Kakuzu
Aku mencoba mengendap-endap di belakang Kakuzu untuk mengambil hal yang paling ia cintai. Uangnya. Aku tahu kalau mengambil uang Kakuzu sama saja membuat diriku di vonis mati dan harus menggali kuburanku sendiri, tapi keadaan ini benar-benar darurat. Bayangkan saja, persediaan permen dan semua makanan manisku habis karena Tobi. Tertawakan aku, tapi hal itu memang darurat mengingat aku adalah versi perempuan dari Tobi.
"Apa yang kau lakukan, Y/N?" suara Kakuzu membuat langkahku terhenti. Ia bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari lembaran-lembaran bernilai itu. Aku menepuk dahi dalam hati. Astaga... apa yang membuatku yakin kalau aku bisa mengambil uang Kakuzu dengan cara mengendap-endap seperti ini?
"Aku ingin meminta sedikit dari kekasihmu itu, boleh ya?" aku menyatukan kedua telapak tanganku, lalu mencoba memasang wajah super imut agar Kakuzu mau memberikan sebagian dari uangnya.
"Untuk apa?"
"Ada sesuatu yang sangat penting yang harus kubeli. Kumohon, boleh ya?" bujukku lagi. Kakuzu mengerang tidak rela, tapi tetap memberikan beberapa lembar dari sekian banyak yang di pegangnya.
Aku menyambar uang itu dengan cepat sebelum Kakuzu berubah pikiran. Bukannya aku tergila-gila dengan uang, tapi Kakuzu yang terlalu protektif dengan kertas itu. Ia berprinsip tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain uang, hal itu membuatku sedikit sedih karena harus kuakui aku memiliki perasaan yang romantis pada penggila uang itu.
Tiba-tiba sudut mataku menangkap sosok berambut putih dan membawa sabit besar di punggungnya. Siapa lagi kalau bukan Hidan a.k.a sahabat dekatku. Baiklah, memang terkesan sangat aneh kalau aku bisa bersahabat dekat dengan Hidan, karena hubungannya tidak begitu baik dengan diriku versi laki-laki, tapi karena Leader-sama sering membuat kami berada di misi yang sama, hanya Hidan dan Kakuzu saja yang benar-benar bisa memahamiku. Oh, jangan lupakan kembaranku, Tobi!
"Dasar kakek tua pilih kasih. Kau hanya memberikan kertas sialan itu pada Y/N, sementara tidak dengan anggota yang lain," dengus Hidan. Ia mengarahkan sabit besarnya tepat di depan wajah Kakuzu.
Kakuzu hanya mendengus dan menampik sabit besar Hidan. Ia menatap Hidan dengan tatapan tajam setengah bosan, sementara aku hanya menggelengkan kepala karena mereka pasti akan beradu mulut lagi. Sejujurnya, aku menikmati saat-saat mereka beradu mulut, berbeda dengan Deidara dan Tobi yang bisa menghancurkan markas, mereka berdua hanya menggunakan hinaan verbal saja.
"Sudahlah, Hidan. Kau kesini untuk apa?" tanyaku mencoba melerai sebelum Kakuzu membalas ucapan Hidan.
Hidan melirikku, ia mengerti kalau aku tidak ingin ada perkelahian untuk sementara ini. Ia mengangkat kembali sabitnya, lalu menghadap padaku. Melihat perubahan raut wajahnya yang semakin cerah, aku yakin pasti berhubungan dengan dewa Jashin yang selalu ia puja-puja.
"Leader-sama ingin kita pergi ke Iwagakure, membunuh seseorang yang mengetahui markas kita. Manusia bertindik itu juga bilang kalau aku bisa mengorbankannya untuk dewa Jashin," kata Hidan.
Aku mengangguk. "Kalau begitu kita berangkat sekarang."
"Baiklah," Hidan menyampirkan jubahnya di bahu, lalu melirik Kakuzu. "Kau juga ikut Kakuzu, Leader-sama bilang kau yang pernah bertemu dengan orang yang menjadi korban dewa Jashin. Ayo cepat berangkat, aku sudah tidak sabar untuk melakukan ritualnya."
Kakuzu memutar bola matanya. "Dasar masokis."
***
Sial! Benar-benar di luar dugaan. Sepertinya orang yang di maksud Leader-sama sudah mempersiapkan diri dan memberitahu Tsuchikage kalau Akatsuki akan menyerang desa atau shinobi mereka, karena itulah saat kami datang sudah ada yang memenjarakan kami di benteng yang terbuat dari tanah.
Kakuzu melirik Hidan, menyuruhnya untuk menghancurkan benteng itu tanpa suara. Tipikal Hidan, ia berteriak layaknya orang kesetanan dan menghancurkan benteng itu hanya dengan sekali tebas. Harus kuakui, Akatsuki memang tidak bisa di remehkan. Kakuzu melirikku sekilas dan aku mengerti maksudnya. Ia ingin agar kami menggunakan serangan kombo dengan elemen petir. Aku setuju karena elemen tanah memang lemah dengan elemen petir.
Sementara aku dan Kakuzu sibuk menggunakan elemen petir, Hidan sudah berada di antara kerumunan shinobi Iwa. Dasar masokis, sudah banyak kunai yang tertancap di tubuhnya, tapi ia malah tertawa gembira. Aku benar-benar tidak tahu apa yang membuatku bisa menjadi teman dekat seorang yang masokis dan memiliki mulut yang kotor seperti Hidan.
"Y/N, jangan melamun! Kau bisa terbunuh nanti," ucap Kakuzu yang berada di sampingku. Aku mengangguk, tapi tidak bisa lepas dari lamunanku.
Kakuzu berlari menerjang kerumunan shinobi itu sambil meneriakkan nama jutsu yang sudah kuhafal di luar kepala. Mungkin karena terlalu sering memperhatikannya diam-diam aku jadi hafal semua gerakannya tanpa sadar. Alasan lainnya karena aku menganggumi sejak pertama kali masuk ke Akatsuki, ia memang tidak ramah pada semua orang dan sangat pelit saat berhubungan dengan uangnya, tapi itulah yang membuat perasaan kagumku berubah menjadi perasaan yang lain.
"Y/N, awas!" suara Hidan membuatku menoleh ke arahnya dan saat itu juga aku merasakan sakit yang amat sangat melewati punggungku.
Hidan langsung menghabisi orang itu dengan sekali tebasan, sama seperti ia menghancurkan benteng yang memenjarakan kami. Ia langsung meneriakkan nama Kakuzu seraya menggendongku.
Saat Kakuzu datang, ia menyerahkanku padanya.
"Kau urus saja Y/N, biar aku yang menyelesaikan sisanya," kata Hidan sambil menyeringai lebar. Hm... ia mengedipkan sebelah matanya ke arahku, mungkin karena posisiku berada di gendongan Kakuzu dan ia tahu kalau aku menyukai Kakuzu.
"Dasar sombong. Aku akan meninggalkan elemen petirku di sini," tanpa sadar Kakuzu menyetujui saran Hidan. Saat elemen petirnya sudah keluar dari tubuhnya, Kakuzu melompat menjauhi tempat pertarungan kami.
Kurasakan punggungku semakin basah seiring dengan semakin banyaknya darah yang keluar dari punggungku. Aku yakin jubah Akatsuki-ku sudah bernoda besar di bagian punggungnya, mungkin setelah misi ini selesai aku harus mencuci jubahku dulu sebelum istirahat.
Kakuzu mendudukanku di dekat pohon, lalu memaksaku untuk membuka jubah agar ia bisa melihat lukanya. Samar-samar terdengar teriakan kegirangan Hidan membuatku menggelengkan kepala. Aku meringis saat Kakuzu menyentuh luka yang ternyata lumayan besar itu.
"Dasar bodoh! Bukankah sudah kubilang jangan melamun!? Bagaimana kalau kau terbunuh nanti?" tanya Kakuzu dengan suara keras. Baru kali ini aku merasa Kakuzu mengeluarkan lebih banyak emosi selain kesal, emosi yang dinamakan khawatir.
Aku terkekeh pelan. "Untuk orang yang jarang mengeluarkan emosi, kau cukup terdengar khawatir saat ini."
Kakuzu mendengus pelan. "Tentu saja aku khawatir, Y/N. Beruntung shinobi bodoh itu hanya mengenai punggungmu tanpa mengenai titik vital. Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya?"
Aku menatap Kakuzu tidak percaya. Apa ia benar-benar khwatir padaku atau hanya bersikap ramah? Tidak. Tidak mungkin ia hanya bersikap ramah karena Kakuzu bukan orang yang seperti itu. Apa aku boleh berharap kalau ia memiliki perasaan yang sama denganku?
"Kukira kau hanya peduli dengan uangmu saja?"
"Tidak juga. Kau juga menjadi prioritas utamaku sejak pertama kali kau masuk ke markas," gumam Kakuzu.
"Baiklah, aku tahu kalau kalian sudah saling menyukai dan akan hidup bahagia selamanya, tapi kalau aku boleh menyela, kita sudah harus pulang sekarang. Kau tahu, agar kalian bisa melanjutkan drama menjijikan secara privasi."
"Hidan!!"
Untuk rsyafa_11
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top