5. Mimpi buruk
"Taehyung mana?"
Pertanyaannya tak serta merta terjawab. Para pelayan menunduk dalam, diam-diam saling lempar tatap dan sama-sama tidak ada yang mau membeberkan alasan tentang satu lagi tuan muda yang belum menampakan batang hidungnya di rumah besar itu sejak sore berganti malam.
Yeonjun sengaja melambatkan langkah di tengah anak tangga, berharap dalam hati agar Taehyung tidak lagi bertindak konyol dengan kabur dan membiarkan dirinya pergi hanya berdua dengan sang Ibu. karena rasanya sangat aneh harus pergi bersama ibunya; canggung, tidak tahu harus bagaimana dan ia benci nada-nada dingin yang wanita itu lontarkan. Padahal seharusnya Yeonjun sudah terbiasa akan hal tersebut, lagipula Ibunya itu memang punya watak yang sedikit banyak sangat kaku.
Akan tetapi Yeonjun cukup mengerti kenapa Taehyung tak pernah sudi hadir dalam acara formal yang melibatkan kolega bisnis Ayah dan Ibunya. Marga Choi yang kini tersemat di namanya tidak membantu apapun sebab dia sama sekali tidak ada hubungan darah pada keluarga besar Choi. Orang-orang terlalu banyak mengurusi hidup mereka, selalu memanfaatkan cacat kecil keluarganya untuk menjatuhkan. Taehyung mungkin lelah terus-terusan dijadikan kambing hitam.
Ini dia alasan kenapa Taehyung tak pernah memperkenalkan dirinya menggunakan marga Choi, meski secara hukum namaya sudah lama diganti.
Selama perjalanan tidak ada yang buka suara. Atmosfer kaku pun tak terelakan, begitu tidak nyaman tapi terus bertahan dan enggan terusik. Yeonjun menunggu Ibunya bicara sebab dirinya tak kunjung menemukan topik yang tepat untuk memulai. Hanya saja barangkali Nyonya besar Choi juga sama kasus dengan si bungsu.
Di sepanjang pesta, Yeonjun mengekor di belakang Ibunya. Mengulas senyum seolah semua baik-baik saja. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah menjadi putra bungsu keluarga Choi yang baik, si pewaris yang garis takdirnya sudah dibentuk sedemikian apik.
.
.
.
Awalanya Soobin hanya ingin melepas penat dengan pergi jalan-jalan lalu mampir dan membeli minuman secara diam-diam. Sebentar meninggalkan buku tugas dan catatan yang masih kosong melompong di atas meja belajar dan radio yang sengaja diputar dengan volume kencang dalam kamarnya.
Isi kepalanya kacau, tragedi membolos tadi berseliweran lancang dalam otaknya, benar-benar mengganggu dan berakibat pada aktivitasnya sejak pulang sekolah. Kemampuan berpikir rasionalnya hilang secara tiba-tiba, konsentrasinya buyar. Bayangkan saja, buah mangga yang ia kupas dengan sepenuh hati untuk dinikmati daging buahnya malah harus berakhir dalam tempat sampah karena kesalahannya menuangkan piring yang seharusnya berisi kulit, bukannya daging mangga ke dalam tempat sampah.
Eomma melihat kejadian konyol itu, tertawa keras sekali dan mengadu pada Appa. Anak mereka sedang jatuh cinta, katanya. Tentu saja itu hanya candaan, tetapi entah malah membuat Soobin tersinggung lalu berakhir jadi tembok dingin (kalau tidak mau dikatakan ngambek) ketika diajak bicara.
Selama ia mendekam seorang diri dalam kamar, bayangan Yeonjun makin berbuat onar, memporak-porandakan isi kepalanya dan berakhir dengan blank yang berkepanjangan. Ia sungguh tak ingin larut, tak ingin membuang waktunya yang berharga karena satu masalah yang mungkin atau tidak sudah selesai sejak Yeonjun meminta untuk melupakannya. Hanya saja, ketika ia mengingat lagi bagaimana seulas senyum kontradiksi dengan binar mata Yeonjun yang meredup kala itu, Soobin lantas menyalahkan segalanya pada diri sendiri.
Yeonjun menyukai dirinya, itu haknya. Dan Soobin juga punya hak menolak pengakuan Yeonjun tersebut. Tapi tetap saja Soobin merasa bahwa dirinyalah yang paling bersalah di sini, walau ada saat di mana dia akan menggiring lagi pikirannya ke arah positif, merapal dalam hati bahwa tidak ada yang salah, semua wajar dan akan baik-baik saja. Akan tetapi opini itu tidak pernah bertahan lama.
Kemudian jadilah dirinya yang berakhir uring-uringan di sepanjang trotoar jalan yang remang.
Dan sialnya lagi mesti bertemu dengan Si Biang Kerok ketika hendak mengambil minuman di lemari pendingin, satu meja berdua di luar minimarket karena meja yang lain sudah terisi sepasang muda mudi dan kelompok gadis pecinta musik di meja yang satunya lagi. Meski ada meja lain di dalam minimarket, keduanya sama-sama enggan untuk kembali masuk. Hanya seorang pecundang yang melakukan itu.
Tidak ada pilihan lain. Soobin harus menghabiskan satu kaleng birnya sebelum pulang dan Woojin dengan tampilan super necisnya (kemeja putih dengan satu kancing atas terbuka dan setelan jas navy senada dengan bawahan yang ia kenakan, itu lumayan keren ngomong-ngomong) tidak berniat pergi dari tempat nongkrong ini.
"Kau tampak seperti anak yang baik dari luar, tipikal murid teladan yang anti menyimpang..," kepalanya menggeleng pelan dengan decak yang dibuat sedemikan dramatis. Lantas Woojin melanjutakan, "aku cukup terkejut melihatmu minum. Ku tebak kau kabur dari rumah."
Bibir kaleng kembali menyentuh belah bibir Soobin. Raut wajahnya tak terbaca tapi jelas tidak ambil pusing kata-kata orang di seberang meja. Mendesis pelan manakala sengatan kecil mulai menyapa lidah sebelum melintasi tenggorokan, "Kau cukup memperhatikanku ternyata." Suara 'tak' terdengar pelan, hasil dari pantat kaleng yang beradu dengan permukaan meja yang mendingin.
Salah satu sudut bibir Woojin tertarik lugas, mengulas sebuah seringai tertuju pada Soobin yang masih enggan balik melempar atensi. Woojin menangkap sorot mata Soobin begitu samar, kosong, tetapi ada saat-saat kalut melintas sepintas.
"Ya, aku sangat memperhatikanmu. Jadi ku peringatkan dari sekarang supaya kau berhati-hati padaku." Satu batang rokok dikeluarkan dari kotak bungkus lantas diselipkannya benda itu di antara belah bibir, meraih pemantik logam mahal miliknya dalam saku satunya lagi lalu ia mulai dengan benda silinder putihnya yang pertama malam ini. Asap putih keluar bersamaan dengan desah ringannya. Selang beberapa sekon kemudian, ia menambahkan, "Kau ini lumayan membuatku terkejut berkali-kali." Dahi Soobin mengerut dalam membuat Woojin hampir tertawa melihatnya.
"Nyaris ketahuan membayar pihak sekolah untuk dapat masuk kelas elit, lalu kabur dan berusaha bersikap baik di lingkungan barumu supaya tidak ada yang curiga. Wah! Cerdik juga kau ini. Entah mengapa aku merasa iba." Penuh nada sindir, kerling mata merendahkan hingga ditutup dengan kekehan puas ketika respon yang ia harapkan muncul.
Soobin kehilangan kontrol pada ekspresi wajahnya untuk beberapa detik awal. Cukup terkejut dan bertanya-tanya bagaimana pemuda Park yang sebenarnya belum pernah melewati masa kenalan secara resmi dengannya, bahkan pertemuan mereka yang tentu tidak bisa dikatakan baik, bisa tahu satu rahasia yang katanya sudah ditutup rapat-rapat.
Tapi Soobin tidak benar-benar menganggap celotehan Woojin sebagai masalah. Ia sudah mengantisipasi sedari awal. Cepat atau lambat skandalnya bakal terendus. Hanya saja sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa orang pertama yang akan mengetahuinya adalah seorang bedebah bernama Park Woojin.
"Ku pikir aku ini menyedihkan, tetapi nyatanya kau bahkan jauh lebih menyedihkan dari pada yang ku kira. Aku pernah dengar tidak ada orang yang tahu ketika ibumu melahirkan. Kau sendiri pernah berpikir tidak kalau dirimu tidak begitu mirip dengan orang tuamu? Jadi sebenarnya bukan tidak mungkin kalau kau ini bukan anak kandung di keluargamu dan hal itu juga sebenarnya sudah lama jadi perbincangan di kalangan kolega bisnis orang tuamu, dan itu termasuk Ayah ku. Shhh.. apa kau dibeli untuk membantu mereka mendapatkan harta warisan? Kalau benar demikian, aku merasa sangat kasihan padamu."
Efeknya seperti pukulan ringan yang mematikan, telak menyentuh dasar hati, menimbulkan tanya dan keraguan yang tiba-tiba tumbuh begitu pesat. Omongan Woojin tidak sepatutnya ia dengarkan, tidak pula perlu ia ambil pusing sebab Soobin sendiri paham, anak itu hanya tengah memancing emosinya lalu bakal tertawa senang ketika berhasil.
Kini Soobin hanya perlu tenang supaya Woojin tidak merasa menang.
"Kau terlalu banyak bicara." Soobin kembali meneguk bir yang tersisa, "Aku tidak akan tanya dari mana kau tahu masalah itu. Tapi, ya, siapa yang akan percaya padamu? Tidak perlu repot-repot menguntitku, hidupku terlalu membosankan untuk dilihat. Kau mau mengancamku dengan itu? Lakukan saja. Aku juga bisa melakukan hal yang sama kalau aku mau. " Bahu berkedik tak acuh, sorot matanya kini menantang balik, "Tapi sepertinya tidak perlu karena semua keburukanmu sudah sangat jelas. Berbuat baikpun, tetap saja dicap buruk. Aku busuk dan kau sama busuknya denganku. Kita seri."
"Aku tidak peduli jika orang-orang akan mengetahui fakta itu. Malah akan lebih baik kalau mereka tahu lebih cepat, karena berbohong untuk sesuatu yang sudah jelas itu sangat melelahkan." Jeda sejenak ketika ia kembali meneguk isi kaleng birnya yang hampir tandas.
"Jujur saja aku kagum pada bagaimana kau menjalani hidupmu," ekor mata Soobin melirik sejenak pada Woojin yang tampak mengerutkan kening. Soobin tahu, anak itu menunggu untuk kalimat-kalimat selanjutnya. "Bebas melakukan apapun yang kau inginkan tanpa peduli pada pandangan orang. Setidaknya jiwa mudamu tidak banyak dikekang. Itu bagus." Selang sedetik kemudian, manik keduanya kembali bertabrakan, yang satu tersirat keseriusan, yang satunya lagi bingung setelah secuil keterkejutan yang tidak bertahan lama, hilang bersama tawa hambar yang mengudara, entah untuk apa atau untuk siapa. Woojin hanya merasa konyol.
Woojin sekali lagi terkekeh pelan, sejenak meninggalkan batang rokoknya pada pinggiran meja sebelum beralih pada kaleng bir yang hanya beberapa kali tersentuh.
"Kau mabuk." Woojin berujar setelah beberapa teguk bir ditelan.
Soobin menggeleng.
"Kau hanya belum tahu rasanya disebut sebagai ular berbisa." Satu tarikan napas panjang lantas dibuang cepat. Jemarinya bermain pada bibir kaleng, bergerak seperti mengorek sesuatu hingga menimbulkan bunyi kaleng bergesekan dengan kuku-kuku yang tumpul. "Padahal aku lebih suka disebutan burung elang, atau serigala, atau anjing terdengar lebih baik."
"Tapi masih lebih baik dari pada sampah." Balas Soobin.
Woojin tak merespon setelah itu, lalu muncul hening di antara keduanya.
Isi kaleng bir milik Soobin sudah lama tandas. Meski dirinya masih di bawah umur tetapi kadar toleransi terhadap alkoholnya lumayan. Kadang ia bisa menghabiskan tiga kaleng bir tanpa terlalu merasa pusing. Mungkin nanti setelah menginjak umur legal, ia akan coba menghabiskan beberapa botol.
Hanya saja, hari ini mungkin jadi pengecualian. Kepalanya belum terasa pening, belum ada panas yang menjalar sampai membuat telinganya memerah, tapi tampaknya ia mulai berhalusinasi. Pikir Soobin, mungkin isi kepalanya yang runyam jadi penyebabnya.
Jadi selama imajinasinya tentang sosok Yeonjun yang melangkah lunglai melewatinya tanpa menoleh, masuk ke dalam minimarket dan menghilang di antara rak-rak dagangan, Soobin hanya berkedip-kedip dan menggeleng beberapa kali yang barangkali bisa membuat otaknya sedikit lurus kembali. Hingga pada akhirnya Woojin berkata,
"Sedang apa cecunguk itu di sini?"
Sontak saja Soobin tertegun.
Keduanya sama-sama menanti momen di mana Yeonjun muncul dari balik pintu minimarket. Namun yang ditunggu tak jua menampakan batang hidungnya sampai bermenit-menit lamanya. Woojin tak sabaran, ia beranjak untuk menyusul dan Soobin tentu tak mau kalah. Mereka berebut masuk, saling dorong dan melempar protes. Sepenuhnya mengabaikan mata-mata yang memandang ganjil tingkah keduanya.
Di sisi lain minimarket, Yeonjun bergegas menuju meja yang langsung berhadapan dengan dinding kaca, menarik satu kursi dengan terburu dan segera melahap suapan pertama mi panas setelah bokongnya mendarat pas di atas permukaan rata kursi. Tersedak kemudian tepat setelah netranya menangkap sosok-sosok yang mendekat. Matanya membelalak, kedua alisnya naik tinggi sekali, lalu terbatuk hebat sampai matanya berair dan wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
Soobin dengan sigap menepuk-nepuk bahu Yeonjun yang terbatuk keras, sedangkan Woojin buru-buru meraih botol minuman. Soobin mendelik ketika Woojin meraih dagu Yeonjun dan menjejalkan bibir botol ke mulutnya, "Itu pemaksaan." Protesnya.
"Hanya pertolongan pertama. Ini situasi kritis."
Soobin hampir melayangkan protesnya lagi tetapi jadi enggan ketika menyadari tindakan konyol Woojin cukup membantu.
Untuk beberpa waktu yang entah akan berakhir sampai kapan, Yeonjun hanya mampu melahap ramyeonnya dengan perasaan ganjil; antara canggung, malu, dan bingung. Duduk di antara dua orang yang saling melempar tatapan sengit, atau terkedang sama-sama menatapnya seolah tengah mengulitinya hidup-hidup, atau perdebatan-perdebatan kecil tentang kenapa melihatku, apa yang salah dan siapa yang salah, sejujurnya membuat Yeonjun rada muak dan ingin melempar minya ke wajah dua orang yang mengimpitnya itu.
Terlebih lagi keduanya adalah orang yang belakangan ia rencanakan untuk sedikit dijaga jarakan. Mengingat Soobin baru saja menolaknya dan Woojin adalah tukang bully langganannya.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Soobin di sela-sela aktifitas mengunyah Yeonjun.
"Makan mi, tentu saja." Jawab Yeonjun seadanya. Tawa Woojin menyambut kemudian.
Yeonjun tahu bukan itu jawaban yang Soobin inginkan tapi toh kenyataannya ia datang ke minimarket itu untuk makan mi.
"Omong-omong pestanya tidak mungkin selesai pukul segini. Kau pasti kabur, kan? Tumben sekali. Baru tahu rasanya bosan dan ingin segera enyah dari sana?"
Sebelah alis Soobin naik ketika menyadari bahwa dua orang di sebelahnya sama-sama berpakaian formal. Bisa jadi mereka seharusnya hadir pada satu acara yang sama. Jadi tak heran Woojin berkata demikian, seolah bisa menebak dan tidak melesat.
"Soobin, kau minum?" Yeonjun perlahan mendekat ke arah Soobin sembari mengendus-endus. Sekilas ada aroma alkohol yang tertangkap indra penciumannya dan ia sepenuhnya abai pada pemuda Park dengan wajah masam di sisi kananya.
"Nah! Bicara saja terus pada orang yang baru saja menolakmu." Celetuk Woojin.
Keduanya terkejut. Dari mana Woojin tahu hal yang satu itu? Kini wajah Soobin dan Yeonjun dijalari rona merah secara bersamaan.
Yeonjun berdehem kikuk, sekilas netranya melirik Soobin yang diam saja.
"A-aku mau bir." Ucap Yeonjun memecah hening dan langsung disambut dengan penolakan.
"Kalian minum, kenapa aku tidak boleh?"
Yeonjun merajuk tanpa sadar, membuat dua orang lainnya tercekat dalam diam. Astaga, bibir merah alami itu jelas sangat menggoda, pipi mengembungnya apalagi. Yeonjun tolong segera hentikan itu!
Pada akhirnya Woojin bergegas menuju lemari pendingin sebelum akal sehatnya kian tergerus habis. Ia meraih dua kaleng bir dingin untuk Yeonjun dan dirinya sendiri.
"Aku tidak akan bilang terima kasih." Ujar Yeonjun sesaat setelah menerima minumannya.
Dengusan geli kemudian, "Tenang saja, lagipula aku tidak sedang membantumu." Balas Woojin kalem.
Pukul sepuluh lebih lima belas menit kalau Yeonjun tidak salah lihat dari jam di ponselnya. Mereka keluar bersama dari minimarket setelah menghabiskan beberpa kaleng bir dan tiga cup mi instan (Soobin yang pertama tergoda untuk ikut makan mi, lalu Woojin tidak mau kalah. Mereka benar-benar bersaing), dan berakhir pada jalanan remang yang sepi.
Pada persimpangan, langkah ketiganya terhenti. Yeonjun harus mengambil belokan kiri untuk sampai di rumah sedangkan Soobin dan Woojin sama-sama lurus. Ketika hendak berbelok, Yeonjun menyempatkan diri menggumamkan ucapan selamat tinggal, lalu berlalu begitu saja tanpa menatap keduanya yang memandang kepergiannya dengan perasaan khawatir.
Jalan yang Yeonjun ambil sangat sepi dan gelap, tak jauh berbeda sebanarnya dengan jalanan yang akan mereka lewati menuju rumah, hanya saja Yeonjun melatinya seorang diri dan tidak menutup kemungkinan ada preman-preman mabuk yang bersembunyi di balik gang-gang kecil.
Maka keduanya lantas saling melirik, mengirim sinyal awas lewat tatapan mata. Saling menantang, seolah terdapat sambaran listrik imajiner dari mata keduanya. Berakhir ketika Soobin yang pertama memutus tatapan, lantas sedikit berteriak pada Yeonjun di depan sana.
"Yeonjun, mau ku antar?"
Bola matanya berotasi malas, Yeonjun mengangkat tangan tanpa repot-repot menoleh ke belakang, "Tidak perlu." Sahutnya.
"Ku panggilkan taxi?" Giliran Woojin. Sekejap sempat melirik Soobin di sebelahnya.
"Buang-buang uang." Balas Yeonjun. Nada suranya terdengar geram.
"Ya, sudah aku antar."
Yeonjun menggeram gemas, berbalik cepat dan menghentak kaki kemudian. Mempelototi dua pemuda yang tengah berdiri layaknya manusia idiot dengan senyum menjengkelkan yang terpoles di wajah tampan keduanya. Demi Tuhan, Yeonjun tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya, wajar kalau sekarang ia merasa risih.
"Berhenti bicara dan cepat pulang! Atau aku lempar kalian pakai batu--maju selangkah lagi, aku akan lari." Yeonjun memperingati ketika Woojin sudah ambil ancang-aang untuk mendekat. Benar-benar akan kabur kalau pemuda itu tetap kukuh mengambil langkah lagi.
Kekeh geli terdengar kemudian. Si pemuda Park itu sepertinya punya selera humor yang buruk.
"Yang tadi itu ancaman?"
Yeonjun sontak mendelik sedangkan Woojin kian geli dibuatnya.
"Aku mengkhawatirkanmu, Yeonjun. Biarkan aku mengantarmu lalu setelah itu aku akan pulang. Tolong hargai kekhawatiranku."
Hening sejenak. Suara jangkrik dan hewan malam lainnya mengambil alih. Arah pandang Soobin sama sekali tak teralih, terpaku pada sosok Yeonjun di tengah gelapnya malam.
Woojin memperhatikan Soobin, lalu berganti pada Yeonjun yang bahkan tidak membalas. Dalam batin bertanya tentang situasi apa yang sedang terjadi kini? Kenapa ia merasa dapat skor kosong sedangkan Soobin ada satu angka di atasnya?
Satu hal yang secara tidak langsung Woojin pelajari, yaitu cara mengambil hati seseorang dengan bersikap lembut, lewat perkataan atau dengan sorot mata sekalipun. Jujur saja, itu bukan gayanya sekali.
"Pu-pulang sana! sudah malam." Ujar Yeonjun pada akhirnya sebelum beranjak dan abai pada namanya yang disebut berkali-kali.
Tapi persaingan antara dua rival baru itu belum saatnya untuk berakhir.
.
Yeonjun mungkin sedikit menyesali tindakannya. Tawaran Soobin dan Woojin tidak seharusnya ia tolak mentah-mentah. Tadi itu, ia hanya tidak tahu harus bagaimana di antara keduanya dan ingin cepat-cepat enyah. Jadi tak terpikir sedikitpun olehnya bahwa jalanan ketika mendekati tengah malam seperti ini akan terasa begitu mencekam. Dingin, gelap dan entah perasaannya atau memang demikian adanya, sejak ia melewati gang kecil yang lampunya kebetulan mati, seseorang seperti tengah mengawasinya dari jauh.
Sampai pada akhirnya ia tak tahan lagi, buru-buru lari tanpa peduli apapun yang ada di depannya. Jantungnya bertalu-talu dan ia mulai berkeringat dingin. Ia ketakutan setengah mati ketika suara langkah terdengar di belakang. Seseorang tengah mengejarnya saat ini.
Tubuh Yeonjun terhempas ke samping, menabrak sesuatu yang kokoh tapi tidak sekeras tembok. Ia hampir menjerit kalau saja sebuah tangan tidak menahan mulutnya.
Yeonjun berontak sekuat tenaga. Ia tidak rela jika hidupnya harus berakhir malam ini.
"Tenanglah. ini aku, Soobin."
Yeonjun serta merta membeku. Ada secuil perasaan lega dalam benaknya ketika mengetahui bahwa ia tidak benar-benar sendirian. Sontak ia memeluk tubuh kokoh itu, menenggelamkan wajahnya pada dada bidang yang naik turun dengan cepat. Dugup jantung keduanya saling menyahut dan keduanya dapat merasakan itu dengan jelas.
Lantas beberapa saat setelahnya terdengar suara baku hantam. Yeonjun kembali merasa panik, ia merengek meminta Soobin segera membawanya pergi. Soobin merengkuh tubuhnya kian erat, membisikan hal-hal baik tepat di telinga Yeonjun untuk membuatnya tenang tapi setelah ia melakukannya, justru tubuh ringkih dalam dekapannya malah mengalami tremor.
Setakut itukah Yeonjun? Tapi Ini terasa terlalu berlebihan.
Pening mulai menjalar di kepala Yeonjun. Kaki-kakinya seakan tak lagi mampu menopang beban tubuhnya. Jemarinya mencengkram kuat pakaian Soobin sampai buku-buku jarinya memutih. Yeonjun benci situasi seperti ini. Situasi ketika ia tampak begitu lemah dan sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa.
Ini mimpi buruk.
Suara erangan Woojin menggema di sepanjang jalan. Soobin lekas mengintip dari tempatnya dan mendapati Woojin terduduk di trotoar sembari memegangi perut. Sial, situasinya sangat genting.
Matanya bergantian melihat Yeonjun dan Woojin. Mencoba memikirkan pilihan terbaik tentang apa yang harus dilakukan. Beberapa saat lalu sebelum ia dan Woojin menyadari kehadiran orang asing yang tampaknya membahayakan itu, mereka sempat membuat perjanjian,
Woojin yang akan mengatasi orang asing itu, sedangkan ia sendiri harus siaga bersama Yeonjun. Tidak menutup kemungkinan jika ada orang asing lain 'kan.
Kemungkinan ini tidak akan sesuai rencana. Pemuda angkuh itu kini sedang dipukul habisan-habisan. Soobin tidak ada pilihan lain selain turun tangan.
Sebelum beranjak, Soobin berbisik pada Yeonjun untuk tetap tinggal. Ketika ia mulai mengambil langkah menjauh, Soobin sempat kembali memikirkan perkataan Woojin sebelum mereka--tidak, lebih tepatnya Woojin memutuskan menyerang orang yang mengikuti Yeonjun.
"Apapun yang terjadi, jangan pernah tinggalkan anak itu sendiri, terutama dalam situasi seperti ini..,"
"... kau pasti akan tanya kenapa 'kan? Tidak ada cukup waktu untuk menjelaskan sekarang. Suatu saat kalau aku ingin, aku akan ceritakan..."
Satu tendangan telak mendarat tepat pada punggung si orang asing hingga membuatnya jatuh tersungkur di aspal. Selama pria itu meringis karena serangan mendadaknya, Soobin menghampiri Woojin yang terngaga.
Soobin mengulurkan tangan pada Woojin, berniat untuk membantunya bangkit. Namun alih-alih menerimanya, Woojin lebih memilih berdiri sendiri dengan sisa kekuatan yang ia miliki. Mereka memang sedang dalam kerja sama tim saat ini, tapi bukan berarti mereka sudah jadi teman. Tidak semudah itu.
Keduanya hampir akan menyerang orang asing itu lagi kalau saja sirene polisi tidak memecah hening malam. Di ujung jalan, seorang polisi berteriak dengan lampu senter yang menyorot ke arah mereka dan tahu-tahu orang asing itu sudah tak di tempat.
Woojin menggeram tertahan sembari angkat kedua tangan, sepenuhnya menyerahkan diri pada pihak polisi. Matanya sempat bersiribok dengan milik Soobin, lantas ia berkata, "Aku sudah biasa pada hal ini, tapi anak itu..," ia terkejut, bola matanya membulat seketika ketika menyadari Yeonjun tidak ada di tempatnya, "kemana Yeonjun?" Tanyanya pada Soobin yang sama terkejutnya. Ia hendak pergi mengecek tetapi tidak sempat, polisi-polisi itu keburu sampai dan menggiring mereka ke mobil polisi.
.
Langkah kaki saling sahut menyahut di tengah kegelapan, deru napas keduanya sama-sama memburu. Taehyung sesekali menengok Yeonjun di belakang, memastikan keadaannya dan mengeratkan cengkraman pada pergelangan tangan adiknya yang masih gemetar.
"Hyung..." Yeonjun terengah. Taehyung terus membawanya berlari tanpa jeda.
Taehyung sadar mereka sudah cukup jauh berlari. Pada belokan gang kecil ia memutuskan untuk berhenti. Menjatuhkan diri di antara drum-drum minyak yang tidak terpakai, terduduk dengan punggung bersandar pada tembok bersama adiknya yang kesulitan bernapas.
Taehyung melirik jam di pergelangan tangannya. Ia masih perlu menunggu sekitar lima menit lagi sebelum Jungkook datang dengan mobilnya.
"Sedang apa kau malam-malam di luar?"
Yeonjun terbatuk kecil ketika hendak menjawab. "Aku mencarimu!" Ujarnya dengan suara pecah serta mata nyalang.
Taehyung tertegun, sesuatu seperti menghantam dadanya sampai sulit bernapas.
Ini... perasaan bersalah.
Dua tangannya meraih masih-masih bahu Yeonjun, menegakkannya sehingga kini wajah pasi adiknya tampak jelas.
"Lain kali kalau kau pergi, bawa aku bersamamu, hyung." Yeonjun berucap lirih, sorot matanya penuh mohon dan Taehyung dibuat tercekik oleh rasa sesal.
"Aku hanya akan membawamu pada masalah besar. Aku tidak bisa membiarkanmu jatuh di lubang yang sama denganku."
"Persetan!" Sergah Yeonjun. Matanya kembali dinyalangkan, "Sejak awal aku memang sudah terjebak dalam masalah."
Ini bukan pertanda baik, Taehyung harus bisa membuat adiknya tetap tenang sebelum anak itu terlanjur murka dan hilang kendali.
"Tenangkan dulu dirimu--Ya, Tuhan.."
.
.
.
Yeonjun berjalan terseok-seok di sepanjang koridor menuju kelas. Hari ini ia kesiangan, tidak sempat sarapan dan perutnya sangat lapar mengingat semalam hanya satu cup mi instan dan sekaleng bir yang ia cerna.
Sejak ia bangun di kamarnya, kepalanya terasa berat sekali, pada tengkuknya seperti menopang sebongkah batu besar. Sekujur tubuhnya pun terasa lelah.
Di depan pintu kelas ia berpapasan dengan Beomgyu yang berwajah masam. Jarang sekali lelaki AB itu punya mood yang buruk di pagi hari. Tapi masa bodoh, lagipula dirinya tidak dirugikan pula.
Mereka saling melempar tatap. Yeonjun menunggu Beomgyu masuk lebih dulu tapi Beomgyu juga sama. Lalu ketika masing-masing pikir si lawan mempersilahkan masuk lebih dulu, mereka bergerak bersama hingga saling bersenggolan, kemudian saling tatap lagi.
Beomgyu tidak tahan. Ia tidak bisa menahan lebih lama segala unek-unek dalam hati, itu hanya akan membuatnya badmood seharian. Mumpung kali ini sedang bersama dengan orang yang ia ingin limpahkan isi hatinya, jadi ia memilih langsung buka suara.
"Bagaimana rasanya? Senang bisa buat orang-orang tak bersalah berurusan dengan polisi?" Sembur Beomgyu dengan kata-kata. Sesungguhnya malu pada sekitar tapi sudah kadung melakukan, jadi lanjutkan saja.
"Apa maksudmu?"
Beomgyu menghela napas sepelan mungkin, menahan kekesalannya supaya tidak terlalu merusak citra diri.
"Seharusnya kau lebih tau dari siapapun 'kan? Aku juga sebenarnya ingin kau menjelaskan. Kenapa kau memilih kabur dan meninggalkan Soobin dan Woojin dikepung polisi kemarin malam?"
Dahi Yeonjun menyerinyit, belum sepenuhnya mengingat kejadian semalam.
Kenapa Soobin dan Woojin bisa berurusan dengan kepolisian? Apa yang mereka lakukan? Baku hantam yang semalam...
Benar, ia tak tau apa-apa. Ia tak menyaksikan sampai akhir
Yeonjun mengambil langkah berbalik, setengah berlari meninggalkan Beomgyu termangu ditempatnya.
Senyum Soobin mengembang ketika netranya menangkap sosok Yeonjun dari arah berlawanan. Ia melambai dari jauh tetapi anak itu malah menghadiahinya dengan raut wajah tak bersahabat. Ini aneh, ada apa lagi dengan anak itu?
"Yeonjun--" Mengerjap bingung, Soobin tidak jadi bertanya tentang keadaannya ketika tangannya diraih dengan kasar lalu diseret ketempat sepi.
Saat mereka berhenti di antara bangku penonton lapangan basket outdoor, bel masuk kelas berbunyi lantang.
"Ada apa?"
Yeonjun mengigit bibir bawahnya gusar, napasnya rada terengah dan bulir keringat mulai mengihasi wajahnya yang kuyu. Soobin memandangnya bingung plus khawatir.
"Semalam sudah ku suruh kau pulang, mengapa malah mengikutiku dan berkelahi?"
Sejenak Soobin bungkam. Ia setangah dengar ucapan Yeonjun dan sisanya tak dicerna oleh otaknya karen ia sendiri kini sibuk mengamati penampilan Yeonjun.
"Aku... tidak bisa membiarkanmu pergi seorang diri. Aku khawatir dan nyatanya apa yang ku takutkan benar-benar terjadi."
Jawaban Soobin tak serta merta membuatnya merasa puas. Bahkan kini Yeonjun bertingkah lebih parah. Gerak-geriknya begitu tak tenang seolah ia sedang terancam dan begitu ketakutan.
Soobin meraih bahu Yeonjun yang tak tenang. Apa yang sebenarnya membuat Yeonjun sebegini resah?
"Yeonjun, tenanglah. Kau baik-baik saja dan aku juga baik-baik saja."
"Bagaiman jika tidak?" Yeonjin menyergah, "Bagaimana kalau aku kehilanganmu?"
Soobin terdiam selama Yeonjun berucap.
"Lalu..," suaranya melemah, tercekat ketika berusaha melanjutkan, "Mereka akan menyalahkanku. Orang-orang akan menyalahkanku lagi..."
Soobin segera meraih tubuh Yeonjun ke dalam pelukan. Merengkuhnya dengan penuh kelembutan. Yeonjun kini begitu rapuh di matanya, seperti bahkan hembus angin bisa saja membuatnya luluh lantah. Soobin tak sanggup berlama-lama melihat ketakutan yang nyata dari keping hitam Yeonjun. Melihat sahabatnya seperti ini membuat hatinya sakit.
"Tidak ada yang seperti itu." Ujarnya menenangkan, mengeratkan pelukannya ketika Yeonjun memberontak kecil.
"Soobin lepas!" Pinta Yeonjun penuh mohon. Pergerakannya tidak sekuat tadi. Karena Soobin pikir anak itu mulai tenang, jadi ia menjauhkan tubuh Yeonjun tanpa melepas rengkuhannya.
"Kau demam, Yeonjun. "
"Aku... tidak."
Selang beberapa sekon kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah. Soobin hanya sempat menahan bahu Yeonjun sehingga seluruh tubuhnya tidak benar-benar menyentuh tanah. Keadaan di sekitarnya begitu sepi, jam pelajaran sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu.
Derap langkah terdengar dari arah belakang. Soobin tidak peduli jika itu adalah komite kedisiplinan, ia hanya berharap Yeonjun segera dapat pertolongan.
Seorang dengan rambut hitam legam, bermata bulat dengan tas punggung yang tersampir secara sembarang pada bahu kanan, Soobin seratus persen yakin orang itu adalah kakak kelas.
Ah, benar! Dia Jungkook yang kemarin bersama Taehyung. Pemuda itu berjongkok di sebelahnya, memandang khawatir wajah pucat Yeonjun.
"Dia punya trauma pada kejadian seperti semalam. Kau bisa menggendonya? Bawa ke UKS dan aku akan panggil Taehyung." Ujarnya sebelum bergegas pergi.
Kejadian semalam? Bagaimana pemuda itu bisa tahu kalau terjadi sesuatu semalam? Soobin memandang punggung pemuda itu yang sudah menjauh. Ia sedikit menaruh curiga. Jangan-jangan dia adalah orang yang membuntuti Yeonjun semalam.
Tidak ada waktu untuk hal seperti itu, ia membuang jauh-jauh segala prasangkanya. Soobin bisa tanyakan hal tersebut nanti setelah membawa Yeonjun ke UKS.
.
.
.
"Ke-kenapa kau ada di sini?"
Soobin menggaruk pelipis kanannya yang tidak gatal, cengengesan ditempat dengan satu tangan memegang nampan. Bola matanya bergulir pelan, rada sangsi masuk kamar Yeonjun tanpa minta izin pemiliknya terlebih dulu (apalagi tadi ia sempat melihat-lihat). Ia lantas bergegas menaruh nampan berisi bubur dan obat pada nakas dekat ranjang ketika Yeonjun masih tampak bingung, lalu duduk di pinggiran.
"Aku?" Otaknya berputar sebentar, memikirkan dari mana ia akan mulai menjelaskan.
"Kau demam dan pingsan di sekolah. Petugas UKS mengatakan kalau kau butuh istirahat dan Taehyung Hyung bilang akan lebih baik jika kau istirahat di rumah. Selain karena obat-obatmu ada di sini, juga untuk mencegah kau melarikan diri dari penyembuhanmu. Aku tahu kau tidak akan betah lama-lama berada di atas ranjang apalagi kalau itu ranjang UKS yang keras. Kekasih kakakmu yang mengantar kemari dan aku diminta untuk menemanimu karena Taehyung hyung sedang ada tes, sekalian supaya kita makin akrab katanya, padahal kan kita sudah lama bersahabat."
"Oh."
Yeonjun tidak tahu bagaimana untuk merespon. Berada satu ruangan dengan Soobin, apalagi di kamarnya membuat Yeonjun mendadak canggung.
"Memangnya kau tidak apa-apa meninggalkan kelas?"
"Tidak masalah, lagipula aku belum menyelesaikan tugas sejarah."
Yeonjun terkekeh pelan. Wajah pucatnya kali ini tampak lebih hidup.
"Kenapa begitu? Apa karena semalam memikirkanku?" Tanya Yeonjun dengan usil, barangkali bisa memecah situasi canggung yang menjengkelkan ini.
"Iya." Soobin membalas cepat, sedetik kemudian berdehem kikuk, "Tidak-eung, maksudku..." kepalanya kembali digaruk. Ia tidak bisa berbohong di depan Yeonjun, "Ya, begitulah."
Senyum yang sempat terpatri pada wajah pucat itu luntur, terganti dengan kerucut bibir yang lucu. Menggemaskan tetapi ketika sadar betapa pucat wajah Yeonjun kini, Soobin malah lebih merasa perihatin.
"Lupakan saja yang kemarin."
Alih-alih segera membalas, Soobin lebih tertarik meraih semangkuk bubur hangat yang ia bawa, mengaduknya sebentar lalu menyendok satu suapan kecil untuk Yeonjun.
"Melupakan tidak selalu jadi jalan keluar." Jeda sejenak ketika ia meniup pelan sesendok bubur, "itu sama saja dengan kau melarikan diri. Akan lebih baik jika menyelesaikan semuanya sampai tuntas sehingga semua jadi jelas."
Pandangan keduanya saling bertemu. Soobin tersenyum lembut, senyum yang seketika membuat Yeonjun merasa nyaman juga aman. Hanya sebuah simpul kecil yang tulus dan matanya juga berkata sama.
Satu sendok bubur berhasil dilahap dan Soobin tersenyum kian lebar karena itu. Kau harus makan banyak katanya sembari menyiapkan sendok kedua ketika Yeonjun bahkan belum mulai mengunyah.
Yeonjun menelan dengan paksa, tidak ingin lama-lama merasakan rasa hambar bubur. Menolak dengan halus sendok bubur berikutnya yang sudah siap di depan mulut.
"Baiklah, mari buat semuanya jelas."
Yeonjun melihat Soobin hendak buka mulut, ia tahu pemuda itu akan protes. Sebelum hal itu benar-benar terjadi, ia segera melanjutkan,
"Pertama, kata-kataku kemarin jangan terlalu kau ambil pusing. Otakku kadang suka menggila dan mulutku sering berkerja tanpa perintah. Sebenarnya aku hanya ingin kita bersama terus, lalu ide itu tercetus begitu saja. Tapi aku benar menyukaimu, kok. Kau teman terbaik yang pernah ada di hidupku. Sampai sekarang aku masih merasa konyol sendiri, kenapa sampai aku bicara begitu padamu, ya? Bahkan sampai..." wajah Yeonjun bersemu, ia melirik malu-malu pada Soobin yang terlambat menyadari sesuatu. Beberapa sekon selanjutnya, giliran Soobin yang memerah. Oh, Yeonjun membicarakan 'ciuman' itu.
"Aku bahkan tidak tahu apa kau sudah punya kekasih atau belum." Lanjut Yeonjun.
"Aku belum punya."
Kekeh Yeonjun terdengar kemudian. Ringan sekali, "Itu bagus."
"Lalu yang semalam. Maaf, bukan maksudku meninggalkan kalian. Seharusnya aku bisa menjaga diri sendiri. Maaf sudah merepotkan."
"Jangan minta maaf. Kita ini teman, kau tidak berbuat salah dan tidak seharusnya meminta maaf pada orang yang menolongmu. Kau tau kata apa yang lebih pantas?"
Soobin kembali menyodorkan sesondok bubur yang sempat Yeonjun tolak. Kali ini Yeonjun menyambutnya.
"Terima kasih." Ujar Yeonjun dengan senyum tipis.
"Sama-sama dan tolong habiskan makanmu, oke?"
Yeonjun mengangguk sebagai balasan.
"Ku dengar kau tertangkap polisi. Orang tuamu tidak marah?"
Bahu Soobin terangkat kecil. Menyempatkan diri untuk mengusap sisa makanan di sudut bibir Yeonjun dengan ibu jari. "Kecewa tentu saja, tapi mereka tidak sampai mencoretku dari kartu keluarga."
"Bagaimana dengan Woojin?"
Soobin teringat kejadian semalam. Ketika polisi memanggil orang tua mereka, hanya orang tua Soobin yang datang. Sekilas ia sempat mendengar percakapan polisi dengan orang tua Woojin. Polisi bilang tidak ada yang bisa datang menjemput anaknya. Orang tua Woojin hanya menitipkan uang jaminan pada pesuruhnya.
"Orang tuanya tidak datang tapi anak itu baik-baik saja."
"Menurtmu, perlu tidak berterima kasih padanya?"
"Semalam dia lumayan membantu, sih."
"Aku tidak tau dia bisa sebaik ini padaku. Apakah ada udang di balik batu atau dia sedang membuat prank?" Sejenak Yeonjun mendengung, bola matanya bergerak ke atas, tanda sedang berpikir, "Dia tidak suka memberi secara gratis, sepertinya dia akan segera minta bayaran."
Benar juga. Dari cerita anak-anak di kelas, katanya Yeonjun dan Woojin selalu berselisih paham, bahkan ketika mereka berpapasan di jalan saja aura keduanya tidak mengenakan.
Lalu kenapa tiba-tiba Woojin bisa sepeduli itu pada Yeonjun? Apa anak itu mulai mengibarkan bendera perdamaian atau memang itu hanya bagian dari permaian?
Tapi semalam... Soobin bisa melihat ketulusan anak itu.
.
.
.
Suara telapak kaki kecilnya yang telanjang menggema pelan. Bunyinya seperti 'plak-plak-plak' ketika beradu dengan ubin dingin, berakhir ketika langkah kecilnya yang terburu berhenti di ambang anak tangga. Di tengah anak tangga sana, seorang anak berpiama biru tua tengah duduk meringkuk, diam-diam mengintip keributan yang terjadi di ruang tengah dengan isak kecil tertahan.
Yeonjun melangkah hati-hati, turut membawa pandangannya pada ruang tengah yang kacau balau. Guci besar kesayangan Ayahnya pecah, bantal sofa tidak berada di tempat yang semestinya, kertas-kertas kerja berhamburan di lantai dan tas kulit Ibunya yang isinya mengintip kini teronggok bisu dekat pintu. Sangat kacau.
"Sekarang kau menyalahkan segalanya padaku sedangkan jelas-jelas semua ini terjadi karena kau tetap membawa anak itu masuk dalam rumahku."
Seorang pria dengan wajah kusut itu membentak, menuding wajah istrinya dengan mata nyalang.
Yeonjun berjongkok pada satu tingkat di atas anak tangga tempat kakaknya meringkuk. Pelan-pelan meletakan telapak tangan kecilnya pada masing-masing telinga yang lebih tua, "Jangan didengar, hyung..." bisiknya lirih. Kakaknya menangis lagi karena Ayah dan Ibu bertengkar.
"Semua akan baik-baik saja jika kau tidak memulai, sialan! Jika kau ingin menyingkirkan Taehyung, silahkan! Tapi jangan pikir itu akan mudah. Selagi aku masih bernapas, anakku akan mendapatkan segala haknya."
"Demi Tuhan Taeyeon, anakmu bukan hanya Taehyung, Yeonjun masih kecil dan kau--"
"Taehyung juga masih anak-anak. Menyudutkannya hanya karena kesalahan yang bukan benar-benar berasal darinya, apa kau masih punya hati? Kau pikir hanya karena kau memanjakan Yeonjun, kau pantas disebut Ayah yang baik?"
"Kau sudah berlebihan. Tolong pikirkan Yeonjun juga, selama ini ia jarang mendapat perhatian darimu."
"Sedari awal aku ini adalah Ibu yang buruk, Ibu yang gagal untuk melindungi anakku, yang tidak bisa melakukan apa-apa ketika orang-orang secara perlahan meghancurkan anakku. Aku wanita yang gagal membiarkan anakku tumbuh tanpa sosok Ayah."
Taehyung bangkit dengan tergesa, tak menghiraukan adiknya yang kini memandang kepergiannya dengan raut sedih. Ia hanya ingin segera sampai kamar dan menangis dalam selimut.
Yeonjun enggan pergi ke kamarnya, ia lebih memilih kembali memperhatikan dua orang dewasa yang tengah terlibat adu mulut itu. Ia ingin tahu sebenarnya siapa yang benar dan siapa yang salah meski sesungguhnya ia tidak mengerti masalah apa yang tengah mereka ributkan.
"Yeonjun punya kau, punya keluarga besar yang terhormat, yang mengistimewakan kehadirannya di manapun dia berada, dikelilingi kasih sayang dan harta. Lalu bagaimana Taehyung? Anak itu hanya punya Ibu. Dia selalu diperlakukan tidak adil sejak ia lahir. Mereka berdua jelas berbeda, Taehyung selalu harus mengalah dan anak mu itu selalu menempati posisinya setelah orang-orang menginjak-injak harga diri anakku."
Ibunya bicara apa?
Yeonjun melihat wajah Ayahnya yang mengeras untuk pertama kalinya. Ayah tidak pernah seperti itu sebelumnya, Ayahnya tidak pernah marah pada siapapun.
"Kau tidak menganggap Yeonjun sebagai anakmu?"
"Kalian membuatku muak."
Ayahnya tertawa hambar, mendengus keras sebelum berkata, "Baiklah, urus anakmu sendiri dan aku akan urus anakku sendiri." Dia pergi kemudian, menghilang di balik pintu.
Air mata Yeonjun mentes. Ia tak mengerti perasaan apa yang kini menyelimuti hatinya, yang ia tahu hanya rasa sakit yang menyesakan sampai rasanya ingin terus menangis.
Sesak itu kian menjadi-jadi. Asap-asap tipis bermunculan dari belakang tubuhnya, menyebarkan aroma nikotin yang begitu pekat. Udara sekitarnya membeku, tidak ada lagi pencahayaan yang cukup untuk membuatnya melihat, ia tak mendengar apapun. Sepi sekali. Sedangkan asap yang berasal dari belakang tubuhnya kini kian menebal. Yeonjun memejamkan mata kuat-kuat, berharap semua akan enyah ketika ia membuka mata kembali. Kepalanya kini pening setengah mati.
Suara klakson mobil membuatnya berjengit kaget. Ia membuka mata lebar-lebar tepat setelah sebuah mobil melesat dengan kecepatan tinggi tepat di hadapannya, menciptakan hembus angin kuat yang nyaris membuatnya terhempas. Mobil itu mendecit panjang sebelum mengahantam sesuatu. Yeonjun tercekat, rahangnya mengeras ketika sebuah tubuh terhempas ke hadapannya.
Darah, darah, darah, semua merah.
Yeonjun bergumam lirih, ini bukan salahnya. Bukan dia yang ingin ini terjadi. Orang itu mati dan itu bukan salahnya.
"Yeonjun..."
Yeonjun mendongak cepat. Suara itu milik kakaknya, tetapi tak satupun orang yang dapat matanya tangkap.
"...kau melakukannya."
Tubuhnya bergetar, ia menutup telinganya dengan tangan, matanya terpejam kuat.
"TIDAK!"
~~~
"Mimpi buruk?"
Yeonjun menoleh ke arah kanan tempat di mana Soobin kini tengah duduk dengan raut wajah khawatir. Ia mendesah lega, meski napasnya masih terengah Yeonjun mencoba bangkit dari tidurnya.
"Kau akan baik-baik saja. Mimpi hanyalah mimpi dan tidak akan jadi nyata." Ujar Soobin sembari mengusap wajah Yeonjun yang berkeringat dingin.
Mimpi hanyalah mimpi dan tidak akan jadi nyata. Terdengar benar.
Yeonjun meraih tanga Soobin lantas merematnya pelan, "Jangan kemana-mana Soobin."
Soobin mengangguk "Aku di sini." Ia mengulas senyum menenangkan, "Aku akan menjagamu." Imbuhnya
Beberapa saat kemudian Yeonjun menyibak selimutnya dengan tergesa lalu bangkit, menarik lengan Soobin yang mengerjap bingung menyaksikan tingkahnya.
"Bawa aku pergi."
"Ya?"
Yeonjun melengos, berdecak gemas sewaktu melihat Soobin yang tak lantas mengerti.
"Aku tidak betah berada di sini."
"Tapi kau masih sakit."
"Aku sudah minum obat." Balas Yeonjun setengah jengkel. Kondisi tubuhnya akan membaik jika ia tidak terus-menerus tergeletak di atas ranjang, bahkan tidur akan membuat kondisinya memburuk. Orang-orang mungkin akan menganggapnya aneh, tapi nyatanya ia tidak berbohong untuk yang satu ini.
Setelah melewati perdebatan kecil, Soobin akhirnya menyerah. Dia termakan ucapannya sendiri. Yeonjun menagih janjinya. Aku akan baik-baik saja, kan ada kau yang akan menjagaku, begitu katanya dan Soobin bungkam karena kehabisan kata-kata.
Yeonjun menyeretnya keluar kamar, mengajaknya untuk mengendap-endap layaknya seekor kucing dalam dapur. Aneh, ini kan rumahnya sendiri, mengapa sampai harus sebegitunya?
"Kemampuan melarikan dirimu sudah kian meningkat."
Keduanya mematung ketika suara wanita mengintrupsi. Di belakang mereka kini seorang wanita tengah berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, matanya memicing mengintimidasi.
Yeonjun meneguk ludah, ia pikir Ibunya ada di kantor. Tidak biasanya ia akan kembali di jam-jam seperti ini. Dari penampilannya, sepertinya wanita itu hanya mampir sebentar ke rumah.
Sial. Niat menghindar dari mata-mata pelayan rumah, ia malah harus berhadapan langsung dengan tuannya.
"Ibu, aku--"
"Setelah kabur dan mempermalukanku di pesta, sekarang kau bolos sekolah? kau pikir siapa yang akan menerima panggilan dari sekolah kalau bukan aku?"
Ini salah paham. Soobin mendapati Yeonjun hanya diam menunduk tanpa berniat meluruskan keadaan. Ia tak biasa tinggal diam.
"Bibi, Yeonjun pulang karena sakit dan sekolah sudah mengizinkannya."
"Kau sakit juga? Kenapa di sini?"
Skakmat! Mata tajam itu seperti mengulitinya hidup-hidup. Soobin tidak menyesali keputusannya untuk buka suara, yang ia sesali adalah kenapa tiba-tiba lidahnya kelu.
Seorang bawahan Nyonya Choi memanggil dari pintu depan, memintanya untuk bergegas. Wanita itu mengangguk mengiyakan.
"Kembali ke sekolah, ada banyak pelayan di rumah ini dan Yeonjun sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri." Ucap Ibu Yeonjun pada Soobin sebelum ia bergegas pergi menuju mobilnya yang sudah menanti diluar.
Keduanya mendesah lega, beberapa menit yang mereka lewati bersama Nyonya Choi entah mengapa terasa seperti berjam-jam lamanya.
Mereka berdua saling berpandangan. Soobin tahu anak itu masih punya keinginan untuk keluar rumah.
"Katanya mau pergi?"
Yeonjun memandangnya sangsi, ingin berkata 'ya' tapi ia sendiri membenarkan ucapan Ibunya beberapa saat lalu. Tidak sepantasnya ia turut menyusahkan Soobin. Hanya saja kalau tetap di rumah, ia akan frustrasi sendiri.
"Katakan kemana kau ingin pergi, aku akan menemanimu."
Tawaran Soobin terlalu menggiurkan, sayang kalau ditolak. Lagipula kesempatan tidak datang dua kali.
"Hari ini ada pertunjukan dance pinggir jalan."
.
.
.
Sore itu, Beomgyu termenung di bangku halte seorang diri. Sudah sejam lebih lamanya ia berada di sana, bukan untuk menunggu bus, ia hanya ingin duduk saja tanpa melakukan apa-apa. Seharian ini mood nya benar-benar anjlok.
Seorang lelaki dengan pakaian khas rumah sakit kemudian datang mengambil tempat beberapa senti di sebelahnya. Beomgyu memandangnya curiga, siapa tau lelaki yang tampaknya lebih muda itu kabur dari rumah sakit-- bukan mungkin lagi, tapi ini sudah pasti.
"Hey anak kecil."
Anak itu menoleh cepat, antara terkejut dan refleks.
"Jangan panggil aku anak kecil. Aku sudah kelas 3 sekolah menengah pertama."
Beomgyu berkedik, "Tidak tanya juga, sih."
"Kakak yang satu ini sedang patah hati, ya?" Tanya bocah itu to the poin. Matanya membulat dengan binar menggemaskan yang aneh di mata Beomgyu.
"Sembarangan!" Beomgyu membuang muka, berani-beraninya anak itu asal bicara. Memang wajahnya terlihat demikian?
Bocah itu mencebik, "Membosankan sekali. Seharian ini aku hanya melihat wajah-wajah menyedihkan dari orang-orang yang bertepuk sebelah tangan. Kenapa anak muda zaman sekarang suka sekali merepotkan diri? Kalau memang dia tidak balik menyukaimu, ya tidak perlu kau kejar. Jangan buat dirimu tampak menyedihkan."
Melirik sekilas, dahi Beomgyu mengerut, "Bicaramu seperti orang tua."
"Aku masih muda."
"Nah! Tau apa kau tentang cinta, wahai anak muda."
Bocah itu mendengus geli melihat wajah gemas Beomgyu. Dua mata besarnya lantas menerawang jauh ke seberang jalan, "Jodoh itu tidak perlu di cari. Jika memang sudah waktunya, dia akan datang sendiri." Senyumnya lantas berkembang, merasa bangga sendiri karena ucapannya.
Tawa Beomgyu mengudara, kata-kata anak itu lumayan mengibur, "Pemikiranmu itu kolot sekali." Ujar Beomgyu dengan kekeh ringan di ujung.
"Memang salah kalau memperjuangkan perasaanmu pada seseorang?" Beomgyu berceletuk ketika beberapa saat hening.
"Sebenarnya tidak. Tapi jika kau melakukannya dengan cara yang licik, tentu saja itu jadi sangat salah." Balas bocah itu. Ia lantas bergerak lebih dekat, "Lihat sekelilingmu kakak manis. Banyak gadis cantik, pria tampan, tidak hanya satu, mereka tersebar banyak di muka bumi ini." Jeda sejenak, bocah itu memandangnya cukup lama dan Beomgyu menanti kelanjutannya, "Contohnya aku." Tawa Beomgyu menyembur kemudian.
"Cih, percaya diri sekali."
"Kakak manis." Panggil bocah itu ketika Beomgyu membetulkan letak tasnya, tampaknya ingin beranjak. "Berhenti mencari-cari. Akan lebih baik mensyukuri apa yang tersaji di hadapanmu." Bocah itu tersenyum genit, alisnya naik turun dan itu sangat membuat Beomgyu geli. Bocah itu jelas tengah menggodanya.
Beomgyu bangkit, ia hendak pulang. Tapi sebelum itu ia berencana mengucap salam perpisahan dulu, "Kau anak yang aneh--"
"Temanmu juga bilang begitu." Potong bocah itu secepat kilat. Alis Beomgyu mengerut bingung.
"Siapa?"
"Pemuda yang sering terluka."
Bola matanya bergulir memikirkan orang yang dimaksud. Siapa temannya yang sering terluka?
Bocah itu berdecak, "Yeonjun." Ujarnya tak sabaran.
"Kau mengenalnya?"
"Dia sering duduk di sini bersamaku."
Beomgyu cukup terkejut mengetahui anak itu kenal dengan Yeonjun. Dunia benar-benar sempit ternyata. Ia mengurungkan niat untuk pergi, memilih kembali duduk di tempatnya semula.
"Kami tidak berteman. Eung... maksudku dulu iya, tapi sekarang mungkin sudah tidak."
"Memangnya ada yang seperti itu? Tapi dia bilang kau temannya, kok. Nah, yang itu juga, pemuda yang nakal sekali, aku tahu dia." Bocah itu tampak mengingat-ingat dengan jari yang di jentik-jentikan tidak sabar.
Beomgyu coba menebak-nebak. "Apa yang kau maksud itu Woojin?"
"Benar benar. Dan teman kalian yang satunya lagi. Eung, yang dekat sekali dengan Woojin."
Ah! Beomgyu sebenarnya tidak yakin akan tembakannya kali ini, tapi siapa tahu benar.
"Jihoon?"
"Iya! Aku pernah bertemu sekali dengannya."
Satu fakta yang lebih mengejutkan, bocah ini rupanya tidak hanya mengenal Yeonjun, ia juga ternyata tahu Jihoon. Kalau begitu, berarti dirinya adalah orang yang paling terakhir bertemu bocah ini.
"Benarkah? Kapan itu terjadi?"
"Sudah lama. Waktu itu dia duduk di sini, dengan wajah murung. Saat ku tanya, katanya teman-temannya sedang bertengkar. Dia banyak bicara denganku sampai mungkin mulut dan tenggorokannya kering. Dia sedikit mirip dengan Yeonjun ketika bicara; sangat banyak dan sulit berhenti kalau mulutnya belum lelah."
Benar, Yeonjun dan Jihoon memang punya banyak kemiripan. Mungkin itu makanya mereka bisa jadi sangat dekat walau sering bertengkar untuk suatu hal yang sepele.
"Apa yang dia katakan?"
"Katanya...rahasia."
"Apa?"
"Rahasia. Aku sudah berjanji akan merahasiakannya. Tapi intinya dia bilang, 'semua hanya salah paham.' begitu."
Oh, dia merahasiakannya. Sialan, Beomgyu sudah kadung penasaran. Kalau ia mati hari ini, arwahnya sudah pasti bakal jadi hantu penasaran.
"Kang Taehyun!"
Mereka berdua hampir terjungkal ketika tiba-tiba seorang ibu-ibu berdiri di hadapan keduanya.
"Kembali ke rumah sakit! Se.ka.rang!"
Susah payah Beomgyu menelan saliva, ibu-ibu bongsor itu mengerikan sekali. Sungguh.
Bocah itu berbisik di samping telinganya, "Aku harus lari." lalu bergegas mengambil langkah seribu tanpa tengok kanan-kiri.
.
.
.
Tbc.
Hallo...
7k word guis... gak pada molor kan kalian bacanya? :") maunya aku bagi lagi, tapi ga tau kalo mau motong di bagian mana. Dan memang tujuannya satu chap dibikin panjang begini biar bisa cepet selesai ini cerita. Mungkin bakal mentok sampai 7 chap. Yah pokoknya ga lebih dari 10 chap.
Ehh ngomong-ngomong... masih ada kah yang nunggu cerita ini? Hahaa
Trims semuanya yang sudah meluangkan waktu untuk mampir kemari... ^_^
Ngomong-ngomong lagi...sudah berapa lama sejak up terakhir? dua bulan ada kali ya *plak.. maafkeun. Aku kadang suka perfeksionis. Jadi kalau merasa belum puas, aku rombak lagi, entah itu alurnya atau penulisannya. Ini juga semata-mata karena aku pengen ceritaku bisa enak dibaca sama kalian. Dan alasan lainya adalah mood yang naik turun/kebiasaan/ Jadi maaf kalau lama up. Tapi aku janji cerita ini pasti kelar kok. Hihi. Tolong nantikan kelanjutannya ya.. pasti nemu ujung.. pasti. Sampe tamat, ho'oh..:3
Kalau nemu typo, aku minta maaf atas ketidak nyamannnya :") Bisa langsung dikomen ya, supaya aku bisa benerin. Sekalian kritik saran juga.
Aku up nya pas weekend aja yaa..
Oh iya, aku baru ngeh kalo selama ini aku salah nulis nama Hueningkai, aku tulisnya Heuningkai *plakplak
Sekian semua... waktunya pamit undur diri...
Paipai 👐
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top