Hatake Kakashi
Aku melirik jam yang ada di meja, jam dua pagi. Hebat, aku terbangun dan kemungkinan besar tidak akan bisa tidur lagi. Perlahan aku melepaskan lengan Kakashi yang melingkar di pinggangku. Ia masih tertidur, semoga saja aku tidak membangunkannya. Tenggorokanku terasa kering, karena itu aku memilih pergi ke dapur untuk mengambil minum.
"Y/N!"
Aku langsung menaruh gelas saat mendengar suara Kakashi yang meneriakkan namaku. Ia berdiri di depan pintu dengan panik dan saat melihatku, wajahnya melembut. Aku mendekatinya, pasti karena hal itu.
"Rin atau Obito?" tanyaku pelan sambil mengusap wajahnya dengan gestur menenangkan.
Kakashi menghela nafas panjang. "Keduanya dan dirimu."
Selalu seperti ini. Meninggalnya Rin dan Obito selalu menghantui Kakashi sampai membuatnya terus bermimpi buruk. Jarang sekali ia bisa mendapatkan tidur yang nyenyak tanpa mimpi buruk itu. Setiap kali mimpi buruknya datang, ia selalu menyebut nama mereka berdua atau namaku. Aku menuntun Kakashi kembali ke kamar, bisa jadi masalah kelelahan karena besok ia ada misi dengan tim tujuh.
"Kemarilah," aku mengisyaratkan agar ia mendekat. Kakashi memelukku erat, tubuhnya bergetar samar. Dasar keras kepala, ia masih saja mencoba untuk menutupi perasaan takutnya.
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menenangkannya. Aku membalas pelukannya, mengusap rambutnya dan sesekali memijat tengkuknya. Tubuhnya sudah tidak bergetar lagi, tapi ia masih belum menarik dirinya. Sebaliknya, ia malah terus menenggelamkan kepalanya di lekukan bahu dan leherku.
"Kau mau menceritakannya padaku?" bisikku. Ia kembali menghela nafas panjang dan menjauhkan diri dariku.
"Seperti biasa," katanya. "Aku bermimpi saat Obito tertimpa batu besar itu dan tidak ada yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Juga saat tanganku menembus dada Rin dan membuatnya tewas seketika. Kali ini, aku bermimpi melakukan hal yang sama padamu, Y/N. Kau mati di depanku, tanganku menembus tubuhmu dan tidak ada yang bisa kulakukan untuk menolongmu."
Karena tidak menutupi wajahnya seperti biasa, aku bisa melihat mata Kakashi berkaca-kaca. Aku memperhatikan wajahnya yang tidak pernah ia perlihatkan pada orang lain selain aku. Kakashi sangat tampan tanpa topengnya, ia juga terlihat memesona tanpa ikat kepalanya, tapi bukan itu yang menjadi fokusku sekarang. Raut wajahnya sedih, tatapan matanya menerawang seakan mengingat mimpinya dan tangannya yang memegang bahuku mengerat.
"Itu tidak akan terjadi, Kakashi. Aku tidak akan meninggalkanmu," ucapku pelan.
Kakashi terkekeh pelan, kini matanya fokus padaku. "Kita berdua sama-sama tahu kalau itu mustahil, Y/N. Entah aku atau kau yang akan pergi lebih dulu, shinobi sudah seharusnya mati saat menjalankan misi."
"Kau dan kepalamu yang berisi segunung peraturan," dengusku. "Dengarkan aku. Obito dan Rin, mereka belum mati karena mereka masih hidup dalam kenanganmu. Aku juga tidak akan pernah mati karena aku akan selalu ada di hatimu, itu yang terpenting. Kecuali kalau hati dan pikiranmu terisi dengan buku mesum kesayanganmu itu."
"Yah.. sedikit," balas Kakashi.
Aku tersenyum kecil lalu memukul lengannya keras. "Jahat sekali, kau lebih memikirkan buku laknat itu daripada aku? Aku tidak tahu kalau kau sekejam itu."
Kakashi kembali memelukku, ia menciumi leherku lembut dan sengaja menghembuskan nafasnya lebih keras. "Sebenarnya aku lebih suka memikirkanmu yang memerankan adegan di Icha-icha, sepertinya lebih menggoda."
Wajahku memanas seketika. "Dasar mesum!"
Aku memukul lengannya lebih keras dari yang biasa. Bagaimana bisa ia memikirkan hal seperti itu saat aku mencoba menenangkannya karena mimpi buruk. Lagi-lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuatku menyukai laki-laki yang sangat suka membaca Icha-icha di depan muridnya sendiri juga di depan umum? Tatapanku menajam saat Kakashi terkekeh melihat reaksiku.
"Aku hanya bercanda, Y/N. Tidak perlu seserius itu," gumamnya dengan seringaian yang sangat kukenal. "Atau kau ingin aku benar-benar melakukannya?"
"Dalam mimpimu saja, Kakashi."
"Aku memang sering memimpikan itu, Y/N."
Aku menjauhkan diri darinya, tapi ia malah mempererat pelukannya. Tatapan jenakanya kembali berubah menjadi tatapan menerawang. Mungkinkah ia teringat lagi dengan mimpinya?
"Kali ini aku serius, Kakashi. Seberat apapun misinya, aku akan selalu berusaha untuk kembali padamu. Aku tidak akan meninggalkanmu, aku juga tidak akan berpaling darimu. Obito meninggal karena ia mencoba melindungimu, Rin meninggal karena ingin melindungi desa, aku pun begitu. Aku ingin meninggal karena melindungi apa yang berharga untukku, tapi aku akan selalu hidup di hatimu," aku mengubur wajahku di dadanya, sengaja menghindari tatapan yang akan dilemparkan padaku.
"Tatap aku," perintahnya. Aku mendongak, tatapannya beradu dengan tatapanku. "Aku tahu kau akan berkata seperti itu. Hanya saja, bisakah kau melindungi apa yang berharga untukmu, tapi tetap berada di sisiku?"
Aku tersenyum mengejek. "Apa seorang shinobi yang sanggup meniru seribu jurus dengan sharingannya ini takut kehilanganku?"
Kakashi mendengus kasar. "Aku sudah banyak kehilangan orang yang kusayangi dan aku tidak mau memperpanjang daftar nama orang-orang itu."
Tatapanku beralih pada dua figura yang berada di meja sisi Kakashi. Figura yang berisi foto tim kami yang lama dan figura yang berisi foto tim tujuh yang baru-baru ini dibentuk. Senyum tipis tampak di wajahku.
"Kurasa kalau kau kehilanganku, tiga muridmu akan menggantikan tugasku, kau tahu?" Kakashi mengikuti tatapanku dan tersenyum samar.
"Mungkin iya mungkin juga tidak."
"Baiklah, sudah saatnya kita kembali tidur. Besok kau ada misi bersama mereka, kan?" aku melirik jam yang sekarang menunjukkan jam tiga lewat sepuluh menit.
Kakashi tidak menjawab, tapi membaringkan tubuhnya. Ia juga memposisikan kepalaku berada di sebelah kepalanya dan mengubur wajahnya ke lekukan leherku. Aku menghembuskan nafas pelan, merasa nyaman dengan posisi kami yang sekarang. Samar-samar aku mendengar Kakashi mengucapkan 'terima kasih' di telingaku.
***
Silau sekali. Aku membuka sebelah mata dengan malas. Sinar matahari menembus kaca, memaksaku harus membuka kedua mata untuk sekedar melihat jam. Seingatku jam pertemuan Kakashi dengan timnya adalah jam enam pagi karena mereka harus mengawal seseorang. Astaga! Sekarang sudah jam delapan lebih.
"Kakashi! Hey, cepat bangun! Kau sudah terlambat dua jam dari jam pertemuan dengan tim-mu!" aku menggoyangkan tubuhnya agar ia cepat bangun dan bersiap, tapi tidak ada reaksi yang berarti darinya.
Kakashi membuka sebelah matanya dan menyeringai. "Biarkan saja mereka menunggu, aku masih ingin bersamamu," ia menahan tanganku agar tidak bisa membangunkannya lagi.
Aku menyerah, tidak ada yang bisa membuatnya untuk bangun kalau bukannya dirinya sendiri. Tepat saat aku ingin menutup mataku, suara yang familiar tengah berteriak di luar. Suara Naruto dan Sakura yang berteriak meminta Kakashi untuk segera keluar.
"Kakashi-sensei, ayo cepat bangun dan keluar! Kenapa kau selalu terlambat saat pertemuan tim, sih!!"
Mataku memperhatikan raut wajah Kakashi yang terlihat kesal, saat tatapan kami beradu, aku tersenyum dengan arti, kubilang juga apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top