Akasuna no Sasori

Seluruh dunia mengetahui bahwa Sasori adalah pengguna kugutsu yang handal. Banyak orang yang sudah tahu jika Sasori juga terkenal dengan raut wajah tanpa emosi mengingat apa yang sudah dialaminya saat kecil. Tidak banyak yang tahu jika Sasori benci menunggu dan membuat orang lain menunggunya. Namun, hanya satu orang yang tahu bagaimana Sasori saat tidak ada mata yang mengamatinya, saat tidak ada seorang pun selain dirinya dan kekasihnya, saat dimana tidak ada yang lebih berarti darinya daripada seorang gadis yang mencerahkan dunia gelapnya.

Hanya ada satu orang yang pernah melihat bagaimana rupa Sasori saat wajahnya dipenuhi dengan emosi. Y/N adalah orangnya.

Gadis itu memperhatikan Sasori dari atas kasur. Sasori keluar dari boneka Hiruko seraya mendengus kecil. Memang ada beberapa bagian jubah yang sobek dan terkoyak, ditambah dengan bercak darah yang sudah mengering dan bagian boneka Hiruko yang bergerak aneh. Y/N menarik kesimpulan bahwa misi yang dijalani oleh Sasori tidak berjalan seperti keinginannya.

“Tidak berjalan dengan baik, kurasa?” tanya Y/N dengan suara rendah. Sejujurnya, ia tidak ingin mengganggu Sasori dengan pertanyaan yang sudah ia ketahui jawabannya. Hanya saja, terkadang Y/N merasa tidak bisa menahan diri untuk menanyakan hal remeh.

“Begitulah.”

Singkat. Jawaban khas Sasori. Y/N sudah tidak merasakan apapun saat mendapatkan jawaban seperti itu. Gadis itu menutup buku yang tengah dibacanya sebelum Sasori datang, lalu menghampiri Sasori dengan langkah kecil. Dugaannya tentang sesuatu yang salah dengan boneka Hiruko benar adanya, karena Sasori langsung mengutak-atik boneka yang paling sering ia gunakan itu dengan ekspresi serius.

“Terjadi sesuatu saat misi?” Y/N mengalungkan lengannya di leher Sasori, tahu benar tindakannya ini mampu memicu pertengkarang di antara mereka atau malah membuat Sasori lebih terbuka padanya.

“Kautahu ke mana aku pergi?” Sasori bertanya balik tanpa menghentikan pergerakan tangannya.

Y/N menaruh dagunya di bahu Sasori dengan gerakan hati-hati. “Aku bisa menebaknya.”

“Kalau begitu kau bisa mengetahui apa yang sudah terjadi, Y/N,” sahut Sasori.

Y/N bisa menebak apa yang sudah terjadi. Sasori diutus untuk pergi ke Suna oleh Pain. Ia tidak tahu seperti apa detail untuk misi Sasori, namun ia tahu apapun alasannya kembali ke desa yang pernah ia tinggali selama hampir separuh hidupnya memaksa beberapa kenangan yang tidak ingin diingat lagi kembali muncul. Rusaknya boneka Hiruko di beberapa bagian adalah hasil dari ketidak fokusan Sasori karena teringat oleh kenangannya.

“Jauhkan dirimu dari Hiruko sejenak,” gumam Y/N pelan. “Kau akan merasa lebih baik jika beristirahat dulu.”

Sasori memutar kursinya. Tatapannya yang penuh penilaian membuat Y/N sedikit gelisah. “Kautahu kalau aku tidak butuh istirahat, Y/N.”

“Memang,” Y/N mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Tapi aku masih butuh. Kau yang paling tahu aku tidak bisa tidur tanpa ditemani, kan?”

Seharusnya Sasori bisa menolak keinginannya. Lagipula Sasori bukan pria yang mampu diperintah oleh sembarang orang, terutama oleh seorang gadis yang jauh lebih lemah darinya. Alih-alih menghadapi penolakan kasar, Y/N menemukan dirinya berada dalam pelukan Sasori.

“Diam dan tutup mulutmu,” suruh Sasori lembut. “Aku sudah memenuhi keinginanmu. Sekarang tidur.”

Sasori memejamkan mata, mengisyaratkan pada Y/N agar tidak lagi bersuara dan menuruti perintah. Bukannya ikut memejamkan mata, Y/N malah memperhatikan wajah Sasori dengan retinanya dalam diam. Ia menunggu. Menunggu momen dimana tidak ada yang pernah melihat Sasori dikuasai oleh mimpinya. Menunggu saat Sasori membutuhkan keberadaannya.

Sudah setengah jam berlalu, namun Y/N masih belum memejamkan mata. Ia masih menunggu. Matanya menyusuri wajah Sasori dalam diam, mencoba menikmati kehangatan yang sebentar lagi akan hilang. Sasori memang masih belum mengatakan apapun padanya, tapi ia tahu bahwa pria yang ia cintai ini akan merubah dirinya sendiri menjadi boneka dalam waktu dekat. Mayat Kazekage ketiga yang teronggok di sudut kamar adalah buktinya.

Kasur yang mereka tiduri tidak terlalu sempit, selimut yang melindungi tubuh mereka dari angin malam juga tidak tipis. Kalau begitu mengapa Y/N merinding seakan ada seseorang yang meniup tengkuknya? Mungkin karena suhu gua yang lembab dan dingin atau ... mungkin juga karena mendengar rintihan Sasori.

“Tidak ... jangan ... sudah cukup ...”

Selalu seperti ini. Ketika teringat akan desa kelahirannya serta kenangan yang turut mengiringi, Sasori selalu mendapatkan mimpi buruk seakan ia kembali terjebak pada masa lalunya. Ia dipaksa kembali mengingat bagaimana sepinya sendirian, sakitnya menghadapi kenyataan di usia muda, pedihnya tumbuh seorang diri dalam kebohongan.

“Sshhh ... aku bersamamu. Kau tidak sendirian. Aku bersamamu,” bisik Y/N di telinga Sasori, tidak ingin mengusik tidurnya.

Y/N tidak berkedip saat pergelangan tangannya dicengkeram kasar, ia juga tidak meringis saat Sasori menariknya mendekat dengan paksa. Karena ia tahu yang dibutuhkan oleh Sasori bukanlah ucapan penuh rasa simpati atau senyum berhias empati. Sasori hanya butuh merasakan kehadiran sosok yang akan selalu bersamanya tanpa peduli apa yang akan terjadi.

Dan itulah yang Y/N lakukan.

“Jangan ... jangan tinggalkan aku ... kumohon, jangan lagi ...” rintih Sasori lirih.

Sesak dadanya melihat Sasori meneteskan air mata dalam mimpinya. Sebelah tangan Y/N yang bebas menangkup pipi Sasori dengan hati-hati. Ia menghapus jejak air mata Sasori dengan ibu jarinya, berharap tidak akan meninggalkan bekas keesokan paginya.

“Y/N,” lirihnya dalam mimpi. “Jangan tinggalkan aku ... jangan tinggalkan aku seperti yang mereka lakukan padaku.”

Sudut bibir Y/N tertarik mengukir senyum kecil. Ia membalas cengkeraman Sasori tidak kalah erat. Perlahan namun dengan hati-hati, Y/N beringsut mendekat pada Sasori. Senyumnya mengembang mendengar debaran detak jantung yang berangsur tenang. Ia baru memejamkan mata sesaat setelah nafas Sasori berubah stabil.

“Aku tidak akan ke mana-mana. Tidak peduli apa yang kaulakukan, bahkan ketika kau tidak menginginkanku lagi, aku akan tetap di sisimu,” janji Y/N. “Selamat tidur, Sasori. Bermimpi indahlah untuk sisa malam ini.”

Sejujurnya, Y/N tidak tahu apakah Sasori menyadari bahwa ia bermimpi tentang masa lalunya atau apakah Sasori mendengar semua ucapannya. Namun, setelah malam penuh emosi berlalu dan fajar menyingsing, Y/N mendapati tatapan Sasori terfokus padanya.
Sasori tersenyum lembut dengan penuh kasih sayang yang hanya diperlihatkan padanya.

Hanya dua kata yang membuka pagi mereka. “Tepati janjimu.”

Hanya itu dan Y/N yakin Sasori mampu menghadapi masa lalunya dengan baik. Karena sejauh apapun Sasori pergi, sejauh itu jugalah ia akan melangkah. Tidak peduli bahkan jika kematian yang memisahkan, Y/N yakin perasaannya tidak akan berubah.

Begitu juga dengan Sasori.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top