7. Tidak Ada Harapan
Pagi itu tidak ada hal istimewa yang terjadi, tapi entah mengapa senyum di wajah Beomgyu tak pernah luntur barang sedetik. Soobin memperhatikan lewat sudut matanya. Bahkan pemuda berambut karamel itu jauh terlihat lebih ramah pada siapa saja.
"Kau terus-terusan memandangiku seperti itu. Ada apa? Baru tahu kalau aku tampan." Beomgyu tersenyum lebih cerah lagi ketika mengatakannya. Hampir membuat Soobin memicing kesilauan.
"Tidak. Hanya penasaran mengapa pagi ini ada dua matahari?"
Tawa Beomgyu mengudara tanpa bisa dibendung, seisi kelas memperhatikannya dengan raut bingung, ada pula yang terkekeh geli melihat pola tingkahnya yang cukup manis dari biasanya.
Yeonjun menarik kursi yang hendak ia duduki. Melirik sebentar pada sepasang lelaki yang kini jadi pusat perhatian. Sepertinya hari ini mood Beomgyu sedang bagus, dan Soobin juga baik-baik saja.
Apa yang Yeonjun harapkan? Soobin menyambutnya? Mengucapkan salam lalu bertanya apa kabar? Menggelikan, kenapa belakangan dirinya jadi seperti gadis puber begini.
"Yeonjun, kapan kau datang?"
Ia tak lantas menjawab, melirikpun enggan. "Hari yang baik untuk jadi anak yang baik. Maka aku akan tidur dari sekarang." Lalu ia mulai memposisikan diri menuju alam mimpi.
Lagi-lagi anak itu bertingkah aneh, Soobin tak paham situasi apa yang kerap kali ia alami setelah kepindahannya ke sekolah ini. Ada kalanya Soobin mendapati Yeonjun menjadi anak yang baik, sedangkan Beomgyu akan mengerutkan dahi sepanjang hari. Ada pula saatnya ia menemukan Beomgyu layaknya bola energi yang bersinar-sinar penuh semangat, sedangkan Yeonjun seperti tanaman yang nyaris mati.
Terkadang Soobin berpikir mungkin beginilah dulu pertemanan mereka berakhir sebab keduanya tidak punya kecocokan sedikitpun. Mereka seperti dua sisi timbangan yang tidak pernah seimbang.
Jadi apakah Soobin harus berada di tengah keduanya untuk menjaga setiap sisi yang akan jatuh?
Soobin meringis, sudah seperti ini ia bahkan bisa-bisanya berpikir jadi pahlawan.
Meski begitu Soobin tidak bisa selamanya tutup mata dan pura-pura bodoh.
.
.
.
Entah habis tersambar petir di mana sehingga Woojin bisa dengan entengnya melipat kedua sisi lengan kemeja sekolahnya, lalu berlari kecil menghampiri Yeonjun yang sibuk dengan alat pel dan ember di sudut koridor. Biasanya, dia akan sengaja menghentak-hentakan sepatunya yang kotor, sengaja membuat noda dimana-mana lalu dengan tidak berperasaan akan duduk sambil menyalakan sebatang rokok dan mendadak jadi bak seorang komite kedisiplinan.
Kali ini dia bahkan berjinjit ketika melewati bagian yang sudah Yeonjun pel bersih. Mengesankan sekali, padahal Yeonjun sudah siap siaga dengan gagang pelnya jika kaki busuk pemuda itu meninggalkan jejak kebusukannya.
"Sini biar ku bantu."
Yeonjun menganga tak habis pikir ketika Woojin merampas alat pel dari tangannya, ia bahkan hampir lupa menutup mulutnya kembali kalau Woojin tidak memperingati.
"Kali ini apa lagi? Aku curiga setelah ini kau akan menyiram minyak ke lantai lalu memfitnahku."
Gerakan maju mundurnya ketika mengepel berhenti. Woojin pura-pura mengelap keringat padahal ia belum lama memulai kegiatannya.
"Apa kau akan tetap diam di sana dan membiarkanku bekerja sendirian? Aku bisa buat laporan kalau kau mengintimidasiku untuk mengerjakan semua hukumanmu."
Yeonjun tak lagi berkata-kata setelahnya walau ada keinginan untuk adu mulut, tapi ia memilih pergi ke toilet untuk mengambil alat pel lain.
Dari sudut matanya Woojin dapat lihat ketika Yeonjun meraih ember berisi air di dekatnya, lalu berlalu begitu saja.
"Ya! Choi Yeonjun! Di sini belum bersih, kau mau pergi kemana?"
Tak ada sahutan, Yeonjun sepenuhnya mengabaikan Woojin.
Woojin mendecak sebal, mengangkat alat pel untuk ditaruh di pundak kirinya sebelum bergegas mengejar langkah Yeonjun. Ketika ia nyaris berhasil menyamakan langkah, Yeonjun berujar dengan nada dingin.
"Jangan ikut campur. Kalau kau ingin melawan Wooseok, jangan bersekutu denganku."
Woojin tak lagi mengejar Yeonjun. Dia mendengus gusar sambil melempar alat pel ditangannya.
"Bocah sialan!"
Apa kau akan diam saja seperti dulu?
.
.
.
Mobil hitam mengilap itu melaju perlahan menuju kemacetan sebelum menghilang. Ada perasaan tak mengenakkan dibenak Soobin ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sewaktu Yeonjun masuk ke dalam mobil dengan wajah tak bersahabat, lalu senyum setengah dari orang yang membukakan dan menutup pintu untuk Yeonjun terasa agak janggal. Mereka mungkin akan pergi berkencan hari ini, melepas rindu setelah berpisah berbulan-bulan, itu hal yang bagus.
Namun Soobin jelas tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Meski sebelumnya dia berucap pada Beomgyu yang sama-sama menyaksikan kepergian Yeonjun tadi bahwa sepasang kekasih itu pasti akan bersenang-senang hari ini, perasaannya tak serta merta senang sebagaimana senyum yang menyertai ucapan Soobin. Ia sedikit merasa tak rela, mungkin? Hari ini Yeonjun tidak bicara banyak padanya, mungkin saja itu penyebabnya.
Tidak seharusnya Soobin bersikap egois. Biarkan sajalah, biarkan Yeonjun pergi dengan kekasihnya, lagipula Soobin masih memiliki Beomgyu untuk diajak main ke rumahnya. Hari ini Eommanya menyiapkan makan malam lebih dan meminta Beomgyu untuk datang.
"Beom..."
Soobin tak menyelesaikan ucapannya. Ia menyerinyit ketika mendapati Woojin berdiri di kejauhan, menatap pada tempatnya berada atau Beomgyu dengan wajah sengit.
"Dia sedang menatapku apa kau?"
Beomgyu terkesiap, ia buru-buru memutus tatapan dengan Woojin dan meraih lengan Soobin untuk diseret.
"Jangan hiraukan."
Benar, tidak perlu dihiraukan karena Soobin tidak seharusnya terlibat pada hubungan rumit mereka.
.
.
.
Kemeja sekolah Yeonjun merosot pelan dari bahunya. Ia menatapi refleksi dirinya pada cermin, mengamati bekas-bekas keunguan yang tertinggal disekitar leher dan tulang selangka. Ia menarik lebih jauh, melepaskan kain itu dari tubuhnya. Diluar sana hujan mulai turun, ia berharap gemuruh petir segera menyambar menenggelamkan suara penuh tekanan di luar sana dan suara benda-benda yang sengaja dijatuhkan. Yeonjun berharap hujan kian melebat, tapi yang terjadi adalah langit masih betah mengoloknya dengan rinainya yang lambat.
Pandangan Yeonjun menangkap lebam dipergelangan kanannya. Ia bahkan tak menyadari hal itu, sewaktu Wooseok mencengkram seperti hendak meremukan tulangnya, ia bahkan tak merasakan sakit.
Tanganya yang lain bergerak mengelus lebam keunguan dipergelangannya, beberapa saat kemudian ia mulai menekan, semakin kuat ketika ia tak menemukan sakit yang ia harapkan. Jarinya mulai menyusuri bagian lain, bekas luka menonjol yang hampir sembuh. Ia menggaruk disana, pelan saja tapi penuh tekanan, seolah gatal yang ia rasakan tidak akan menghilang begitu saja, hingga sedikit demi sedikit luka itu kembali terbuka.
Hujan berhenti dan menyisakan sepi. Sepertinya apa yang terjadi di luar sana juga telah berakhir. Yeonjun menyibak selimutnya dengan terburu, meraih hoodie yang tergeletak di atas karpet lalu menggunakannya dengan cepat.
Pintu kamar di sebelah miliknya terbuka lebar. Ketika Yeonjun sampai di sana tubuhnya hampir ditabrak seseorang.
"Hyung? mau pergi ke mana malam-malam?"
Manik Taehyung bergulir menghindari tatapan adiknya. Ia menarik tali ranselnya yang melembung penuh sebelum berjalan melewati Yeonjun.
"Hyung."
Ketika Yeonjun menarik ujung jaket Taehyung, tangannya ditepis kuat. Keduanya sama-sama terkejut, tapi Taehyung dengan segera mengganti keterkejutannya dengan wajah dingin.
"Sejak awal tempatku bukan di sini. Sia-sia aku bertahan lebih lama."
"Kau bilang akan mencari ayahmu." Yeonjun menyergah, "Kita sudah berjanji akan mencarinya bersama."
"Kau tidak ada hubungannya dengan ini semua. Cukup diam dan jadilah anak yang baik."
Taehyung tersenyum simpul tapi Yeonjun mengerti kalau itu dipaksakan. Ia tak mencoba menahannya lagi. Kakaknya sudah pergi.
Apa lagi yang bisa Yeonjun harapkan?
... Tidak ada.
"Hyung, aku ingin tidur di kamarmu..."
.
.
.
TBC.
Aaa.. akhem, lapak ini sedikit berdebu. :")
Chap ini pendek aja ya, yang penting update supaya kelihatan masih hidup. Hehehee~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top