Bab // 33

Assalamualaikum wr wb
Selamat malam jumat gaes
.
.
.
Aku mau bilang makasi banyak buat kalian yg udah memesan novel Narik Sukmo ini, makasi buat kalian  yg udah membaca dan mengikuti cerita ini dari awal sampai sekarang sudah dibukukan.

Terima kasih kalian menjadi bagian dari Narik Sukmo...

Yg belum...Gowo aku Ning Jero sukmomu...

Gak bs blg apa2 yg jelas salam peluk n ciyum dr mas banyu ama maa dierja😍😍😍😘😘😘

Oya yang blm follow IG aku monggo ya di @Dewie_sofia dan @nariksukmo

Love you...

Hepi riding.

.
.
.
.
.
.
.

Indah.

Adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan kamar yang kini Kenar tempati.

Kamar tidur yang tidak terlalu luas namun terasa pas. Ukiran - ukiran kayu berwarna emas menghiasi ranjang kecil di tengah ruangan. Di sebelah kiri ranjang terdapat lemari kayu, di sebelahnya ada sebuah meja dengan cermin besar. Semua berwarna emas.

"Kamu suka?" Tanya Dierja. Sebuah senyuman terukir di sudut bibir Kenar.

"Ini ... indah." Ucap Kenar.

"Kamar ini milik Galuh_adikku." Kata Dierja.

"Di mana dia?"

"Dia sedang bersama Ibu di dapur. Untuk sementara, kamu tinggal di sini dulu." Dierja melangkah masuk di ikuti Kenar di belakangnya. Sebuah handuk bersih berwarna pink di ambil Dierja dari dalam lemari. Kenar menerima handuk itu dari Dierja.

"Mandilah dulu." Dierja menunjuk sebuah kamar mandi di dalam kamar itu. "Akan ku ambilkan kopermu." Setelah mengatakan hal itu Dierja keluar dari dalam Kamar.

Kenar kembali mengamati sekeliling ruangan, setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi.

Lima belas menit kemudian Kenar selesai mandi. Ia mengintip ke luar kamar, setelah memastikan tidak ada siapa - siapa ia pun melangkah keluar.
Kenar melihat kopernya sudah berada di dekat ranjang. Segera ia meraihnya, memilih pakaiannya lalu mengenakannya dengan cepat.

Tepat setelah ia mengenakan kaos biru langit berlengan pendek di tubuhnya pintu kamar terbuka.

"Hai," Seorang gadis berwajah manis, dengan tinggi yang tidak terlalu jauh dengannya menyapa Kenar.

"Hai." Balas Kenar. Gadis itu tersenyum.

"Mbak Kenar ya ..." Ucapnya begitu ia berada di depan Kenar.

Kenar mengangguk. "Iya. Kamu Galuh ya?" Gadis itu mengangguk.

"Iya mbak. Perkenalkan, aku Galuh_adiknya mas Dierja. Logat khas jawa sangat kental terdengar pada ucapannya.

"Kenar." Ucap Kenar menyambut uluran tangan Galuh.

Galuh memperhatikan Kenar dari ujung kaki hingga kepala. Senyum manisnya tidak pernah lepas dari bibir mungilnya. Kenar mengernyit.

"Ada yang salah?" Tanya Kenar, tidak suka di perhatikan seperti itu. Galuh malah tertawa pelan.

"Maaf mbak Kenar. Bukan apa - apa, mbak Kenar cantik. Ayo, sekarang waktunya makan malam." Ajak Galuh.

Kenar masih merasa canggung dengan sikap Galuh yang sangat ramah padanya. Mereka kan baru saja berkenalan. Namun Kenar tetap mengikuti Galuh.

"Aku dengar dari mas Dierja, mbak Ayu kecelakaan ya?" Tanya Galuh.

"Iya." Jawab Kenar singkat.

"Ndhak luka parah tho?" Galuh bertanya lagi.

"Gegar otak ringan. Selain itu, dia baik - baik saja." Terdengar helaan napas lega dari Galuh.

"Padahal, aku berharap mbak Ayu, yang akan menjadi penari di festival nanti." Keluh Galuh.

Kenar dan Galuh berjalan beriringan, Kenar langsung menghentikan langkahnya setelah Galuh mengatakan hal itu. Kenar menarik lengan Galuh. "Maksudnya?"

Galuh mengernyit. "Maksudnya?" Ucapnya bingung.

"Tadi kamu bilang, kamu berharap Ayu yang akan jadi penari di acara festival itu, maksudnya apa?"

"Oh, itu." Ucap Galuh melanjutkan langkahnya dan segera di ikuti Kenar. "Dulu mbak Ayu penari paling bagus di sini. Tapi, karena sebuah kecelakaan kaki mbak Ayu terluka parah, jadi ... ya gitu, dia ndhak boleh menari lagi. Kalau nggak, kakinya akan tambah sakit." Kenar mendengar cerita Galuh seksama.

"Waktu itu, mbak Ayu masih sekolah Sma. Mas Satta ngajak mbak Ayu jalan - jalan. Sebuah mobil tiba - tiba menabrak motor yang di kendarai mas Satta."

"Karena itukah, Ayu ... terlihat tidak suka pada Satta?" Tanya Kenar. Galuh mengangguk. Kenar sudah akan bertanya lagi namun, mereka telah sampai di ruang makan. Ruang makan yang sangat bagus. Kenar menyimpulkan bahwa keluarga Dierja adalah keluarga terpandang di desa kelawangin.

Wajah Dierja sudah tidak setegang saat merela di rumah sakit. Wajah itu terlihat ramah kembali. Kenar tersenyum canggung pada Ayah dan Ibu Dierja.

"Duduk di sini saja Kak." Galuh menarik sebuah kursi untuk Kenar, kemudian dia pun duduk di samping Kenar.

"Terima kasih." Ucap Kenar.

Kenar membiarkan saja Galuh yang mengambilkan nasi dan juga mengisi piringnya dengan lauk tanpa bertanya pada Kenar. Ayah dan Ibu Dierja makan dalam diam.

Dierja pun terlihat menikmati makan malamnya.  Kenar mulai menyuap nasinya perlahan. Keheningan di meja makan membuat Kenar ingin segera menyudahi makannya dan beristirahat di kamar Galuh.

Biasanya dua puluh menit adalah waktu yang singkat untuk makan malam bersama keluarganya. Di Jakarta, mereka terbiasa bercengkraman di meja makan. Menanyakan aktivitas masing - masing anggota keluarga. Di sini, dua puluh menit serasa dua puluh tahun saja.

Kenar menghela napas lega ketika Ayah dan Ibu Dierja meninggalkan ruang makan.

"Nambah lagi mbak?" Kata Galuh.

"Nggak usah terima kasih." Kata Kenar.

"Mas Dierja mau nambah lagi?" Tanya Galuh.

"Aku sudah selesai. Aku mau ke teras dulu." Dierja meninggalkan ruang makan.

Galuh dan Kenar membersihkan meja serta mencuci piring. Galuh sudah meminta Kenar untuk ke teras saja menyusul Dierja. Namun, Kenar tidak mau. Ia tetap membantu Galuh beres - beres. Bagaimana Ayah dan Ibu Dierja menyukainya nanti?

Eh, kenapa juga ia memikirkan hal seperti itu. Kenar menggeleng pelan. Menghilangkan pikiran aneh itu dari kepalanya sembari mengelap meja makan kayu yang juga berukiran emas.

Galuh sudah kembali ke kamar, sedang Kenar menyusul Dierja ke teras depan.

"Kenapa belum tidur?" Tanya Dierja.

Kenar menggeleng. Ia duduk di kursi kosong yang berada di seberang Dierja. "Maaf." Ucap Kenar.

Dierja menghela napas pelan. "Aku ... tiba - tiba kangen rumah jadi, aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta," Kenar memberi jeda pada ucapannya. "Maaf ... tidak memberitahumu." Lanjut Kenar.

"Ndhak apa - apa. Itu kan hak kamu, kamu nggak salah apa - apa sama aku. Aku saja yang terlalu baper ya namanya." Dierja terkekeh pelan. " Bahasa anak kota tho, yang artinya ... kebawa perasaan." Lanjut Dierja.

Kenar refleks memegang tangan Dierja. "Bukan begitu,"

"Lalu?" Kenar menggigit bibirnya dari dalam. Tidak tahu harus berkata apa.

"Sudahlah." Kata Dierja. Kenar teridiam. Suasana malam sangat hening.

"Bagaimana Sari?" Tanya Kenar.

Dierja mengangkat bahunya pelan. "Belum tahu pasti."

"Apa ... sesuatu yang buruk terjadi padanya?"

"Kita berdoa semoga Sari baik - baik saja. Festival sudah di depan mata, dan persiapan utamanya belum di mulai sama sekali." Dierja menatap lurus ke depan.

"Apa tidak ada yang bisa menggantikannya?" Kenar menelan ludah ketika Dierja menatapnya. Tatapan yang tidak bisa di artikan Kenar.

"Maksudku ... kalau Sari belum kembali." Lanjut Kenar.

Dierja kembali menatap jauh ke depan. "Semoga besok pagi Sari sudah kembali." Ucap Dierja penuh harap.

***

"Kok wengi iki rasane adem banget ya. Haduh, dasar Harjo, nyileh paculku uwis sesasi ora dibalek - balekke. Mosok kudu aku jipuk dewe nengngomahe. Nek aku ora butuh sesok esok banget, ora bakal aku nggoleki neng ngomahe bengi - bengi ngeneki." Kasman terus saja menggerutu di sepanjang jalan. Dia marah pada sahabatnya itu.

(Kok malam ini rasanya dingin sekali ya. Haduh, dasar Harjo, pinjem cangkulku udah sebulan nggak di balik - balikin. Masak harus aku jemput sendiri ke rumahnya. Kalau aku nggak butuh pagi - pagi sekali besok, nggak akan aku cari ke rumahnya malam - malam begini)

Harjo sudah meminjam cakulnya selama kurang lebih satu minggu, dan sampai saat ini belum juga di kembalikan. Padahal ia sudah menitip pesan pada istri Harjo ketika mereka bertemu di pasar pagi tadi.

Sret. Sret. Sret.

Kasman menoleh. "Sopo?"

Sepi.

Kasman menggelengkan kepala. Ia kemudian melangkah lagi. Desa kelawangin selama ini memang selalu aman. Pos ronda berada di depan gerbang utama desa selalu ada penjagaan. Jadi, jam berapapun berkeliaran di desa tidak pernah terjadi hal - hal yang tidak di inginkan.

Kasman berhenti di ujung jalan. Ia kembali menoleh ke belakangnya. Kasman merasa seperti sedang di ikuti oleh seseorang.

"Sopo?"

Sret. Sret. Sret.

Kasman terkejut melihat sesosok bayangan hitam menjulang tinggi si belakangnya.

"Tuluuuuuuuuuunggggggg," Kasman berlari sembari berteriak kencang. Kasman memegang dadanya sebelah kiri.

Bayangan itu terus meliuk - liuk di atasnya. Lampu penerangan yang biasanya ada di ujung jalan tiba - tiba mati.

"Tuluuu......" Suara Kasman tidak terdengar lagi. Sulur - sulur hitam itu menutup mulut Kasman, melingkar erat di sekujur tubuhnya. Matanya melotot tajam ke depan.

Sulur - sulur itu terus melingkari tubuh Kasman dengan erat, hingga bola mata hitam Kasman menghilang. Hanya mata putihnya yang terlihat sebelum bayangan hitam itu menutup seluruh tubuhnya dan menelannya dalam kegelapan.

***

👻👻👻


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top