Namikaze Minato

Aku tersenyum saat ada shinobi yang melambai dan menyapa, predikat menjadi istri Hokage malah membuat banyak shinobi dari desa yang mengenalku. Aku harus terlihat sebaik mungkin setiap saat atau orang yang iri padaku akan berkata kalau aku tidak pantas untuk Minato.

Sore ini aku berniat untuk menemui Minato karena akhir-akhir ini ia selalu lembur dan membuat rumah kami terasa hampa tanpa keberadaannya. Baru saja aku sampai di sekitar gedung Hokage, aku sudah melihat Minato berjalan keluar. Tanpa pikir panjang, aku langsung meneriakkan namanya. Minato sempat kaget saat melihatku, tapi tetap memamerkan senyuman yang sangat kukenal. Kalau di lihat baik-baik, ada yang berbeda dengan senyuman kali ini, begitu juga dengan tatapan matanya.

"Apa yang membuatmu ke sini, Y/N?" tanyanya saat aku sudah berjalan di sampingnya. Tangannya berada di pinggangku saat kami berjalan.

"Aku hanya merindukanmu. Sudah beberapa hari ini kau pulang saat aku sudah tertidur," jawabku sambil melirik ke arahnya.

"Aku juga merindukanmu, Y/N," Minato kembali tersenyum saat mendengar jawabanku. "Kebetulan pekerjaanku hari ini sudah selesai. Kau mau pergi ke suatu tempat?"

Aku berpikir sejenak dan hanya satu tempat yang terlintas di kepalaku. Tempat pertama kali aku mengenal cintaku. "Aku ingin pergi ke danau tempat pertama kali kita bertemu, boleh?"

"Tentu saja."

Tanganku terangkat untuk melambai pada salah satu shinobi yang tersenyum ke arah kami. Semakin banyak yang menyapa kami, semakin erat juga pegangan Minato pada pinggangku. Ia baru tersenyum tulus saat melihat Kakashi dan Guy yang beradu mulut, lalu menyempatkan diri untuk menyapa kami. Sekarang baru benar-benar ku sadari kalau Minato tidak seperti biasanya.
Senyumnya seperti dipaksakan, tatapannya agak menerawang dan menajam saat seorang pemuda menyapaku. Raut wajahnya baru terlihat lega saat kami sudah sampai di danau dekat hutan. Tempat yang sangat bersejarah untuk kami berdua.

"Sudah lama sejak terakhir kali kita ke sini, eh?" tanya Minato. Ia mendudukkan dirinya di tepi danau, membawaku ikut duduk di sampingnya.

"Tentu saja. Terakhir kali ke sini saat kita masih genin dan sekarang kau sudah menjadi Hokage," jawabku sambil menyandarkan kepalaku di bahunya.

Danau ini menjadi saksi bisu pertemuanku dengan Minato. Bayangkan saja, saat pertama kali bertemu aku sedang menangis karena ibuku yang paling kusayangi meninggal saat menjalankan misi. Minato yang saat itu sedang berada di dahan pohon langsung menghampiriku dan bertanya kenapa aku menangis.

Ia terlihat bingung dan panik saat tangisanku tidak berhenti. Pertama ia menepuk bahuku perlahan, lalu memelukku dan membisikkan kalimat 'sudah, tidak usah menangis lagi' dan yang terakhir ia mengusap kepalaku. Saat itu Minato mengatakan satu kalimat yang membuat tangisku berhenti dan tersenyum lebar. 'Jangan menangis terus. Aku yakin kau akan terlihat lebih memesona saat tersenyum, bahkan bungan secantik apapun akan merasa iri denganmu.'

Mulai saat itulah aku dan Minato menjadi teman. Kami sering pergi ke danau untuk berlatih jutsu baru saat tidak ada misi atau sekedar menghabiskan waktu bersama dengan berbagi cerita selama tidak bertemu.

"Kau terlihat lucu saat pertama kali aku melihatmu," ucap Minato. Sepertinya ia juga membayangkan saat pertama kali kami bertemu dulu.

Aku meninju lengannya bercanda. "Kau tidak bilang begitu dulu. Lagipula aku sedang menangis saat itu, dimana letak lucunya?"

"Kau memang lucu saat menangis, Y/N. Matamu sembap, pipimu memerah, dan bibirmu mengerucut sebal," sahut Minato setengah tersenyum. "Tapi aku lebih memilih melihat senyummu daripada air matamu."

Ia mencubit pipiku gemas, sementara aku menggembungkan pipi dengan kesal. Mataku terpejam saat angin berhembus kencang menemani kami dengan tenang, keheningan diantara kami terasa nyaman, seperti kami tidak harus berbicara banyak untuk memahami satu sama lain. Aku suka saat-saat seperti ini. Saat-saat Minato tidak perlu mengkhawatirkan desa dan saat-saat aku tidak perlu mengkhawatirkan dirinya.

"Jadi menurutmu aku lebih baik lucu saat menangis atau lebih memesona saat tersenyum, eh Minato?" tanyaku tanpa membuka mata.

"Tentu saja saat tersenyum," jawab Minato. Lengannya memeluk bahuku erat. "Sayangnya, aku tidak suka melihatmu tersenyum pada orang lain selain aku."

"Maksudmu?"

"Beberapa hari ini aku merasakan perasaan aneh saat melihatmu bertukar sapa dengan pemuda lain yang tidak kuketahui, saat melihatmu tersenyum pada semua orang. Aku tahu perasaan ini tidak seharusnya ada karena kau hanya bersikap ramah pada warga desa dan itu sikap yang baik sebagai nyonya Hokage, tapi aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini, Y/N."

Mataku terbuka dan menatap mata biru Minato. Tidak ada sirat bercanda atau jenaka pada iris biru itu. Ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Aku menghela nafas pendek saat melihat raut wajah Minato murung dan bingung.

"Oh, Minato...."

"Aku serius, Y/N," sahut Minato. "Perasaan ini sangat menggangguku, membuat pikiranku tidak fokus saat bekerja dan membuatku harus bekerja lebih lama dari biasanya. Karena itulah akhir-akhir ini aku lembur."

Sejujurnya, aku juga merasakan perasaan yang sama saat Minato melakukan semua itu pada kunoichi cantik yang menurutku lebih pantas untuknya daripada aku. Apalagi saat salah satu dari mereka terang-terangan berkata kagum dan menyukai Minato saat aku sedang berjalan di sampingnya. Perasaan itu sanggup membuatku terdiam lama di rumah selama beberapa jam dan tidak melakukan apapun.

"Kalau begitu ingatlah ucapanku saat kau merasakan perasaan itu lagi," aku menggenggam tangannya. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu, aku akan terus berada di sisimu, tidak peduli aku pantas atau tidak untukmu."

Minato menangkup wajahku di tangannya. Kali ini ia tersenyum lembut, senyuman khas Minato yang membuatku kembali jatuh cinta padanya. Tatapannya yang penuh kasih sayang mengingatkanku pada tatapan ibuku. Tanganku terangkat untuk menggenggam tangan Minato yang berada di pipiku.

"Tentu saja kau pantas untukku, Y/N. Aku mencintaimu," Minato mencium dahiku lama, ciumannya beralih pada puncak kepalaku dan aku kembali menyandarkan kepalaku pada bahunya.

"Aku mencintaimu," balasku. "Omong-omong, Minato?"

"Hm?"

"Dalam waktu delapan bulan kau akan menjadi ayah. Selamat ya!!"

"Eh!?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top