2. Ingatan

"Masih belum, ya?"

Yeonjun tak serta merta menjawab. Hanya sesekali mencuri pandang pada Soobin yang agaknya frustasi. Soobin sudah menceritakan garis besar mengenai masa kecil keduanya, tentang hal-hal yang dirasa penting dan melekat sekali diingatan, tetapi nyatanya Yeonjun benar-benar kosong. Tidak ada bayangan tentang masa lalu mereka. Kata Yeonjun, yang ia ingat tidak ada orang yang bernama Soobin semasa ia kanak-kanak.

Atau mungkin Yeonjun yang ada dalam ingatannya bukan Yeonjun yang berdiri di depannya kini? Aneh sekali kalau Yeonjun melupakannya begitu saja, padahal dialah orang yang menangis paling keras ketika mereka akan berpisah. Selain itu, sewaktu kecil, mereka selalu menempel seperti perangko. Kemana-mana selalu berdua. Jadi tidak seharusnya Yeonjun melupakan dirinya begitu saja.

Tidak mungkin juga hanya sebuah kebetulan bahwa Yeonjun yang satu ini juga punya kakak bernama Kim Taehyung -si anak lelaki aneh yang terkenal suka buat onar-. Dulu, seingat Soobin ketika Kim Taehyung masih bocah sekolah dasar ingusan, dia suka sekali menantang anak SMP berkelahi karena menggodainya. Bocah lelaki yang suka teriak-teriak ketika mencari adiknya di lapangan, disuruh pulang untuk mandi lalu makan malam. Ini tidak mungkin hanya kebetulan sama. Jelas Choi Yeonjun yang satu ini memang Choi Yeonjun teman kecilnya yang cengeng.

"Apa lagi yang harus aku katakan? Apa kau pernah terbentur sampai ingatanmu hilang?"

"Kau ini bicara apa, sih?" Dahi Yeonjun mengerut tak suka. Kenapa Soobin ini kesannya memaksa sekali.

Soobin sudah tidak memedulikan tatanan rambutnya yang kini hancur lebur. Harus bagaimana lagi dia menjelaskan? Terasa sia-sia bicara panjang lebar pada orang yang bahkan hanya menatapnya aneh, seolah Soobin baru saja mengarang cerita konyol yang seharusnya ia ceritakan pada anak TK, bukannya pada siswa SMA penyandang gelar prestasi pula.

"Oh ayolah, Eonjun-ie Hyung, ini aku Soobin, kau suka sekali memanggilku Ubin-ie dulu."

"Ubin-ie?"

Mata yang sebelumnya penuh tanya dan keraguan kini balik menilik dengan tepat. Menarik Soobin hidup-hidup dalam pusaran matanya yang menyorot tajam, mencari kepastian. Soobin seperti melihat satu sisi lain seorang Choi Yeonjun. Sisi yang tersembunyi yang muncul manakala perangai sok tenangnya sudah tak berfungsi lagi.

Lantas ketika Yeonjun mendorong tubuhnya hingga membentur dinding koridor, ia sadar Yeonjun marah. Tidak ada yang ia lakukan selain diam, menanti apa yang akan Yeonjun lakukan selanjutnya. Dan sungguh, detik demi detik yang terbuang bahkan terasa jauh lebih lama. Wajah Yeonjun tertimpa sinar matahari sore, dan tau-tau jarak sudah banyak terkikis.

'Sreethh'

Soobin sontak memejam ketika tangan Yeonjun terangkat. Ia kira satu bogem mentah atau tamparan akan ia terima. Saat matanya kembali membuka karena tidak ada gelenyar sakit yang kunjung terasa, bagian leher kemejanya sudah tersibak ke samping. Bahu putihnya terpampang jelas dan ketika tau Yeonjun tak melepas perhatiannya dari sana barang sejenak, malah kian menilik dan mempertipis udara di antara keduanya, wajah Soobin terasa memanas. Terakhir Soobin sadar, Yeonjun sedang memastikan sesuatu lewat kemejanya yang disibak.

"Ka-kau pernah bilang, tanda lahirku seperti tahi ayam."

Yeonjun mendongak lantas mendengung setuju. Kemudian kembali pada posisinya semula dan Soobin bernapas dengan lega.

"Brengsek! Sialan kau!"

"Hyung..." Soobin tertegun melihat Yeonjun mulai menangis di depannya. Jelas ada kekecewaan dari binar matanya yang meredup, dan Soobin sama sekali tidak punya ide bahkan untuk sekadar menggerakan mulutnya.

"Kenapa baru sekarang?" Yeonjun menutup mata menggunakan lengan kirinya, sedangkan satunya lagi memukul bahu Soobin berulang kali, meluapkan rasa kecewanya yang tak terbendung lagi. Sudah bertahun-tahun ia menyimpannya seorang diri, kini pelampiasannya sudah ada di depan mata dan ia tak mau menahan lagi.

"M-mianhae."

.

.

.

"Kau tinggi ya..." Yeonjun berujar sambil berjinjit menyetarakan tingginya dengan Soobin. Lantas mentoel-toel pipi putih Soobin yang lembut, "Juga tampan." Imbuhnya yang disambut gelak tawa Soobin.

"Seharusnya waktu itu aku tidak membiarkanmu pergi. Kau membohongiku selama sepuluh tahun lamanya."

Soobin tersenyum hambar mendengar penuturan Yeonjun. Langkahnya sengaja ia perlambat. Dulu sewaktu mereka masih kecil, Soobin selalu berjalan di belakang Yeonjun. Membuntutinya kemana saja ia pergi, bagai anak itik yang menempel pada induknya. Setelah sepuluh tahun berlalu, kini ia kembali melakukan hal yang sama. Dari tempatnya sekarang, ia dapat lihat Choi Yeonjun memiliki bahu lebar nyaris menyamai miliknya, rambut hitam legam yang lebat dan tampak halus, serta tinggi badan yang tumbuh sangat pesat walau masih belum bisa melampaui Soobin.

"Sekarang sudah tidak jadi kebohongan lagi kan? Aku sudah di sini."

"Kalau bukan karena kebetulan, kau pasti masih akan tetap berbohong." Yeonjun terjeda menyadari Soobin yang tidak lagi di sebelahnya. "Kau pasti melupakanku. Kau sibuk dengan teman-teman barumu. Dasar sombong."

Tawa renyah Soobin terdengar nyaring, "Sadar tidak? Yang lupa itu kau, hyung. Kau bahkan tidak mengingat wajahku."

"Dulu kau jelek, makannya aku tidak tau." Balas Yeonjun, terselip nada jengkel pada kalimatnya dan Soobin tidak bisa untuk tidak tertawa mendengar itu.

Gerbang sekolah sudah tampak di depan mata tapi langkah keduanya justru kian melambat. Entah siapa yang sengaja melakukannya, yang pasti satu di antara mereka mengikuti alur saja.

Hari ini aneh sekali, ada saat dimana waktu melambat layaknya dendalion kecil yang bergerak menuju tanah, atau malah terlalu cepat, terasa seperti nyala lilin yang tertiup angin, sekejap lenyap.

"Sejak pertama kali melihatmu setelah sepuluh tahun, aku punya satu pertanyaan."

Alis Yeonjun terangkat antusias. Binar matanya penuh tanda tanya,"Apa?"

"Apa kabar?"

"Bagaimana kabarmu?" Ulang Soobin dengan kata tanya yang berbeda.

Senyum simpul Yeonjun terbentuk kemudian. Ia berhenti menjejakan kaki berbalut conversnya ketika mereka hampir sampai di ambang gerbang. Sejenak menghela napas pelan sebelum menjawab, "Kau bisa lihat sendiri. Setidaknya hari ini aku masih benapas sehingga bisa berdiri disini bersama seorang teman lama yang sangat brengsek."

"Astaga, hyung. Aku sudah minta maaf oke?"

"Aku belum bilang sudah memaafkanmu."

"YEONJUN!!! KAU MAU MEMBUATKU MATI KELAPARAN? CEPAT MASUK MOBIL SEBELUM AKU MENYERETMU." Seseorang berteriak sembari melambai dari jauh, ada mobil di belakangnya. Ini alasan Yeonjun berhenti sebelum sampai di gerbang.

Yeonjun menoleh pada Soobin yang ternganga lebar, "Kau tau dia siapa?"

Soobin tertawa keras kemudian, "Tentu saja, Taetae hyung."

"Aku tidak tau dia siapa." Bukannya Yeonjun mau durhaka, tapi memang terkadang ia bingung tentang siapa sebenarnya Taehyung. Kakak kandung berbeda marga? Atau bedebah yang suka menjejalkan ajaran sesat padanya? Atau body guard yang dapat diandalkan? Tidak tau, Yeonjun tidak pernah yakin pada orang yang satu itu.

"Kau harus menghubungiku nanti. Besok kita bertemu lagi. Jangan pergi lagi, Bin." Ujar Yeonjun sebelum berlalu. Ia masih belum puas temu kangen dengan Soobin tetapi ia juga tau orang di seberang sana tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Tawa renyah Soobin kembali mengudara. Matanya yang menyipit lucu ketika tertawa merupakan nilai tambah ketampanan seorang Choi Soobin, "Kau sangat lucu." Ujar Soobin masih dengan tawa, sepenuhnya mengabaikan wajah masam Yeonjun.

"Aku serius, Soobin."

Di sela usahanya menghentikan tawa, Soobin mengangkat tangannya yang menggenggam ponsel, "Aku akan mengirim pesan nanti."

"Tidak, telepon saja supaya aku bisa mendengar suaramu."

Astaga, Soobin ingin tertawa lagi. Yeonjun benar-benar menggemaskan.

"Aku pulang, ya. Kau juga pulang." Kata-kata terakhir Yeonjun sebelum menyebrang jalan dan masuk ke dalam mobil. Dan setelah itu, Soobin kembali tertawa.

.

"Mau es krim tidak?" Taehyung menyodorkan sebungkus es krim cokelat pada Yeonjun yang baru masuk ke dalam mobil. Sebenarnya karena ini Taehyung berteriak memanggil adiknya yang demi kerang ajaib, jalannya lamban sekali dan Taehyung sudah gemas menunggunya di dalam mobil dengan es krim cokelat yang ia jaga setengah mati supaya tidak mencair.

Yeonjun gantian melihat wajah Taehyung dan es krim yang disodorkan kakaknya dengan pandangan tak yakin, "Tumben sekali."

"Mau tidak? Tanganku pegal, nih"

Yeonjun berdecak pelan tapi tetap mengambil es krim di tangan Taehyung. Lumayan. Lagi pula kapan lagi dapat gratisan dari kakaknya sendiri.

"Es krim cokelat bagus untuk memperbaiki suasan hati." Celetuk Taehyung di sela kegiatannya menjilati es krim.

"Tidak tanya juga, sih"

Taehyung merengut tapi cukup memaklumi. Beginila cara mereka berkomunikasi sejak dulu. "Hanya sakadar informasi. Semoga bermanfaat."

"Aku lapar sekali. Ku rasa aku hampir mati." Ujar Taehyung memecah hening. Memang pada dasarnya pemuda itu tidak suka suasana sepi dan mulutnya dirancang untuk berfungsi secara maksimal setiap hari, jadi ia tak pernah betah bungkam berlama-lama.

"Mati saja sana."

"Tidak mau," wajahnya dibuat sepolos mungkin, "Nanti kau menangis." Dan Yeonjun tidak bisa menahan rasa gelinya ketika melihat itu.

"Masih sakit?"

Yeonjun melirik kecil pada Taehyung. Ia Mendapati pemuda itu tengah terpaku pada tangannya yang memegang es krim yang tengah ia jilati. Ada luka yang masih tampak segar di sana, mengintip dari lengan almamater yang tertarik dibagian siku.

Ia tertangkap basah lagi.

"Lain kali," hela napas berat terdengar, "Kalau kau butuh seseorang untuk membagi rasa sakitmu, datang saja padaku."

"Aku memang bukan kakak yang baik, tapi setidaknya aku bisa menghapus air mata adikku." Lanjut Taehyung. Atensinya kini jatuh pada bangunan disepanjang jalan yang bergerak semu.

"Dan jangan pernah melukai dirimu sendiri karena aku akan jauh lebih terluka jika kau melakukan itu." Es krim di tangannya sudah habis. Stiknya ia lempar keluar. Lalu menyandarkan dagu pada lengannya yang menumpu di ambang jendela.

"Hyung..."

"Aku tau kau tidak tanya. Hanya sekadar informasi. Semoga bermanfaat."

Yeonjun mendengus lucu, "Hyung, nanti malam tidur di kamarku ya."

"Tidak ada monster di dalam lemarimu, Yeonjun."

"Serius, hyung."

Taehyung terkekeh kecil. Samar-samar mengangguk tanpa menoleh sedikitpun pada Yeonjun yang memandangi punggungnya lama.

.

.

.

TBC.

Halohaa...

Makin gemas liat binjun, serius. Kenapa mereka uwu sekali... :"3

Eung..Aku bakal usahain update seenggaknya seminggu sekali nih...

Trimss semua yang sudah mampir, buat yg ngevote dan komen..gomawo. :)

Typo? Jangan tanya. Sudah mendarah lemak soalnya.. kkk :")

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top