13. Pendewasaan

Jika sebuah rumor adalah titik api yang menyala di tengah-tengah hutan kering, maka mulut-mulut kecil yang tak henti membicarakannya adalah angin yang membesarkan api, dan makin besar bak disiram minyak saat yang bermulut licin ambil bagian.

Dalam waktu kurang dari sehari, tidak ada yang tidak tahu tentang masalah Soobin di sekolah. Reputasinya dengan segera runtuh menjadi puing-puing di atas tanah, orang-orang lantas menginjak-injaknya lagi menjadi lumpur di bawa kaki. Segala kesan baik yang pernah ditinggalkannya dianggap hanya sekadar topeng warna-warni untuk menutupi kejahatan di masa lalu. Ada larangan yang otomatis terbentuk oleh mereka yaitu larangan untuk terlibat dengan Soobin. Bahkan untuk beberapa yang masih memiliki hati, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Meski tahu mengucilkan seseorang yang sedang berjuang bangkit dari kesalahan di masa lalu adalah salah, tapi mereka tetap tidak akan berani mengorbankan diri untuk menjadi pahlawan. Usaha terbaik mereka hanya mampu menutup mulut dan berpura-pura tidak lihat. Dengan begitu setidaknya hati mereka yang baik masih bisa dijaga kesuciannya.

Tidak ada seorangpun yang akan tahan diperlakukan layaknya daging busuk di tengah keramaian. Bahkan untuk Soobin yang terus berusaha tegar dan membuat dirinya sendiri percaya bahwa itu adalah hukumannya, sewaktu-waktu dia masih tetap merasa sedih dan begitu sakit hati. Apalagi belakangan rundungan yang dia terima bukan lagi hanya dalam bentuk kata-kata. Orang-orang tampaknya mulai merasa geram melihat Soobin masih punya keberanian untuk melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah dan dengan sombong mengangkat wajahnya ketika berjalan di sepanjang koridor, seolah masa lalunya yang memalukan telah hanyut bersama air bah, dan suara manusia-manusia yang mencibirnya adalah cicitan tikus got di dalam gang. Mereka merasa serangga kecil yang menjijikan ini benar-benar mengganggu dan mereka rupanya tidak pernah menyadari keberhasilan mereka yang sebenarnya dalam menghancurkan hidup seseorang. Mereka tidak pernah tahu bahwa keberanian Soobin dan ketidakpeduliannya yang tampak kokoh itu hanya stok sisa yang dia miliki, itu bahkan telah kurang dari setengah. Soobin mungkin tinggal menunggu waktu untuk runtuh jika Yeonjun tidak bersama dengannya sekarang.

Kemudian Soobin mulai menerima kekerasan fisik. Ketika itu terjadi, Yeonjun tidak pernah tidak ada di sisinya. Dia akan selalu ada di sana untuk memukul orang satu per satu. Yang amatiran tentu akan kalah dari yang punya puluhan pengalaman dalam perkelahian. Sepuluh lawan dua, jika Yeonjun ada di sisinya, Soobin benar-benar merasa tidak perlu mengkhawatirkan apapun.

Dua orang malang ini kemudian menerima gelar kehormatan sebagai duo sampah yang yang dikucilkan seisi sekolah. Satu adalah Choi yang aneh, yang tidak pernah suka bergaul dan selalu salah sangka pada orang, mudah mengajak siapapun untuk berkelahi dan selalu terjebak dalam masalah. Catatan pelanggarannya mungkin telah memenuhi satu buku dan akan terus bertambah. Sedang Choi lainnya adalah anak pindahan yang kabur setelah ketahuan mencuri posisi, pecundang rendahan yang masih punya wajah walau seisi sekolah terang-terangan meludahinya di depan umum. Perpaduan keduanya tampak anomali tapi juga disebut serasi, semua orang mendukung mereka dengan hinaan yang tak pernah ada habisnya.

Namun kedua orang keras kepala ini sudah berusaha lama menjadikan diri sendiri sebagai batu. Mereka sudah mengeras dan kokoh, membuat orang-orang yang mencoba mengunyah mereka meremukan giginya sendiri. Benar-benar seperti bicara pada bongkahan batu, sekeras apapun memaki, sekuat apapun memukul, penderitaannya justru berbalik arah. Pada akhirnya api yang berkobar mulai padam, walau suhu panas masih berputar dan asap mengepul di udara, setidaknya situasi kritisnya sudah dilewati.

Soobin dan Yeonjun berhasil menghadapi kejamnya dunia saat mereka bersama-sama. Senyum di wajah Soobin mulai pulih kembali dan secara bertahap kelegaan kecil datang dari hari ke hari. Sedikit demi sedikit semuanya akan normal kembali. Melihat keadaan yang cukup baik dan wajah Soobin setiap hari, Yeonjun akhirnya merangkai kata-kata Soobin tempo hari, menempelnya di dalam kepala untuk selalu diingat. Soobin bilang dia percaya mereka bisa menghadapi dunia jika bersama, dan Yeonjun dengan penyakit pesimis kronisnya mulai mempercayainya juga sekarang.

Jadi jika nanti masalah lain datang, Yeonjun hanya perlu ingat bahwa sekarang dia memiliki Soobin.

Di sisi lain, ada seseorang yang tidak terkait langsung dalam masalah Soobin dan Yeonjun, juga tampaknya tidak dirugikan, tetapi diam-diam merasa ikut kepanasan di tengah masalah orang. Dia adalah Beomgyu dan dia punya alasan untuk itu. Pertama, dia marah terus-menerus mendengar orang-orang menjatuhi hinaan ke Soobin sedangkan dirinya tidak bisa melakukan apa-apa walaupun sudah berusaha. Dia tidak akan menyangkal bahwa sekarang dia sedang berusaha menjadi pahlawan, tapi dia juga tidak hanya sekadar mencari perhatian Soobin karena hatinya melakukannya dengan tulus. Kedua, dia mencoba berada dipihak Soobin tapi Soobin tak mendengar nasihatnya sama sekali. Beomgyu bukan seseorang yang berhati lembut, penolakan membuatnya marah dan dendam. Ketiga, melihat Soobin dan Yeonjun bersama setiap waktu, ditambah orang-orang mulai memasangkan mereka dan bilang serasi walau tujuannya untuk mengejek, Beomgyu terus terang saja merasa cemburu.

Tiga serangan menusuk titik kemarahan, Beomgyu tidak perlu menunggu yang keempat untuk meledak. Jadi dia segera mengambil tindakan.

Suatu hari dia mengirimi Wooseok pesan. Rencanamu gagal, katanya. Lalu ia menjelaskan kalau Soobin bahkan jadi lebih sering bersama Yeonjun dan bukan tidak mungkin keduanya punya hubungan lebih sekarang. Yang mengejutkannya adalah ternyata Wooseok tidak banyak memberi komentar seperti bagaimana yang dia ekspektasikan, hanya berkata malas, menyuruhnya agar tidak manja dan lebih berusaha. Katanya, lebih baik segera pikirkan cara efektif, kalau bisa instan tapi pasti ada hasil sebelum Wooseok bergerak sendiri, karena jika Wooseok telah bergerak, dia tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada Beomgyu. Beomgyu langsung tersentak panik, merasa dengan melaporkan masalah ini pada Wooseok tidak membantunya sama sekali, malah justru semakin memperdalam lubang kuburannya sendiri. Jika terjadi sesuatu lagi pada Soobin, Beomgyu merasa sangat perlu bertanggung jawab.

Beomgyu melirik meja kosong milik Yeonjun dan Soobin. Sekadar informasi, Soobin benar-benar pindah secara permanen ke sebelah Yeonjun. Beomgyu merasa asam di dadanya. Ia bertanya pada ketua kelas yang duduk tak jauh dari tempatnya. Setelah memastikan bahwa guru yang mengajar tidak akan datang dan hanya menitipkan tugas yang dikumpul besok hari, Beomgyu akhirnya meninggalkan kelas.

Beomgyu percaya bahwa dia keluar untuk mencari udara segar, tetapi hatinya dengan misterius mengirim sinyal ke otak untuk menemukan dua orang yang menghilang.

Langkah Beomgyu membawanya untuk meniti anak tangga menuju rooftop. Tanpa sadar melangkah dengan sangat hati-hati, nyaris tak menimbulkan suara seperti kucing yang mengendap-endap di dapur. Dia sempat berpikir untuk apa melakukan ini? Tetapi kemudian masa bodoh dan tetap melanjutkan.

Sebelum benar-benar sampai di pintu rooftop, dia menemukan punggung seseorang tengah bersembunyi di balik dinding dengan ponsel di salah satu tangannya. Kepala pemuda itu miring untuk mengintip keluar. Sejenak Beomgyu merasa tak asing. Dia hampir memanggil sebelum ia menyadari sesuatu. Atensinya beralih pada dua sosok yang tengah ia cari itu. Di luar, angin menerbangkan rambut Soobin yang sedang tersenyum sambil bersandar, satu kakinya diletakkan di ujung skateboard yang tengah diduduki Yeonjun, menggerakannya kecil ke depan dan ke belakang.

Dahi Beomgyu mengerut bingung, menatap bolak balik pada punggung orang di depannya lalu pada Soobin dan Yeonjun di luar sana. Untuk apa orang ini diam-diam berdiri di balik dinding dan apa yang berusaha dia lihat?

Soobin dan Yeonjun tampak sedang mengobrol tetapi jarak membuat suara keduanya hanya terdengar sayup-sayup. Beberapa saat kemudian Soobin tampak merunduk di depan Yeonjun, jarak wajah keduanya sangat tipis, setelah beberapa kata, Soobin mendaratkan ciuman capung di puncak kepala Yeonjun. Pada saat yang bersamaan kamera ponsel yang tidak disadari berhasil mengambil gambar keduanya.

Beomgyu tidak berkedip, membeku melihat kejadian tumpang tindih itu, dia merasakan aliran dingin merembes di hatinya.

Sejenak hanya suara protes Yeonjun dan kekehan Soobin yang terdengar tidak jelas.

Orang lain di tempat itu akhirnya berbalik. Ketika mengangkat wajah dari layar ponselnya, dia segera tersentak ketika menyadari keberadaan Beomgyu.

Hueningkai terbelalak kaget, nyaris melempar ponsel di tangannya. Segera ia menelan suaranya sendiri dan menggunakan tangan untuk menutup mulut dengan panik.

Beomgyu masih merasa hatinya beku. Dia melempar tatapan dingin pada Hueningkai, meletakan satu jari di depan bibirnya yang terkatup rapat, memintanya agar tidak membuat suara, lalu kembali menjatuhkan atensi pada dua orang yang sama sekali tidak terganggu.

Hueningkai mengerjap beberapa kali. Bertanya-tanya tentang apa yang tengah Beomgyu pikirkan dengan sorot matanya yang gelap itu.

.

.

.

Saat Soobin tiba di rumah, ia melihat ibunya sedang duduk di meja makan sambil mengaduk secangkir teh yang mendingin dengan tatapan mata kosong. Soobin mendekat tanpa mengalihkan pandangan dari ibunya, hati-hati menarik kursi di sebelahnya dan mencomot satu biskuit dari piring kecil, lalu bertanya dengan mulut mengunyah.

"Kenapa Eomma melamun? Apakah Appa melakukan hal tidak masuk akal lagi?"

Ibunya tidak bereaksi dan masih terus mengaduk cangkirnya dalam diam. Soobin merasa biskuit yang ia makan sangat enak, kembali mengambil dua dan memakannya sekaligus.

Hela napas dibuang pelan tetapi sarat akan beban yang menyertai. "Kau mau pindah sekolah lagi?" Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar dengan lembut dan lelah. Suara ibunya pelan tapi ketika sampai di telinga Soobin, ia merasa seperti baru saja terkena hantaman bola basket di wajah.

Soobin tersedak biskuit dan batuk dengan perih.

"Mengapa kau tidak bilang kalau... kalau..." Ibu Soobin tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Matanya memerah dan berair saat memandang wajah anaknya yang masih terus batuk.

Soobin merutuk dalam hati. Sial! dari mana ibunya tahu tentang masalah ini? Padahal dia sudah sangat berhati-hati di rumah agar tidak ada yang tahu masalahnya di sekolah. Dia bukannya ingin menutup-nutupi, hanya merasa perlu waktu untuk menenangkan diri sebelum bicara jujur ke orang tuanya. Dia tahu betul bagaimana keprotektifan mereka, apalagi setelah masalahnya yang dulu itu. Kini ketika mendengar anaknya dalam masalah, hal kecil bisa menjadi sangat besar di tangan mereka. Soobin awalnya tidak bisa membayangkan bagaimana jika keduanya tahu bahwa anaknya telah menjalani serangkaian kehidupan menyedihkan di luar rumah. Mereka berdua pasti akan sangat stres, oleh karennya Soobin memilih diam agar tidak merepotkan keduanya. Soobin sedang menikmati proses pendewasaannya, dia akan menghadapi masalahnya sendiri mulai sekarang, campur tangan orang tuanya mungkin hanya akan menjadikannya burung di sangkar emas untuk selamanya.

Kekhawatiran di wajah ibu Soobin tidak bisa ditutupi. Soobin berusaha berpikir jernih dan membujuknya. "Eomma aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Masalahnya sudah berlalu, sekarang aku baik-baik saja."

Bagaimanapun hati seorang ibu akan sangat sakit ketika tahu anaknya menderita. Dia tahu baik bagaimana sifat anaknya dan lekas tak percaya, malah justru semakin sedih. "Bagaimana bisa tidak apa-apa? Apa kau terluka di sekolah? Apa mereka menyakitimu?"

Soobin tersenyum teduh. "Aku bisa menjaga diri."

Ibu Soobin tak kuasa menahan sedih melihat wajah putranya yang tegar. Segera ia menutup wajahnya sediri dengan dua tangan lalu menangis karena penyesalan. "Ini salah kami. Seandainya waktu itu kami tidak memaksamu untuk melakukannya-" kalimatnya terpotong isakan.

Soobin panik. Dia selalu merasa orang tuanya tidak bersalah, tetapi ibunya selalu menyalahkan diri sendiri sejak kejadian itu. "Tidak, Eomma, kalian tidak pernah memaksaku untuk melakulan itu. Kesalahan itu terjadi karena aku yang menginginkannya. Kalian adalah orang tuaku yang sangat baik, semua orang tahu kalian hanya ingin mewujudkan keinginanku yang egois. Aku yang salah karena telah menyalahgunakan kasih sayang kalian. Aku yang salah dan sudah seharusnya aku dihukum. Eomma, aku sangat menyesal sudah mengecewakan kalian. Melihat kau menyalahkan dirimu sendiri karena aku, bagaimana aku bisa hidup dengan tenang? Bagaimana aku bisa meminta ampun padamu supaya tidak menghukumku dengan menyalahkan dirimu sendiri? Jangan menghukumku lagi, Eomma."

Lama kemudian air mata ibu Soobin sudah berhenti menetes tetapi sisa-sisa kesedihannya masih begitu membekas. Secangkir teh di atas meja tidak tersentuh sama sekali dan sudah mendingin sejak lama. Tapi cemilan di atas piring kecil sudah semuanya berpindah ke dalam perut Soobin.

Soobin mengunyah keping biskuit terakhir. Menepuk ringan kedua tangannya untuk membersihkan remah yang tertinggal. Lalu kembali fokus pada ibunya yang masih sedih. "Tidak apa-apa Eomma, mereka mungkin menyakitiku sekarang tapi aku akan baik-baik saja. Aku akan menganggap ini sebagai hukumanku. Dengan melewati proses ini dalam hidupku, dosaku sedikit demi sedikit bisa ditebus, akhirnya aku bisa sedikit bernapas lega sekarang."

Ada perasaan takjub melihat anaknya yang mulai dewasa. Ibu Soobin mengangkat tangan untuk mengelus kepala putranya. "Eomma akan mencarikanmu sekolah yang bagus." Itu adalah kata-kata yang sudah diulang berkali-kali sejak ia masih menangis tadi.

"Tidak perlu." Soobin menepuk tangan seputih susu milik ibunya di atas meja dengan lembut. "Aku akan menghadapinya sekarang, tidak ingin melarikan diri lagi."

Ibunya hanya menatapnya sambil diam.

"Omong-omong dari mana Eomma tahu?" Tanya Soobin sambil menyeruput teh dingin yang lama diabaikan.

Ibu Soobin memandang pasrah pada cangkir tehnya. "Beomgyu."

Soobin tidak terlalu terkejut karena ia sudah menebak-nebak sejak ibunya mulai menangis.

Beberapa waktu yang lalu ketika Beomgyu menariknya untuk bicara berdua, Soobin sudah memintanya merahasiakan hal ini dari ibunya dan dia setuju. Tapi kenapa Beomgyu malah ingkar?

Ibunya melihat raut wajah Soobin yang berubah dan segera menambahkan penjelasan. "Dia sangat mengkhawatirkanmu. Dia bilang sudah pernah membujukmu dan kau tidak mendengarkannya. Soobin, Beomgyu itu anak yang baik, tidak seharunya kau mengabaikannya dan lagipula Eomma sendiri yang memintanya untuk mengawasimu di sekolah, mungkin karena itu dia merasa sangat bertanggung jawab padamu. Sekarang Eomma jadi merasa sangat malu padanya. Sebenarnya Beomgyu juga meminta Eomma untuk tidak mengatakan padamu kalau Eomma mengetahui ini darinya karena dia takut kau akan marah."

"Soobin, dia hanya mengkhawatirkanmu dan dia melakukannya untuk Eomma, jadi jangan marah padanya, ya?"

Soobin hanya menatap mata lembab ibunya dan tak kunjung memberi respon yang berarti.

Pada akhirnya dia menghela napas dan berkata. "Aku tidak marah, Eomma."

Derit pintu terdengar ketika Soobin tenggelam dalam pikirannya sembari duduk di meja belajar. Ia mendapati ibunya berdiri di ambang pintu dengan senyum kecil yang selalu cantik, melangkah ke arahnya sambil menautkan jari-jari lentiknya dengan gelisah. Untuk beberapa alasan Soobin memilih tetap bungkam melihat gelagat ibunya. Soobin merasa dia perlu bersiap-siap. Dalam raut wajah tenang, ada antisipasi besar yang Soobin sembunyikan.

"Soobin, Eomma tahu kau berteman baik dengan anak tuan Choi bahkan sejak kalian kecil, tapi aku memohon padamu untuk mendengarkan kata-kataku kali ini." Ujar ibunya segera setelah duduk di pinggir ranjang dengan anggun. "Tolong jauhi dia, Appa mu tidak akan senang jika tahu kau dekat dengannya." Suara lembut wanita itu menyerang Soobin seperti anak panah.

"Apa maksud, Eomma?" Nada suara dan raut wajahnya sarat akan protes yang tak tertahankan.

"Masalah ini sudah lama, nak, dan alasan kepindahan kita dulu ada kaitannya dengan semua itu." Kelembutan itu terdengar tak berdaya. Soobin mengerutkan dahi dengan ekstrim. "Kalau bukan karena Appamu didesak dan diancaman, kita tidak mungkin buru-buru pindah jauh dari tanah kelahiran sendiri."

Soobin membeku, tak tahu bagaimana cara merespon.

Melihat anaknya bungkam, ibu Soobin merasa semakin berat untuk mengucapkan kalimat-kalimat selanjutnya. Ia tak berusaha untuk mengungkapnya sekarang, hanya ingin Soobin tahu supaya ia bisa lebih berhati-hati. Jadi sebelum Soobin bertanya tentang banyak hal, Nyonya Choi segera bangkit dari duduknya.

"Suatu hari kau akan tahu betapa besar kerugian yang pernah kita alami karena keluarganya. Appamu masih sangat marah karena itu. Sejujurnya dia selalu menyimpan dendamnya sendirian. Appamu tidak pernah memperlihatkan amarahnya padamu, nak, karena dia tidak ingin kau terpengaruh."

"Ini demi kebaikanmu dan tolong pikirkan kami, orang tuamu, ya?"

Ibunya tidak menjelaskan apa-apa, dan sekarang dia ditinggal dalam keadaan penuh tanda tanya. Dia ingin tahu tapi juga merasa enggan untuk tahu.

Kerugian apa? Dendam apa?

Saat pintu kamarnya kembali tertutup. Soobin merasa ada tumpukan batu bata di lehernya.

Sangat berat.

.

.

.

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Jangan bilang kau mau memakanku." Aktivitas mengunyah Yeonjun berhenti ketika ia bertanya. Pipinya mengembung penuh makanan tetapi Soobin yang masih diam membuatnya juga ikut diam. Mereka saling melempar tatapan untuk beberapa saat.

Soobin tak mampu menahan gemas. Ia mengulurkan tangan untuk menusuk pipi mengembung Yeonjun dengan jari telunjuknya. "Aku tak tega menelanmu."

Wajah Yeonjun membuat gurat jijik yang sangat mentah. Ia menyendok nasi dan mengarahkannya ke mulut Soobin sambil terus mengunyah.

"Hentikan omong kosongmu. Sekarang buka mulut!"

Soobin menurut dan Yeonjun tampak puas ketika Soobin menerima suapannya.

"Yeonjun." Panggil Soobin pelan. Yeonjun menoleh cepat sambil menyumpit sepotong telur gulung, membalas dengan apa? Sebelum melahapnya.

Soobin terdiam sesaat, lalu menggeleng. Ia kembali larut dalam kegiatannya mengawasi Yeonjun makan sambil sesekali menerima suapan penuh. Kita harus menggendut bersama, kata Yeonjun beserta tawa renyah khasnya yang menyenangkan.

Melihat itu membuat hati Soobin bergetar. Dia termenung untuk waktu yang cukup lama.

Soobin baru saja mendapatkan Yeonjun dan sekarang tiba-tiba dia diminta untuk melepaskannya karena suatu masalah yang dia sendiri tidak tahu apa. Bagaimana Soobin mampu? Ini jelas tidak semudah membalikan telapak tangan. Soobin sudah berjalan jauh dalam kehausannya, ketika dia akhirnya dapat secangkir air berharga yang ia kira cukup membuatnya puas seumur hidup, seseorang berkata padanya bahwa itu beracun sebelum dia bisa minum. Jika dia keras kepala untuk minum, apakah itu hanya sekadar kematian?

Soobin mungkin bisa menganggap yang sebelumnya sebagai hukuman, tetapi kali ini dia tidak akan dengan mudah menjadi pasrah. Soobin tidak bisa merelakan Yeonjun untuk ditukar. Biar bagaimanapun, dia masih sangat menginginkan Yeonjun.

.

.

.

Satu persatu anak-anak berseragam SMA mulai keluar dari pintu gerbang. Dari yang semulanya hanya hitungan jari, lalu meningkat jadi rombongan besar, dan seiring berjalannya waktu menjadi berkurang dan renggang-renggang. Hingga jam pulang telah lewat satu jam lebih, Pak Hong masih sabar berdiri di depan gerbang sambil sesekali menoleh ke belakang. Dia tampak tidak keberatan untuk menunggu lebih lama lagi. Tubuhnya bersandar pada tembok sambil bersenandung kecil, di sela-sela itu tiba-tiba terlintas ingatan di dalam kepalanya. Dia berpikir jika saja Yeonjun mendengar senandungnya, anak itu pasti akan protes karena lagu-lagunya terdengar sangat kuno. Mengingaat itu membuat sudut bibirnya agak terangkat tanpa sadar.

Dia kembali menoleh untuk memastikan keberadaan tuan kecilnya. Namun yang ia temui kemudian adalah seorang anak berwajah barat, berdiri di tengah-tengah jalan sambil melemparinya tatapan tak suka. Pak Hong tidak bisa tidak terkejut menyadari seorang anak sedang berdiri sombong di depannya.

"Kau--hey!" Tadinya Pak Hong ingin menyapa tetapi anak itu segera melesat melewatinya tanpa memberikannya kesempatan. Sangat tidak sopan! Itu membuat hati Pak Hong sangat dongkol. Menuju akhir zaman ini, moral dari generasi muda memang telah semakin merosot.

Yeonjun kemudian keluar dari gedung sekolah bersama Soobin di sisinya. Dia melambai dengan senyum cerah yang belakangan sering menghiasi wajahnya.

"Ini mungkin agak tidak enak untuk kau dengar tapi aku akan tetap mengatakannya padamu karena ini penting." Tutur Pak Hong ketika Yeonjun baru saja menutup pintu mobil. Mata mereka bertemu lewat kaca spion.

"Apa itu yang tidak enak ku dengar tetapi harus ku dengar?"

Pemilik nama asli Hong Jonghyun itu berkata, "Sepertinya tuan besar semakin gencar mengawasimu."

Bahu Yeonjun turun ketika mendengarnya. "Kau tidak perlu mengatakannya karena aku sudah tahu."

Pak Hong, "Tapi bukan itu masalahnya." Mobil mulai melaju lambat. "Tuan Choi sepertinya tidak terlalu menyukai temanmu itu."

Yeonjun membelalak, "Hah?"

Sebentar, ada apa lagi dengan ayahnya? Yeonjun merasa semakin hari apapun yang ia lakukan semakin serba salah. Sebenarnya apa yang ayahnya inginkan?

"Kalian berdua terlihat sangat dekat, kau tahu?"

Yeonjun tidak merasa ada yang salah dari kedekatannya dengan Soobin. "Lalu?"

"Ingat, kau sudah bertunangan."

Oh, astaga! Sengaja dilupakan tetapi selalu diingatkan!

"Tapi bukan itu masalah utamanya." Pak Hong kembali berucap.

"Tolong jangan sering menggantung kalimat. Tidak bisakah langsung katakan intinya?" Protes Yeonjun. Setiap Pak Hong mengatakan bukan itu masalahnya, ia selalu merasa waswas.

"Oh... sorry." Ia cengengesan sebentar. "Begini, keluarga Choi mu dengan keluarga Choi milik temanmu tidak akur di masa lalu. Walaupun saat ini hubungan keduanya cenderung tenang, tapi tidak pernah ada kata damai di antara kedua pihak. Perang dingin masih terus berlangsung."

Dahi Yeonjun mengernyit. "Eh? Kenapa aku tidak tahu?" Ia bahkan tidak tahu jika sebelumnya keluarga mereka pernah ada hubungan.

"Kau masih kecil waktu itu."

Yeonjun tidak terima dengan fakta bahwa ia sama sekali tidak tahu apa-apa. Dia merasa seharusnya dirinya tahu sedikit.

"Tuan Choi mungkin saja hanya mengkhawatirkanmu karena dia pernah benar-benar menyinggung ayah temanmu. Mungkin tuan takut kau akan dimanfaatkan untuk menjatuhkannya."

Yeonjun berpikir, sebenarnya pihak yang paling mungkin melakukan kejahatan adalah ayahnya sendiri. Bukan tidak mungkin dia telah merencanakan sesuatu pada Soobin sekarang.

"Lalu aku harus bagaimana?" Yeonjun tak berdaya. Ia tidak tahu separah apa masalah singgung-menyinggung itu. Tiba-tiba wajah Soobin terlintas di benaknya dan dia segera meratapi nasib. Serius, mereka baru saja bersama! Mengapa fakta ini baru terungkap sekarang?

"Tidak ada salahnya untuk berhati-hati. Sebaiknya kau agak menjaga jarak dengannya. Jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi, kalau bukan kau yang terluka, pasti temanmu yang akan terluka. Atau mungkin kalian berdua akan terluka bersama."

Dalam hati Yeonjun mengeluh pada langit. Ia berkata, lebih seperti bergumam pada diri sendiri. "Tapi kami baru saja pacaran."

Mendadak ban mobil yang mereka tumpangi mendecit panjang, mengguncang jiwa dua orang di dalamnya yang sempat terlonjak dari tempat duduk masing-masing. Mata Yeonjun terbelalak horror setelah wajahnya membentur keras kursi kemudi di depannya, beruntung itu benda yang lapisannya lumayan empuk, karena jika tidak tulang hidungnya pasti sudah patah sekarang. Ia menahan napas sesaat, tidak bisa bergerak, dua tangannya memegang dadanya yang berdebar sangat kencang.

"Pa-pak Hong, ada apa?" Suaranya seperti cicitan tikus, masih belum mampu bangkit dari kejadian yang baru saja menimpanya.

Napas Pak Hong tersengal, ia juga ikut tergagap. "Ap-apa kita baru saja hampir mati?"

Yeonjun nyaris menangis. "Kenapa kau bertanya padaku?"

"Aku juga tidak tahu." Pak Hong bahkan sudah menangis.

.

.

.

TBC.


Halo hal--

Yeonjun: Bajingan kau!!!

Bubble: Tuan kecil, tolong tenang! Biarkan saya menutup chapter ini dulu setelah itu kita bisa bicara.

Yeonjun: Anji*beep!

Bubble: Tuan kecil Soobin, tolong awasi pasangan anda. Satu cakaran lagi, maka saya akan lapor polisi.

Yeonjun: Persetan! Soobin bilang aku bebas melakukan apapun padamu.

Bubble: Bebas melakukan apapun? apa maksudmu? Jangan membuatku malu. Bagaimana dengan Soobin jika kau melakukan itu? *shyshy

BLETAKKK!!!!!

Bubble : AWWW! Tuan kecil Soobin! Dilarang menggunakan benda tumpul untuk memukul.

Soobin : Oke, kalau begitu aku akan menggunalan benda tajam

Yeonjun : Hahahaa...

Bubble: 😳

Eumm haloo ada orang?
Ga terasa sudah Oktober ya, ah.. aha.. ahahaa..

Yeonjun : Ku dengar seseorang pernah berkata cerita ini akan berakhir tahun--emph!!!

Bubble : Eheehe. Aku salah, aku salah... silahkan kembali tuan kecil.

Jadi untuk mempersingkat waktu dan berhubung Yeonjun sudah ngamuk karena baru pacaran disuruh jaga jarak, jadi...

Terima kasih semua yang sudah mampir di book berlumut ini <3

Yeonjun : Seharusnya Pak Hong menabrakmu tadi.

Soobin : (mengangguk) Aku 100% setuju

Bubble : Anak-anak, jangan khawatir, aku baik-baik saja. Silahkan kalian pulang. :""D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top