Brother! Namikaze Minato
Minggu ujian tengah semester sudah berakhir. Suhu yang kian meninggi juga cuaca yang terik menandakan libur musim panas akan dimulai. Seharusnya tiap siswa bergembira mendengar kata libur. Namun ada satu hal yang harus mereka hadapi sebelum menikmati asyiknya bermain di pantai atau bepergian keluar kota. Satu hal yang akan menentukan nasib mereka untuk beberapa minggu ke depan, apakah mereka akan benar-benar berlibur atau harus menderita mengikuti kelas tambahan.
Pembagian hasil ujian.
Hampir semua siswa yang mengerubungi papan pengumuman dan mading gelisah dan cemas. Hanya segelintir saja yang merasa tenang seolah mengetahui mereka akan terbebas dari kelas tambahan, seperti Kakashi dan Asuma.
"Bagaimana nilaimu, Y/N?" Kurenai menepuk bahunya dari belakang.
Y/N menggeleng pelan. "Aku masih belum lihat. Kau sendiri bagaimana?"
"Peringkat lima belas," Kurenai mengangkat bahunya pasrah. "Memang bukan nilai yang kuinginkan tapi setidaknya peringkatku tidak turun."
Y/N meringis. Kalau Kurenai saja hanya mendapat peringkat lima belas, bagaimana dengannya yang hampir tidak bisa menyamainya? Bahaya, kalau begini terus bisa-bisa ia harus mengikuti kelas tambahan dan akan mengecewakan kakaknya.
Ia menyeruak di antara kerumunan, berusaha mencapai depan papan pengumuman. Matanya menelusuri setiap nama yang terpajang seraya berdoa dalam hati bahwa nilainya tidak turun di semester ini. Seperti biasa, nama yang tertulis paling atas adalah Hatake Kakashi, disusul dengan Sarutobi Asuma. Ia melihat nama Rin pada peringkat sepuluh, nama Kurenai di peringkat lima belas, Genma pada peringkat tiga puluh, sekilas nama Obito pada peringkat dua ratus dan Guy pada peringkat dua ratus tiga. Ia menemukan namanya, tetapi ia tidak puas sama sekali.
Namikaze Y/N. peringkat empat puluh dua.
Memang tidak masuk dalam daftar siswa yang harus mengikuti kelas musim panas, tidak juga termasuk peringkat rendah—ia berhasil menjadi peringkat empat puluh dua dari tiga ratus anak, tentu saja bukan peringkat yang rendah. Hanya saja, jika dibandingkan dengan Kurenai atau Kakashi, ia masih jauh di bawah mereka. Padahal kakaknya menghabiskan banyak waktu untuk mengajarinya.
Y/N menggigit bibir kecewa. Ia meninggalkan papan pengumuman, melangkahkan kakinya menuju kelas untuk mengambil tas. Rumah adalah tempat yang ia dambakan saat ini, kamarnya adalah pilihan terbaik untuk melampiaskan kekecewaannya saat ini.
Sepanjang perjalanan pulang, yang ia pikirkan hanyalah betapa bodohnya ia dan betapa tidak berguna dirinya. Bagaimana bisa sebelumnya ia sesumbar mampu meraih peringkat sepuluh besar? Bagaimana ia mampu berpikir mengalahkan Kakashi yang jenius? Darimana kepercayaan dirinya saat itu? Alih-alih terbukti, kepercayaan dirinya yang hanya sedikit itu malah hancur hari ini.
Kau bodoh. Berpikir kalau kau bisa mengalahkan Kakashi? Mimpi saja sana. Percuma, otakmu yang tidak seberapa itu tidak akan bisa menampung pelajaran dengan baik. Bahkan kau juga tidak bisa bersaing dengan Obito atau Guy saat pelajaran olahraga. Sungguh mengecewakan.
Suara-suara di kepalanya semakin keras. Suara yang mengatakan bahwa ia tidak cukup baik. Suara yang dengan gamblang menjabarkan ketidak mampuannya. Suara yang muncul dari ketidak percayaan dirinya. Suara kelemahannya.
Y/N terlalu sibuk dengan benaknya hingga ia tidak menyadari ada sepasang sepatu yang bertengger di teras. Sepatu yang biasanya tidak akan ada sebelum jam 9 malam. Sepatu kakaknya.
Y/N dan kakaknya memang tinggal berdua, sudah seperti itu sejak orangtua mereka meninggal karena kecelakaan. Dengan perbedaan umur mereka yang cukup jauh—sepuluh tahun, kakaknya sudah memiliki pekerjaan dan mampu mengurus Y/N setelah orangtua mereka tiada. Tidak sampai disitu, kini kakaknya sudah mendirikan perusahaannya sendiri, tidak sedikit media yang berusaha mencari tahu kehidupan sang Kakak. Sangat berkebalikan dengan dirinya yang hanya menorehkan kegagalan dalam karirnya.
"Ah, Y/N? Kau sudah pulang?" suara kakaknya menariknya paksa dari lamunan.
"Lho, Oniisan di rumah? Tumben sekali," sahutnya sambil melepas sepatu.
Bibirnya tertarik membentuk seulas senyum saat kakaknya keluar untuk menyambut kedatangannya seraya mengenakan celemek berwarna merah mudah pastel pemberian kekasihnya dan membawa spatula.
"Kudengar hari ini pembagian nilai sebelum libur musim panas, karena itu aku ingin memasak makanan kesukaanmu sebagai hadiah."
Diingatkan lagi tentang nilainya, senyum Y/N luntur. Ia hanya menggumamkan 'aku pulang' lalu berjalan melewati kakaknya. Ia melempar tasnya asal ke sofa lalu menghela napas panjang, mengundang tatapan penuh tanda tanya dari kakaknya.
"Ada apa Y/N?"
Y/N bungkam sejenak. "Oniisan ... kalau nilaiku jelek bagaimana?"
Kali ini Minato yang bungkam. Ia terdiam sejenak, memilih kata yang tepat untuk diucapkan karena tahu ada yang tidak beres dengan adiknya saat ini. Ia pergi ke dapur sebentar untuk mematikan kompor dan melepas celemek lalu mendudukkan diri di samping Y/N yang tengah menunduk.
"Aku tidak masalah kalau nilaimu jelek," jawab Minato. Ia mengusak rambut Y/N lembut, berusaha menenangkan adiknya. "Kalau semester ini nilaimu jelek, kau bisa mencobanya di semester depan kan?"
"Tidak bisa, Oniisan," lirih Y/N. "Tidak akan bisa."
Minato memiringkan kepalanya bingung. "Memangnya kenapa, hm? Aku bisa mengajarimu kalau ada pelajaran yang tidak kau mengerti. Oniisan akan selalu membantumu."
"Masalahnya bukan padamu Oniisan, masalahnya adalah aku," Y/N mendongak, beradu pandang dengan Minato yang kebingungan. "Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak akan bisa menjadi yang Oniisan banggakan. Aku terlalu bodoh untuk memahami pelajaran di kelas. Aku tidak sejenius Kakashi, aku tidak pandai berteman dengan seperti Obito, aku tidak baik hati ataupun lembut seperti Rin, aku bahkan tidak secantik Kurenai atau Kushina-neesan. Aku tidak seperti dirimu Minato-niisan. Tidak akan ada yang bisa dibanggakan dariku.
"Aku hanya akan menjadi kekecewaanmu Oniisan. Aku ini tidak berguna."
Suara Y/N parau, pandangannya mengabur dan matanya berkaca-kaca. Ia meremas roknya, berusaha untuk tidak menangis di hadapan kakaknya. Ia menggigit bibirnya hingga perih, menahan air mata yang siap turun kapan saja pertahanannya roboh. Wajahnya kembali menunduk, tidak sanggup mengetahui ekspresi macam apa yang tampak di wajah kakaknya saat ini.
"Boleh aku tahu nilaimu semester ini?" tanya Minato lembut.
"Peringkat empat puluh dua dari tiga ratus."
Alih-alih terdengar frustasi atau marah, belaian ringan pada puncak kepala yang Y/N terima. Karena syok, tanpa sadar Y/N mengangkat kepalanya. Tidak ada raut menghakimi yang terlihat dari kakaknya, sebaliknya ia mengukir senyum lembut dengan mata biru yang memancarkan kasih sayang.
"Aku tidak kecewa padamu Y/N. Sama sekali tidak kecewa," ujar Minato pelan. "Meraih posisi empat puluh dua dari tiga ratus orang adalah sesuatu yang seharusnya kaubanggakan. Kalau aku saja mampu bangga padamu, kenapa kau tidak bisa membanggakan dirimu sendiri?"
"Tapi aku tidak seperti mereka, Oniisan. Aku tidak-"
"Y/N," Minato menangkup wajah adiknya dengan hati-hati. "Tidak perlu membandingkan dirimu dengan yang lainnya. Kau adalah kau, bukan mereka. Kau bisa melakukan sesuatu yang bahkan Kakashi si jenius pun tidak bisa lakukan. Kau unik, Y/N, tanpa harus membandingkan dirimu dengan Obito atau Rin atau Kakashi, kau memiliki kekuatanmu sendiri. Hanya ada satu Y/N di dunia ini dan aku bangga karena bisa menjadi kakakmu. Tidak perlu berubah menjadi orang lain karena menjadi dirimu sendiri adalah hal yang luar biasa."
Y/N terhenyak mendengar ucapan kakaknya, tidak menyangka bahwa reaksi seperti inilah yang akan ia dapatkan.
"Tapi aku tidak pintar sepertimu Oniisan. Bahkan setelah Oniisan mengajariku, nilaiku masih saja sama dan tidak ada perkembangan," gumam Y/N berusaha menyangkal ucapan kakaknya.
"Aku tidak perlu kau pintar, Y/N," balas Minato. Senyumnya sedikit melebar saat ia mencubit pipi adiknya. "Aku hanya ingin kau bahagia."
"E-eh?"
"Pintar tidak selalu tentang pelajaran di sekolah. Kepintaran juga bisa dibidang yang lainnya," jelas Minato. "Kau mungkin tidak pintar matematika, tapi kau pintar memasak. Kau memang sulit memahami fisika tapi kau pintar merajut. Sulit bagimu untuk memahami mekanisme reaksi pada makhluk hidup, tapi kau mampu melukis dengan sangat baik. Bahkan aku saja tidak bisa merajut baju hangat atau melukis sebaik dirimu. Apa itu berarti aku bodoh?"
Y/N menggeleng cepat. "Tidak, tentu saja tidak. Oniisan yang terbaik, mana mungkin ada yang berkata kalau Oniisan bodoh. Jangan percaya ucapan itu!"
"Kalau begitu seharusnya kau juga tidak percaya kalau kau bodoh," Minato terkekeh pelan saat Y/N menjawab pertanyaannya dengan panik. "Apa kau mengerti sekarang?"
Tatapan lembut, juga senyum penuh kasih sayang yang menyiratkan rasa bangga itu yang merobohkan pertahanannya. Minato tidak segan merengkuh adiknya yang menangis seraya membisikkan kata-kata menenangkan.
Ia tahu bahwa adiknya seringkali bergulat dengan dirinya sendiri, mengklaim ada 'suara' yang selalu berkata seolah ia tidak berguna dan semacamnya dan itu berefek pada pandangannya mengenai dirinya sendiri. Ia tidak ingin adiknya seperti itu. Minato ingin Y/N menyadari betapa berharganya ia hanya dengan menjadi dirinya sendiri tanpa perlu membandingkan dirinya dengan yang lain.
"Jangan menangis terus, hm? Aku lebih suka melihatmu tersenyum," ibu jarinya menyapu pipi Y/N, menghapus jejak air mata adiknya. "Boleh aku melihat senyummu?"
Y/N terkekeh geli mendengar permintaan kakaknya hingga tanpa sadar memamerkan senyum. "Maafkan aku karena sudah berpikir yang tidak-tidak Oniisan."
"Tidak masalah. Pikiran negatifmu juga bagian darimu, tapi aku tidak ingin kau menderita lebih lama. Kita akan mencari cara agar 'suara' dalam kepalamu tidak lagi terdengar, oke?"
Y/N mengangguk.
Minato meraih kening Y/N dengan bibirnya. "Aku menyayangimu, Adikku. Kau yang sesungguhnya sangat berharga bagiku. Jadi, jangan berpikir bahwa kau tidak berguna atau kau mengecewakanku karena aku sangat bangga padamu."
"Oniisan ..."
"Sekarang hapus air matamu dan tersenyum. Aku akan memasak makanan kesukaanmu sebagai makan malam. Aku juga sudah mengundang Kushina karena ia bilang ingin memberimu selamat dan merayakan hari ini dengan kita."
Pandangan Y/N tertuju pada punggung kakaknya yang sudah berjalan ke arah dapur. Ia memerhatikan gerak-gerik kakaknya dari balik sofa.
"Eh? Kushina-neesan mau datang?"
Minato mengangguk kecil tanpa menoleh. "Karena itu kau tidak boleh terlihat seperti habis menangis atau aku yang akan diinterogasi habis-habisan."
Y/N tertawa lepas mendengar ucapan kakaknya. Memang benar, kekasih sang Kakak, Uzumaki Kushina sangat protektif pada orang-orang yang ia sayangi terutama dirinya karena wanita berambut merah itu selalu menginginkan adik perempuan. Kushina juga tidak akan segan menghajar siapapun yang membuatnya menangis, bahkan kalau pelakunya adalah kakaknya sendiri.
Minato melirik ke arah Y/N begitu mendengar adiknya tertawa hingga ia tidak bisa menahan senyum. Y/N seperti inilah yang terbaik dalam pandangannya. Adiknya yang tertawa bahagia, adiknya yang berharga. Y/N yang menjadi dirinya sendiri. Dan momen inilah yang akan terus ia jaga.
Yeay, akhirnya bisa update setelah seminggu kena writers block.
Cerita ini kudedikasikan pada semua pembacaku. Aku gak tau siapa kalian atau bagaimana kalian ngejalanin hidup kalian tapi satu hal yang harus kuberitahu.
Siapapun kalian, Kalian berharga. Kalian cuma ada satu didunia and you're worth it.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top