Nara Shikamaru
Tidak mungkin. Tidak mungkin Asuma-sensei meninggal. Terakhir kali kudengar, kelompokku di beri misi untuk mengejar anggota Akatsuki, aku tidak bisa ikut karena masih menjalani misiku dan baru selesai sore ini. Mataku menatap tajam pada jonin yang memberitahuku, ia menganggukkan kepalanya seakan berkata kalau aku harus percaya padanya. Sore yang seharusnya kuhabiskan dengan bersantai, sekarang harus berubah menjadi menghadiri pemakaman guru yang sangat kuhormati.
Jonin yang mengantar pesan itu sudah menghilang dari hadapanku, tapi rasa kagetku masih belum hilang. Rasa kagetku berganti dengan rasa khawatir, bagaimana keadaan Chouji, Ino, dan.... Shikamaru? Bagaimana dengan keadaan mereka bertiga? Apa mereka baik-baik saja atau mereka juga ikut terluka, maksudku selain luka batin. Sadar dengan waktuku yang sudah tidak banyak lagi, aku segera berlari ke rumah untuk bersiap, mungkin sebelum ke pemakaman aku akan melihat Shikamaru dulu.
Tiba-tiba saja aku merasa hampa, tubuhku seperti mati rasa, orang yang mengajari hampir semua yang kutahu sekarang sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang akan mentraktir Chouji, tidak ada lagi yang menanyakan sesuatu tentang Kurenai-sensei pada Ino, tidak ada lagi yang mengajak Shikamaru bermain shogi, tidak ada lagi yang membantuku berlatih serius, tidak ada lagi orang yang akan kami ledeki saat sedang kencan dengan Kurenai-sensei. Sudah tidak ada lagi. Hari-hari bersama Asuma-sensei hanya tinggal menjadi kenangan dan luka.
Saat pergi ke rumah Shikamaru, Bibi Yoshino bilang kalau ia sudah berangkat sejak tadi. Aku tersenyum tipis, tahu kalau Shikamaru tidak akan datang ke pemakaman Asuma-sensei. Aku mengucapkan terima kasih, lalu pergi ke bukit tempat biasa Shikamaru tidur. Masih belum ada siapapun di sana, tapi aku lebih tahu kalau cepat atau lambat Shikamaru pasti akan ke sini.
"Apa yang kau lakukan di sini, Y/N?"
"Aku mengembalikan pertanyaan itu untukmu, Shikamaru," balasku.
Shikamaru berbaring di sampingku, sebelah tangannya memainkan pematik milik Asuma-sensei. Aku memperhatikan raut wajahnya, sama sekali tidak ada emosi apapun di sana, raut wajahnya datar, tapi saat kulihat matanya ada rasa sedih, kecewa, marah dan sakit di sana, sama sekali tidak ada emosi positif yang terpancar di tatapannya.
Kami sama-sama diam, aku tidak tahu apa yang harus dibicarakan, sementara Shikamaru sepertinya memang sedang tidak ingin bicara. Mataku terasa panas, pandanganku sudah mulai kabur karena air mata sudah berkumpul dan siap jatuh kapan saja karena mengingat Asuma-sensei. Aku tahu kalau saat ini semua orang yang mengenal Asuma-sensei sedang berduka, tidak seharusnya aku menangis karena masih ada orang yang lebih menderita dariku, contohnya saja laki-laki di sampingku ini, Kurenai-sensei, juga Konohamaru.
"Kau tahu, Y/N?" ucap Shikamaru pelan. "Asuma menitipkan pesannya untukmu. Ia bilang kau harus rajin berlatih dengan begitu kau akan melampauinya, ia juga bilang agar kau harus membantu dan menjaga kami saat ia tidak ada nanti, ia ingin agar kau lebih sedikit feminim."
"Benarkah?" tanyaku. Aku terkekeh pelan mendengar kalimat terakhir, tanpa sadar aku sudah menangis. Tanganku bergerak untuk mengusap mataku, tapi sia-sia saja.
Shikamaru melirikku, lalu mengisyaratkan padaku untuk mendekat. "Kemarilah."
Shikamaru memelukku erat, aku mengalungkan lenganku di sekitar lehernya, tubuhnya juga bergetar sepertiku. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leherku, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya dengan sedikit gemetar, berulang kali ia melakukan itu sampai aku merasakan kalau leher dan bahuku terasa basah.
"Aku ada di sana, Y/N. Aku ada di sana dan tidak ada yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Asuma meninggal di hadapanku, kepalaku tidak berguna di saat aku sangat memerlukannya. Aku yang membiarkan ini semua terjadi, aku yang membiarkan hari ini ada pemakaman untuknya, Y/N. Aku," racau Shikamaru. Pelukanku mengerat, aku tidak pernah melihatnya menangis seperti ini, terakhir kali adalah saat ia mendapatkan misi untuk membawa Sasuke dan semua temannya terluka.
"Bukan salahmu, Shikamaru. Bukan salahmu," balasku pelan. Aku terus membisikkannya di telinga Shikamaru selama ia meracau kalau semua ini adalah salahnya.
Cukup lama kami berada di sana, matahari sudah tidak terlihat lagi dan angin malam sudah mengeringkan air mata kami. Aku yakin kami pasti akan tertidur di sana kalau saja Shikamaru tidak melihat burung yang terbang mengitari kami. Astaga... Tsunade-sama benar-benar tidak tahu kapan situasi yang tepat ya?
"Aku akan mengantarmu," kata Shikamaru. Ia menggenggam tanganku erat saat kami berjalan. "Aku akan membalaskan dendam Asuma, Y/N. Tadinya aku ingin mengajakmu, tapi sepertinya Tsunade-sama memiliki rencana lain."
Aku menghentikan langkah membuat Shikamaru melakukan hal yang sama. "Kau jelas tahu kalau kau akan menghadapi anggota Akatsuki, kan?"
Shikamaru mengangguk singkat. "Kau tidak akan bisa mencegahku, Y/N."
Aku mengangkat tanganku yang bebas. "Aku sama sekali tidak berniat untuk mencegahmu, aku hanya memastikan kalau kau tahu siapa yang kau hadapi dan bagaimana kau akan menghadapinya."
"Tentu saja aku tahu," Shikamaru menampakkan senyum tipisnya padaku. "Masuklah, Tsunade-sama pasti sudah menunggumu."
Saat Shikamaru ingin berbalik dan akan pergi, aku menahannya. "Aku ingin kau berjanji sesuatu padaku," aku tersenyum saat Shikamaru mengangkat sebelah alisnya. "Saat kau bertemu dengan orang yang membunuh Asuma, buat kematiannya menderita dan jangan gagal."
Shikamaru mengangguk mantap. "Aku janji."
***
Ini pertama kalinya aku mengunjungi makam Asuma-sensei, aku tidak melihat Kurenai-sensei dimana pun, yang ada hanyalah Shikamaru. Ia masih berdiri di depan makam Asuma-sensei. Aku sudah mendengar kalau Shikamaru dan yang lain sudah kembali, tapi aku tidak tahu kalau ia akan mengunjungi Asuma-sensei secepat ini.
"Kau juga baru mengunjunginya?" tanyaku.
"Begitulah," jawab Shikamaru. "Aku sempat bertemu dengan Kurenai-sensei. Sayang sekali, kau terlambat beberapa menit."
Aku tidak membalas dan berdiri di sampingnya. Di sisi nisan bertuliskan 'Sarutobi Asuma' ada bunga yang tidak kutahu artinya, mungkin kalau aku bertanya pada Ino ia akan menjawabnya. Shikamaru bergumam pelan, aku tidak bisa mendengarnya.
"Kubilang, aku sudah menepati janjiku."
Aku mengangguk. "Bagaimana dengan yang lain, apa mereka baik-baik saja?"
"Naruto harus di rawat, tapi yang lain baik-baik saja," balas Shikamaru. Ia berjongkok untuk menaruh pematik milik Asuma-sensei, kemudian berbalik menghadapku. "Lebih baik kita pulang, kau baru saja menyelesaikan misimu, kan?"
Aku menerima uluran tangan Shikamaru, lalu mengikuti langkahnya. Kusempatkan untuk menatap nisan Asuma-sensei sekali lagi sambil mengucapkan kata perpisahan. Selamat jalan, Asuma-sensei.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top