Deidara *Modern*
Aku memperhatikan Deidara yang sedang membentuk tanah liat menjadi seekor burung yang sayapnya tebentang lebar seakan siap terbang kapanpun ia inginkan. Hari ini Deidara akan mengajariku cara membuat hiasan dengan tanah liat sebagai medianya. Guru seni-ku ingin ruang kesenian dihias dengan hasil tanah liat kami dan orang yang bisa kuandalkan dengan tanah liat hanyalah Deidara, mengingat kakakku, Sasori hanya tertarik dengan seni yang berbentuk boneka. Percayalah, aku juga sebal dengan kebiasannya yang selalu membuat boneka, untung ia tidak membuat boneka untuk mainan anak kecil.
"Indah sekali, Dei. Bagaimana bisa kau membuat hal itu dengan sangat menakjubkan dalam waktu singkat?" tanyaku. Tanganku terangkat untuk menyentuh ujung sayapnya, lalu berhenti untuk melihat Deidara, menunggu izinnya.
Deidara mengangguk, memberi izin. "Hal itu adalah seni, Y/N, un. Tentu saja aku bisa membuat seni dalam waktu singkat karena aku adalah seniman. Dan hal yang kubuat adalah seni!! Un."
"Seni itu sesuatu yang abadi, bodoh!" balas suara dari samping ruangan. Aku yakin itu adalah suara Sasori yang mendengar celotehan Deidara tentang seni.
"Aku sedang bicara tentang tanah liat, Sasori-danna, bukannya kembang api, un!" sahut Deidara dengan suara yang tidak kalah keras. Aku sampai harus menutup telinga agar tidak membuat telingaku terluka mendengar suara mereka.
Tidak ada balasan dari Sasori, pertanda kalau ia bisa menoleransi karya seni yang baru saja di buat oleh Deidara. Terakhir kali kulihat, tanah liat tidak bisa berubah bentuknya atau meledak seperti kembang api, jadi bisa dikategorikan abadi, kan? kecuali kalau ada yang sengaja menyenggol lalu pecah, itu sih beda perkara.
"Kalau begitu kau bisa langsung mencobanya, Y/N, un," Deidara memberikan sebongkah tanah liat yang siap dibentuk.
Aku memainkan bongkahan tanah liat yang di berikan Deidara, masih bingung ingin membentuk bongkahan ini menjadi apa. Sementara Deidara sendiri sudah kembali sibuk, terlihat dari tangannya yang bergerak tidak teratur. Aku penasaran kali ini ia akan membuat apa, mengingat ruang kerjanya sudah dipenuhi dengan berbagai patung, lukisan milik Sasori dan dirinya, juga ada boneka di sudut ruangan yang aku yakin milik Sasori.
"Kenapa masih belum melakukan apapun, Y/N? Un," tanya Deidara. Ia menghampiriku sambil membersihkan tangannya di celemek yang terikat di sekitar pinggangnya.
"Aku tidak tahu harus membuat apa, Dei. Ada ide?" balasku.
Deidara terlihat berpikir sebentar, sebelum menggenggam tanganku untuk memegang tanah liat. Ia menggerakkan tanganku dengan lembut, bisa kurasakan hembusan nafasnya di leherku dan yang membuatku kaget adalah saat bibirnya menyentuh belakang telingaku. Kepalanya bersandar di kepalaku, masih tetap menggerakkan tanganku.
"Apa yang kau lakukan, Deidara?" tanyaku ragu-ragu. Wajahku menghangat dan aku yakin sewarna dengan kepiting rebus yang kumakan tadi malam.
"Hmm?" gumam Deidara. "Aku hanya membantumu mengerjakan tugasmu. Kau keberatan? Un."
"Tidak," kataku selama beberapa saat terdiam.
Aku tidak tahu harus menerima semua sikap manis Deidara ini atau aku meneriakkan nama Sasori sekencang-kencangnya untuk meminta Deidara menghentikan sikapnya ini walaupun jarak Sasori hanyalah satu kamar di samping kami? Tidak, lebih baik aku menerima dan menikmati perlakuannya ini, toh diam-diam aku juga menyukainya.
Mataku memperhatikan gerakan tangan kami yang sedang membentuk sesuatu, membentuk hati atau 'love' dengan bentuk yang sangat sempurna. Deidara menambahkan detail cap ibu jari kami di tengah-tengah hati itu. Saat aku menoleh ke arah Deidara, ia sedang tersenyum puas melihat hasil karyanya, bahkan aku bisa melihat sirat senang dan puas di matanya.
"Sudah selesai, un. Kau bisa memberikan itu pada gurumu besok dan jelaskan maksud dari hati ini, un," kata Deidara yang masih bertahan dengan senyumannya.
Sudut bibirku tertarik. "Dan maksud dari bentuk hati dan cap ibu jari kita adalah?"
"Masa kau tidak tahu, Y/N, un?" gerutu Deidara sedikit memberengut. "Tentu saja bentuk hati itu adalah bentuk perasaanku padamu dan cap ibu jari kita berarti kau sudah setuju kalau kau adalah milikku, un."
"A-apa!?" nafasku tercekat, kaget dengan ucapan Deidara yang tiba-tiba. Dan apa ia bilang? Aku adalah miliknya. Astaga... kalau ini mimpi tolong Sasori-nii jangan bangunkan aku.
"Aku bilang," bisik Deidara di telingaku. "Mulai sekarang kau adalah milikku, Y/N dan kau tidak bisa menolaknya sama sekali. Aku sudah mendengar dari Sasori-danna kalau kau sudah menyukaiku sejak lama, benar kan?"
Aku menggeram rendah. "Sasori-nii seharusnya bisa menjaga rahasiaku. Astaga.. ini sangat memalukan."
"Kenapa memalukan, un? Karena ia memberitahuku, aku bisa menyatakan perasaanku padamu secara langsung. Keuntungan untuk kita, kan?" kata Deidara sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Hanya tinggal sedikit lagi. Sedikit lagi sampai semua mimpiku bersama Deidara bisa terwujud. Sayangnya, semua mimpiku hancur ketika melihat sosok berambut merah dengan seringai menggoda terlihat di wajahnya masuk dan menyuruhku untuk pulang.
"Y/N, Nenek Chiyo ingin kita berada di rumah sebelum makan malam," kata Sasori.
Deidara menggeram kesal dan menatap Sasori-nii dengan tatapan tajam yang di balas dengan tatapan bosan dari Sasori. Kalau saja membunuh kakak kandung dan memutilasinya lalu membuangnya ke laut bukanlah tindakan kriminal, aku sudah melakukannya pada Sasori-nii sekarang. Benar-benar deh, aku tidak tahu kenapa ia diberkati dengan wajah polos dan tidak bersalah, sementara tindakannya berkata sebaliknya.
"Kalau begitu, besok aku ke rumahmu, oke, un?" Deidara mencium pipiku cepat.
Sasori merangkul bahuku, lalu menatap Sasori tidak kalah tajam. "Kalau kau patahkan hati adikku akan kupatahkan lehermu, mengerti bocah?"
Untuk yohanabetaria26
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top