Bab // 28

Malam gaes.....

Maafkan ya kemarin aku salah pencet, mau save malah jadi kepublish. Efek pemilukada yang terlalu bersemangat😂

Daaaaaaaan beberapa readers minta ada grup chat (WA) grup yang isinya suka-suka namun tetap pada norma kewajaran, bisa curhat and sharing apa aja, karena katanya sih jauh di mata dekat di WA wkwkwk 🙊

Dan yang ingin bergabung inbox aja di wp ato bisa DM di IG, tidak ada keharusan, ini hanya sebuah ajakan, jika berkenan silahkan inbox jika tidak silahkan voment saja 😂😂😂

Hepi riding and moga gak merinding muah 😚

*
*
*
*
*
*
*
*

Dierja tengah menatap lembaran kertas di tangannya yang telah menguning. Lembaran kertas yang tidak sengaja ia temukan di gudang belakang rumahnya.

Tidak ada yang menarik pada lembaran kertas usang itu. Namun, setelah memperhatikan dengan seksama, Dierja menemukan sesuatu yang mengusik rasa ingin tahunya.

Barisan huruf pada kertas itu seperti sebuah puisi atau lirik sebuah tembang lama. Tembang yang tidak pernah Dierja dengar. Setiap katanya seperti memiliki nilai magis. Kata-kata yang begitu kuat dan entah bagaimana, Dierja membayangkan dirinya tengah menyanyikan lirik itu sembari bermain saron.

Dierja sangat penasaran dengan kelanjutan tulisan itu, lembarannya terpotong hampir setengahnya. Seandainya ia tahu kelanjutan dari tulisan itu, Dierja akan mencoba membuat musiknya. Tulisan-tulisan ini pasti akan menjadi sangat indah jika tertuang dalam sebuah lagu. Dengan iringan musik itu, Dierja membayangkan dirinya dan Kenar terlibat dalam satu tarian indah.

Kenar.

Dierja teringat pada Kenar. Ia ingat tentang latihan menari yang belum sempat mereka lakukan. Dierja berusaha menghubungi Kenar.

"Dia kemana?" gumam Dierja berusaha menghubungi Kenar kembali.

Tidak ada jawaban.

Dierja melipat lembaran itu kemudian kembali menyimpannya di dalam laci. Ia memutuskan untuk ke gudang. Mengecek sejauh mana proses penggilingan padi miliknya, setelah itu ia akan ke rumah pak lek Prastomo.

"Hm," sebuah deheman membuat Dierja menoleh. Dierja berbalik, mendekati ayahnya yang tengah menyeruput kopi hitamnya.

"Ayah." ucap Dierja menyalami ayahnya.

"Mau kemana? Pagi-pagi begini." tanya Chandra.

Dierja duduk di depan ayahnya. "Saya mau ke gudang ayah. Mengecek penggilingan padi." beritahu Dierja.

"Bagus itu. Sekalian kamu beritahu pak lek Ejo, kirim satu ton beras terbaik ke keraton." ucap Chandra.

"Baik ayah. Apa ada lagi yang ingin ayah bicarakan?" tanya Dierja.

Chandra berdehem. "Itu saja, jangan pulang terlalu sore. Ibumu nanti sore kembali."

"Iya ayah. Saya permisi." ucap Dierja menyalami ayahnya dan mengambil sepedanya.

Dierja keluar dari rumahnya. Perlahan ia mengayuh sepedanya menuju gudang beras milik keluarganya secara turun temurun. Keluarga Chandra merupakan salah satu keluarga bangsawan di desa Kelawangin. Keluarga mereka konon ada hubungan kekerabatan dengan keraton.

Dierja tidak ambil pusing dengan gelar ataupun nama yang dimiliki keluarganya. Namun Dierja merasa kasihan pada adik perempuannya, Rara. Rara harus menikah dengan salah satu keturunan bangsawan dari desa sebelah.

Dierja berdecih, pasalnya suami adiknya itu seorang yang pemalas dan sombong. Kerjaannya hanya duduk-duduk dan memerintah anak buahnya seenaknya. Tidak mencerminkan sikap seorang juragan sama sekali.

"Nak Dierja, dengaren tekone awan?" Sapa Reksa begitu Dierja menyandarkan sepedanya di bawah sebuah pohon rindang.

(Nak Dierja, tumben datangnya siang)

"Nggih pak lik, wau wonten urusan sekedik." ucap Dierja melangkahi menghampiri Reksa. Salah satu orang kepercayaan keluarganya.

(Iya paman, tadi ada urusan sedikit)

"Pari-pari nipun pripun pak lik, nopo sae sae." Dierja menanyakan hasil panen sawahnya.

(Padi-padinya bagaimana paman? Apa bagus-bagus?)

"Alhamdulillah, apik-apik le Dierja, ning hasile ora Pati akeh, mergo angin wingi." jawab Reksa.

(Alhamdulillah, bagus-bagus nak Dierja, tapi hasilnya tidak terlalu banyak, akibat angin kemarin)

"Nggih pak lik, lan ketingalane akhir-akhir niki hawane nembe boten bersahabat nggih."

(Iya paman, dan sepertinya akhir-akhir ini cuaca juga sedang tidak bersahabat ya)

"Yo Le dierja, pak lik yo ngarep-arep hawane apik-apik wae. Festival kelawangin ora suwe meneh, persiapane lagi meh mulai telung dino ngkas." ucap Reksa dengan wajah yang bersemangat menyambut festival itu.

(Iya nak Dierja, paman berharap cuacanya baik-baik saja. Festival kelawangin tidak lama lagi, persiapannya baru akan di mulai tiga hari ke depan)

"Nopo winten persiapan khusus maleh pak lik?"

(Apa ada persiapan khusus lagi paman?)

"Maksudte?" tanya Reksa.

(Maksudnya?)

"Mboten nopo-nopo pak lik, namung bapak kulo lan priyayi lianipun ketingale luwih sibuk ten festival sing sak niki."

(Tidak ada apa-apa paman, hanya saja ayahku dan yang lainnya sepertinya lebih sibuk di festival kali ini)

Reksa menaikkan alisnya, kemudian dia menjawab dengan santai. "Nek masalah kui, pak lik ora ngerti. Pak lik mung njogo keamanan wae, sesok karo si sarjo."

(Kalau masalah itu, paman tidak tahu. Paman hanya menjaga keamanan saja besok sama si sarjo)

Dierja mengangguk, mengertim "Matur nuwun paklik, dierja ajeng mlebet rumiyin." pamit Dierja.

(Terima kasih paman, Dierja mau ke dalam dulu)

"Iyo le Dierja, monggo." ucap Reksa sembari menundukkan kepala tanda hormat.

(Iya nak Dierja, silahkan)

Sebelum ke rumah Prastomo Dierja menuju rumah mbah Sarti. Mbah Sarti adalah ibu asuh yang mengemong Dierja sejak lahir.

Dierja pandai bermain saron karena di ajari oleh suami mbah Sarti. Namun, suami mbah Sarti sudah terlebih dahulu menghadap sang maha kuasa sejak beberapa tahun yang lalu.

"Permisi, mbah Sarti." ucap Dierja sembari mengetuk pintu depan rumah mbah Sarti.

Dierja ingat, sewaktu kecil ia suka sekali main di teras ini. Membawa saron kesayangan yang di hadiahkan paklek Budiman, almarhum suami mbah Sarti.

Kreeeett.

Pintu tua itu berderit, tanda seseorang sedang membukanya.

Senyum Dierja merekah begitu sosok paruh baya itu muncul dengan pakaiannya yang selalu rapi.

"Ono opo Lek?" tanya mbah Sarti begitu melihat Dierja berdiri di depannya.

(Ada apa nak?)

Ngapunten mbah, kulo mriki badhe tanglet

Tentang opo?

Nopo simbah kenal kalih tiyang asmanipun mbah Rahmi?

"Mbah." Dierja menyalami mbah Sarti. Mbah Sarti mengangguk seraya mengarahkan Dierja untuk duduk di sebuah kursi bambu yang ada di sana.

"Ngapunten mbah, kulo mriki badhe tanglet." ucap Dierja.

(Maaf mbah, saya datang kemari ingin menanyakan sesuatu)

"Tentang opo?" kata mbah Sarti dengan wajah yang sedikit heran.

Dierja berdehem, menatap wajah mbah Sarti dengan penuh harap.

"Nopo simbah kenal kalih tiyang asmanipun mbah Rahmi?"

(Apa mbah mengenal seseorang yang bernama mbah Rahmi?)

...................

***

"Sebenarnya lo kenapa tiba-tiba mau balik sih Ken?" tanya Ayu penasaran. Mereka sedang dalam perjalanan menuju terminal bus.

Kenar menghela napas. Merasa berat meninggalkan desa kelawangin. Ia menyukai suasana pedesaannya yang sangat indah. Ia menyukai Dierja, maksudnya hanya sekedar suka.

Seorang pria santun, manis dan baik hati. Kenar juga sangat berharap bisa menyaksikan festival kelawangin. Tapi, apa yang di alaminya membuatnya ketakutan. Kenar merasa di bayang- bayangi oleh kegelapan yang nyata.

Sosok itu, pemilik suara yang selalu memperdengarkan suara-suaranya di telinga Kenar, membuat Kenar merinding.

"Kenar."

"Eh," Kenar tersentak dari lamunannya.

"Melamun sih." seru Ayu. "Gak rela ya gak ketemu sama KANG Dierja." ejek Ayu dengan tawanya yang renyah.

Pipi Kenar merona namun hatinya berdebar kencang. Ada sebuah perasaan asing menyelusup disana.

"Apa sih itu?" gerutu Ayu membuat Kenar melupakan debaran jantungnya. Ayu terlihat beberapa kali menengok ke belakang.

"Ada apa?" Kenar bertanya sembari sesekali melirik ke belakang. Mengikuti arah pandang Ayu.

"Gak tahu. Tapi sepertinya ada yang ngikutin kita." jelas Ayu.

"Di belakang hanya ada pengendara motor. Apa iya salah satu dari mereka? Buat apa mereka mengikuti kita?"

Ayu mengabaikan ucapan Kenar. Ia berusaha untuk fokus ke depan namun seekor kucing hitam tiba-tiba melintas membuat Ayu mengerem mendadak.

Decitan ban mobilpun terdengar. Tubuh Kenar dan Ayu terguncang ke depan. Beruntung tidak ada mobil di belakang mereka.

"Lo gak pa-pa?" tanya
Kenar panik. Dadanya berdetak kencang, darahnya seakan berhenti mengalir.

Wajah Ayupun tidak kalah pucatnya dengan wajah Kenar. Bahkan deru napas Ayu terdengar lebih kencang daripada Kenar.

"Dasar kucing sialan." Ayu mengumpat.

"Syukurlah kita baik-baik aja." ucap Kenar. Apa kita tidak istirahat dulu?" tanya Kenar khawatir.

Ayu menggeleng. "Gak pa-pa, kita lanjut aja." ucap Ayu.

"Kalau begitu, lo minum dulu." Kenar menyerahkan air mineral miliknya. Ayu menerima air itu, meminumnya kemudian kembali menjalankan mobil.

"Masih berapa lama lagi?" tanya Kenar.

"Lima belas menit lagi." jawab Ayu. Ayu bergerak gelisah di balik kemudi. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Belum hilang keterkejutannya, ia kembali merasakan perasaan lain. Dadanya berdebar kencang. Seperti ada angin dingin meniup tengkuknya.

Sesekali Ayu melirik ke belakang dan...

"Aaahhhh." Ayu berteriak kencang sembari menutup mata. Melihat hal itu Kenar panik.

"Yu, lo kenapa?" tanya Kenar sembari mengingatkan dan memandang cemas ke arah jalanan.

"Berhenti Yu. Berhenti." teriak Kenar semakin panik melihat Ayu terus histeris dan tidak bisa mengendalikan mobil. Mobil oleng, bunyi klakson dari pengendara lain semakin membuat Ayu dan Kenar panik. Hingga teriakan dari keduanya terdengar nyaring.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa."

Braaak.

Mobil Ayu menabrak pembatas jalan. Dengan kepala yang berdenyut keras Kenar berusaha mengangkat kepalanya. Ia menoleh pada Ayu yang tidak bergerak. Darah menetes dari kepala Ayu.

"Yu...bangun. lo gak pa-pa?" tanya Kenar berusaha membangunkan Ayu. Kenar menggoyang pelan bahu Ayu. Memanggil-manggil nama sahabatnya itu berulang. Ketakutan meliputi Kenar. Lalu beberapa orang nampak mendatangi mobil mereka.

Sepasang suami istri yang baik hati membawa Kenar dan Ayu ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Ayu langsung di tangani di unit gawat darurat.

Dalam ketakutannya, Kenar teringat pada Dierja. Beberapa panggilan tidak terjawab dari Dierja muncul di layar ponsel Kenar. Dengan air mata yang terus mengalir di wajahnya Kenar menghubungi Dierja.

Kenar nampak putus asa, Dierja tak kunjung menjawab panggilannya. Apakah pria itu marah padanya?

"Dierja please, angkat telpon gue." ucap Kenar pelan. Sesekali ia meringis merasakan denyut di kepalanya.

"Halo,"

Dan isak Kenar pun semakin lirih ketika suara yang di nantikannya itu terdengar di telinganya. Dengan suara bergetar Kenar menjawab sapaan itu.

"Dierja,"

***

Banyu, Kenar dan Dierja mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 Mohon Maaf Lahir & Bathin 🙏


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top