Akasuna No Sasori

Suna terkenal dengan padang pasirnya dan cuacanya yang luar biasa panas, tapi saat aku bersama dengan Sasori di kamarnya, entah kenapa rasanya sangat dingin. Aku memperhatikan Sasori yang asyik mengutak-atik boneka yang sedang ia buat, tidak ada ekspresi apapun di wajahnya, yang ada hanyalah raut wajah datar dan tatapan mata tanpa emosi.

Jelas aku tahu apa yang membuat Sasori seperti sekarang ini karena aku adalah teman masa kecilnya. Orangtuanya yang berjanji akan pulang saat perang ternyata tidak kembali sama sekali, nenek Chiyo sempat menipunya dengan berbagai macam alasan, tapi akhirnya Sasori tahu kalau orangtuanya sudah meninggal. Hal yang sama juga terjadi denganku, mungkin itulah alasannya kenapa saat ini aku adalah orang terdekat Sasori.

"Hey Sasori," panggilku. Ia tidak menjawab juga tidak menghentikan kegiatannya, tapi aku tahu kalau ia mendengarkan.

Aku menghela nafas panjang. "Bagaimana perasaanmu kalau aku pergi nanti, maksudku kalau aku meninggal nanti?"

Pergerakan tangan Sasori berhenti, ia mengalihkan tatapannya padaku dan aku yakin aku bisa melihat sekelebat emosi di matanya. Kami bertatapan sejenak sebelum Sasori kembali melanjutkan apa yang ia lakukan.

"Kau tahu aku benci menunggu, Y/N."

"Dan kau tidak menjawab pertanyaanku barusan, Sasori," sahutku. Ia sudah berkali-kali mengucapkan hal itu, ia benci menunggu, saking seringnya kalimat itu diucapkan rasanya otakku sudah bekerja secara otomatis untuk tidak membuat Sasori menunggu dalam hal apapun.

"Kau ingin jawaban seperti apa?" tanya Sasori.

Aku menopang dagu di kepalan tanganku sambil menatap Sasori. "Apapun yang kau rasakan kalau hal itu terjadi. Aku tahu kau masih merasakan sesuatu."

Sasori menghentikan pergerakan tangannya sekali lagi lalu ia menatapku. "Aku benci membayangkannya. Aku tidak suka kalau aku tidak melihatmu lagi dan itu yang kurasakan."

Wajahku terasa hangat, mungkin Sasori tidak menyadarinya, tapi ia berkata seolah tidak ingin kehilanganku. Sejujurnya, aku sudah menyukai dan mungkin mencintai Sasori sejak aku masih kecil, sejak orangtua kami masih hidup. Sejak saat itu, aku tidak ingin meninggalkan Sasori sendirian, kalau bisa aku mengunjunginya setiap hari dan meminta misi bersama Sasori.

"Aku pasti mati Sasori. Mungkin karena sakit atau terluka saat misi, kau harus bisa bertahan kalau saat itu terjadi," kataku mengingatkan.

Tatapan Sasori semakin menajam dan menusuk. "Aku akan mencegahnya, Y/N."

"Kita berdua sama-sama tahu kalau kau tidak bisa menghalangi apalagi mencegah kematian, Sasori. Kematian pasti akan mendatangi salah satu dari kita lebih dulu," kataku lagi.

Aku tidak bisa membayangkan kalau kematian menjemput Sasori lebih dulu, mungkinkah aku bisa bertahan? Atau mungkin aku akan memohon agar bisa ikut dengan Sasori? Aku tidak memiliki orang lain lagi selain Sasori.

"Kita tidak akan membicarakan ini lagi," putus Sasori dengan suara dingin. Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat, tidak berani membuat Sasori lebih marah lagi.
***
Sejak pembicaraan kami yang terakhir, Sasori terlihat lebih dingin dari biasanya, ia hanya berbicara padaku saat dibutuhkan saja membuatku pusing sendiri, ditambah lagi ia semakin sering mengunci dirinya di ruang kerja tempat ia membuat boneka. Semakin dingin Sasori dibarengi juga dengan semakin memburuknya kondisi kesehatanku. Entah bagaimana, tubuhku terus melemah setiap harinya, dokter sampai bilang kalau ini berlanjut aku tidak diizinkan untuk pergi misi. Kemungkinan besarnya, aku terjangkit virus yang mematikan, bisa dipastikan kalau keadaanku semakin lemah, aku akan mati.

Aku menghentikan langkah saat melihat sosok yang kukenal sedang berjalan. Kali ini aku yakin kalau sosok itu adalah Sasori karena saat mataku memicing, boneka Hiruko-lah yang terlihat. Sudah jelas hanya dua orang yang bisa menggunakan boneka Hiruko, nenek Chiyo dan Sasori.

Kecepatan berjalan Hiruko tidak terlalu cepat dan boneka itu meninggalkan jejaknya diatas pasir, karena itu aku yang sedang sakit parah pun bisa mengikutinya. Berkali-kali aku menghentikan langkah agar Sasori tidak menyadari keberadaanku, tapi tubuhku mulai terasa sakit saat kami sudah meninggalkan perbatasan Suna. Aku tidak tahu sudah memasuki daerah mana, Sasori mulai melompati pepohonan sementara aku masih terus berjalan. Tepat saat tubuhku mulai limbung, seseorang memeluk pinggangku untuk menahan tubuhku membentur tanah.

"Untuk apa kau mengikutiku, Y/N?"
Sasori yang memeluk pinggangku, ia sudah keluar dari boneka Hiruko dan aku bisa melihat jelas raut wajah kesal sekaligus khawatir. Ia menyandarkan kepalaku dibahunya, lengannya semakin erat memelukku saat kakiku gemetar.

"Kemana kau akan pergi, Sasori?"

"Meninggalkan desa. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan atau kuperjuangkan di tempat itu. Kau belum menjawab pertanyaanku," jawab Sasori. Suaranya masih terdengar dingin di telingaku, matanya menatapku tajam, membuatku merinding dibawah tatapannya.

Mataku melebar saat menyadari ucapan Sasori. "Meninggalkan desa? Maksudmu kau tidak akan kembali ke Suna secara permanen dan kau tidak akan menemuiku lagi?"

Sasori bungkam. Ia tidak menjawab pertanyaanku.
"Kalau begitu aku akan ikut bersamamu, aku juga akan meninggalkan desa denganmu, aku akan ikut kemana pun kau pergi," putusku. Toh kemungkinan besarnya aku tidak bisa melakukan apapun di desa, paling tidak aku ingin menghabiskan waktu terakhirku dengan orang yang kucintai.

"Tidak," Sasori menggeleng tegas. "Tempatku tinggal nanti terlalu berbahaya, lebih baik kau di desa."

"Kalau begitu kau juga tinggal bersamaku atau aku akan ikut denganmu."

"Aku bisa mengirimmu kembali ke desa dengan memanggil nenek Chiyo dengan begitu kau akan tetap ting-"

"Aku sedang sekarat dan pasti akan mati dalam waktu dekat. Kau tahu apa yang kuinginkan? Aku ingin bersamamu saat aku mati nanti, itulah keinginan terakhirku," potongku. Raut wajah Sasori kembali berubah. Walau hanya sedikit, tapi aku yakin ada sirat tidak percaya dan takut dalam ekspresinya.

"Apa maksudmu?"

"Akhir-akhir ini aku merasa lebih lemas dari biasanya, sebelum mengikutimu aku memeriksakan diriku ke rumah sakit. Kau tahu apa yang mereka bilang? Mereka bilang aku terjangkit virus berbahaya, kalau keadaanku memburuk, bisa dipastikan nyawaku yang menjadi taruhannya. Karena itu, kumohon kau membiarkanku ikut denganmu."

"Kau yakin dengan hal itu, Y/N?" tanya Sasori. ia menenggelamkan wajahnya dibahuku.

"Sangat yakin," jawabku dengan suara bergetar, aku mulai kehilangan kekuatanku, secara insting aku tahu kalau sekarang sudah waktunya mengatakan perasaanku. "Aku mencintaimu Sasori, sejak dulu. Aku selalu berharap agar kau melihatku, berharap kalau kau akan membalas perasaanku. Aku takut kehilangan dirimu, aku takut kau akan membenciku, tapi sudah waktunya untukku."

Bahkan saat kegelapan menghampiriku, aku masih mendengar suara Sasori yang memanggil namaku. "Aku akan mencegah kematianmu, itulah janjiku."

Aku tidak yakin bagaimana aku bisa hidup lagi atau apa yang dilakukan Sasori untuk mencegah kepergianku, tapi saat ini aku berdiri di sampingnya, di samping tubuh Sasori yang tertancap di dinding gua. Gadis Konoha itu sudah membunuhnya dengan bantuan nenek Chiyo, tidak ada yang bisa kulakukan selain menatap matanya. Aku membaca gerakan mulut Sasori di saat-saat terakhir.

"Aku juga mencintaimu, Y/N."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top