan, aku terkekeh pelan melihat wajah setengah mengantuknya yang hampir mirip dengan anak anjing yang lucu, itu menurutku.

"Kau tidak ingin masuk kelas? Kakiku mulai mati rasa, Shika," bujukku perlahan. Ia membuka sebelah matanya dan menatapku dengan tatapan kesal setengah mengantuk.

Berhasil! Shikamaru membuka matanya yang sebelah lagi, lalu mendudukkan dirinya di depanku. Aku tersenyum penuh terima kasih ke arahnya dan merasa lega karena bisa melipat kakiku lagi. Saat Shikamaru berdiri aku menatapnya aneh, kukira ia mau pergi ke kelas, tapi itu sangat tidak mungkin.

Sama seperti pikiranku, Shikamaru berdiri hanya untuk menempatkan dirinya di antara pagar pembatas atap dan diriku. Tangannya melingkari pinggangku, dagunya ia tempatkan di bahuku. Hembusan nafasnya terdengar jelas di telingaku dan terasa hangat di wajahku.

"Kau tidak ingin masuk kelas?" tanyaku lagi. Aku tahu, bertanya padanya adalah hal yang percuma, karena kalau ia sudah berada di posisi nyamannya, Shikamaru tidak akan bangun kecuali untuk hal yang penting dan menyangkut nyawa orang lain.

Shikamaru menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku ingin disini dulu. Aku mengantuk."

"Kenapa?" aku tidak bisa mendengar suaranya karena mulutnya terhalang rambutku.

"Aku mengantuk, Y/N. Percuma saja berada di kelas kalau aku tidak mendengarkan ocehan guru. Lebih baik aku tidur disini dengan kau sebagai bantal hidupku," jawab Shikamaru dengan nada malas.

Aku terkekeh pelan. "Kau memang selalu mengantuk. Kalau aku tidak mengenal dirimu lebih baik, aku sudah berpikir kalau aku menjadi kekasihmu hanya karena bahu dan pahaku yang nyaman untuk menjadi bantalmu, tahu."

Shikamaru mendengus pelan. "Memang itulah tugasmu."

"Apa kau bilang?" tanyaku pura-pura cemberut. Ya, pura-pura. Berada di dekat Shikamaru membuatku lebih kebal terhadap kata-kata yang menyakitkan dan menganggapnya hanya sebagai candaan.

"Tapi kau adalah satu-satunya bantal hidupku tahu."

Aku tertawa kecil. "Pernyataan itu akan terdengar jauh lebih romantis ketika kau mengganti kata bantal menjadi kata teman dan berada di situasi yang lebih mendukung, bukannya saat kita sedang bolos dan memperdebatkan mengapa aku menjadi kekasihmu."

"Semua itu terlalu merepotkan untuk kulakukan, Y/N," gumam Shikamaru.

"Mhmm, terserah kau sajalah," balasku. "Omong-omong, aku tidak sejenius dirimu. Aku harus memperhatikan pelajaran di kelas untuk mendapatkan nilai bagus dan mempertahankan posisiku, kau tahu."

"Aku yang akan mengajarimu nanti. Sekarang diam dan tidur. Aku sudah lelah mendengar ocehanmu sejak tadi, Y/N," suruh Shikamaru serius.

Aku bungkam, menuruti kata-kata Shikamaru. Yah... ia memang selalu menepati kata-katanya dan mengajariku di perpustakaan sekolah atau di rumahnya kalau ia terlalu malas, tapi aku juga harus sangat bersabar saat Shikamaru yang menjadi tutorku. Aku harus membangunkannya lima belas menit sekali agar ia tidak ketiduran. Agak sedikit berbeda kalau kita akan menempuh ujian. Biasanya ia akan tahan untuk tidak tidur selama aku masih belajar.

Mataku melirik ke arah Shikamaru. Aku mendengus kecil saat menyadari ia sudah tertidur. Angin terasa lebih kencang dan sejuk saat berada di atap. Benar-benar menggodaku untuk ikut tertidur juga. Mengingat tidak akan bisa kemana pun saat Shikamaru tertidur sambil menahanku sebagai bantalnya, aku menyamankan diri.

Telingaku berada di dada Shikamaru, mendengarkan suara detak jantungnya yang perlahan membuatku tenang. Sisi tubuhku bersandar pada bagian abdomennya dan Shikamaru menempatkan kepalanya di atas kepalaku, memberinya kebebasan untuk menghirup aroma rambutku. Aku sedikit meringis saat pelukannya mengencang, tapi detik berikutnya kembali mengendur.

Setelah beberapa menit mengkhayal, akhirnya aku menyerah pada rasa kantukku
***
Asuma-sensei sudah bersiap untuk memarahi murid kesayangannya yang suka sekali membolos dengan alasan mengantuk. Anak itu juga sering mengajak kekasihnya untuk ikut membolos sejak setahun yang lalu mereka resmi menjadi kekasih. Bagusnya, nilai mereka tetap stabil, bahkan Shikamaru masih dijuluki sebagai salah satu murid paling jenius di sekolah ini. benar-benar mengundang hawa sirik.

Tapi, niatnya itu sudah hilang entah kemana ketika ia melihat orang yang dicarinya sudah tertidur dengan raut wajah damai. Asuma-sensei tersenyum sekilas dan meninggalkan atap dengan langkah perlahan. Masih dengan tersenyum ia menutup pintu atap tanpa mengeluarkan suara.

Biarlah ia melapor pada Tsunade-sama kalau ia tidak bisa menemukan mereka berdua.
Tanpa disadari Asuma-sensei, Shikamaru tersenyum saat menyadari kalau guru favoritnya itu tidak melakukan apapun untuk membangunkan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top