Bab // 30

"Sari," terdengar suara lembut itu memanggil Sari.

"Nggih Bu, enten nopo?" balas Sari sembari melangkah mendekati sumber suara.

(Ya bu, ada apa?)

"Ewangi Ibu, nggowo sandangan iki di peme." Ucap Darmi.

(Bantu Ibu membawa pakaian ini untuk di jemur)

"Nggih." Sari mengambil keranjang yang berisi pakaian bersih itu dari Ibunya kemudian menjemurnya satu persatu.

Sari mengibaskan sebuah sarung kemudian merentangkannya di atas jemuran. Gerakan tangan Sari terhenti, ia menggenggam erat pakaian di tangannya. Kepalanya menoleh ke kiri dan kanan secara perlahan.

Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. "Eneng opo ya? Dadi merinding kene." gumamnya.

(Ada apa ya? Jadi merinding gini)

Cepat-cepat Sari menyelesaikan jemurannya. Setengah berlari ia masuk ke dalam rumah membuat Ibunya mengernyit heran.

"Eneng opo nduk? Ngopo mlebu ngomah karo melayu." Tanya Darmi pada Sari.

(Ada apa nak? Kenapa masuk ke dalam rumah berlarian seperti itu)

"Mboten ngertos Bu, Sari ngertos-ngertos merinding ten jawi." ucap Sari dengan napas terengah.

(Nggak tahu Bu, Sari tiba-tiba merinding di luar)

"Kowe iki, setan ora mungkin njedul awan-awan." omel Darmi.

(Kamu ini, mana ada setan nongol siang bolong begini)

"Serius Bu, setane karipan kali." jawab Sari sembari sesekali menoleh keluar.

(Serius bu, setannya kesiangan kali)

"Hus, ngomong kui yang bener. Wis, ewangi Ibu masak sek sakdurunge kowe ning aula. Ratih melu latihan yok an?"

(Hus, ngomong itu yang bener. Sudah, bantu ibu masak dulu, sebelum kamu ke aula. Ratih ikut latihan juga?"

"Nggih Bu, Ratih nggih tumut. " jawab Sari.

(Iya Bu, Ratih juga ikut latihan)

.
👻👻👻
.

Kenar mencuci lengannya yang terkena cakaran kucing di air yang mengalir. Ia bernapas lega ketika darah yang keluar sudah berwarna merah kembali. Tidak ada darah hitam di dalam wastafel itu.

Apa tadi hanya perasaannya saja?

Kenar mengeringkan lengannya menggunakan tisu. Ia kemudian membersihkan lukanya menggunakan refanol, membubuhinya dengan obat merah kemudian menutup lukanya dengan perban.

Kenar melakukan semuanya sendiri. Ia membeli semuanya di apotik. Ia enggan untuk meminta tolong pada perawat di sana. Setelah selesai, ia membawa bungkusan obat itu dan melangkah ke ruangan tempat Ayu di rawat. Namun, begitu sampai di koridor, langkah Kenar terhenti.

Dierja menghalangi langkahnya.

Kenar menatap Dierja dengan alis berkerut. "Ada apa?" Tanya Kenar.

"Ku antar pulang." Kata Dierja dingin.

Kenar tertawa pelan. Kemudian dengan wajah serius Kenar berkata. "Kalau aku nggak salah, bukankah kamu...nggak mau bicara denganku?"

Dierja hendak mengatakan sesuatu namun Kenar kembali bicara. "Jangan merasa nggak enak dengan ucapan Pak lek. Aku bisa mengurus diriku sendiri kok."

Setelah mengatakan itu Kenar melewati Dierja yang masih terpaku di tempatnya. Kenar menertawakan dirinya. Berpikir bahwa Dierja akan mengkhawatirkannya.

Bodoh.

Memangnya dia pikir dia siapa. Mereka hanya teman. Itupun karena Ayu sahabatnya makanya mereka bisa berteman.

Kamu mau Dierja berbuat apa untukmu Kenar? Batin Kenar. Kenar membuka pintu kamar tempat Ayu di rawat.

Prastomo dan Seruni menoleh. "Loh kamu masih di sini nduk?" Tanya Seruni.

"Masih Bu lek, Pak lek. Mmm, Kenar ingin ikut menjaga Ayu." Kata Kenar.

Seruni menggeser tubuhnya, menepuk sofa kosong di sebelahnya agar Kenar duduk. Kenar duduk di samping Seruni. "Maafin Kenar Bu lek, Pak lek." Ucap Kenar.

Prastomo yang duduk di pinggir ranjang Ayu menoleh. "Maaf kenapa nduk?" Tanya Prastomo lembut.

"Kalau saja Kenar nggak berkeinginan pulang ke Jakarta, Ayu nggak akan terluka seperti ini. Kecelakaan itu harusnya nggak terjadi." Ucap Kenar menunduk.

Rasa bersalah di hatinya sangat besar. Hanya karena ketakutannya sekarang sahabatnya terbaring di rumah sakit.

"Ini namanya musibah nduk. Sudah kehendak Tuhan. Kamu jangan merasa bersalah seperti itu. Kalian selamat saja kami sudah sangat bersyukur." Ucap Prastomo.

"Benar kata Pak lek mu." Lanjut Seruni sembari memegang pundak Kenar.

"Oh ya, kamu_ndhak jadi pulang tho nduk?" Tanya Seruni.

Kenar menggeleng. "Nggak Bu lek. Kenar akan menunggu sampai Ayu pulih kembali."

"Ayu di rumah sakit masih sekitar satu minggu nduk. Bahkan bisa lebih, apa ndhak terlalu lama buatmu menunda kepulanganmu?" Ucap Seruni.

"Nggak pa-pa Bu lek. Yang penting Bu lek dan juga Pak lek nggak keberatan kalau Kenar tinggal lebih lama lagi di sini." Ucap Kenar pelan hampir berbisik namun masih bisa di dengar oleh Prastomo dan Seruni.

Prastomo dan Seruni saling memandang, senyum tipis terbit di bibir keduanya.

"Tentu saja kami ndhak keberatan nduk. Sekarang, sebaiknya kamu pulang ke rumah dulu. Kamu harus istirahat, kondisimu juga ndhak terlalu baik. Besok pagi kamu bisa kembali ke sini. Kamu jaga Ayu, biar Pak lek sama Bu lek bisa pulang sebentar bagaimana?" Tanya Prastomo.

"Baik Pak lek." Ucap Kenar.

Terpaksa.

Kenar tidak bisa menolak ucapan Prastomo. Ayu pernah mengatakan bahwa Bapaknya orang yang lembut namun sangat tegas. Dan ia tidak suka jika ucapannya di bantah.

"Sekalian besok Pak lek urus mobil dan yang lainnya yang berkaitan dengan kecelakaan itu." Ucap Prastomo.

"Boleh Kenar minta alamat rumahnya Pak lek?" Tanya Kenar.

Prastomo menaikkan alisnya. Heran dengan pertanyaan Kenar.

"Mmm, Kenar mau pulang sendiri naik kendaraan umum." Ucap Kenar menjawab pertanyaan yang ada dalam kepala Prastomo saat ini.

"Bukannya Dierja yang akan mengantarmu?" Kata Prastomo.

"Dia ndhak mau di antar Dierja Pak lek."

Semua menoleh ke arah sumber suara. Tidak ada yang menyadari ketika Dierja masuk ke dalam kamar itu.

"Kenapa?" Tanya Prastomo. Dierja mengedikkan bahu. Tatapannya tajam menusuk ke arah Kenar.

"Kenar nggak mau ngerepotin Dierja Pak lek." Ucap Kenar tidak mau menatap ke arah Dierja.

"Ndhak ada yang di repotkan. Kamu itu amanah buat kami. Jadi, kamu harus pulang bersama Dierja. Dia akan mengantarmu sampai di rumah. Lagipula Dierja juga akan pulang, dia ndhak mungkin menginap di sini." Ucap Prastomo tegas.

Kenar tidak sadar, ia menelan ludah dan rasanya sakit sekali.

Pulang bersama Dierja? Dan sendirian di rumah Ayu.

Oh, tidak batinnya.

.
👻👻👻
.

"Untung Ibu masaknya ndhak terlalu banyak. Aku jadi bisa lebih cepat ke aula." Ucap Sari dengan senyum di wajahnya.

Sudah lima hari terakhir Sari berlatih menari seorang diri di aula. Dia bertekad untuk menjadi penari tunggal di acara festival nanti. Tidak hanya bayarannya yang lumayan tetapi, menjadi seorang penari tunggal yang masih muda dan berbakat tentu akan melambungkan namanya.

Tidak hanya di desa kelawangin, tapi juga desa-desa sebelah yang turut menikmati festival itu. Bisa ia bayangkan, bagaimana pemuda-pemuda desa akan memandangnya penuh kekaguman.

"Selama ini hanya Ratih saja yang menempati posisi itu. Sedangkan aku hanya sebagai penari cadangan dan berada di urutan kedua." Sari berdecih.

"Kali iki, festival iki arep dadi nggonku." Gumam Sari penuh keyakinan.

(Kali ini, festival ini akan menjadi milikku)

Sari membuka pintu aula. Melangkah pasti menuju lemari penyimpanan. Berbagai pakaian menari ada di sana. Sari mengambil kain panjang dan selendang, mengikatnya dipinggang kemudian mengambil tempat di tengah aula.

Ia mulai menggerakkan badannya. Melemaskan otot-ototnya dengan gerakan dasar terlebih dahulu. Setelah itu, ia mulai menari.

Gerakan nari sukmo sudah di hapal olehnya. Dalam dua tahun terakhir ia sudah bergabung di kelompok kesenian di desanya.

Entah bagaimana tarian narik sukmo membuatnya merasa lebih hidup. Tubuhnya yang gemulai bergerak indah. Hentakan lembut kakinya menambah semangat dalam dirinya.

Sari mengabaikan larangan bahwa ia tidak boleh berlatih seorang diri. Paling tidak mereka harus berdua. Sari tidak mengerti, kenapa harus seperti itu? Kalau menari ya menari saja pikirnya.

Meski tanpa musik yang mengiringi, Sari melakukan gerakan-gerakan itu dengan sangat baik.

Saat acara gladi resik besok, akan ia buktikan bahwa ia lebih mampu daripada Ratih.

Sari tidak menyadari, sesosok bayangan tengah mengamatinya dalam kegelapan. Pemilik mata merah itu menatapnya awas. Matanya mengikuti setiap gerak gerik yang di lakukannya.

Sari begitu larut dalam tariannya, ia bahkan memejamkan mata, menghayati setiap gerakannya dan menikmati alunan musik yang mengiringinya. Nyanyian yang begitu indah tapi......

"Pepujanku
Sliramu lintang jroning uripku
Sakkabehing geguyumu kuwi ambeganku,
Jantung iki tansah deg-degan pas mripat ayumu nyawang aku kebak kangen,
Jantung iki tansah deg-degan pas lambe tipismu mesem isin-isin,
Mong karo aku
Mong aku
Nengdi kabeh awak nyawamu keraket
Nganti pati misahke."

(Kekasih hati
Kau mentari dalam hidupku
Seluruh tawamu adalah napasku
Jantung ini selalu berdebar saat mata cantikmu menatapku penuh rindu
Jantung ini selalu berdebar saat bibir tipismu tersenyum malu-malu
Hanya padaku
Hanya aku
Dimana seluruh jiwa ragamu terikat
Sampai maut memisahkan)

Gerakan Sari terhenti. Matanya terbuka. Tidak ada musik yang mengiringinya.

Darimana nyanyian itu berasal?

Sari melihat ke sekeliling, melihat kalau-kalau saja ada orang selain dirinya di aula ini. Mungkin saja ada yang sedang mengganggunya namun, hanya keheningan yang di dapatnya. Tubuh Sari kembali merinding, sama seperti pagi tadi.

"Sopo neng kono?"

(Siapa di sana?)

Tidak ada jawaban. Hanya suara-suara yang semakin membuat Sari merinding.

Ssssshhhhh.

Sari menggenggam kedua tangannya. Napasnya mulai terdengar tidak beraturan dan dadanya berdetak kencang. Keringat dingin mengalir di wajahnya.

Sssssshhhhhh.

Suara itu kembali terdengar.

"Sopo neng kono? Ayo metu ojo gojek." Suara Sari terdengar bergetar.

(Siapa di sana? Jangan bercanda, ayo keluar)

Ssssshhhh. Sssssssshhhhhhhhh. Ssssssahhhhhh.

Bukannya berhenti suara-suara itu semakin terdengar ramai. Udara di dalam aula mendadak dingin dan pengap.

Sari ketakukan, sangat.

Ia berlari ke arah pintu masuk, berusaha menggapai pintu agar ia bisa keluar dari sana namun baru saja tangannya menyentuh handle pintu terdengar bunyi.

Klik.

Pintu aula terkunci sendiri. Kepanikan semakin mendera Sari. Di gerak-gerakkannya pintu itu agar segera terbuka.

""Tulung bukak lawange." Teriak Sari.

(Tolong, buka pintunya)

Sari terus saja menarik-narik pintu aula berharap pintu itu akan terbuka.

Sssssssssssshhhhhhhhhh.

Suara itu dan sekelebat bayangan hitam di belakangnya membuat bulu kuduk Sari berdiri seketika. Tangannya bahkan sudah berhenti membuka paksa pintu itu.

Hanya napas tidak beraturan dan ketegangan di tubuhnya mengisyaratkannya akan sesuatu. Sari menahan napas ketika sulur-sulur hitam berusaha menjangkaunya dari arah belakang.

Sekuat tenaga Sari ingin berteriak namun, lidahnya kelu. Hanya sebuah tarikan napas panjang yang terdengar dari mulutnya ketika sulur-sulur hitam itu mulai membelit kedua lengannya, menyatukannya dengan tubuh kecilnya. Lalu sulur-sulur itu merambat ke bawah, mengikat kedua kakinya. Sulur-sulur hitam itu terasa begitu dingin dan basah.

Napas Sari semakin tercekik ketika sulur-sulur hitam itu semakin membelit tubuhnya. Perih dan sakit luar biasa di rasakannya. Seakan sulur-sulur itu menembus hingga ke tulangnya.

Matanya membesar, mulutnya menganga saat dengan perlahan tubuhnya yang terbelit sulur-sulur hitam itu menarik tubuhnya ke belakang.

Perlahan....

Sampai sebuah tarikan yang sangat keras menyedot tubuhnya entah kemana membuat Sari berteriak histeris.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

Lengkingan itu teredam oleh angin yang tiba-tiba bertiup kencang di luar sana. Hanya sebentar sebelum pintu aula itu terbuka dengan sendirinya.

***

Met maljum pepujan pepujankuh
Semoga malam inih embah rahmi gak ganggu ya😱


Jangan lupa follow IG ku ya narik_sukmo


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top