4. Lebih Dekat
Taehyung menderap hati-hati pada pijakan-pijakan akhir di anak tangga. Mengintip ke arah datangnya cahaya yang terang-menderang. Ada siluet hitam di sana, berdiri tak bergerak cukup lama. Taehyung tau, dugaannya mengenai pencuri dalam rumah sudah pasti salah. Penjagaan di kompleks rumahnya ketat sekali, omong-omong. Dan tidak ada pencuri yang hanya mematung bahkan untuk bermenit-menit lamanya di dalam dapur orang.
Ketika langkahnya sampai, ia mendapati Yeonjun sedang tercenung, pecahan gelas di sekitar kakinya dan dia bertelanjang kaki.
"Sedang apa?"
Yeonjun menjengit kaget mendengar suara Taehyung yang tiba-tiba mengintrupsi. Bergerak dengan ceroboh sampai kaki kanannya tak sengaja menginjak pecahan kecil gelas yang beberapa saat lalu ia jatuhkan. Taehyung sendiri sempat hampir menjerit menyaksikan itu, lantas dengan sigap meraih lengan atas adiknya, tanpa sadar meremat terlalu kuat hingga Yeonjun mangaduh pelan. Pikirannya kini kadung kacau. Sesaat lupa pada berbagai hal, termasuk rengekan Yeonjun serta jalannya yang rada pincang. Yang terpenting sekarang bagaimana dia dapat menjauhkan Yeonjun dari benda-benda tajam yang berserakan itu.
"Sedang apa malam-malam di sini? Kau yang memecahkan gelas?" Tanya Taehyung sembari mendudukan adiknya pada kursi terdekat, lantas memastikan luka pada telapak kaki Yeonjun. Bernapas lega kemudian mana kala hanya luka kecil di sudut tumit yang ia dapati. Meskipun begitu, ia tak serta-merta dapat tenang melihat darah yang keluar tidak bisa dikatakan sedikit. Ia lekas meraih kotak tisu di atas meja makan, menarik isinya sebanyak yang ia bisa, lalu digunakan sebagai penyeka darah yang membuatnya sedikit ngeri.
Taehyung jelas khawatir, gerak tangannya begitu terburu dan agak ceroboh. Yeonjun sendiri tak banyak bertingkah. Ia membiarkan Taehyung berurusan dengan lukanya dan ia hanya perlu tenang sampai Taehyung selesai.
"Kau haus?" Taehyung bertanya pada Yeonjun yang bergeming. Taehyung pikir, mungkin Yeonjun menjatuhkan gelas ketika ia hendak mengambil minum.
"Tidak."
"Ini hanya luka kecil." Imbuh Yeonjun, merunduk sedikit untuk mengintip luka pada kakinya yang tampak sudah berhenti mengalirkan darah, "Sama sekali tidak sakit." Itu terdengar seperti omong kosong, tetapi raut wajahnya tak berkata bohong.
Dengusan dongkol Taehyung loloskan. Entahlah, ia hanya merasa kekhawatirannya tidak dihargai. Maka tak salah pula kalau ia merasa kesal. Wajahnya sengaja dibuat jengkel walau terselip khawatir yang cukup nyata.
"Seharusnya kau bisa lebih berhati-hati Yeonjun."
"Aku sengaja melakukannya."
Taehyung termenung beberapa saat. Manik matanya terpusat pada sepasang manik lain, berbeda warna namun terbentuk dalam bingkai yang nyaris sama. Dengung mesin pendingin ruangan terdengar mengisi sunyi diantara mereka. Detik-detik yang terbuang terasa jauh lebih lama dan keduanya memilih bungkam.
Sejak dulu, Yeonjun tak pernah suka ketika ia ditatap dengan sebegitu intens. Benci ketika orang-orang mulai menilai dirinya dari sebuah pandangan atau mencari-cari yang tersembunyi di balik matanya yang perlu ia akui terkadang tidak bisa diajak kompromi.
"Rumah ini sepi sekali,ya." Hening yang panjang ia akhiri. Yeonjun mengalihkan pandangan ke arah lain guna menghindari tatapan Taehyung yang terasa seperti akan melubangi matanya.
"Apa maksudmu?"
Bahu Yeonjun mengedik pelan, "Ya, rumah ini sepi." Jawabnya masih berusaha menghindar dari tatapan Taehyung, "Seperti tidak berpenghuni. Pernah tidak kau berpikir kalau rumah ini terlalu besar untuk kita tinggali? Ayah dan ibu bahkan jarang sekali ada di rumah."
"Bukan itu, Yeonjun." Sergah Taehyung cepat, "Apa maksudmu dengan sengaja melakukannya?" Tatapan matanya jauh lebih menuntut.
Hembus napas berat terdengar, Yeonjun menyerah untuk menghindar. Lantas berujar takut-takut dengan suara lirih, "Kau yang mengambilnya, kan? Silet di kamarku?"
"Yeonjun--"
"Hyung... aku janji akan berhenti tapi tidak untuk sekarang. Ku mohon, jangan menahanku."
Suasana kembali hening. Taehyung tidak bisa berkata tidak untuk melarang, tetapi juga tidak bisa mengiyakan begitu saja. Dua pilihan itu sama sekali tidak memberinya keuntungan.
"Hyung, maaf. Aku masih belum bisa."
Air mukanya melembut, "Kalau begitu biarkan ayah mengetahui ini."
Sejujurnya, Taehyung sudah lelah menyembunyikan fakta bahwa adiknya kerap melukai dirinya sendiri guna melepas beban. Ia sudah tak sanggup melihat luka-luka baru yang menumpuk di atas luka lama yang bahkan belum sempat mengering. Muak melihat sebuah senyum lega ketika merah elegan merembes begitu saja.
"Tolong tunggu sebentar saja. Kalau aku menyerah, aku akan mengatakannya langsung pada ayah." Yeonjun berujar penuh mohon dan Taehyung selalu lemah untuk yang satu itu. Tiap kali ia melihat wajahnya yang memohon, Taehyung tidak pernah bisa menolak. Hal ini yang sering membuat Taehyung mengutuk diri sendiri, kadang juga merasa benar-benar bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada adiknya dan tak segan untuk menyalahkan diri sendiri.
"Sekarang aku harus apa untuk membuatmu lebih baik?" Nadanya berubah, berusaha mencairkan suasana meski isi kepalanya masih kalut-marut.
Yeonjun berkedik, binarnya mulai kembali, "Pelukan?"
Suara kekehan Taehyung mengudara, lengan mereka saling menyambut, Yeonjun tidak butuh waktu lama untuk menyamankan diri karena hangat yang terasa sejak kulit keduanya saling menyentuh sudah lebih dari cukup.
"Bagaimana dengan ciuman?" Taehyung berujar penuh goda, berhasil menghasilkan desis jijik dari Yeonjun.
"Itu tidak perlu."
"Kau mau hyung temani tidur?"
Yeonjun menggeleng, kian mengeratkan pelukannya kemudian berujar sendu, "Aku benci bau nikotin."
Taehyung tersenyum hambar. Yeonjun sangat sensitif pada aroma nikotin dan Taehyung baru saja menghabiskan dua batang rokok di kamarnya secara diam-diam.
"Aku tidak akan melarangmu merokok, hyung. Itu hak mu. Kalau memang begitu caramu untuk menjadi lebih baik, lakukan saja."
Menyamankan posisi dalam pelukan kakaknya, Yeonjun memejamkan mata sembari mencoba membiasakan diri pada aroma yang sedikit berbeda dari biasanya. Vanilla bercampur tembakau, sedikit banyak membuatnya penting tetapi hangat Taehyung terlanjur membuatnya candu.
"Maaf karena aku sibuk dengan rasa sakitku sendiri sampai tidak menyadari bahwa kau bahkan menahan rasa yang lebih dariku."
Taehyung masih menepuk-nepuk lembut bahu Yeonjun. Dahinya sekejap mengerut bingung. "Kau ini bicara apa, sih?"
"Janji padaku."
"Apa?" Taehyung hendak bergerak untuk melihat wajah Yeonjun akan tetapi anak itu enggan lepas dan terus menempelkan dagu pada bahunya.
"Tetaplah jadi hyungku." Kembali ia menyamankan posisi, matanya mulai memberat dan Yeonjun tak berniat untuk menahannya agar tetap membuaka, "Bahkan ketika kau membenciku, tetaplah jadi hyungku."
"Kau pasti sudah mengantuk." Taehyung melirik pada jam dinding yang membisu. Benar saja, sekarang sudah masuk waktu pagi buta. Pantas adiknya bicara ngelantur.
.
.
.
"Soobin!"
Tepat pada belokan koridor menuju kelas, Soobin terlonjak kaget dan nyaris mengumpat ketika Yeonjun mendadak muncul dan secepat kilat meraih tangannya untuk diseret menuju arah berlawanan.
Soobin panik, ia kira ada suatu hal penting yang mesti dibicarakan oleh hanya mereka berdua. Yeonjun terus menariknya dengan langkah lebar, selama itu Soobin hanya menurut. Sampai pada akhirnya mereka keluar dari gedung sekolah menuju halaman belakang, Soobin mulai menaruh curiga.
Sejak jam pelajaran pertama mulai Yeonjun tidak menampakan batang hidungnya di kelas. Hanya tasnya saja yang terlihat dan itu cukup membuktikan kalau Yeonjun datang ke sekolah. Seorang teman berkata kalau anak itu ada di ruang musik untuk bimbingan menjelang lomba. Setelah bel istirahat pertama berbunyi, Soobin masih tidak menemukan keberadaan Yeonjun. Ia mencari sampai ke seluk beluk sekolah dan Yeonjun masih belum tercium keberadaannya. Lantas ketika ia kembali ke kelas setelah istirahat berakhir, tau-tau anak itu sudah duduk tenang di tempatnya dengan sebuah komik dan earphone menyumpal telinga. Belum sempat bertegur sapa, Seorang guru keburu masuk untuk mengisi jam pelajaran. Lalu beberapa menit sebelum jam pelajaran selesai, Yeonjun kembali menghilang setelah izin ke toilet. Hingga tiga puluh menit setelahnya, Yeonjun tidak kunjung kembali ke kelas.
Yeonjun sama sekali tidak memberi kesempatan untuk Soobin sekadar membuka mulut barang sekejap. Sampai akhirnya mereka terhenti sejenak. Yeonjun menariknya untuk bersembunyi di balik pohon, matanya mengedar jauh memastikan keadaan.
"Yeonjun, sebenarnya ada apa ini?"
Alih-alih menjawab, Yeonjun malah kembali menyeretnya, "Aku harus segera membawamu pergi." Ujarnya dengan langkah yang kian dipercepat.
"Iya, tapi untuk apa?"
Laju keduanya mendadak terhenti ketika sebuah sepatu melayang bebas dan berhasil mengenai Yeonjun. Seseorang berlari tergopoh-gopoh dari kejauhan dengan langkah pincang. Bukan karena kakinya mengalami cedera, melainkan karena satu sepatunya sudah sampai lebih dulu pada targetnya.
"Mau kemana kau?"
Baiklah, itu Taehyung.
"Hyung! Ayolah, kau tidak boleh seperti ini pada Adik mu." Yeonjun berujar gusar ketika Taehyung menghadang jalannya.
"Kalau mau bolos, bolos saja sendiri. Jangan bawa-bawa anak orang dalam masalah juga."
"Jangan campuri urusanku, hyung!" Seru Yeonjun, keduanya tidak ada yang mau kalah, tatapan mata mereka beradu sengit.
"Justru aku harus melakukannya. Aku tidak bisa percaya begitu saja padamu, Yeonjun." Sergah Taehyung dengan wajah garang sambil berkacak pinggang tetapi Yeonjun mana mempan untuk yang satu itu.
Yeonjun mendengus kemudian. Dagunya bergerak kedepan, menunjuk sesuatu di belakang Taehyung, "Ada Jeon Jungkook di belakangmu."
Tawa renyah mengudara, "Aku tidak akan termakan tipuan murahanmu lagi."
Beberapa sekon kemudian, Taehyung berjengit kaku merasakan tiupan angin pada satu titik sensitif di lehernya. Hangat dan sekilas tercium aroma cokelat mint. Perasaannya tiba-tiba buruk.
"Jangan cari gara-gara pada adik mu, sayang."
Benar kata Yeonjun, itu Jeon Jungkook, si pemuda mesum yang kini dengan tidak tahu malu menjilat daun telinganya dengan penuh goda.
"MENJAUH KAU DARIKU, BAJINGAN!"
Mumpung kedua kakak tingkat tak tahu malu itu bertengkar, Yeonjun mengambil kesempatan untuk kabur bersama Soobin yang masih dalam kebingungan. Menulikan telinganya ketika sebuah suara yang begitu familiar memanggil namanya tanpa henti. Masa bodo! Yeonjun sudah terlanjur sampai sini, dia tidak akan berhenti.
Yeonjun menarik lengan almamaternya tinggi-tinggi namun tak sampai sedetik setelahnya kembali ia turunkan. Sudut matanya melirik sekilas pada Soobin dan agak merasa lega mendapati anak itu tak begitu fokus padanya.
Ia beranjak sesaat dari tempatnya guna mengambil sebuah kursi di anatara tumpukan kursi rongsok. Ia butuh sesuatu yang setidaknya dapat menahan berat tubuhnya untuk kemudian bisa naik ke atas tembok pembatas dan melompat keluar.
Sudut matanya kembali melirik pada Soobin yang hanya diam menyaksikan kegiatan rusuhnya. Sudah tentu Soobin kebingungan karena tiba-tiba di tarik paksa tanpa diberi alasan jelas terlebih dahulu.
"Soobin, kau harus tau, aku hanya menyelamatkanmu dari bosan."
"Dengan membolos? Mrs. Lee tidak akan memberi kita keringanan dalam hukumannya, kau tau?"
Kursi berhasil ia tempatkan secara strategis. Yeonjun mulai naik ke atasnya, meraih pinggiran tembok yang lumayan tinggi, melompat beberapa kali dan berhasil pada percobaan ke empat. "Yang aku tau hari ini kita akan bersenang-senang." Katanya ketika berhasil duduk di atas tembok, perlahan-lahan mulai memutar badan ke arah berlawanan.
"Hyung..." Soobin ingin menolak sebenarnya, tetapi dia tidak bisa membiarkan Yeonjun pergi sendirian.
Sebelum melompat keluar, Yeonjun menyempatkan diri melirik Soobin yang tampak cemas, "Kau lupa? Panggil aku Yeonjun."
Soobin limbung, sedikit kehilangan pijakan dan hampir terjungkal kalau saja Yeonjun tidak sigap menahan lengannya. Yeonjun tertawa karena itu, menepuk-nepuk bokong Soobin jenaka ketika anak itu mendelik protes ke arahnya.
"Kau tenang saja. Selama ada aku, semua akan beres." Ujar Yeonjun, mengambil langkah memimpin dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Barang kali dia tengah berbangga diri sebab berhasil menggiring Soobin keluar dari penjara membosankan bernama sekolah.
Membuang napas pasrah, Soobin mengekor di belakang Yeonjun setelah memastikan keadaan aman. "Baiklah, mari kita mencobanya sekali."
Beberapa menit setelahnya mereka habiskan dengan berjalan kaki menyusuri kota. Masuk ke gang-gang kecil yang entah akan membawa keduanya ke mana. Tidak ada obrolan berarti, paling hanya ocehan-ocehan Yeonjun seperti tentang betapa enak aroma masakan yang tercium ketika mereka melintasi bagian belakang sebuah restoran, atau tentang rutukan berlebihannya ketika kakinya tersandung batu, atau pertanyaan-pertanyaan sepele mengenai keberadaan kucing-kucing liar yang tinggal di gang-gang sempit yang mereka lintasi, tentang apa-apa saja yang mereka makan sampai tubuh mereka tak berisi seperti itu. Meski begitu, Soobin tetap saja meladeni semua ocehan yang keluar dari mulut Yeonjun.
Mereka berakhir di sebuah minimarket dekat toko buku kecil bergaya klasik. Tadinya mereka akan mampir ke toko buku lebih dulu, tapi urung karena Yeonjun mengeluh haus dan butuh sesuatu yang segar semacam cola atau minuman kaleng lainnya. Soobin yang membeli ke dalam, sedangkan Yeonjun duduk pada sebuah kursi di luar mini market setelah kembali mengeluh tentang kakinya yang lelah. Soobin sama sekali tidak keberatan, ia malah tertawa gemas atas tingkah manja Yeonjun.
Langit sedang bersih-bersihnya sore itu, hanya ada beberapa awan tipis yang lewat dengan cepat. Dalam keadaan seperti ini, Yeonjun terbiasa untuk bertanya pada langit yang tak tergapai, ia ingin tau kabar seseorang yang katanya sudah bahagia di sana.
Kalau memang benar pergi ke langit bisa membuatmu bahagia, Yeonjun juga ingin merasakannya.
'Waktu itu, kenapa bukan aku saja yang pergi?'
"Yeonjun."
Kaleng cola dingin sengaja Soobin tempelkan dengan jahil di pipi Yeonjun. Tertawa pelan ketika si korban berjengit dan melemparinya tatapan sengit yang malah tampak lucu di matanya.
"Apa yang sedang kau lihat?"
Alih-alih menjawab, Yeonjun lebih tertarik pada kaleng cola yang Soobin sodorkan, membukanya tak sabaran dan menelan isinya bak orang kesetanan.
"Soobin, kau masih ingat seperti apa aku dulu?" Matanya terpaku pada kaleng minuman yang isinya hampir tandas ketika ia bertanya. Sepenuhnya menghiraukan Soobin yang mulai mengambil tempat di sebelahnya
"Tentu saja. Kita bersama setiap saat waktu itu."
"Itu bagus. Jadi Soobin, tolong tetap lihat aku seperti itu."
Atensinya kini jatuh pada Soobin yang mendengarkan, "Jangan anggap aku orang asing, bahkan ketika aku benar-benar berubah sekalipun. Karena aku tetaplah aku." Ujarnya dengan senyum tipis.
"Kenapa, tiba-tiba bicara begitu?"
Yeonjun menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan cepat, menggeleng sesaat sebelum berucap, "Sejak kita bertemu lagi, aku ingin bicara banyak denganmu, tapi sepertinya kau tidak punya cukup waktu untukku."
"Hey, itu tidak benar." Dua tangan mengibas cepat, "Nah nah, sekarang aku ada di sini, apa kau akan mulai bercerita? Aku akan mendengarkan."
Yeonjun berkedik main-main dengan kekehan renyahnya, "Aku sudah lupa ingin bicara apa."
Tidak, Yeonjun jelas tidak melupakan apa yang hendak ia bicarakan. Soobin tahu itu dari keping hitam Yeonjun serta dari nada suaranya dan gerak geriknya yang berkilah.
"Baiklah, kalau begitu aku yang tanya." Dengung panjang keluar dari mulut Soobin yang mengatup rapat. Sejenak berpikir tentang sekiranya hal apa yang paling tepat untuk ditanyakan. Sampai akhirnya sebuah senyum lembar terpatri di wajahnya. Ia bergerak menarik kursi untuk lebih dekat dengan Yeonjun yang menantinya bertanya dengan sabar.
"Bagaimana kau setelah aku pindah waktu itu?
Air mukanya berubah cepat, mengalihkan pandangan dengan terburu kala Soobin mengerjap sewaktu menyadari perubahannya. Batin Yeonjun bertanya, kenapa harus mengingat masa-masa yang sudah lewat? Tapi kalau memang begitu ingin Soobin, ia akan ceritakan walau rasanya enggan.
"Sangat buruk," ujar Yeonjun setelah satu tarikan napas diambil lalu dibuang dengan cepat, "Waktu itu, ketika kau sudah tidak lagi bersamaku, banyak hal yang terjadi tanpa bisa ku atasi. Aku sudah terlanjur terbiasa bersamamu setiap hari. Kita bermain tanpa peduli tentang apapun yang terjadi, benar? Bersamamu waktu itu seolah membuatku buta. Aku tak pernah peduli pada apa yang terjadi di rumah, pada ayahku yang sering pulang larut malam, pada ibuku yang memperlakukanku dan hyungku secara berbeda. Aku tidak mengetahui apapun dan tidak tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut. Yang aku ingat hanya Ubin-ie yang mengisi hariku. Waktu itu kau seperti segalanya buatku dan aku rasa tidak butuh orang lain selain dirimu. Naif sekali, ya?"
"Setelah kau pergi, aku rasanya seperti terlempar ke tempat asing. Duniaku jungkir balik. Aku mulai banyak sadar tentang betapa buruk keadaanku waktu itu. Ayah dan ibuku sibuk dengan rasa sakit mereka sendiri, tanpa peduli pada aku dan hyungku yang berusaha berpikir bahwa suatu saat semuanya akan baik-baik saja."
Angin berembus lembut, Yeonjun sejenak menjeda untuk mengamati awan yang berarak, "Saat itu aku hanya anak umur delapan tahun. Aku tidak siap menghadapi masalah dan aku pernah mencoba kabur. Aku putus asa tapi masih sedikit berharap ada keajaiban. Dan sampai sekarang, secuil harapan itu masih ada, itu sebabnya aku bertahan."
Manik mata keduanya bersirobok. Soobin melihat luka dari keping hitam si lawan bicara, hanya sekilas tapi cukup jelas.
Beberapa hal berubah, tidak ada yang kekal, benar? Bahkan laut bisa saja kering, gunung kehilangan tinggingnya, langit juga mungkin akan kehilangan bintangnya. Begitu pula Yeonjun, binar matanya sudah redup, tidak lagi sejernih dulu, waktu sudah banyak memakan yang ada. Dan ia masih belum tau apa saja yang masih tersisa.
"Suatu saat kalau aku tiba-tiba jadi asing di matamu, tolong jangan tinggalkan aku seperti yang dilakukan orang-orang." Lirih Yeonjun, ada kurva yang terbentuk dengan manis di wajahnya tapi kentara sekali dipaksakan.
"Orang-orang meninggalkanmu?"
"Eum... mereka hanya lihat sisi burukku. Aku kesepian tapi orang-orang mana ada yang peduli." Kaleng cola di tangannya di goyangkan pelan, memastikan seberapa bayak yang tersisa di dalamnya, lantas ia teguk sampai benar-benar tandas.
"Hyung ku juga pernah melakukannya tapi sekarang sudah tidak lagi. Aku tahu dia sangat menyayangiku, tetapi justru itu yang membuatku takut. Aku takut suatu saat ia akan jauh lebih membenciku dari yang pernah ia lakukan."
"Taehyung hyung tidak akan melakukannya, kau sendiri yang bilang dia menyayangimu."
Bahunya bergerak ke atas, "Tidak ada yang tahu, apapun bisa terjadi tanpa dapat kita prediksi."
Hidup itu bagai roda yang berputar, kadang di atas, kadang di bawah. Klise sekali. Kalau memang benar begitu, lalu kapan saatnya ia berada di atas? Kenapa seolah hidupnya tidak bergerak, terhenti ketika tepat ada di bawah dan tidak ada tanda-tanda akan membaik.
"Itu belum seberapa, masih banyak yang belum aku ceritakan padamu dan kau mungkin akan muak mendengarnya."
"Aku akan mendengarkan."
"Aku tidak mau terlihat lemah di mata siapapun, aku tidak suka dikasihani seolah-olah aku tidak pernah mampu melakukan apa-apa dalam keadaanku sekarang, tapi bukan berarti aku tidak butuh perhatian."
Soobin meraih Yeonjun ke dalam pelukan hangat ketika nada anak itu mulai bergetar. Ia tidak tahu apa saja yang terjadi pada Yeonjun dalam kurun waktu sepuluh tahun belakangan. Akan tetapi ia tidak perlu mendengar lebih banyak lagi kalimat untuk mengerti, sebab dari sepenggal kisah singkat yang Yeonjun ceritakan, dari sorot mata yang menyimpan luka, harapan, juga keputus asaan, bahkan juga garis bibirnya, semua itu cukup menjelaskan bahwa keadaannya tidak baik-baik saja.
"Maaf karena tidak bisa bersamamu ketika kau melewati masa-masa sulit. Kau bisa percaya padaku mulai sekarang. Aku ada di sini, kau tidak perlu merasa kesepian lagi. Aku tidak masalah jadi tempatku menumpahkan keluh kesah. Jangan kau simpan masalahmu sendirian, berbagi itu perlu untuk meringankan sedikit beban. Cari aku kapan saja kau mau, ah--bahkan tanpa perlu kau cari pun aku akan datang padamu."
Soobin memberi jarak di antara keduanya guna dapat kembali memaku tatap pada wajah Yeonjun.
"Kau perlu ingat ini, ketika kau merasa sendiri dan kesepian, kau harus tau bahwa kau tidak pernah benar-benar sendirian."
"Ku harap itu bukan omong kosong semata."
Sepasang tangan Soobin meraih milik Yeonjun yang terkulai. Meremasnya lembut, berharap dapat sedikit mengirimkan hangat di sana."Yakinlah. Jika kau ragu kau tidak akan pernah dapat apapun. Walau terkadang mungkin apa yang kau yakini adalah sesuatu yang salah, setidaknya dari sana kau dapat belajar dan menemukan jawaban."
"Berhenti lari dari masalah. Hadapi saja itu sebab pada akhirnya semua yang datang pasti akan berlalu, begitupula dengan masalahmu. Kau hanya perlu yakin bisa melewatinya, maka kau akan sampai pada akhir."
Yeonjun sedikit lega. Keberadaan Soobin nyatanya cukup membuat Yeonjun merasa tenang. Ia seperti menemukan pegangan baru, memberi peluang untuk selamat dari jurang keterpurukan. Soobin adalah harapan yang ia yakini akan membawa hidupnya sedikit lebih berwarna dari pada yang sudah-sudah.
"Terima kasih." Ujar Yeonjun dengan senyum simpul, kali ini tampak jauh lebih tulus.
"Mau bercerita lagi? Aku siap mendengarkan."
"Sebenarnya ini tidak mudah untukku. Aku butuh waktu."
"Tidak masalah. Pelan-pelan saja."
Yeonjun mengangguk, kemudian menggeleng. Sebelah alis Soobin naik melihat itu.
Kursi yang Yeonjun duduki tergeser ke belakang, nyaris saja jatuh ketika ia bangkit tanpa peringatan. Ia mulai mengambil langkah ringan tanpa mempedulikan Soobin yang termangu melihatnya.
"Ayo lihat komik. Setelah itu kita harus pergi makan di kedai langgananku. Oh ya, ada pertunjukan dance pinggir jalan nanti..."
.
.
.
Pintu toilet terbuka pelan, menampakan sosok pemuda dengan rambut coklat gelap di ambang pintu, berdiri sambil tampak menimang-nimang. Woojin hanya melirik sekilas, ia tak cukup tertarik memandangnya lebih lama lagi. Kembali ia menadah air pada telapak tangan. Pikirannya hari ini sedang kacau ditambah susana hatinya yang tak kunjung membaik sejak beberapa hari belakangan. Ia perlu sesuatu untuk setidaknya dapat meredakan panas di kepalanya yang terasa nyaris meledak.
"Hey! Park Woojin."
Woojin mendesah keras-keras ketika Beomgyu mengambil tempat di sebelahnya. Pemuda itu sama sekali tidak melakukan apa-apa selain melipat tangan dan memaku pandang padanya. Woojin sangat terganggu untuk itu.
"Aku sedang tidak ingin bicara." Wajahnya kembali dibasuh dengan kasar, "Dan kita tidak cukup akrab untuk mengobrol berdua."
"Lupakan tentang keakraban, aku punya hak untuk bicara pada siapapun."
"Hak ku juga untuk tidak diganggu."
"Dasar kau, pecundang payah!"
Woojin menampar sisi wastafel dengan keras hingga menghasilkan bunyi yang cukup untuk membuat Beomgyu berjengit di tempatnya. Sorot mata Woojin kini berubah cepat, menilik tepat pada iris cokelat tua Beomgyu yang tersirat sedikit kegentaran.
Detik berikutnya, Woojin meraih kerah baju Beomgyu dan mendorongnya sampai menabrak dinding toilet dengan suara debuman yang cukup keras. Beomgyu meringis pelan merasakan nyeri yang menjalar di sekitar bahu sedangkan lehernya kini ditekan penuh tenaga.
"Berani sekali kau menyalak padaku." Kekehan renyah Woojin keluarkan, terdengar bengis dan membuat nyali Beomgyu sedikit banyak menciut, sudut bibirnya yang tertarik membentuk seringai itu juga memperburuk keadaan, "Jangan menangis dan mengadu pada ibumu nanti karena ku pukul, oke?"
"Kau kira aku tidak tau?" Beomgyu berusaha keras melawan. Ia berusaha melepaskan tangan Woojin yang mencengkram tanpa ampun kerah seragamnya. Dalam usahanya, ia balik menatap mata Woojin yang berkilat penuh amarah. Senyum mengejek Beomgyu tampakan meski beberapa kali rintihan sakit tak bisa ia tahan, "Kau sebenarnya menyukai Yeonjun, bukan? Bahkan sebelum Jihoon pergi, kau sudah menyukainya."
Cengkraman Woojin kian menguat, "Tutup mulut mu, sialan." Ujarnya tanpa belas kasihan.
Di sela napas yang mulai tercekat, Beomgyu kembali menimpali, "Kenapa tidak jujur saja? Berhenti membohongi dirimu sendiri Woojin atau kau akan semakin terluka."
"Jangan campuri urusanku."
"Aku hanya memperingatimu. Kau bisa kehilangan kesempatan dan kembali mengulang kesalahan yang sama jika tetap seperti ini."
Sekejap Woojin lengah, cengkraman tangannya terasa mulai melemah, Beomgyu memanfaatkan kesempatan itu untuk menyingkirkan tangan Woojin dari lehernya yang terasa sakit, ia tebak pasti ada bekas yang tertinggal di sana.
"Aku yakin kau sudah tahu kalau Soobin dan Yeonjun sudah berteman sejak kecil. Ada baiknya kau berhati-hati karena dia bisa mendahuluimu kapan saja dia mau."
Woojin mendengus kasar, mengambil langkah mundur dan melipat tangan di depan dada sembari memandang rendah pemuda di hadapannya, "Kau hanya mengkhawatirkan dirimu sendiri, kan?" Woojin mendecih kemudian. Kini ia mengerti bahwa Beomgyu hanya takut jika Soobin lebih dekat dengan Yeonjun. Dia cemburu.
Beomgyu mendesah pasrah, ia tertangkap basah, akan percuma untuknya mengelak sebab Woojin bukan tipe orang yang mudah menerima alasan, "Baiklah jika memang begitu yang kau lihat, aku tidak menyalahkan. Kali ini aku tidak mau mengalah lagi. Benar-benar tidak akan melakukannya apapun yang terjadi." Satu langkah ke depan, lantas tanpa rasa takut menunjuk-nunjuk dada Woojin menggunakan jarinya, "Hatimu tidak akan tenang Woojin. Soobin saingan yang cukup sulit untukmu, itu fakta. Dan sebentar lagi lawanmu akan bertambah satu."
"Kau harusnya berterima kasih padaku." Ujar Beomgyu diakhiri dengan senyum pongah yang seolah mengolok Woojin karena ketidaktahuannya.
"Katakan apa maksudmu!"
Senyum Beomgyu kian melebar dan Woojin sungguh ingin menonjok Beomgyu saat itu juga.
"Wooseok hyung sudah kembali."
Woojin mengumpat keras-keras dalam hati. Ini hari terburuk kesekian dalam hidupnya dan ia benar-benar sudah muak.
.
.
.
Soobin menggeliat resah ketika tubuhnya terasa ditimpa sesuatu yang cukup berat. Tadinya ia pikir hanya sedang bermimpi, akan tetapi ketika matanya perlahan terbuka, ia mendapati wajah Yeonjin begitu dekat dengan wajahnya sendiri dan yang paling membuatnya terkejut, bibirnya terasa basah begitu pula dengan bibir merah alami milik Yeonjun yang sekilas berkilap tertimpa cahaya.
Soobin tidak berani menyimpulkan bahwa Yeonjun baru saja menciumnya. Hatinya menjeritkan kata tak mungkin dan berharap ia masih di alam mimpi. Hanya saja ketika senyum Yeonjun berkembang apik di depan matanya, dengan jarak yang masih belum layak dikatakan normal, seketika itu Soobin merasa tertonjok kenyataan.
Lagi, apa-apaan posisi ini? Ia terpojok di antara kaca bus dan tempat duduk, gerakannya terbatas dan Yeonjun benar-benar menumpukan beban tubuhnya pada Soobin.
"Yeo-Yeonjun."
Anak itu tersenyum kikuk. Wajah malu-malunya yang bersemu, dilihat dari jarak sedekat itu sukses membuat jantung Soobin berdetak bertalu-talu. Pikir Soobin, mungkin jantungnya akan melompat keluar kalau Yeonjun tidak segera menyingkir dari tubuhnya.
Yeonjun mengigit bibir bawah ketika tidak menemukan kata-kata yang pas untuk diucapkan. Perasaan gugup mulai merayap di rongga dadanya yang lantas memberi efek di setiap bagian tubuh. Tadi, selama Soobin tertidur, ia telah memutuskan suatu hal yang sesungguhnya sudah sejak semalam ia pikirkan matang-matang dan bertekat untuk memberi tau Soobin segera. Tapi ternyata membuat rencanannya jadi nyata itu tidak semudah ketika ia menyusunnya dalam otak.
Di sisi lain, kalau tidak karena gugup dan malu, mungkin Soobin sudah dari tadi buru-buru mendorong Yeonjun menjauh. Yeonjun tidak terlalu berat sebenarnya dan Soobin bisa dengan mudah menggeser tubuh itu kalau perasaan gugup tidak membuat otot-ototnya seketika melemah.
"Aku menyukaimu, Soobin. Jadilah kekasihku!"
To the point. Tanpa basa-basi. Begitu terburu tetapi tetap berhasil diterima dengan baik oleh gendang telinga Soobin.
Dua alis Soobin terangkat tinggi sekali. Matanya membulat nyaris keluar serta nyawanya seperti menguap entah kemana, sedangkan Yeonjun masih tetap tersenyum manis berhias rona merah yang kian menjadi-jadi.
Astaga! Kenapa tiba-tiba sekali?
"Soobin, kau marah padaku?"
Yeonjun merengut samar pada Soobin yang berjalan di sebelahnya. Sejak mereka turun dari bus dan berjalan masuk lewat gerbang depan yang sudah sepi (jam pulang sekolah sudah lewat sejam yang lalu dan pak satpam tidak mungkin tau kalau mereka habis membolos.) Soobin sama sekali tidak bicara atau mendengarkan Yeonjun.
Yeonjun takut Soobin marah. Menyatakan perasaan secara tiba-tiba seperti tadi itu jelas sekali bukan ide yang bagus. Harusnya Yeonjun tahu dan menyadari itu dari awal. Sayangnya penyesalan datangnya selalu di akhir. Kalimat klise berbunyi 'Penyesalan itu tidak ada gunanya' terus Yeonjun rapalkan, tapi mau bagaimanapun dirinya tetap merutuk tentang betapa bodoh keputusannya.
"Soobin." Panggilan ke tiga sejauh yang Yeonjun hitung dan Soobin masih saja seperti patung hidup. Akhirnya Yeonjun pukul saja bahu lebar Soobin untuk dapat perhatian, dan ternyata hal itu membuahkan hasil.
"Ya?"
"Kau marah karena yang tadi?" Takut-takut Yeonjun bertanya.
Soobin menggeleng lambat. Jujur ia masih sedikit terkejut dan bingung. "Tidak." Ujarnya sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Sejak kejadian di bus tadi, setiap matanya bersirobok dengan milik Yeonjun, dirinya selalu merasa gugup, "Aku hanya sedikit terkejut." Imbuhnya kembali mengalihkan atensi.
Yeonjun tertinggal beberapa langkah di belakang. Ia mendengus pelan. Bukan ini yang Yeonjun harapkan. Soobin bahkan tidak balik menatapnya dan jadi bicara seadanya saja. Awalnya Yeonjun kira dengan membuat Soobin jadi kekasihnya bisa membuat hubungan mereka lebih dekat (dan dia terlambat menyadari betapa konyol pemikirannya) Yeonjun ingin Soobin selalu berada disisinya, itu saja. Karena keegoisannya, Yeonjun jadi lupa bahwasanya cinta butuh proses dan tidak bisa dipaksakan. Dunia boleh jadi sudah sangat maju, semua hal bisa didapat secara instan, tapi cinta tidak seperti itu.
Dalam hati Yeonjun menertawai kekonyolannya sendiri. Tahu apa dia tentang cinta? Sekadar merasakannya saja dia tak pantas.
"Maaf."
Soobin menoleh pada Yeonjun di sebelahnya. Anak itu tampak tersenyum tipis sekali sehingga ia pikir mungkin Yeonjun kecewa padanya. Bukan maksud Soobin mengabaikan Yeonjun. Soobin hanya masih bingung harus apa dan bagaimana, ia butuh waktu untuk mencari tahu perasaannya sendiri.
"K-kau tidak perlu meminta maaf."
"Baiklah," Yeonjun berjalan mendahului sembari menghadap Soobin di belakang, "Kita lupakan saja kalau begitu." Imbuhnya.
Senyum yang terpoles di wajah Yeonjun terkesan dipaksakan dan itu membuat Soobin tak enak hati.
"Sebenarnya ada yang ingin aku katakan."
"Apa?" Dalam hati Soobin menerka-nerka. Mungkin ini tidak jauh-jauh dari peristiwa yang baru terjadi.
"Kita tidak akan kena hukuman dari Mrs. Lee." Kerlingan jenaka Soobin tangkap sekilas dan ia lantas mulai kembali bertanya-tanya, bagaimana pemuda itu dengan mudah berubah suasana hatinya?
"Sudah ku bilang, aku hanya menyelamatkanmu dari bosan, soalnya hari ini Mrs. Lee tidak masuk dan memberi kita banyak tugas. Kabar baiknya, kita masih bisa mengumpulkan semua tugas itu secara diam-diam besok karena Mrs. Lee masih izin sampai lusa."
"Tau dari mana kau?"
"Aku punya koneksi di ruang guru."
Soobin manggut-manggut mendengarnya sambil masih berdiri di depan kelas. Yeonjun sediri kini telah meraih ranselnya dan hendak bergegas keluar.
"Tidak mau pulang?"
Yeonjun berdecak pelan sebab Soobin masih saja seperti patung hidup.
"Cepat ambil tas mu."
Soobin mengerjap sekali dua kali. Lantas menepuk jidatnya sendiri ketika menyadari dirinya lagi-lagi blank.
Tak ada obrolan yang berarti selama mereka melewati koridor-koridor yang sepi sampai berakhir di gerbang utama. Mereka berpisah di sana. Yeonjun menuju mobil jemputannya dan Soobin terdiam di tempatnya.
Dalam diam Soobin memandangi mobil yang Yeonjun masuki. Pikirannya kembali terganggu. Selama ini tidak terpikir olehnya bahwa di antara hubungan pertemanan mereka akan ada perasaan lebih yang terselip. Soobin memang menyukai Yeonjun, ia menyayanginya dengan tulus tetapi ia pikir ini masih sebatas rasa terhadap sahabat, tidak lebih.
Meskipun Yeonjun sudah katakan untuk melupakan kejadian tadi, tetap saja Soobin tak serta merta bisa lupa.
Orang bilang cinta butuh proses. Ia tak langsung ada dalam bentuk besar. Biar bagaimanapun segala hal selalu di mulai dari yang paling kecil. Maka dari itu, Soobin mulai bertanya pada diri sendiri, apakah di sudut hatinya yang terdalam ada bibit perasaan cinta pada Yeonjun? Kalau memang ada, apa bagian kecil di hatinya itu akan tumbuh besar? Ia perlu diyakinkan untuk ini.
Sebuah tangan menepuk bahu Soobin pelan. Ia menoleh dan mendapati Taehyung sedang berdiri di belakangnya, "Soobin, ya?" Tanya Taehyung memastikan. Tinggi Soobin benar-benar di atas rata-rata sehingga membuat Taehyung ragu apakah Soobin yang ini memang Soobin teman bermain adiknya waktu kecil.
Soobin mengangguk canggung,
"Yeonjun sudah di mobil?"
"Baru saja masuk." Jawab Soobin sambil menunjuk mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka sekarang.
Mulut Taehyung membentuk o besar, kemudian berlalu setelah sempat membetulkan letak tali ranselnya yang merosot.
Taehyung sejenak berhenti, membalik badan dan berkata, "Bisa aku mempercayaimu?" Soobin tak merespon, ia balik menatapnya bingung.
"Tentang Yeonjun. Mungkin kadang-kadang dia akan merepotkanmu, tapi terima kasih sudah jadi temannya." Senyum kotak khas seorang Taehyung terulas kemudian. Soobin mengerti, dia balas tersenyum sambil mengangguk paham.
Taehyung melambai sebelum berlalu kemudian masuk ke dalam mobil.
.
.
.
Taehyung mengusap lembut puncak kepala bocah yang tengah menangis sesenggukan di sebelahnya. Ini sudah lebih dari lima belas menit bocah itu menangis, tetapi tampaknya air matanya belum ingin berhenti.
"Jangan menangis lagi, aku sudah melempari anjing jelek itu pakai batu tadi sampai dia berlari ketakutan. Aku juga sudah bilang pada pemiliknya supaya mengikat atau mengurung anjingnya dalam kandang. Jadi sekarang kau tidak perlu takut lagi kalau mau lewat jalan itu, mengerti?"
Bocah itu mengangguk pelan sambil berusaha menyeka air mata yang jatuh kembali, "Terima kasih, hyung." Ujarnya masih tersedu.
"Tapi karena aku, hyung jadi terluka."
Taehyung terkekeh menahan gemas, entah kenapa tiba-tiba jadi teringat adiknya yang ia tinggal di rumah dalam keadaan menangis karena minta ikut pergi main tadi.
"Aku terluka karena jatuh, bukan karena kau."
"Tapi hyung jatuh karena menolongku dari anjing galak itu."
Taehyung bangkit dari duduknya dengan cepat, lantas menunjuk-nunjuk luka kecil di lutut kirinya sambil tersenyum penuh arti, "Tidak masalah. Ini keren, tau. Aku anggap ini sebagai bukti kegagahanku."
Bocah itu diam saja melihat tingkah Taehyung. Wajah terbengongnya seolah-olah bertanya bagian mana yang keren dari luka yang bahkan dihiasi debu-debu tanah di pinggirnya.
"Namamu siapa?" Tanya Taehyung sembari berjongkok di depan anak itu. Sekilas ia menjengit manakala luka di lututnya terasa perih.
"Soobin, Choi Soobin."
"Usiamu?"
"Lima tahun."
"Baru pindah?"
Anak itu mengangguk lucu dan Taehyung tidak tahan untuk tidak mencubit pipi lembut Soobin.
"Mau kenalan dengan adikku? Dia seusia denganmu dan dia sangat manis walau terkadang sedikit cengeng."
Soobin mengekori Taehyung dengan tenang. Matanya mengedar selama mereka menaiki anak tangga menuju sebuah kamar di kediaman Taehyung.
Soobin mengangguk polos ketika Taehyung memintanya untuk tidak berisik dengan isyarat. Mereka berdua mengintip dari balik sebuah pintu putih kemudian. Di dalam kamar bernuansa langit itu, seorang anak tengah duduk di atas karpet beludru putih dan sibuk dengan buku-buku dongeng yang entah tengah ia baca atau sekadar dibuka-buka.
"Eonjun..." Taehyung masuk lebih dulu, dan Soobin sengaja untuk tertinggal beberapa langkah.
Sepasang saudara itu sedang mengobrol singkat. Adik Taehyung sedang mengambek, itu menurut dari apa yang Soobin dengar.
Beberapa saat kemudian Taehyung memintanya untuk mendekat. Soobin sedikit mengintip adik Taehyung yang bersembunyi di balik tubuh kakaknya.
"Choi Soobin." Soobin mengulurkan tangan untuk berjabat tetapi anak itu seperti takut-takut untuk membalasnya.
"Eonjun." Ujar anak itu pelan.
Taehyung memukul kepala adiknya main-main, "Kenalkan dirimu dengan benar." Ujarnya penuh penekanan.
Taehyung tiba-tiba mengaduh sakit ketika pinggangnya dicubit, tidak hanya itu, lengan atasnya juga jadi korban gigitan adiknya yang tengah memasang muka masam. Taehyung ingin membalas tetapi adiknya keburu melompat menjauh dan meraih tangan Soobin untuk dijabat.
"Namaku Choi Yeonjun." Ujarnya, ketika melihat Soobin, Wajah masanya seketika berubah jadi cerah.
Awalnya Taehyung ingin protes, hanya saja ia tak sampai hati merusak suasana. Setidaknya Yeonjun sudah tidak ngambek lagi dan sekarang Taehyung bisa pergi main dengan hati tenang.
"Soobin, tolong jadi teman Yeonjun, ya." Taehyung tersenyum lembut ketika Soobin mengangguk dengan cara imut. Lantas ia beralih pada adiknya yang tersenyum-senyum aneh, "Kau sudah punya teman, jadi tidak usah menangis kalau hyung tinggal main, mengerti?"
Yeonjun sama sekali tidak merespon, malah asyik mengusap-usap kedua sisi pipi gembil Soobin dengan gemas.
"Pipi Ubin-ie lembut sekali..."
Ugh! tangan Taehyung gatal ingin menjitak kepala adiknya.
.
.
.
Tbc.
.
.
.
Annyeonghaseyeo!!!
Pa kabar pa kabar? Masih ada yang setia menanti cerita ini? Ada? Tidak? Oke oke..
Sudah berapa lama saya gk update? :")
Di chap ini ada kurang lebih 5rebu kata. Anggap aja sebagai ganti rugi.. dan selamat menikmati, semoga tidak bosan... :)
Maaf sebelumnya karena gk bisa up cepet.. :")
Oh iya, selamat berpuasa juga untuk kalian yang menjalankan... ^_^
Luangkan waktu untuk memvote dan komen chingu..:3
Trims sudah mampir.. :3
Btw, typo sudh jadi hobi, maaf :"
Borahaee he hee 💜💜💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top