Hidan

Tidak akan ada seorang pun yang percaya jika mendengar Hidan si Pemuja Dewa Jashin mampu mendeklarasikan cintanya pada seorang gadis biasa. Ia yang selalu terlihat urakan dan kasar bisa jatuh cinta pada seorang gadis layaknya pria normal, walau tidak ada satupun bagian dirinya yang mampu dicap normal.

Kenyataannya, seorang gadis desa yang sederhana mampu menghilangkan akal sehatnya. Gadis naif yang bahkan tidak menjerit dan kabur saat melihatnya tergeletak dengan penuh darah di atas rerumputan, malah buru-buru menghampirinya dan berusaha membopongnya, beranggapan bahwa dirinya pingsan. Ah, apakah ia menyebutkan salah satu lengannya putus?

Sudah lebih dari tiga tahun ia mengenal gadis itu, tapi perasaannya masih tetap sama seperti saat ia melihat Y/N berusaha keras menjahit kembali lengannya. Entah bagaimana name bisa memaksanya untuk jatuh hati.

“Berhati-hatilah. Kalau kau terluka separah ini lagi dan tidak ada aku di sana, bagaimana kau akan kembali padaku,” pesan Y/N saat Hidan berkata ia tidak boleh tinggal lebih lama di rumah gadis itu.

Hidan menyeringai lebar. “Tidak perlu khawatir seperti itu, tidak ada seorang pun yang bisa membunuhku.”

“Aku tahu,” Y/N menggangguk dengan wajah suram. “Tapi bukan berarti mereka tidak bisa menyakitimu, kan? Sudah sepantasnya aku mengkhawatirkan seseorang yang begitu berharga bagiku.”

Sorot mata Hidan melembut. Sesuatu yang tidak akan pernah mungkin terjadi jika tidak berhubungan dengan Y/N. Tangannya terangkat, menangkup wajah Y/N dengan gerakan hati-hati. Merasakan jemari Hidan di wajahnya, Y/N mendongak, beradu pandang dengan iris amber Hidan.

“Sudah kubilang, tidak perlu khawatir. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang mampu menyakitiku. Sebaliknya, kau harus menjaga dirimu dengan baik selama aku tidak ada,” ujar Hidan. “Banyak ninja pelarian yang bersembunyi di desa ini. Sementara desamu tidak memiliki ninja untuk melindungi warga desa.”

Y/N mendengus kecil mendengar kekhawatiran Hidan. “Aku sudah hidup di desa ini selama hidupku. Aku akan baik-baik saja.”

Seringai kembali di wajahnya. “Kalau begitu tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Hidan melempar senyum penuh percaya diri ke arah Y/N lalu berbalik, bersiap meninggalkan gadisnya. Namun, langkahnya terhenti saat ada gagasan yang mengganggu pikirannya. Ia kembali memutar tubuh menghadap Y/N. Diabaikan sorot bingung di mata Y/N, ia memilih untuk mengubur wajahnya di leher Y/N. Bibirnya mencium leher gadisnya, mencari titik tertentu yang membuat Y/N berjengit. Bibirnya mengukir seringai.

Y/N tidak tahu pasti apa yang Hidan lakukan, tapi ia bisa merasakan lehernya basah dan sedikit nyeri. Ia mendorong bahu Hidan keras saat lehernya menjadi sangat sakit. Ia hampir menampar bahu Hidan kalau saja tidak melihat seringaian lebar penuh makna di wajahnya.

“Apa yang kaulakukan?” desis Y/N.

“Meninggalkan sesuatu yang akan membuat banyak laki-laki brengsek berhenti menatap ke arahmu,” Hidan menyentuh bekas yang ia tinggalkan pada leher Y/N. “Dengan begini, kau akan terus mengingatku untuk beberapa hari ke depan.”

Hidan mengedipkan sebelah matanya penuh kemenangan dan berlari meninggalkan Y/N, sebelum gadis itu bisa melakukan hal anarkis yang akan melukainya.

Ia tidak bisa menahan kekehan yang keluar dari mulutnya saat mengingat bagaimana merahnya wajah Y/N saat itu. Berusaha mengingat wajah Y/N yang begitu menggemaskan membuat keinginannya untuk bertemu menjadi tidak tertahankan.

Hidan mempercepat langkah, tidak ingin menunda waktu lebih lama lagi untuk menemui gadis favoritnya. Cengiran tidak luntur sepanjang perjalanan menuju desa yang Y/N tinggali. Jubahnya terhempas karena kecepatan kakinya yang fantastis. Laju kakinya yang bergerak santai perlahan berubah menjadi berlari dengan kecepatan penuh.

Tiba-tiba kakinya terpaku. Ia mendongak melihat asap hitam membumbung menodai langit cerah di musim gugur. Matanya terbelalak, menyadari bahwa asapnya berasal dari arah tujuannya. Ia memang tidak pintar, tapi tidak sulit baginya untuk mengetahui sumber api.

Desa Y/N.

Kembali mendapatkan kesadarannya, Hidan kembali berlari dengan kecepatan penuh, kali ini untuk alasan yang berbeda.  Ini pertama kalinya. Pertama kali Hidan merasakan ketakutan yang amat sangat. Ketakutan karena kehilangan seseorang yang begitu berharga. Tidak pernah ia bayangkan akan datang saat ia merasa takut akan sesuatu.

Desa berada dalam keadaan kacau saat Hidan tiba. Banyak tubuh bersimbah darah di sekitar jalan desa. Hidan tidak berkedip melihat begitu banyak orang yang mati di hadapannya. Pikirannya hanya tertuju pada satu orang. Gadisnya.

Ia tidak mengindahkan sosok yang mengulurkan tangan, meminta bantuannya. Hidan melangkah kakinya ke arah rumah tempat ia tinggal selama beberapa hari selama lengannya pulih beberapa tahun lalu. Nafasnya tercekat saat mendapati rumah Y/N sudah terbakar.

“Y/N!! di mana kau!?” Hidan melayangkan sabitnya, membelah sekitar rumah menjadi dua. Matanya berusaha keras mencari sosok berambut panjang dengan perawakan yang tidak terlalu tinggi.
Ia terbelalak saat menemukan seorang gadis tengah bersandar di batang pohon. Nafasnya terengah dan Hidan bisa mendengar gadis itu meringis kesakitan. Saat gadis itu mendongak, barulah ia sadar kalau gadis itu adalah Y/Nnya. Khawatir dan takut menyelimuti benaknya bagai salju di musim dingin. Perasaannya sedikit lega saat beradu tatap dengan Y/N dan ia masih menemukan sirat bahagia di iris jelaga yang sangat ia sukai.

“Kau baik-baik saja?” tanya Hidan tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

Sebelah tangannya menopang punggung Y/N, sementara tangannya yang lain mengangkat tangan Y/N dari atas luka di perutnya. Ia meringis melihat luka sayatan besar hampir mengoyak perut gadisnya.

“Siapa yang melakukan ini?” tanya Hidan lagi.

“N-ninja pelarian ... ah-aku tidak mengenal mereka,” Y/N menarik nafas panjang. “M-mereka hanya datang dan mulai menghancurkan desa.”

Hidan bergerak dengan instingnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini selain memeluk Y/N. Ia tidak mengetahui apapun tentang medis, mengingat ia tidak membutuhkan hal semacam itu. Ia juga tidak bisa mengurus orang yang terluka.

“Aku ... aku senang bisa bertemu denganmu sebelum pergi,” mata Y/N perlahan terpejam, namun Hidan masih bisa merasakan detak jantung Y/N yang semakin melambat.

“Y/N! Y/N! Tetap terjaga. Jangan pejamkan matamu,” Hidan mulai panik. Ia hampir menarik rambutnya sendiri karena tidak bisa melampiaskan rasa sesaknya. “Brengsek! Jangan pergi! Kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Sial!”

Keriuhan di sekitar tidak terdengar karena telinganya mencoba mencari detak jantung Y/N. matanya terpejam, tidak sanggup melihat keadaan mengenaskan gadisnya yang bersimbah darah. Panca indranya terpusat pada satu titik. Y/N.

Hal selanjutnya yang ia sadari adalah badan Y/N yang perlahan mendingin. Kehangatan pada dirinya menghilang seiring dengan dunia Hidan yang kian menggelap. Beberapa menit setelah menyadari Y/N tidak lagi bernyawa, Hidan menjauh dari pelukan Y/N. Memberanikan diri untuk menatap wajah gadisnya yang terakhir. Karena setelah hari ini, ia hanya akan bertemu Y/N dalam mimpi indahnya.

“Y/N ...” lirih Hidan.

Ujung jari Hidan menyusuri wajah Y/N, tidak peduli jika ia mengotori wajah gadisnya dengan darah. Bibirnya menggapai setiap bagian wajah Y/N, berusaha menangkap sisa kehangatan yang belum pergi.

Tidak seperti kebanyakan orang putus asa yang dunianya direnggut paksa, Hidan tidak bisa bunuh diri. Ia tidak bisa langsung menyusul Y/N, malah tidak akan pernah bisa. Ia terikat dengan Dewa Jashin dan mendapatkan keabadian sebagai gantinya. Lagipula, jika suatu saat ia mati. Ia tetap tidak akan bisa bertemu Y/N di akhirat. Y/N yang terlalu baik tidak akan bertemu dengannya yang sudah dipenuhi oleh darah. Tidak akan. Mereka tidak akan bertemu.

Sesaat setelah Hidan menguburkan Y/N dengan layak. Tatapannya berubah dingin. Kilat jenaka tidak lagi terlihat. Rahangnya mengeras seakan siap membunuh siapapun yang berani mengganggunya.

Karena tidak akan ada seorang manusia pun yang akan tetap sama saat dunia kebahagiaan mereka direnggut paksa oleh kematian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top