Namikaze Minato

'Dalam waktu delapan bulan kau akan menjadi ayah. Selamat ya!!'

Kalimat itulah yang istrinya ucapkan beberapa bulan yang lalu, namun Minato masih belum yakin kalau kalimat itu benar-benar terucapkan. Ia memandangi wajah Y/N yang tengah tertidur di sampingnya. Wajahnya terlihat begitu damai dan bahagia seakan tidak ada beban apapun yang mengganggu pikirannya. Bagaimana bisa seorang wanita mampu membuat dunianya berwarna? Membuat seluruh jiwanya mendambakan sosok itu setiap menitnya?

Tidak dapat dipungkiri, Minato sangat bahagia mengetahui calon bayi mereka akan lahir sebentar lagi. Sosok yang belum pernah ia lihat wujudnya, namun sudah sangat ia cintai hingga rela mengorbankan nyawa untuk melindunginya. Namun, dalam satu fase kehamilan fase mengidam dan perubahan mood-lah yang tidak ia sukai.

Bukan. Istrinya tidak seperti kebanyakan ibu hamil di luar sana yang mengidam banyak hal aneh dan merepotkan suami. Justru sebaliknya, Y/N hanya menginginkan ramen Paman Takeuchi atau dango langganan mereka. Mungkin keinginan Y/N yang paling aneh adalah memakan yakiniku dan es krim yang dipesan khusus dari Sunagakure secara bersamaan. Keinginan istrinya tidak memberatkan atau merepotkannya sama sekali.

Tapi yang Minato tidak tahan adalah ketika Y/N menginginkannya untuk terus tetap memeluknya atau mengusap perutnya atau menyentuhnya secara umum. Minato memang senang jika istrinya ingin terus berada di sampingnya, tapi jika ia sedang bekerja Y/N akan merajuk dan berubah cengeng jika ia tidak menuruti keinginannya.

Minato beranjak perlahan, tidak ingin membangunkan Y/N yang terlelap dengan damai.

"Kenapa belum tidur?" suara lembut Y/N memaksa Minato menatap matanya.

"Hanya memikirkan sesuatu," Ibu jari Minato mengelus tulang pipi Y/N dengan hati-hati. "Kau kembalilah tidur. Istirahat yang cukup akan membuatnya sehat juga."

"Tapi kau harus tidur juga," rengek Y/N manja. Ia menarik ujung lengan Minato seperti anak kecil. "Bayinya saja ingin kau tidur bersamaku."

Minato tersenyum lembut. Ia memainkan ujung rambut Y/N dengan penuh kasih sayang. "Aku tidak bisa. Masih ada pekerjaan menantiku di kantor hokage."

Y/N cemberut tidak suka. Ia membalikkan tubuhnya, memunggungi Minato yang menggelengkan kepala pasrah. Menghadapi ibu hamil yang tidak dipenuhi keinginannya memang merepotkan.

"Y/N ... kau tahu ada banyak yang harus kulakukan sebagai seorang Hokage, kan?" Minato mengusap punggung Y/N lembut, berusaha membuat istrinya kembali menghadapnya sebelum ia kembali meninggalkan rumah.

"Memangnya tidak bisa ditunda dulu?" suara Y/N tidak terlalu jelas karena tertahan oleh bantal yang menutupi wajahnya. "Setiap hari kau terus saja meninggalkan kami dan kembali saat malam hari. Aku merindukanmu, tahu."

Minato beranjak dari kasur mereka. Ia berjongkok di hadapan Y/N dan menatap wajah istrinya dengan senyuman. "Kau tahu kan kalau aku adalah seorang Hokage?"

Y/N mengangguk.

"Kau juga tahu kalau sudah menjadi tugasku untuk melindungi desa dan semua warga Konoha?"

Y/N kembali mengangguk.

"Jadi, kau mengerti kalau aku harus meninggalkanmu sebentar untuk melakukan tugasku, kan?" Y/N mengangguk lagi. "Aku harus melindungi desa agar saat dia lahir, desa kita sudah aman. Kau tidak ingin dia berada dalam bahaya, kan?"

Y/N menggelengkan kepala. Matanya berkaca-kaca saat Minato mengusap dan mencium perutnya yang sudah membesar. Y/N mendudukkan diri di tepi kasur lalu memeluk Minato sambil terisak.

"Maafkan aku karena tidak mengerti pekerjaanmu. Maafkan aku yang egois Minato. Maafkan aku karena ingin bersamamu sedikit lebih lama," isak Y/N di bahu Minato.

Tidak ada yang bisa Minato lakukan selain memeluk dan menenangkan istrinya yang kembali dalam masa moody. Senyum Minato berubah sedikit aneh saat istrinya menggesekkan hidung yang berlendir di bahunya. Yah ... apapun untuk istri tercintanya.

Y/N menjauhkan wajahnya dari bahu Minato. Mata dan hidungnya agak memerah setelah terisak beberapa saat lalu. Wanita itu mencebik dengan pandangan memohon pada Minato.

"Tapi ... kau tidak bisa tinggal di rumah sedikit lebih lama?" suaranya yang sengaja dilembutkan dan matanya yang masih berkaca-kaca hampir saja membuat Minato luluh dan menuruti keinginan Y/N.

"Tidak bisa Y/N," geleng Minato. "Aku sudah meninggalkan kantor Hokage lebih dari tiga jam. Entah sudah berapa banyak dokumen yang harus kuurus."

Minato hanya bisa menghela nafas pasrah saat Y/N beranjak dan meninggalkan kamar mereka dengan langkah yang sengaja dihentakkan. Tidak perlu seorang jenius untuk tahu kalau Y/N kembali marah dengan keputusannya untuk pergi ke kantor Hokage. Tapi, seingin apapun ia untuk tetap berada di rumah, Minato juga tahu ia memikul tanggung jawab besar selain menjadi seorang suami dan ayah.

Tidak ingin mendengar Y/N kembali menangis, Minato memutuskan untuk segera pergi sebelum ada yang menyadari kalau yang berada di kantor Hokage hanyalah bunshinnya.

"Lihat, Ayahmu bahkan tidak mau menghabiskan waktunya bersamamu. Ia ingin terus bekerja. Kau ingin Ayahmu tetap di rumah, kan?" suara dari dapur memaksa Minato menghentikan langkah untuk mengambil jubahnya. "Aku juga tidak ingin Ayahmu pergi, tapi sepertinya pekerjaannya jauh lebih penting, kan?"

"Astaga ... Y/N, jangan berpikiran seperti itu," kata Minato menghampiri istrinya. "Kalian berdua sangat penting bagiku."

Sebelah alis Y/N terangkat kesal. "Kalau memang penting, kenapa ditinggalkan terus?"

"Aku harus melindungi kalian berdua dan seluruh warga desa. Aku harus melakukan tugasku sebagai seorang Hokage," Minato meraih kedua tangan Y/N kemudian menautkan jemarinya dengan jari-jarinya dengan milik istrinya. "Aku mencintai kalian berdua. Sangat mencintai kalian berdua. Tapi, kalau aku mengabaikan tugasku, kalian bisa saja berada dalam bahaya dan aku tidak menginginkan itu. Apa kau mengerti sekarang? Aku harus melakukan tugasku sebagai Hokage agar aku bisa melindungi kalian berdua."

Raut wajah Y/N melembut mendengar penjelasan suaminya. Ia balas menggenggam tangan Minato dan menghambur padanya. Ia berusaha memeluk Minato sedekat yang ia bisa karena perut besarnya menciptakan jarak yang terlalu lebar di antara keduanya.

"Maaf karena aku bersikap seperti gadis cengeng. Pergi dan lakukanlah tugasmu sebagai seorang Hokage. Buat kami bangga dengan hasil kerja kerasmu," Y/N sedikit berjinjit untuk mencium pipi Minato.

Minato tersenyum dan menggangguk. Ia mencium puncak kepala Y/N sebelum mengambil jubahnya. Pikirannya dipenuhi dengan pekerjaan yang menumpuk dan bagaimana nyamannya saat ia bisa tertidur di samping istrinya saat pulang nanti.

Tidak dapat dipungkiri, Minato sangat bahagia dengan kehadiran bayi mereka yang akan lahir dalam beberapa bulan. Namun, Minato tidak terlalu suka saat Y/N ingin terus berada di sampingnya dan menghambat pekerjaannya. Sialnya, Minato masih harus berurusan dengan Ibu hamil yang moody untuk beberapa bulan ke depan.

Setidaknya semua kesabarannya akan terbayar saat melihat senyuman Y/N ketika bayi mereka lahir nanti.

Maaf requestmu lama di post dan tidak sesuai harapan ya MegaAyuLestari42

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top