8. Seseorang yang Dapat Membantu
Soobin memandang pintu besar dihadapannya dengan sangsi. Sedetik tangannya terangkat hendak memencet bel, lalu detik berikutnya ia kehilangan keinginannya dan berpikir untuk berbalik pergi. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, dia tidak mau pulang dengan tangan kosong.
Pintu terbuka setelah ia berhasil memencet bel. Seorang wanita paru baya berdiri di sana, lalu membungkuk memberi hormat, "Selamat sore, tuan muda. Ada yang bisa saya bantu?"
Soobin hendak menjawab tapi gugup membuatnya tidak bisa menyelesaikan kalimat yang seolah tersangkut di pangkal lidah, "A-aku..." Dirinya sendiri penasaran, untuk alasan apa dia merasa gugup seperti ini?
"Tuan muda Taehyung tidak ada di rumah sejak lima hari yang lalu." Pelayan itu menjawab sebelum Soobin bisa bertanya. Sebelum itu, Soobin menyadari tatapan menelisik wanita itu pada dirinya. Mungkin ketika ia melihat seragam sekolah yang sama dengan milik Taehyung, ia mengira Soobin datang untuk mencarinya.
Namun kenapa bibi itu tidak menebak kalau Soobin adalah teman Yeonjun? Apa wajah Soobin terlihat lebih tua dari tuan muda keduanya?
"Bukan, aku bukan mencarinya."
Mimik wajah wanita itu sedikit terkejut. "Oh! maafkan saya. Jadi anda mencari tuan muda Yeonjun?"
Soobin mengangguk, "Sudah beberapa hari ini Yeonjun tidak masuk sekolah. Apa telah terjadi sesuatu padanya?"
"Itu..." wanita itu tampak ragu-ragu saat hendak menjawab. "Tuan muda sedang di rumah sakit."
"Rumah sakit? Dia sakit?"
.
.
.
Yeonjun sedang menenggelamkan wajahnya ketika suara seseorang memecah hening dan membuatnya mendongak ke arah pintu.
"Halo, apa kau akan beristirahat?"
Sudut bibirnya sedikit terangkat, diam-diam menyimpan perasaan lega mendapati seorang bocah bermata besar mengintip di sela pintu.
"Tidak. Kemarilah, aku sedikit kesepian."
Taehyun masuk dengan senyum mengembang dan langkah lebar. Hari ini dia tampak jauh lebih hidup dari kemarin-kemarin. Sepertinya Taehyun senang semenjak Yeonjun berada di sini. Bocah itu sengaja berjalan memutari ranjang Yeonjun menuju jendela, lalu menarik gorden hingga cahanya matahari menembus masuk. Kamar ini terlalu suram katanya, dia mulai bicara panjang tentang cahaya matahari yang baik untuk kesehatan juga untuk pertumbuhan tanaman yang memenuhi taman rumah sakit dan pembicaraannya tidak pernah tidak merambat kemana-mana. Yeonjun tidak terlalu ambil pusing, lagipula dia juga tidak begitu menyimak ucapan anak itu.
"Orang yang semalam itu tidak datang kan hari ini?" Taehyun duduk di pinggir ranjang setelah mencuri setangkai bunga tulip segar dari vas di atas meja. Dia ingat seorang suster membawakannya kemarin sore dengan secarik kertas yang bertuliskan Cepat sembuh anakku, terselip di kertas pembungkus. Kertas itu lalu dilempar ke tempat sampah oleh Yeonjun.
Yeonjun bilang ia tidak yakin kalau kata-kata itu ditulis oleh ayahnya sendiri. Meskipun begitu Taehyun menemukan Yeonjun sama sekali tidak menolak bunga itu, dia kelihatan menyukainya.
"Entahlah, mau dia datang atau tidak, aku tidak peduli.
"Ada baiknya jika dia tidak datang. Sejujurnya aku sedikit tidak menyukainya. Tampan sih tampan, tapi cara bicaranya sangat tidak enak didengar."
Yeonjun terkekeh ringan mendengar penuturan polos Taehyun. Ia semakin menarik kakinya yang menekuk ke dalam rengkuhan sepasang lengannya yang kurus. "Dia sudah memberimu es krim gratis dan kau masih bisa membicarakannya di belakang? Bocah tidak tahu malu."
"Itu hanya es krim." Protes Taehyun tidak terima. Ia hendak mencari alasan lain untuk melawan tetapi Yeonjun lebih dulu berujar.
"Dan dia sudah memberimu lima cup dalam empat hari."
Lima cup dalam kurun waktu empat hari mereka saling kenal memang kedengarannya sedikit tidak tahu malu. Dari awal Taehyun tidak pernah meminta orang itu untuk memberikannya, jadi siapa yang bersalah? Jika hari ini orang itu datang dan tidak membawakannya es krim, Taehyun tidak akan marah. Hanya saja pemuda itu sendiri yang bilang akan selalu memberinya es krim sewaktu Taehyun mendapatkan cup es krim ke tiga yang coba ia tolak halus. Taehyun tidak mungkin menghalangi seseorang untuk menepati janjinya.
Taehyun memperhatikan Yeonjun yang kembali melamun. Wajah kakak yang satu ini tampak sangat lelah, Taehyun sendiri yakin pikiran pemuda itu yang membuatnya demikian karena seharian ini hal yang dilakukan Yeonjun hanya duduk di atas ranjangnya dan itu tidak mungkin benar-benar menguras energi. Taehyun bergerak mendekat, mencari-cari atensi dari sepasang mata rubah itu.
"Memangnya kau menyukainya?"
Yeonjun mendengus lalu balik menatap sembari mencebik. "Apa aku terlihat menyukainya?"
Seringai bocah itu timbul begitu saja, tebakannya memang tidak pernah meleset. "Wajahmu masam setiap orang itu datang."
Tidak banyak yang bisa Taehyun lakukan selagi Yeonjun kembali tenggelam dalam lamunanya yang panjang. Tiap kali ia memulai topik, Yeonjun hanya akan meresponnya dengan anggukan kepala atau yang paling mending berupa gumaman. Pada akhirnya Taehyun berhenti bertutur kata sebab rasanya sama saja ketika sedang bicara dengan tembok batu. Taehyun lebih memilih mengupas apel di meja untuk di makan sendiri karena Yeonjun menolak mentah-mentah ketika ia menawarkannya.
"Dokter bilang aku bisa pulang dalam waktu dekat." Suara apel yang digigit terdengar jelas di ruangan yang sepi itu. Yeonjun menoleh pada sumber suara, kepalanya ia letakan di atas dua lututnya yang tertekuk.
"Itu bagus. Senang mendengarnya."
Taehyun berkedik tak peduli. "Cepat atau lambat aku pasti akan kembali lagi ke tempat ini. Lagipula aku sudah terbiasa berada di sini. Mau di rumah atau di rumah sakit tidak ada bedanya untukku, atau malah mungkin di sini lebih baik karena bisa berkeliaran, bermain bersama suster, lalu dengan kau juga kadang-kadang."
Pandangan bocah itu berkelana jauh ke luar jendela. Gerak mulutnya yang mengunyah mendadak melabat. Yeonjun tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika ini terjadi. Pengidap bipolar sangat mudah mengalami perubahan suasana hati, Yeonjun takut kalau tiba-tiba bocah ini kumat.
"Memangnya kau tidak ingin kembali sekolah?" Yeonjun berucap random, ia berharap dapat menarik susanan hati anak itu ke jalan yang benar. Beruntung setelahnya Taehyun kembali mengunyah apel dengan lahap.
"Dulu sangat ingin, tapi melihat keadaanku sekarang, aku cukup tahu diri." Ia kembali meraih satu apel di atas meja dan menggigitnya tanpa repot mengupas terlebih dahulu. "Kalau aku punya kesempatan aku ingin bersekolah di tempatmu saja karena seragamnya sangat keren. Aku pasti akan terlihat sangat tampan ketika menggunakannya." Taehyun mengigit apelnya dengan mengebu-gebu.
Yeonjun mengangguk sambil tersenyum, "Kau selalu punya kesempatan."
"Katakan itu pada dirimu sendiri, hyung."
Seketika itu tubuh Yeonjun membatu.
Tiba-tiba Yeonjun merasakan sesuatu yang hangat merambat di sekitar lengan kanannya yang diperban. Itu jemari Taehyun, menepuk beberapa kali sebelum memberi remasan kecil yang menenangkan.
"Apa kau harus selalu melukai dirimu sendiri? Coba pikirkan, masih ada cara lain untuk meringankan bebanmu, tapi kenapa kau malah memilih opsi yang terburuk? Lalu apa itu membuatmu puas? Lihat apa yang terjadi, kau berakhir menyakiti dirimu sendiri. Aku memang masih bocah, tapi tidak ada salahnya mendengarkan kata-kata dari bocah yang sudah banyak melihat pasien ini. Dari pada kau, ada lebih banyak orang yang hidupnya tidak beruntung. Lihat aku! aku bahkan harus mengonsumsi obat seumur hidup."
Yang Taehyun ucapkan Yeonjun benarkan dalam hati. Selama ini ia bukannya tidak tahu kalau hal yang ia lakukan tidak benar. Yeonjun juga ingin berhenti tetapi tiap kali ia mencoba, selalu ada hal yang membuatnya terpaksa kembali melakukan hal yang sama. Taehyung juga bukannya tidak peduli, selama ini lebih dari pada sering dia memperingati Yeonjun, hanya saja mungkin ia juga tidak tahu bagaimana cara untuk membuat Yeonjun benar-benar berhenti. Dulu terkadang Taehyung memberi Yeonjun nasihat dan tentu saja akan selalu didengarkan dan dipatuhi. Sampai tiba saatnya nasihat-nasihat itu menyerang Taehyung balik. Lambat laun Yeonjun tidak mendapati hyung manisnya yang lugu, hyungnya mulai berubah. Jiwa pemberontak mulai muncul darinya, tapi dengan itu justru hyungnya tampak lebih hidup.
Yeonjun juga ingin seperti itu tetapi dia tidak menemukan jalan, atau mungkin belum, atau memang sejak awal dia tidak memilikinya.
"Aku tidak berdaya."
"Aku tahu, aku merasakannya juga."
Kamar itu kembali dilingkupi sepi. Untuk beberapa saat Taehyun membiarkan hal itu terjadi agar dia bisa melihat apakah Yeonjun menerima dengan baik segala ucapaannya atau ia menolak. Diamnya Yeonjun dianggap sebagai respon positif. Lalu Taehyun kembali berucap, "Jangan berpikir kalau di dunia ini kau hidup seorang diri, masih ada kok yang menyayangimu dan kau tentu saja harus menghargai mereka itu, sebut saja Taehyung hyung, aku, Soobin hyung. Tapi sebelum itu pastikan juga kalau kau menghargai dirimu sendiri."
"Love yourself." Ujarnya final sembari tersenyum teduh. Yeonjun merasa terpesona sesaat pada kurva polos dihadapnya, pun pada setiap tutur kata yang sebelumnya sempat bibir itu lepaskan. Tiba-tiba ia merasa bodoh dan kalah telak. Usia Taehyun lebih muda daripada dirinya tetapi pemikiran anak itu sangat dewasa. Jujur saja Yeonjun merasa sangat malu.
"Tiba-tiba aku jadi teringat seseorang. Apa Soobin hyung tidak tahu kalau kau ada di sini? Dia belum pernah menjengukmu sekalipun."
Sudah barang tentu Soobin tidak tahu. Membiarkan pemuda itu tahu keadaannya sekarang malah akan membuatnya semakin terperosok ke jurang rasa malu. Meskipun penasaran bagaimana respon Soobin ketika ia melihatnya, mungkin wajahnya akan dipenuhi gurat khawatir yang berlebihan, dan sesungguhnya juga dirinya mulai merasakan rindu. Tapi juga ada sedikit rasa kesal yang masih Yeonjun simpan mengingat perpisahan mereka yang terakhir tidak terlalu baik untuknya-tapi tidak untuk Soobin, yang membuatnya harus kembali jatuh ke tangan kotor Wooseok.
"Tampaknya dia orang yang bisa dipercaya dan tentu saja lebih baik dari pada Tuan muda Jung itu" sesaat muncul cebikan lucu, Yeonjun terkekeh melihat itu. "Menurutku jika kau butuh bantuan, meminta tolong pada Soobin hyung bukan pilihan yang buruk. Dari yang selama ini kau ceritakan, kelihatannya juga dia bukan tipe orang yang bisa menolak permintaanmu. Mungkin tipikal laki-laki lembut yang bisa melindungi. Kau sangat membutuhkan orang seperti itu."
"Kau dalam mode cenayang lagi."
Taehyun tertawa nyaring ketika menyadari kebenaran dari ucapan Yeonjun.
Tiba-tiba pintu ruang rawat itu terbuka lebar, pemuda tinggi berdiri di sana dengan senyum lebarnya yang aneh. Ketika melirik Yeonjun di sebelahnya, Taehyun kembali mendapati raut keruh yang selalu sama ketika pemuda itu datang untuk menjenguk.
Bungkusan berisi es krim disodorkan pada Taehyun, ia menerimanya dengan cepat lalu buru-buru beranjak dari tempat itu. Tidak perlu menunggu untuk diucapkan, Taehyun tau pemuda itu pasti akan mengusirnya dengan halus.
"Terima kasih." Pintu tertutup rapat dan Taehyun pun enyah dari pandangan Yeonjun.
"Tebak, ayahmu bilang apa padaku."
Yeonjun tidak mengatakan apa-apa, pandangannya terus berkelit dari tatapan Woseook. Entah mengapa pemuda itu selalu memiliki waktu untuk datang. Sejak awal maksud kedatangan Wooseok tidak untuk menjenguk, itu hanya alasannya untuk bisa kembali mengolok kehidupan menyedihkan Yeonjun dan membuatnya semakin dianggap gila.
"Dia percaya bahwa aku adalah orang yang tepat untuk menjaga anaknya yang lemah. Menyenangkan bukan? Paman sangat pandai menilai orang." Wooseok mendekat, menunduk dan suaranya nyaris seperti bisikan di telinga Yeonjun. "Padahal dia tahu sendiri bahwa aku adalah penyebab tanda tak senonoh di tubuhmu, dan anehnya dia tidak berkomentar banyak, padahal ku pikir aku akan menerima bogemannya. Ku rasa dia malah berpikir untuk segera menikahkan kita." Lalu seisi ruangan dipenuhi dengan tawa kasar pemuda itu
Gigi Yeonjun bergemeletak menahan emosi. Pada akhirnya dia memilih turun dari ranjang, menyusupkan telapak kakinya pada sepasang selop miliknya, "Aku ingin mencari udara segar."
Yeonjun melirik sejenak lewat sudut matanya. Salah satu sudut bibirnya terangkat tipis ketika Wooseok mulai mengekori.
"Tentu, aku akan mengantarmu."
Sepanjang perjalanan Woseook terus berceloteh sedangkan Yeonjun tetap diam tak bersuara. Keduanya berakhir pada atap rumah sakit. Tempat yang cukup tidak wajar untuk didatangi seorang pasien tetapi Wooseok tetap memuji Yeonjun bahwa tepat yang dipilihnya cukup bagus.
Tempat itu cukup luas dan kosong, hanya ada beberapa tumpuk kayu bekas di sudut. Angin yang berhembus lumayan kuat, sedangkan pemandangan dari atas lumayan enak untuk dipandang mata, jika ini malam hari pasti akan tampak lebih mengesankan.
Wooseok terdiam di pinggir pembatas dengan kedua tangan menumpu, helai jelaganya melambai terhempas angin, nilai ketampanan pemuda itu jadi bertambah berkali-kali lipat, sayangnya di mata Yeonjun pemuda itu sudah lama dicap buruk sebab ulahnya sendiri. Sewaktu Wooseok kian terlena dalam kegiatannya, Yeonjun diam-diam beranjak menuju sudut untuk meraih sebuah balok kayu.
Degup jantung Yeonjun mulai tak menentu, tangannya mulai gemetar ketika jemarinya kini telah menggenggam balok. Ia tahu ini salah, sangat salah, tetapi apapun resiko yang muncul nanti Yeonjun sudah berjanji dan menyanggupi akan menanggungnya seorang diri, bahkan jika ia harus mendekam di jeruji besi, Yeonjun tidak akan menyesal. Memang ini yang seharusnya ia lakukan sejak dulu, membayar nyawa atas nyawa.
Tremor ditangan kian menjadi-jadi, biarpun begitu langkah kakinya kian mantap mengikis jarak. Balok di tangannya sudah terangkat tinggi. Satu langkah lagi maka semuanya akan selesai. Ia meneguk ludah susah payah dan mulai memejamkan mata.
Aku tidak akan menyesal... Aku tidak akan menyesal.
"Kau ingin membunuhku? Mn?"
Yeonjun membelalak, kayu ditangannya jatuh dengan suara keras di sebelah kakinya. Ia gemetar ketakutan ketika Wooseok meraih kerah pakaiannya dan mendorong ke pinggir pembatas.
"Sudah selama ini Yeonjun..." ia semakin mendorong sampai hampir setengah tubuh Yeonjun melawati pembatas. Di sela suara tercekik, Wooseok tertawa hambar sembari mencengkram kian kuat, "Betapa bodohnya. Baik, lihat apakah kau masih bisa menggiringku ke kematian setelah ini? Orang gila!"
"Bajingan!"
Yeonjun terlempar ke sisi lain, terbatuk kering dan mencoba meraih udara sebanyak yang ia bisa. Pandangannya mulai mengabur karena air mata. Samar-samar matanya menangkap bayangan seseorang menjulang di hadapannya.
Itu Soobin.
"Siapa yang kau sebut gila?" Soobin menggeram marah, lalu mulai memukuli Wooseok.
Satu tendangan telak Soobin terima di perutnya, ia sempat merintih sebelum kembali menyerang lebih brutal. Yeonjun tidak bisa membiarkan Soobin terlibat dalam masalahnya dan dia juga tidak perlu terluka untuk melindunginya.
"Berhenti."
Wooseok terjatuh, Soobin mengambil kesempatan itu untuk duduk di atas perutnya dan terus-terusan melayangkan bogem. Sampai akhirnya dia puas, ia menendang tulang kering Wooseok sebagai penutup lalu beranjak menuju Yeonjun yang masih syok.
Di dalam kamar rawat Yeonjun, keduanya saling terdiam mengamati penampilan masing-masing. Yeonjun yang pertama kali buka suara karena tidak tahan walau ada secuil rasa ragu sebelumnya.
"Apa sakit?"
Soobin mendongak, menabrakan sepasang maniknya dengan milik Yeonjun. Tak ada jawaban yang disuarakan, yang ia lakukan hanya terus menatap. Yeonjun tidak tau kalau bahkan di balik tatapan itu, tersimpan lebih banyak tanda tanya dari yang ia punya.
"Sejak kapan kau ada di sana?"
Soobin masih tak menjawab.
"Apa kau melihat semuanya?"
"Mn..."
Yeonjun mendesah, Soobin menjawab hanya berupa gumam. Itu bagus, tapi tidak membuat Yeonjun puas.
"Kita obati dulu--"
"Ada apa dengan tanganmu?"
Yeonjun tidak jadi beranjak, ia melihat Soobin tengah terpaku pada perban ditangannya, "Aku tidak sengaja menyayatnya..." Ia memaksakan sebuah senyum "...sedikit dalam."
Manik kembar itu perpindah seolah mencoba melubangi mata Yeonjun dengan laser tak kasat mata. "Jangan melakukannya lagi." Tegas Soobin. Ini pertama kali Yeonjun melihat wajah serius Soobin membuatnya tak bisa membantah.
"Tentu." Yeonjun kembali duduk di atas ranjang berhadapan dengan Soobin, "Bagaimana kau bisa ada di sana tadi?"
"Aku diam-diam mengikuti kalian. Sejak awal aku sudah menaruh curiga pada Wooseok, apalagi aku tidak pernah melihatmu senang ketika bersama dengannya, itu membuatku semakin yakin kalau dia bukan orang yang baik. Lihat apa yang terjadi? Dugaanku benar."
Soobin mendengus, sedikit tertawa hambar di akhir. Ia sudah melihat banyak yang tidak beres dari gelagat Wooseok. Mengapa ia selalu meragukan dirinya sendiri? Apabila dari awal ia berani mengambil langkah dan mencari tahu lebih banyak tentang orang itu pasti Yeonjun tidak akan masuk dalam situasi semacam ini. Soobin benar-benar jengkel pada dirinya sendiri, apalagi ketika ia mengingat telah membantu Wooseok sialan itu untuk membuat kejutan yang ia sangka Yeonjun akan suka. Nyatanya Soobin sendiri yang mengantar Yeonjun pada gerbang neraka.
"Tapi tadi itu jelas-jelas aku yang mulai." Yang awalnya mencari masalah memang Yeonjun, kalau ia tidak melakukan itu Wooseok juga tidak akan balas menyakitinya. Tapi Yeonjun tidak akan merasa bersalah pada kejadian itu.
Tadinya Yeonjun kira Soobin akan mulai menganggapnya gila seperti yang dilakukan keluarganya. Di luar dugaan, Soobin malah tersenyum dan meraih puncak kepalanya, lalu mengacak helai rambutnya hingga berantakan.
"Aku tahu. Kau pasti punya alasan untuk itu. Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakannya, tapi jika kau ingin menceritakannya maka aku pasti akan dengarkan."
Yeonjun tertawa kecil dan semakin menikmati gerakan tangan besar Soobin di kepalanya. "Kau benar. Aku akan memberi tahumu kalau waktunya tiba."
"Kami dijodohkan."
Soobin meringis pelan saat Yeonjun menyentuh luka kecil di sudut bibirnya. Dilihat-lihat Soobin memang unggul tadi dalam perkelahiannya dengan Wooseok, luka yang ia dapatkan juga sebatas lecet kecil di telapak tangan dan sekitar tulang pipi. Pemuda itu menolak mentah-mentah ketika Yeonjun akan menyeretnya untuk berobat.
"Aku sudah tahu."
Yeonjun sedikit terkejut mendengarnya, tapi ia tak lantas bertanya dari mana Soobin tahu tentang hal itu.
"Bagaimana keadaanmu, Yeonjun?"
"Aku baik-baik saja. Hanya perlu menjalani pemantauan jadi harus tetap tinggal disini."
"Pemantauan?"
Yeonjun mengangguk pelan, "Seperti yang sudah kau dengar, mereka menganggapku gila."
Giliran Soobin untuk menggeleng, "Kau tidak seperti itu." Yeonjun hanya kembali tersenyum dan itu sukses membuat dada Soobin mendadak sesak. Ia tidak pernah menyangka keadaan anak itu bisa seburuk ini.
"Taehyung hyung..." Jeda sejenak, Soobin tidak tahu harus mengatakannya atau tidak, tapi akhirnya dia memilih tetap mengatakannya. "Ku dengar dia pergi. Jadi apa itu alasannya kau melakukan..."
"Tidak, itu keinginanku untuk melukai diri sendiri, kakakku tidak ada sangkut pautnya. Sudah seperti ini tapi aku masih saja membawanya dalam masalah, jelas-jelas dia tidak ada di rumah saat itu terjadi tapi kenapa orang-orang selalu menyalahkannya?" Nada bicara Yeonjun mulai meninggi dan penuh tekanan, Soobin tau dia telah menyinggung perasaan Yeonjun.
"Bukan itu maksudku."
Sedetik ketika Soobin bersuara, Yeonjun terkesiap menyadari hal yang baru saja ia lakukan. Tidak seharunya ia marah dan Soobin tidak pantas ia marahi. Bodoh!
"Pulanglah, Soobin, ini sudah hampir malam."
Soobin awalnya enggan untuk menurut, ia bertahan beberapa menit di ruangan itu bersama Yeonjun hingga dering ponselnya memaksa ia untuk pergi dengan berat hati.
Jam yang tertera di layar ponsel Yeonjun sudah menunjukan pukul satu malam, hal menjengkelkannya adalah ia tidak jua berhasil masuk ke alam mimpi. Ada banyak hal yang menggangu pikirannya malam ini sampai-sampai ketika dirinya baru terpejam semua itu muncul bagaikan mimpi dan ia harus membuka mata lagi.
Tampaknya dia orang yang bisa dipercaya...
Kata-kata Taehyun terus terngiang dalam otak Yeonjun.
Menurutku jika kau butuh bantuan, meminta tolong pada Soobin hyung bukan pilihan yang buruk.
Apa benar tidak masalah? Bagaimana kalau ia malah menyeret Soobin dalam masalah besar?
Pada akhirnya Yeonjun meraih ponselnya di atas meja, mengetik sesuatu dengan cepat sebelum ia kembali merasa ragu.
'Lusa aku akan pergi. Apa kau mau ikut denganku? Aku memohon.'
'Kemana?'
-Soobin.
'Jepang.'
.
.
.
Tbc.
Kira-kira apa yang Yeonjun cari di Jepang?
Tidak ada yang tahuuuu... hwhwww~~
Target awal yang katanya ga lebih dari 10 chap sepertinya tidak bisa terealisasi mnnnn...
Votemment jusseyeo~~~ ^_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top