6. Dia Kembali
Pagi itu, setelah suara bel masuk kelas berbunyi nyaring di sepanjang koridor, Soobin kembali tidak mendapati keberadaan Yeonjun di tempatnya. Kali ini benar-benar tidak meninggalkan tanda-tanda. Tidak ada yang tahu kemana bocah itu menghilang atau alasan tentang absennya hari ini. Aneh sekali, padahal kemarin sore sampai pukul sembilan malam dirinya dan Yeonjun masih bersama, dan Soobin yakin sembilan puluh lima persen kalau demam anak itu sudah enyah. Lima persen sisanya itu untuk kemungkinan buruk, siapa tahu anak itu kambuh, atau masih ada sisa pusing, atau keluhan lain khas orang sakit.
Beomgyu entah kenapa hari ini rada sensitif. Apalagi ketika Soobin bertanya perihal Yeonjun. Beomgyu cepat-cepat membalas dengan nada judes, Tidak tahu, memang aku ibunya? Tanya saja pada Taehyung Sunbae kata Beomgyu dan dia setelahnya menyibukkan diri pada setumpuk buku paket yang ia bawa. Sepenuhnya abai pada eksistensi Soobin di sebelahnya.
Soobin membenarkan ucapan Beomgyu. Setelah bergelung dengan rumus matematika selama kurang dari dua jam, melawan rasa ngantuk dan tidak sabar, Soobin lantas melengos tanpa pamit sebelum guru sejarah sampai di kelas. Tujuannya adalah kelas Taehyung, ia ingin bertanya tentang Yeonjun, kasihan anak itu kalau harus di beri alpa pada daftar hadir. Seharusnya itu adalah tugas pengurus kelas tetapi sepertinya satupun tidak ada yang peduli.
Beruntung ketika dirinya sampai masih belum ada guru yang mengajar di kelas Taehyung. Ia membuka pintu secara perlahan, melongok di sela pintu lalu seketika hening melanda. Soobin membeku, seisi kelas menegang untuk beberapa detik dan mendesah keras kemudian, beberapa orang menyorakinya.
"Sialan! Ku kira kau si Bapak Botak." Taehyung datang menghampiri sambil tertawa lepas. Soobin baru menyadari situasi lantas menggaruk canggung tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
"Aku datang untuk bertanya tentang Yeonjun, hyung. Kenapa hari ini dia tidak sekolah?"
Bola mata seniornya itu membulat, kedua alisnya terangkat tinggi sekali. "Yeonjun tidak sekolah?" Taehyung balik bertanya, dibalas Soobin dengan anggukan.
Taehyung melipat dua tangan di depan dada, maniknya bergerak ke kanan, "Tadi pagi dia memakai seragamnya, kok."
"Loh, jadi dia membolos?"
"Sudah coba dihubungi?"
"Sudah berkali-kali tapi tidak ada yang diangkat."
"Yeonjun itu jarang sekali melihat ponselnya dan ponselnya memang selalu dalam di silent."
"Jangan khawatir, paling anak itu sedang main game. Biasanya dia makan siang di mini market dekat perpustakaan kecil bergaya klasik, kau pasti tahu tempatnya. Setelah itu baca komik, pergi nonton dan terakhir nongkrong di halte dekat rumah sakit atau malah di dalam rumah sakitnya."
Soobin mendengarkan dengan seksama, dalam hati mengulang nama-nama tempat yang Taehyung sebutkan, mencoba mengingat bagaimana rupa-rupa tempat tersebut. Semuanya tempat yang saling berdekatan dan hampir seluruhnya sudah pernah ia kunjungi atau sekadar lewati. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa rumah sakit juga termasuk destinasi Yeonjun? Apa yang seru dan membuatnya menarik untuk dikunjungi?
Benar-benar orang yang aneh
"Cari saja, pasti ketemu. Rute perjalanannya hanya itu-itu saja, kok. Yeonjun itu buta arah, jadi dia takut kalau pergi ketempat baru."
Soobin meng'iyakan, lantas bergegas menuju kelas setelah berterima kasih dan mengucap salam. Kalau begini ceritanya, nasib Yeonjun pada buku daftar hadir sudah benar-benar tidak bisa ditolong lagi. Tidak mungkin Soobin mengarang cerita untuk membantu orang yang saat ini mungkin sedang tertawa bebas di luar sana. Astaga, kenapa Yeonjun bisa jadi sebengal ini? Memikirkannya membuat Soobin gemas.
Sesampainya di kelas, ia disambut dengan tatapan menghakimi dari Beomgyu yang duduk manis di tempatnya. Soobin yang ditatap merasa heran, apa lagi kesalahan yang ia lakukan sampai harus diperlakukan demikian?
"Habis cari tahu tentang Yeonjun?" Beomgyu menyembur kalimat tanya bahkan ketika langkah Soobin belum benar-benar sampai di tempat duduknya.
Soobin mengedik, meraih kursi yang biasanya ia tempati "Tadi kau sendiri yang menyuruhku bertanya pada Taehyung Sunbae." Mendesah lega ketika bokongnya sudah beristitahat dengan nyaman. Tangannya kini sibuk pada buku-buku yang belum sempat ia rapikan.
"Tidak harus di jam pelajaran, kan. Beruntung masih belum ada guru yang datang." Matanya melirik pada Soobin yang mendengarkan dalam diam, "Lain kali kalau dia tidak datang tanpa ada pemberitahuan dari siapapun, tidak perlu uring-uringan seakan dia sedang diculik orang jahat. Tanpa perlu dijelaskan seisi kelas sudah tahu, Yeonjun pasti sedang asyik main game."
Soobin bungkam untuk beberapa saat. Beomgyu juga sebenarnya tidak terlalu mengharapkan respon dari Soobin, tapi sadar kalau lawan bicaranya tidak kunjung balik menatap atau setidaknya memberi anggukan atau gelengan, seolah abai begitu saja, Beomgyu sedikit dongkol. Padahal awalnya juga Beomgyu sendiri yang abai pada Soobin.
Bukan maksud Soobin untuk tidak mengacuhkan. Ia hanya sibuk dengan pikirannya saat ini, ia pikir Yeonjun ibarat angin lalu di mata orang-orang. Ini mengingatkannya pada ucapan Yeonjun tempo hari,
"Aku tidak mau terlihat lemah di mata siapapun, aku tidak suka dikasihani seolah-olah aku tidak pernah mampu melakukan apa-apa dalam keadaanku sekarang, tapi bukan berarti aku tidak butuh perhatian."
Sebenarnya dari pada dibilang bersenang-senang, Yeonjun itu lebih seperti sedang melarikan diri dan pura-pura terlihat baik-baik saja.
"Tapi bagaimana kalau Yeonjun tidak pergi bermain game?"
"Kalau tidak, berarti dia pergi nonton baseball."
"Tapi--"
Geraman gemas Beomgyu keluarkan, masih untung tidak kelepasan menggebrak meja. Soobin ini sulit sekali menerima penjelasannya, selalu mencoba menyanggah. Memang apa susahnya bilang 'iya' dan duduk tenang sampai bel istirahat berbunyi?
"Kau tahu apa Soobin? Aku mengerti kalian berdua sudah bersahabat sejak masih kecil, tapi kalian juga sudah terpisah cukup lama, bukan? Biar bagaimanapun kau tetap perlu mengenalnya lagi, jangan samakan seperti dulu. Lagipula Yeonjun sudah punya kekasih. Kalau kau terus bertingkah seperti ini, kau bisa membuat salah paham."
Dahi Soobin mengerut, alisnya nyaris menyatu. Apa dirinya tidak salah dengar? "Kekasih? Dia tidak pernah bilang sudah punya kekasih."
Beomgyu mendengus keras, "Kau saja yang tidak tanya." Balasnya ketus
"Jangan coba menipuku." Soobin tertawa hambar, memalingkan wajah dan memilih menyibukan diri pada buku sejarah yang baru diambilnya, "Kalau memang sudah punya, seharusnya aku pernah melihatnya barang sekali."
"Dia baru datang dari Kanada. Mungkin sebentar lagi kau akan tahu."
Percakapan keduanya berhenti sampai sana. Tidak ada yang berinisiatif kembali memulai dan itu tetap berlanjut sampai bel istirahat berbunyi nyaring.
.
.
.
Jarum pendek pada arlojinya kini menujuk pada angka empat. Soobin sedikit menimang, kira-kira di mana Yeonjun berada saat ini? Kalau tebakannya tidak salah, anak itu mungkin sedang nongkrong di halte dekat rumah sakit.
Tidak sengaja Soobin melihat Beomgyu bersama seseorang di koridor kelas. Soobin tidak terlalu peduli, ia beralih lada layar ponselnya yang menampilkan chat Eommanya yang memintanya untuk pulang lebih awal. Ketika ia akan beranjak, seseorang menepuk bahunya pelan.
"Choi Soobin, ya?"
Soobin mengerjap dua kali. Orang yang tadi bicara dengan Beomgyu ternyata.
"Iya. Kau siapa?"
Pemuda itu mengulas senyum ramah sembari mengulurkan tangan kanan yang segera disambut oleh lawan bicaranya.
"Perkenalkan aku Jung Wooseok. Ku dengar kau teman dekatnya Yeonjun."
"Iya, benar."
Raut wajah orang itu berubah kikuk, salah satu telunjuknya ia gunakan untuk menggaruk pelipisnya,"Begini, maaf sebelumnya karena aku mungkin akan merepotkanmu. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin kau membantuku membuat kejutan kecil untuk Yeonjun." Nada bicaranya biasa saja tapi wajah orang itu seperti tengah memelas.
Soobin mengerinyit. Tiba-tiba membuat kejutan? Soobin yakin tidak ada sesuatu yang spesial hari ini.
"Kejutan? Dia tidak sedang berulang tahun, kan."
Wooseok tertawa renyah, dua tangannya mengibas selaras dengan gelengan kepala, "Tentu saja tidak, lagipula kenapa harus menunggu ulang tahun untuk membuat kejutan."
"Kami sudah lama tidak bertemu. Aku ingin Yeonjun terkejut melihatku, bahkan kalau bisa sampai menangis." Imbuh Wooseok sambil masih tertawa.
Soobin mengangguk sebagai respon. Pemuda ini masih begitu asing di matanya.
"Kalau boleh tahu, kau ini siapanya Yeonjun?" Pada akhirnya Soobin memberanikan diri bertanya dengan sopan.
Tawa renyah khas itu kembali diperdengarkan, wajahnya malu-malu sebelum menjawab, "Aku ini jodohnya Yeonjun."
Oh, jadi ini kekasih Yeonjun.
.
.
.
Pemuda dengan pakaian biru khas rumah sakit itu tercengir lebar ketika sepasang manik karamelnya menemukan sosok yang beberapa hari belakangan ia tunggu-tunggu kedatangannya. Ketika objek pandangannya hampir sampai di halte tempatnya bersantai, ia sengaja membuang pandangan ke arah lain. Pura-pura tidak tahu ada yang datang.
"Bukan langit dan bumi, tapi matahari dan bulan."
Yeonjun melempar pandangan ganjil pada bocah bermata besar di depannya, "Apa?"
"Kau dan dia." Kang Taehyun membalas tidak jelas yang langsung dihadiahi tatapan bingung dari Yeonjun.
Taehyun memasang wajah sok serius, mata besarnya memicing sampai segaris, dua tangan dilipat di depan dada, "Siapa yang akhir-akhir ini membuatmu jarang kemari utuk mendumal?" Ucapnya, Yeonjun langsung menyembur tawa setelah mendengar itu.
"Kau selalu pintar menebak."
Taehyun tak bisa menahan kekehan ketika melihat tawa Yeonjun. Ia menepuk tempat kosong di sisi kanannya dengan gembira. "Sudah pernah ku bilang, aku bisa meramal." Kepala Taehyun langsung menerima satu toyoran sayang tetapi bukannya protes, ia malah makin puas tertawa.
"Kalau begitu seharusnya kau tahu siapa orang itu." Yeonjun mengambil tempat duduk di sebelah Taehyun, bersandar dengan kedua tangan yang diluruskan untuk menopang tubuhnya di belakang.
"Tentu saja dia orang yang spesial." Balas Taehyun, ia kembali tercengir ketika melirik Yeonjun yang terpejam disebelahnya. Taehyun tahu pemuda itu bukan sedang mencoba tidur, sesantai-santainya Yeonjun, pikiran pemuda itu sebenarnya selalu runyam dan tidak berujung.
Pekikan pelan dari mulut Taehyun berhasil menarik Yeonjun dari alam pikirannya. Saat matanya terbuka ia melihat Taehyun tengah sibuk merogoh saku celana rumah sakitnya. "Lihat aku punya mainan baru." Sebuah kotak kayu kecil Taehyun tunjukan tepat di depan wajah Yeonjun. Bocah itu lantas menepuk kotaknya dua kali dan menimangnya kemudian.
Yeonjun tidak sekalipun melepas atensinya pada mainan baru Taehyun. Ia coba memastikan terlebih dulu benda apa yang sebenarnya Taehyun bawa. Pada akhirnya Yeonjun menyadari kalau kotak itu benar-benar kotak kartu tarot.
"Di mana kau dapat benda itu?"
"Nenekku membawakannya ke rumah sakit. Dia bilang suatu saat aku bisa mendapat uang dari permainan ini. Nah, silahkan pilih kartu pertamamu. Aku akan mulai meramalamu dari urusan asmara. Jika dilihat sekilas sebenarnya jelas kau bukan orang yang mudah jatuh hati, tapi mari kita lihat secara lebih rinci."
Yeonjun memicing curiga ketika Taehyun mulai mengeluarkan kartu-kartunya, "Kau tidak akan memaksaku memberikan uang setelah ini 'kan?"
Taehyun mengangkat satu jari telunjuknya di depan wajah, lalu di gerakan ke kiri dan kanan, "Kau pasien pertamaku, ini gratis."
Sesungguhnya Yeonjun tidak yakin apakah bocah bermata besar itu benar-benar bisa meramalanya atau tidak. Namun ia tetap saja mengikuti permainan Taehyun. Anggap saja sedang menyenangkan hati seorang adik. Yeonjun menurut ketika Taehyun memintanya memilih tiga kartu, ia memilih dengan sembarangan. Semua gambar pada kartu di tangannya tidak ada yang bagus menurutnya, aneh, Yeonjun tidak mengerti.
Ketika Yeonjun mendongak karena Taehyun tak kunjung memberi perintah, ia mendapati bocah itu tengah ternganga dengan mata tertuju ke arah belakangnya. Sebelum sempat menoleh ke arah yang sama, Taehyun keburu buka suara, "Halo kakak tinggi yang tampan. Kau pasti mencari pemuda menyedihkan di depanku ini."
Yeonjun mendelik sebal, "Apanya yang menyedihkan?"
Soobin sampai di belakang Yeonjun, ia terkekeh ringan "Ya, benar. Apa aku sudah boleh membawanya sekarang?"
Buru-buru Taehyun mendorong Yeonjun, tampangnya tanpa dosa padahal Yeonjun nyaris terjungkal dari tempatnya kalau saja Soobin tidak sigap menahan tubuhnya dari belakang. Walaupun lebih kecil dan bertubuh kurus, kekuatan Taehyun tidak boleh disepelekan.
"Oh, tentu. Dari awal dia memang milikmu. Silahkan." Mata Taehyun berkedip cepat, memberi kode pada Yeonjun tapi yang dikirimi kode tidak serta-merta paham. Jangan salahkan Yeonjun, kesalahan murni ada pada pihak Taehyun karena daripada orang yang berusaha mengkode, dirinya lebih tampak seperti orang yang sedang kelilipan.
Yeonjun geram, ingin menggunakan kepalan tangan untuk menjitak jidat mulus di balik poni mahoni yang lebih muda, tapi urung dilakukan karena biar bagaimanapun Soobin harus melihatnya sebagai orang yang baik luar dalam. Pencitraan lah intinya. Akhirnya ia hanya dapat mengelus dada sembari memaku tatapan tajam ke arah Taehyun yang tercengir lebar.
"Bisa kau bicara yang normal-normal saja?"
Bocah itu mengedik santai, "Apa yang salah? Aku memang begini kalau bicara." Elak Taehyun.
Sadar urusan akan panjang dan tidak ingin makin tenggelam dalam perdebatan mengingat dirinya mudah sekali terpancing untuk adu mulut, Yeonjun lantas memutuskan untuk segera bangkit, mengacak tiga kartu terpilih yang sudah Taehyun urutkan di atas bangku halte lalu meraih lengan Soobin untuk diseretnya sambil mencebik.
Awalnya bocah enam belas tahun itu tertawa geli melihat kelakuan Yeonjun, hanya beberapa saat karena ia sontak terkesiap ketika melihat tiga kartu milik Yeonjun, teringat kalau kartu itu belum sempat dia baca.
"Yaaa!!! Yeonjun hyung, kartumu belum ku baca."
Yang dipanggil sengaja menulikan telinga, membuat Taehyun mendengus gusar dan berserapah. Sudah baik ku beri gratis, besok-besok kalu dia minta ku ramal, biar mau merajuk sampai guling-guling di tanah pun akan tetap ku kenakan tarif paling mahal begitu monolog Taehyun. Tiga kartu milik Yeonjun yang tergeletak bisu di atas bangku itu menarik perhatiannya kemudian, dua kartu sudah dengan posisi dibalik sehingga dirinya dapat melihat dua gambar yang berbeda. Sedangkan satu kartu lagi terpental agak jauh.
Taehyun memicing, dahinya berkerut samar, pelan-pelan meraih ke tiga kartu tersebut kedalam jemari kurusnya.
Nenek pernah bilang kalau Taehyun menuruni bakat yang dimiliki dirinya. Taehyun pandai bermain sulap, jago memainkan trik-trik sulit dan mampu meramal dengan tepat. Taehyun selalu senang jika dipuji tentang keahliannya. Namun entah hari ini ia ingin gagal, Taehyun ingin mengatakan kalau mungkin kali ini dia salah.
"Kenapa begini?"
...
Sore itu, di sepanjang jalan Yeonjun bergelayut manja pada lengan kokoh Soobin, bercerita banyak hal tentang perjalanannya hari ini sedangkan Soobin dengan senang hati menjadi pendengar yang baik. Seperti biasa, Soobin tidak pernah keberatan ketika Yeonjun berceloteh panjang padanya, dan hari ini kalau masih banyak waktu yang tersisa untuk keduanya, Soobin ingin lebih lama mendengar suara Yeonjun.
Ingatan itu datang tiba-tiba, perihal perkataan Beomgyu tadi pagi membuat Soobin melirik pada Yeonjun lewat sudut matanya. Yeonjun masih betah mengaitkan lengannya pada milik Soobin, ini tampak tidak baik untuk dipandang mengingat Yeonjun sudah memiliki seseorang yang spesial tapi Soobin sendiri merasa tidak enak hati untuk meminta dilepaskan. Ia tak tega mengganggu eksistensi kurva yang terulas pada wajah rupawan pemuda Choi yang satu itu.
"Kau terus tersenyum." Soobin memulai topik. Ia menggerakan lengannya supaya Yeonjun bisa mengaitkan lengannya dengan lebih nyaman.
Yeonjun terkekeh, "Senang karena kau bisa menemukanku." Balasnya dengan cengiran lucu. Sebentar ia lengah pada pijakannya dan nyaris terjatuh kalau tangannya tidak cukup kuat berpegangan pada Soobin. Batu sialan! Umpatnya dalam hati berlawanan dengan wajahnya yang berusaha dibuat tetap cerah.
"Tenang, karena ada Soobin maka aku akan baik-baik saja." Sela Yeonjun cepat sebelum Soobin sempat bertanya tentang keadaannya. Raut khawatir yang Soobin buat di wajahnya, Yeonjun pikir itu sangat berlebihan.
Setelah Soobin berdecak dramatis dan sedikit berdebat tentang keadaan kaki Yeonjun, mereka kembali melanjutkan perjalanan.
"Ku kira kau masih sakit tapi tampaknya kau cukup bersenang-senang hari ini."
"Ya, kalau bukan karena kau yang mengajakku jalan-jalan kemarin, mungkin aku masih akan tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Jalan-jalan selalu membuatku merasa lebih baik."
"Seharusnya kalau ingin bolos, bilang dulu padaku."
"Memangnya kalau aku bilang, kau mau ikut?" Yeonjun mencebik, kebetulan saat itu Soobin menoleh padanya. Menggemaskan.
"Kalau kau ajak, aku tidak akan menolak."
Yeonjun menggeleng, melepas lengan Soobin lalu berkacak pinggang sambil masil terus berjalan, "Kau anak baik, tidak boleh sering membolos. Jangan meniruku!" Ia merubah pose, kali ini tangannya dilipat di depan dada,"Kalau aku sih, memang tidak ada yang peduli, jadi bebas-bebas saja."
"Siapa bilang? Aku peduli padamu, Taehyungie hyung juga."
Yeonjun tak serta merta membalas, memilih membuang muka. "Bahkan masih bisa dihitung dengan jari pada satu tangan." Gerutunya diam-diam.
Ada sebuah kursi dibawah pohon dekat sebuah toko roti, Soobin tahu ini saatnya untuk berhenti. Pandangannya mengedar untuk mendapati sebuah mobil hitam yang sempat ia lihat sepulang sekolah, terparkir tak jauh dari tempatnya kini berada.
Tanpa banyak bicara, Soobin meraih kedua sisi bahu Yeonjun hingga berhasil membuat pemiliknya terkesiap. Ia menekan bahu Yeonjun pelan sampai terduduk pada sebuah bangku dipinggir jalan.
"Kau tunggu sebentar di sini."
"Mau kemana?"
"Membeli minum."
"Aku ikut..." Yeonjun bangkit tapi secepat kilat Soobin membuatnya duduk kembali.
"Diam dan tunggu saja. Aku tahu kakimu masih sakit, jalanmu saja rada pincang begitu."
Dengan berat hati Soobin mengambil langkah menjauh, membiarkan Yeonjun menatap punggungnya dengan mulut mencebik. Oh astaga, Soobin sempat berpikir apakah ia harus kembali untuk mengucapkan sampai jumpa? Tapi kalau begitu, ini tidak akan jadi kejutan.
Lima menit sudah terhitung lamanya ia duduk terbengong seperti orang dungu. Yeonjun tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Si bodoh Soobin itu seharusnya tidak perlu belanja jauh-jauh dan meninggalkannya seorang diri disini, paling tidak biarkan saja dirinya ikut tadi. Persetan, ingatkan Yeonjun untuk mengigit lengan pemuda itu nanti.
Hela napasnya sengaja dibuat keras ketika sepasang tangan yang terasa dingin melingkupi kedua matanya. Yeonjun tak banyak bereaksi, hanya sekadar bicara dengan nada sarkas supaya matanya cepat dibebaskan.
"Apa-apaan ini. Cepat turunkan tanganmu, Soobin! Aku tidak bisa lihat."
Tidak ada perubahan yang berarti, tangan itu masih setia ditempatnya. Lantas tiba-tiba Yeonjun merasakan udara hangat pada telinga kanannya. Jelas itu adalah embus napas. Aroma Oceanic menguar kuat dari tubuh seseorang dibelakangnya. Itu bukan aroma Soobin.
"Bukankah bagus kalau begitu? Aku bahkan sudah lama tidak bisa melihat hal baik pada dunia ini."
Tubuh Yeonjun menegang. Sontak ia menepis sepasang tangan itu dan menarik diri sejauh yang ia bisa. Namun sayangnya tangan pemuda itu terlanjur meraihnya lebih dulu.
"Lama tidak bertemu, Yeonjun."
Pemuda itu menarik senyum lebar tapi tak memberi kesan hangat sama sekali. Dingin. Nada bicaranya, tatapan matanya yang tajam, bahkan sentuhan kulitnya ketika ia mulai merengkuh Yeonjun, menenggelamkannya dalam sebuah pelukan yang membuatnya tak bisa lagi berkutik. Sesak. Yeonjun mendapati dirinya sendiri membeku. Entah karena keterkejutan, atau rasa takut yang berlebihan.
"Kau... kenapa ada di sini?"
Tawa ringan itu dilepas begitu saja, "Kejutan." Pemuda itu mendekatkan bibirnya pada telinga Yeonjun."Kau terkejut melihatku masih hidup?"
"Terima kasih sudah membunuhku sekali, sayang. Sekarang giliranku." Pemuda itu mengeratkan pelukannya, bukan untuk memberi kehangatan, melainkan selayaknya tengah meremukan seekor mangsa.
"Kau sudah gila." Yeonjun mulai tersadar. Ia memberontak untuk melarikan diri tetapi orang itu bahkan tidak terpengaruh sama sekali. Yeonjun tidak bisa menemukan celah, ia kalah kuat.
"Kau yang membuatku jadi seperti ini, Yeonjun."
Yeonjun akhirnya bisa sedikit bernapas lega ketika pemuda itu akhirnya menjauhkan diri.
"Lihat bagaimana aku akan menghancurkanmu secara perlahan."
Rahang Yeonjun mengeras, suara gemeletuk giginya yang saling menekan bahkan terdengar oleh pemuda dihadapannya. Namun hal itu justru yang sebenarnya pemuda itu inginkan.
...
"Nah! ini dia si bintang kita sore hari ini." Eomma menyambut cepat ketika mendapati Soobin berdiri didepan pintu. Ia buru-buru membawa anaknya masuk dan tidak sengaja membanting pintu saking semangatnya.
"Eomma ini apa-apaan sih? Kekanakan sekali." Komentar Soobin, tampangnya agak ngeri melihat bagaimana sang ibu yang bertingkah berlebihan seperti baru saja menyambut kedatangan anaknya dari luar negeri.
"Kita kedatangan tamu hari ini, Bin-ah. Kau ingat teman ibu yang dulu sering datang membawa bunga dan biskuit manis kesukaanmu?"
"Bibi Yoona?"
Ibunya bertepuk tangan senang dan menyempatkan diri menjawil hidung Soobin sebelum berucap, "Benar sekali. Kemarin Eomma bertemu dengan anaknya di toko bunga. Astaga, dia anak yang manis sekali. Kau pasti akan senang melihatnya. Dan hari ini dia datang untuk makan malam yang spesial."
Soobin pasrah dengan membiarkan sang ibu menggiringnya menuju meja makan. Ada seseorang yang sedang telaten menata buah di sana. Mata Soobin membulat tak percaya ketika orang itu berbalik dan tersenyum ke arahnya.
"Choi Beomgyu?"
Beomgyu tertawa manis dan itu menular pada Soobin.
"Loh? Kalian sudah saling kenal?" Ibu Soobin melihat keduanya dengan bingung.
Beomgyu mengangguk sambil tersenyum ramah, "Kami sekelas di sekolah, Bi." Balasnya.
Soobin mempersilahkan Beomgyu untuk masuk ke dalam kamarnya. Ia lantas membanting tubuh ke atas ranjangnya yang empuk. Tidak menghiraukan omelan Beomgyu tentang seragamnya yang belum diganti dan sepatunya yang bahkan belum sempat dilepas.
"Ku tebak kau sudah tahu dari awal kalau ibuku adalah ibuku." Soobin melirik pada Beomgyu yang duduk di kursi meja belajar sambil melihat-lihat beberapa koleksi komik miliknya.
"Serius, aku baru tahu hari ini ketika aku masuk ke rumahmu dan melihat pigura besar di ruang tamu. Tapi aku sengaja tidak memberi tahu ibumu. Lihat ekspresinya tadi? Ibumu sangat lucu."
"Eomma memang terkadang suka sangat berlebihan." Soobin terkekeh pelan mengingat beberapa tingkah ajaib ibunya sembari menatap langit-langit kamar berhias stiker bintang yang bisa menyala dalam gelap. Itu kekanakan sebenarnya, tapi Soobin tidak peduli, karena ia selalu menyukai bintang.
Yeonjun juga menyukai bintang. Anak itu menyukai segala yang berhubungan dengan langit.
"Eum Gyu, tentang Wooseok..."
"Kau sudah bertemu dengannya?" Beomgyu menyela cepat. Dari bagaimana Beomgyu bereaksi, Soobin pikir dia seperti agak terkejut ketika nama Wooseok ia sebut.
"Tadi dia meminta bantuanku untuk memberi kejutan pada Yeonjun."
Beomgyu memutar kursinya menghadap Soobin yang telentang di ranjang.
"Kejutan apa?"
"Bukan hal yang besar." Tangan Soobin mengibas, ia lantas bangkit dan mulai melepas sepatunya, "Hanya membuat mereka bertemu satu sama lain."
"Yeonjun pasti senang."
Soobin berkedik tak acuh, "Sepertinya. Kau tahu sudah berapa lama mereka pacaran?"
"Mungkin tiga atau dua tahun. Mereka dijodohkan."
"Dijodohkan?"
Alih-alih menjawab, Beomgyu kembali memutar kursi ke arah meja belajar lalu meraih satu komik yang tergeletak di ujung meja.
Dijodohkan katanya? Kenapa istilah kolot ini muncul dalam hidup Yeonjun? Melihat bagaimana kehidupan anak itu sekarang, Soobin rasa Yeonjun tidak akan muda menerima perjodohan.
"Apa mereka benar-benar saling mencintai?"
"Kau sudah lihat sendiri 'kan?"
Soobin kembali menjatuhkan diri pada ranjang, "Mereka pasangan yang serasi."
...
Wooseok menghentikan mobil mewahnya tepat didepan rumah Yeonjun. Mengalihkan atensi pada Yeonjun yang sudah siap menarik diri dari jerat sabuk pengaman, "Hari ini aku mengantarmu dengan selamat." Senyumnya ditarik tipis, tipis sekali. "Tapi tidak tahu besok."
"Tidak ada kata besok." Ketus Yeonjun, hampir saja membuka pintu kalau tangan Wooseok tidak menahannya.
"Besok ku jemput."
"Tidak perlu."
"Oh iya, tentang Soobin... menurutmu bagaimana?"
Yeonjun mendelik tak suka, tatapannya seolah berbicara jangan sentuh dia! rahangnya mengeras dan ia berusaha menarik lengannya yang dicengkeram kuat.
"Jangan pasang wajah begitu. Tenang saja, aku tidak tertarik untuk memainkannya. Setidaknya saat ini aku belum ingin."
Wooseok melepas Yeonjun begitu saja. Tersenyum manis dan melambai pada Yeonjun yang keluar mobil dengan membanting pintu.
"Berengsek!"
.
.
.
TBC.
An.. annyeong..👐
Sudah lama terbengkalai, akhirnya tersentuh lagi watty ku zheyeng...
Dan aku uda janji sma babygray_ buat updt kalo txt menang Roty di MMA.. btw aku tu gemes banget liat interaksi TXT sma BTS tadi malem haadooohhh huhuhuuu T_T /nangispelangi
Wahai pembaca sekalian, yang berbaik hati menyimpan book ini di perpus, yang dengan sabar nungguin sampe lumutan /plak/ terima kasih yang hanya dapat saya ucapkan. Tolong jangan di hapus dari perpus karna kelamaan up... kasian soalnya /hadeh/
Yah.. jadi begini rasanya jadi mahasiswa gais.. Nugas mele... ngalong mele.. :") ga tau DKV bakal semenantang ini..yalord. jadi tolong permaklumannya :")
Oo iya.. pas bagian Taehyun ngeramal pake tarot itu, sebenrnya aku ga tau pasti cara ngeramal pake tarot kayak gimana tapi tetep aja kukuh masukin adegan itu :")
Buat yang sudah mampir.. Terima kasih banyak dan itu bintang dipojok silahkan dipencet, diinjek, ditonjok, pokoknya diapain aja deh sampe warnanya berubah orange.. hehe aku suka bintang, soobin juga, yeonjun juga, kamu juga? Iya? Wahh /plak/
Aku bakal balik lagi.. tunggu ya .. see you.. 👐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top